Norma Hukum yang Ideal, Tidak Terlampau Mencampuri Urusan Privat Warga Negaranya

ARTIKEL HUKUM
Betapa menjadi menakutkan sekaligus mimpi buruk, ketika berbagai aturan hukum berupa peraturan perundang-undangan tertulis, kian menjelma gurita yang menyerupai “rimba hutan belantara”. Begitu masifnya peraturan perundang-undangan diproduksi dan direproduksi oleh berbagai lembaga, hingga sampai pada taraf salah-kaprah sebagaimana praktik Mahkamah Agung RI yang sejatinya hanya lembaga yang berwenang mengurus masalah peradilan (Lembaga Yudikatif), kini menjelma lembaga quasi-Legislatif lewat berbagai norma hukum yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung dan berbagai Peraturan Mahkamah Agung.
Bukanlah berlebihan ketika penulis menggunakan istilah “rimba hutan belantara” untuk melukiskan praktik hukum sekarang ini. Ketika kita menjejakkan kaki kita ke tanah rimba belantara itu, yang ada ialah berbagai pohon-pohon dan semak belukar lebat yang penuh misteri, bahkan membuat kita tersesat dalam hutan yang diisi berbagai tetumbuhan raksasa, angin ribut, hewan liar buas, dengan berbagai mara bahaya di dalamnya, yang bisa jadi membuat kita tenggelam dalam kepanikan dan kebingunan seolah tidak tahu arah dan tanpa suatu peta apapun yang mampu menjelaskan kepada kita tentang hutan itu secara singkat dan sederhana, kecuali kita pangkas seluruh tetumbuhan raksasa bongsor itu agar kita dapat melihat ke luar, dan yang dari luar dapat melihat ke dalam.
Begitupula berbagai kementerian yang tidak mau kalah berprestasi mencetak peraturan menteri (namun miskin dalam ranah penegakan dan tindak-lanjutnya), berbagai peraturan presiden, undang-undang, hingga segala tetek-bengek aturan-aturan yang sama sekali tidak bermanfaat dengan wujud berbagai rambu-rambu perintah dan larangan yang tersebar di berbagai sudut jalan yang terkesan memang menjadi sekadar “jebakan” bagi pengemudi pengendaraan bermotor yang kebetulan melintas.
Terlebih perihal Peraturan Daerah (Perda), mulai dari DKI Jakarta hingga daerah-daerah pelosok, kini tergolong masif menerbitkan berbagai aturan, yang pada gilirannya hanya menjadi “kegenitan” regulator. Lihat saja nasib Perda larangan membuang sampah sembarangan, larangan membakar sampah sembarangan, larangan mer0kok sembarangan, hingga larangan mendirikan bangunan tanpa Izin Mendirikan Bangunan, semuanya hanya menjadi “macam ompong” yang dipandang “sebelah mata” oleh warga masyarakatnya sendiri. Bandingkan dengan Singapura, bahkan tidak ada pelancong dari Indonesia yang berani meludah sembarangan ketika menjejakkan kaki di “negeri mini” tersebut dan seketika mendadak menjadi patuh hukum.
Niat boleh baik, namun bila caranya keliru, maka hal tersebut adalah tidak baik. Pemerintah boleh berniat baik dengan produktif menelurkan berbagai regulasi yang sebetulnya tidak diperlukan (seperti berbagai Peraturan Daerah tentang Syariah / suatu agama tertentu di tengah kondisi bangsa yang majemuk bahkan juga mengingat adanya sejarah Bumi Pertiwi yang bermula dari kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha sebagai warisan budaya dan agama yang tidak dapat tidak diberi kedudukan yang “dilestarikan” layaknya Suku Aborigin di Amerika dan Suku Indian di Australia), namun sama sekali tidak menerbitkan aturan hukum yang lebih urgen untuk dibentuk, atau setidaknya mengalokasikan berbagai sumber daya dan perhatian terhadap fokus penegakan terhadap berbagai peraturan yang sudah ada, alias dihidupkan efektifitasnya—bukan sekadar menerbitkan berbagai regulasi “macam ompong” baru berikutnya yang bagaikan berlomba-lomba untuk hanya sekadar mengisi rak lemari penuh debu yang sepi peminat.
Untuk memudahkan pemahaman kita bersama, mungkin penelaahan lewat analogi akan mempermudah, untuk itu penulis mengutip kisah dari seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dengan judul “Sayap-Sayap Belas kasih” dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, dengan kutipan yang cukup inspiratif dan representatif, sebagai berikut:
“Jika belas kasih dibayangkan sebagai seekor merpati yang anggun, kebijaksanaan adalah bagaikan sayap-sayapnya. Belas kasih tanpa kebijaksanaan, tak akan dapat tinggal landas.
“Suatu hari, seorang anggota pramuka ingin menunjukkan perbuatan baiknya pada hari itu dengan membantu menyeberangkan seorang nenek di jalanan yang ramai. Masalahnya, si nenek sebenarnya tak ingin menyeberang, tetapi dia merasa sungkan memberitahukan hal itu kepada si anak pramuka.
“Cerita tersebut, sayangnya, menggambarkan ada terlalu banyak hal yang terjadi di dunia atas nama belas kasih. Kita kelewat sering mengira bahwa kita tahu apa yang dibutuhkan oleh orang lain.
“Seorang pemuda, yang terlahir tuli, tengah mengunjungi dokter untuk pemeriksaan rutin dengan ditemani oleh kedua orang tuanya. Dengan bersemangat sang dokter memberi tahu orang tua si pemuda mengenai suatu prosedur pengobatan baru yang baru-baru ini dibacanya dari sebuah jurnal kedokteran. Sepuluh persen dari orang-orang yang terlahir tuli dapat dipulihkan kembali pendengarannya melalui sebuah operasi sederhana dan tidak mahal.
“Sang dokter bertanya kepada orang tua si pemuda, apakah mereka ingin mencobanya. Orang tua si pemuda dengan segera mengiyakan.
“Pemuda itu adalah salah stu dari sepuluh persen orang-orang tuli yang dapat dipulihkan kembali pendengarannya, namun dia malah menjadi sangat marah dan jengkel kepada kedua orang tua dan dokternya. Dia tidak mengetahui apa yang mereka rembukkan saat pemeriksaan rutinnya. Tak seorang pun yang menanyakan kepadanya apakah dia ingin bisa mendengar. Sekarang dia mengeluh karena dia harus menahan siksaan suara-suara ribut yang terus-menerus, yang mana hanya sedikit saja yang dia pahami. Sebenarnya dia memang tidak pernah ingin dipulihkan pendengarannya.
“Kedua orang tuanya, dokter, dan saya sendiri, sebelum membaca cerita ini, beranggapan bahwa setiap orang pasti ingin dapat mendengar. Kita pikir kita selalu tahu apa yang terbaik. Belas kasih yang mengandung asumsi seperti itu, sungguh tolol dan berbahaya. Itu menyebabkan begitu banyak penderitaan di dunia.”
Kisah demikian juga sebagai simbol yang cukup menjadi teguran keras sekaligus pengingat bagi kita, bahwa segala bentuk pemaksanaan terhadap keyakinan / agama, tidak dapat dibenarkan. Kebebasan dalam memeluk atau tidak memeluk suatu keyakinan tertentu, merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dipaksakan oleh pribadi satu kepada pribadi lainnya—apapun motif atau dalil alasannya.
Polemik seputar eugenika, sebagai contoh yang lebih relevan, pada satu sisi kita (dan bahkan juga pemerintah selaku pengendali negara) mengutuk dan berupaya keras memerangi praktik eugenika semacam holocaust (etnic cleansing). Namun disisi lain kita mengandalkan bahkan melegalkan bentuk-bentuk eugenika lainnya, seperti pemilihan sperma dan pemilihan telur yang akan dibuahi, agar dapat memilih calon “bibit” janin yang paling ideal, sehingga tidak membuat anak yang dilahirkan menderita berbagai penyakit “bawaan” genetik—yang tentunya hanya akan membuat si anak sekaligus orang tuanya menderita banyak kesulitan bila ternyata terlahir tanpa suatu “pengkondisian” tertentu secara pemijahan bibit genetik.
“Memilih” dan “terpilih” secara terukur, itulah kata kunci dari teori eugenika. Eugenika tidak pernah punah sepanjang  sejarah homo sapiens masih menjajah Planet Bumi ini, dari mulai yang paling sederhana seperti memilih pasangan hidup yang terbaik dan menyisihkan yang kurang kompeten untuk menghasilkan generasi penerus yang lebih berkualitas.
Sangatlah tidak dapat dibenarkan, baik atas nama negara ataupun atas nama orang-orang lainnya, suatu individu dirampas kemerdekaannya untuk memilih, lalu dengan kukuh memaksakan kehendak pribadinya kepada individu lainnya, seolah si individu tidak punya hak untuk memilih arah dan pilihan hidupnya sendiri, sementara “the right of self determination” (hak untuk menentukan nasib sendiri) menjadi salah satu hak asasi manusia yang diakui lewat berbagai instrumen Hukum Internasional.
“Beranggapan” dan “berasumsi” hanya ada di dalam isi pikiran kita sendiri, belum tentu senada atau sesuai dengan realita. Kita mungkin berspekulasi bahwa seseorang akan menyenangi atas setiap pilihan dan keputusan kita secara koersif dan menekan secara satu arah, bagi hidup orang-orang terdekat kita, atau bahkan menghakimi orang-orang lainnya seolah kita lebih berhak untuk menentukan “garis hidup” mereka. Karena itu, “beranggapan” dan “berasumsi” dapat menjadi demikian berbahaya dan menjelma suatu ancaman nyata tersendiri bagi kemaslahatan hidup banyak orang di tengah Kebhinekaan dalam kemajemukan latar belakang sosial.
Ketika aturan hukum menjadi demikian berlebihan, maka itu sama berbahayanya dengan tiada aturan hukum sama sekali dalam suatu negara. Keduanya merupakan sama-sama titik ekstrim yang hanya saja berbeda sudut, saling berlawanan, namun sama dalam hal tingkat ekstrim: terlampau banyak aturan dan tiada aturan sama sekali.
Terlampau kosong layaknya ruang angkasa luar, maka engkau tidak mampu bernafas. Sementara bila keadaannya ialah terlampau padat oleh udara, maka engkau akan terhempas akibat badai. Bersikaplah moderat, suatu “jalan tengah” yang patut menjadi solusi yang saling mendukung para pihak untuk saling bekerja sama dalam harmoni.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.