Membeli Tanah dengan Itikad Baik, Dilindungi oleh Hukum (Kepastian Hukum bagi Warga Masyarakat)

LEGAL OPINION
Question: Apa dan bentuk seperti apa perlindungan yang dapat diberikan oleh hukum pertanahan di Indonesia, bila seandainya pihak penjual bersekongkol seolah-olah objek tanah yang kami beli ada “cacat tersembunyi”?
Brief Answer: Seorang pembeli hak atas tanah, bukanlah seorang penyidik atau seseorang yang memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan layaknya seorang intel yang berwenang menelisik demikian jauh. Seorang pembeli, sejatinya merupakan “pihak ketiga”, dimana bila pihak pembeli tersebut murni membeli secara jujur dan memenuhi prosedural hukum pertanahan (minimum terpenuhi syarat mutlak asas “terang” dan “tunai”), maka pembeli tersebut dapat dikategorikan sebagai “pembeli yang beritikad baik”.
Sementara bila, sebagaimana pernah terjadi, suatu ketika muncul dua pihak yang sama-sama mengklaim sebagai pembeli yang paling berhak, maka hanya “pembeli yang beritikad baik” yang patut mendapat perlindungan oleh hukum, sebagai bagian dari asas “kepastian hukum”.
Tidak akan pernah ada keadilan, sepanjang tiada jaminan untuk tegaknya kepastian hukum bagi setiap warga negara. Bila terhadap satu pihak diberikan kepastian oleh negara, namun tidak bagi warga lainnya, maka itulah yang disebut dengan ketimpangan dan sekaligus diskriminasi hukum. Hukum yang baik, bersifat netral dan imparsial.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret yang sangat representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 329 PK/Pdt/2017 tanggal 27 September 2017, perkara antara:
- PATEH JULIANA RESOLINA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat III; melawan
- H. EDI HARIANTO SOEPARJONO, sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat; dan
1. Hj. SRI HARTATI; 2. Hj. ENDANG HERAWATI; 3. PEMERINTAH RI cq. BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI cq. KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL JAWA BARAT cq. KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK, sebagai Para Turut Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat I, II, Para Turut Tergugat.
Penggugat merupakan salah satu Ahli Waris alm. Soeprayono alias H. Soeprajono, dimana almarhum telah meninggal dunia pada tanggal 11 Mei 2005 yang semasa hidupnya telah menikahi Hj. Siti Djahrah, yang telah meninggal dunia pada tanggal 24 Oktober 1987, lebih dahulu dari suaminya alm. Soeprayono.
Dari Perkawinan antara Alm. Soeprayono dengan almarhummah Hj. Siti Djahrah, telah dilahirkan 3 orang anak, yaitu: Hj. Sri Hartati (Tergugat I), H. Edi Harianto Soeparjono (Penggugat), dan Hj. Endang Herawati (Tergugat II). Dalam perkawinan antara alm. Soeprayono dengan alm.Hj. Siti Djahrah tersebut, disamping dilahirkan 3 orang anak sebagai Ahli Waris, semasa hidupnya mereka juga memiliki harta bersama yang diperoleh dalam masa perkawinan, berupa 2 bidang tanah yang diatasnya berdiri bangunan rumah, yakni: Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 157 sisa/Pondokcina atas nama Soeprayono, dan SHM Nomor 89 sisa/Pondokcina atas nama Soeprayono.
Perihal SHM Nomor 157 sisa/Pondokcina, telah dijual oleh Para Ahli Warisnya, yaitu oleh Tergugat I, Penggugat dan Tergugat II. Sementara untuk  SHM Nomor 89 sisa/Pondokcina, setelah Hj. Siti Djahrah meninggal dunia, oleh alm. Soeprayono semasa hidupnya di-hibah secara “dibawah tangan” kepada Tergugat I dan Tergugat II, dalam “Surat Pernyataan Hibah Sebidang Tanah Dan Bangunan Sebelum Diaktakan Tanggal 26 Oktober 1999”.
Menurut Penggugat (yang notabene merupakan salah satu anaknya), perbuatan hukum hibah yang dilakukan oleh alm. Soeprayono, melanggar hukum, dengan dalil:
a. Bahwa hibah yang dilakukan dibawah tangan, telah melanggar hukum Pasal 37 Ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Bahwa hibah melebihi 1/3 dari harta kekayaan Pemberi Hibah, telah melanggar hukum Pasal 210 KHI, yaitu: Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk di miliki;
c. Bahwa hibah tanpa ada persetujuan dari Ahli Waris, padahal hibah tersebut dilakukan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit dan/ atau dekat dengan kematian, telah melanggar Pasal 213 KHI, yaitu: Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya;
d. Bahwa hibah yang dilakukan setelah almarhummah Hj. Siti Djahrah (istrinya) meninggal dunia, maka harta bersama yang dijadikan objek hibah tersebut, secara hukum sudah tidak sepenuhnya menjadi milik almarhum Soeprayono semata, karena dengan adanya peristiwa hukum kematian almarhummah Hj. Siti Djahrah maka secara hukum Para Ahli Waris almarhummah Hj. Siti Djahrah (suami dan anak-anak, dalam hal ini salah satunya Penggugat), mempunyai hak atas warisan almarhum Hj. Siti Djahrah (harta bersama milik almarhum Soeprayono dengan almarhummah Hj. Siti Djahrah).
Terhadap “Surat Pernyataan Hibah” tersebut, tanggal 18 September 2007, oleh Tergugat I dan Tergugat II diajukan Penetapan kepada Pengadilan Negeri Kota Depok, dimana selanjutnya Pengadilan Negeri Kota Depok mengeluarkan Penetapan Nomor 71/Pdt.P/2007/PN.Dpk. tanggal 03 Oktober 2007, dengan amar:
M E N E T A P K A N:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon;
2. Menetapkan Para Pemohon Ny. Hj. Sri Hartati dan Hj. Endang Herawati sah sebagai penerima Hibah atas tanah dan bangunan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 89 sisa/Pondokcina, tanggal 7 Desember 1981 atas nama H.Soeprajono, berdasarkan Surat Pernyataan Hibah dari H. Soeprajono tanggal 26 Oktober 1999;
3. Menetapkan Para Pemohon Ny. Hj. Sri Hartati dan Hj. Endang Herawati berhak untuk membalik nama Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 89 sisa/Pondokcina, tanggal 7 Desember 1981 atas nama H. Soeprajono, menjadi atas nama Para Pemohon di Badan Pertanahan Nasional (BPN).”
Penetapan Pengadilan Negeri Kota Depok pada tanggal 03 Oktober 2007 tersebut, dinilai melanggar hukum, dengan alasan sebagai berikut:
a. Penetapan Pengadilan Negeri Kota Depok diterbitkan berdasarkan atas hibah yang nyata-nyata substansinya melanggar hukum;
b. Pengadilan Negeri Kota Depok yang menerbitkan Penetapan Nomor 71/Pdt.P/2007/PN.Dpk. tanggal 03 Oktober 2007, telah melampau batas kewenangannya, karena terhadap perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh dan ekonomi syariah bagi orang-orang yang beragama Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama, diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama;
c. Perkara hibah tidak dapat diperiksa secara permohonan (voluntair) karena tidak ada dasar hukumnya, dasar hukum beberapa putusan MA RI dan dikuatkan dengan pendapat para ahli hukum sebagai berikut:
- Putusan MA RI Nomor 1210 K/Pdt/1985 tanggal 30 Juni 1987, antara lain menyatakan: PN yang telah memeriksa dan memutus permohonan secara valuntair, padahal didalamnya terkandung sengketa, tidak ada dasar hukumnya;
- Putusan MA RI Nomor 130 K/Sep/1957 tanggal 5 November 1957, antara lain menyatakan: Permohonan atau valuntair yang diajukan meminta agar pengadilan memutuskan siapa ahli waris dan pembagian waris, sudah melampau batas kewenangan;
- Putusan MA RI Nomor 1391 K/Sep/1974 tanggal 6 April 1978, antara lain berbunyi: Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili permohonan penetapan (valuntair) hak atas tanah tanpa adanya sengketa atas tanah tersebut;
- Putusan Peninjauan Kembali (PK) No/PK/AG/1990, tanggal 22 Januari 1991, PA (Pengadilan Agama) Pandeglang telah menjatuhkan penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan yang diajukan salah seorang ahli waris dalam bentuk permohonan atau gugatan valuntair; Terhadap penetapan itu, ahli waris yang lain mengajukan Peninjauan Kembali kepada MA, dan atas permohonan itu, MA menjatuhkan putusan, antara lain menegaskan:
1. Gugatan valuntair hanya dapat diterima pengadilan apabila untuk itu ada ketentuan Undang-Undang yang mengatur secara khusus;
2. Dalam kasus penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan, tidak ada dasar hukumnya untuk diperiksa secara valuntair.
Prof. Sudargo Gautama, pernah menyebutkan, dalam hal terjadi penyelesaian secara valuntair mengenai suatu perkara yang justru sejatinya mengandung sengketa antar para pihak, maka berarti penyelesaian sengketa melanggar asas audi alteram partem (hak pihak lain untuk membela dan mempertahankan kepentingannya di muka persidangan), sehingga semestinya, pihak yang terkena dalam permohonan valuntair dalam kasus ini, harus didengar sebagai salah satu pihak.
Setelah SHM Nomor 89 sisa/Pondokcina, diproses “balik nama” menjadi atas nama Tergugat I dan Tergugat II, maka Tergugat I dan Tergugat II menjual tanah dan bangunan tersebut SHM Nomor 89/Pondokcina tersebut kepada Tergugat III, dengan perbuatan hukum “jual beli” yang dituangkan dalam Akta Jual Beli tertanggal 14 November 2011, dibuat di hadapan Turut Tergugat II. Akta Jual Beli tertanggal 14 November 2011 tersebut kemudian dipergunakan untuk melakukan “balik nama” SHM Nomor 89 sisa/Pondokcina, keatas Tergugat III.
Penggugat menilai semua proses jual-beli dan peralihan hak demikian, adalah cacat yuridis, karena dasarnya balik nama dan pembuatan akta jual beli tersebut adalah dokumentasi yang nyata-nyata cacat hukum dan berakibat terhadap balik nama dan pembuatan akta demikian tidak valid secara hukum, sekaligus dapat dikualifikasi sebagai Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Dalam sanggahannya pihak Tergugat membantah dengan menyatakan bahwa Pengabungan beberapa gugatan ke dalam satu gugatan adalah tidak sah menurut hukum. Dalam surat gugatannya, Penggugat telah menggabungkan beberapa gugatan ke dalam satu Surat Gugatan, yaitu:
- Gugatan perbuatan melawan hukum;
- Gugatan pembatalan Penetapan Pengadilan Negeri Depok Nomor 71/Pdt.P/2007/PN.Dpk. tanggal 3 Oktober 2007;
- Gugatan pembatalan balik nama SHM Nomor 89 sisa/Pondokcina, dari atas nama Soeprayono menjadi atas nama Tergugat I dan Tergugat II;
- Gugatan pembatalan Akta Jual Beli Nomor 247/2011 tanggal 14 November 2011 yang dibuat Turut Tergugat II;
- Gugatan pembatalan balik nama SHM Nomor 89 sisa/Pondokcina, dari atas nama Tergugat I dan Tergugat II menjadi atas nama Tergugat III.
Penggabungan beberapa gugatan ke dalam satu gugatan, adalah tidak sah menurut hukum karena masing-masing gugatan mempunyai persyaratan-persyaratan tersendiri dan yurisdiksi yang berbeda satu sama lainnya. Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri Depok kemudian menjatuhkan lewat Putusan Nomor 143/Pdt.G/2012/PN.DPK tanggal 1 Agustus 2013, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II sebagai ahli waris dari almarhum Soeprayono alias H. Soeprajono dan almarhummah Hj. Siti Djahrah;
4. Menyatakan tanah dan bangunan rumah Sertifikat Hak Milik Nomor 89 sisa/Pondokcina, yang saat ini atas nama Tergugat III, sebagai harta warisan almarhum Soeprayono alias H. Soeprajono dan almarhumah Hj. Siti Djahrah yang belum dibagi;
5. Menyatakan Surat Pernyataan Hibah Sebidang Tanah Dan Bangunan di Jalan ... tanggal 26 Oktober 1999, batal demi hukum;
6. Menyatakan Penetapan Pengadilan Negeri Kota Depok Nomor 71/Pdt.P/ 2007/PN.Dpk. tanggal 3 Oktober 2007 melanggar hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum;
7. Menyatakan bahwa balik-nama Sertifikat Hak Milik Nomor 89 sisa/ Pondok Cina ke atas nama Tergugat I dan Tergugat II, adalah tidak mempunyai kekuatan hukum;
8. Menyatakan Akta Jual Beli Nomor 274/2011 tanggal 14 Novmber 2011 batal demi hukum;
9. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas objek sengketa;
10. Menghukum Turut Tergugat II untuk mencoret Akta Jual Beli Nomor 247/ 2011 tanggal 14 November 2011 dari Buku Daftar Akta Turut Tergugat II;
11. Menyatakan balik nama Sertifikat Hak Milik Nomor 89 sisa/Pondokcina ke atas nama Tergugat III tidak mempunyai kekuatan hukum;
12. Memerintahkan Tergugat III untuk menyerahkan tanah dan bangunan rumah berdasar Sertifikat Hak Milik Nomor 89 sisa/Pondokcina, yang saat ini atas nama Tergugat III kepada Tergugat I, Tergugat II dan Penggugat; [Note SHIETRA & PARTNERS: Konsultan Shietra mensinyalir, antara Penggugat, Tergugat I, serta Tergugat III yang merupakan saudara kandung, saling bersekongkol untuk menciptakan modus ‘canggih’ yang penuh jebakan bagi pihak Tergugat III selaku pembeli objek tanah dengan maksud untuk ‘ditumbalkan’.]
13. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II menyerahkan bagian harta warisan yang menjadi hak Penggugat atas bagian tanah dan bangunan rumah sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor 89 sisa/Pondokcina, atas nama Tergugat III;
14. Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III secara tanggung renteng membayar biaya dalam perkara ini sebesar Rp2.691.000,00;
15.Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 36/Pdt/2014/PT.Bdg tanggal 24 Februari 2014, sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Kuasa Pembanding I, II dan III semula Tergugat III, I dan II;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 143/Pdt.G/2012/PN.Dpk. tanggal 1 Agustus 2013, yang dimohonkan banding tersebut.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2305 K/Pdt/2014 tanggal 26 November 2015, dengan pertimbangan hukum yang ternyata tidak sinkron dengan amar putusan, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T.III-2 berupa Akta Jual Beli Nomor 247/2011 dapat disimpulkan bahwa Tergugat III sebagai pihak pembeli dapat dikatakan sebagai pihak lain yang jujur, artinya tidak mengetahui adanya sengketa di antara Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II, terlebih Tergugat I dan Tergugat II yaitu Hj. Sri Hartati dan Hj. Endang Herawati telah memberikan jaminan bahwa objek jual-beli (a quo objek sengketa dalam perkara perdata Nomor 143/Pdt.G/2012/PN.Dpk.) tidak tersangkut dalam suatu sengketa sebagaimana tertuang dalam isi Pasal 2 dan Pasal 6 Akta Jual Beli tersebut yang menyatakan:
Pasal 2: Pihak Pertama menjamin bahwa objek jual-beli tersebut di atas tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam Sertifikat dan bebas dari beban-beban lainnya yang berupa apapun;
Pasal 6: Pihak Pertama menjamin kepada Pihak Kedua bahwa Pihak Pertama adalah yang berhak melakukan jual-beli ini, tidak ada pihak lain yang mempunyai hak atau berhak terlebih dahulu atas objek jual-beli tersebut;
“Serta Tergugat I dan Tergugat II yaitu Hj. Sri Hartati dan Hj. Endang Herawati sebagai pihak yang satu mengikatkan dirinya telah menyerahkan suatu kebendaan, dan Tergugat III sebagai pihak lain yang telah membayar harga yang telah dijanjikan telah memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing, maka telah sempurna terjadi perikatan jual-beli di antara mereka;
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan pertimbangan hukum tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa Tergugat III tidak pernah mengetahui adanya sengketa antara Tergugat I dan Tergugat II yaitu Hj. Sri Hartati dan Hj. Endang Herawati dengan Penggugat, dan tidak pernah mengetahui bila objek jual-beli merupakan boedel warisan yang belum dibagi diantara ahliwaris Almarhum Soeparjono alias H. Soeparjo – Almarhumah Hj. Siti Djahrah, serta mempunyai keyakinan bahwa Tergugat I dan Tergugat II yaitu Hj. Sri Hartati dan Hj. Endang Herawati sebagai pihak yang berhak melakukan jual-beli, tidak ada pihak lain (termasuk Penggugat) yang mempunyai hak atau berhak terlebih dahulu atas objek jual-beli;
“Menimbang, bahwa Penggugat di muka persidangan juga tidak dapat membuktikan bahwa Tergugat III sebagai pihak yang mengetahui adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II yaitu Hj. Sri Hartati dan Hj. Endang Herawati;
“Menimbang, bahwa dengan demikian Tergugat III haruslah dikwalifikasikan sebagai pembeli yang beritikad baik, sehingga berdasarkan Putusan MA Nomor 1230 K/Sip/1980, maka Tergugat III sebagai pembeli yang beritikad baik harus mendapatkan perlindungan hukum;
MENGADILI :
- Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi I: Pateh Juliana Resolina dan Pemohon Kasasi II: 1. Hj. Sri Hartati, 2. Hj. Endang Herawati tersebut.”
Pihak Tergugat III selaku pihak pembeli, mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa berdasarkan bukti berupa Akta Jual-Beli, Tergugat III sebagai pihak pembeli dapat dikatakan sebagai “pihak ketiga” yang jujur, artinya tidak mengetahui adanya sengketa antara Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II, terlebih Tergugat I dan Tergugat II memberikan jaminan bahwa objek jual beli tidak tersangkut dalam suatu sengketa.
Tergugat I dan Tergugat II sebagai pihak penjual mengikatkan dirinya telah menyerahkan suatu kebendaan dan Tergugat III sebagai pihak pembeli telah membayar harga yang telah dijanjikan telah memenuhi hak dan kewajiban masing masing, maka telah sempurna terjadinya Jual-Beli antara kedua belah pihak.
Tergugat III menyatakan tidak pernah mengetahui adanya sengketa antara Tergugat I dan Tergugat II dengan Penggugat, dan tidak pernah mengetahui bila objek Jual Beli merupakan boedel warisan yang belum dibagi diantara ahli waris alm. Soeparyono dan almh. Siti Djahrah, serta mempunyai keyakinan bahwa Tergugat I dan Tergugat II sebagai pihak yang berhak / cakap hukum untuk melangsungkan perbuatan hukum Jual-Beli atas objek tanah.
Penggugat di muka persidangan juga tidak dapat membuktikan bahwa Tergugat III sebagai pihak yang mengetahui adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II. Dengan demikian Tergugat III harus dikategorikan sebagai “pembeli yang beritikad baik”, sehingga merujuk yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Nomor 1230 K/Sip/1980 : pembeli yang beritikad baik harus mendapat perlindungan hukum.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat Kasasi mengandung saling pertentangan (kontradiktif) satu sama lainnya, karena disatu pihak menyatakan Tergugat III adalah pembeli yang beritikad baik yang harus mendapat perlindungan hukum, akan tetapi pada butir pertimbangan hukum lainnya dinyatakan bahwa Akta Jual Beli Nomor 247/2011 tanggal 14 November 2011 batal demi hukum, “balik nama” SHM keatas nama Tergugat III mengandung cacat hukum, memerintahkan Kantor Pertanahan mencoret Akta Jual Beli tertanggal 14 November 2011 dari Buku Daftar Akta di Kantor Pertanahan, menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas objek sengketa dan memerintahkan Tergugat III untuk menyerahkan tanah bersertifikat dan bangunan rumah tersebut kepada Penggugat dan Tergugat I & Ii, adalah membuktikan bahwa Majelis Hakim telah keliru memahami apa yang dimaksud dengan “pembeli yang beritikad baik” dan perlindungan hukum yang patut bagi “pembeli yang beritikad baik”.
Karena Tergugat III adalah pembeli yang beritikad baik yang telah melakukan transaksi Jual Beli dengan Tergugat I dan Tergugat II atas sebidang tanah SHM yang tercantum atas nama pemegang hak / pemilik-nya ialah Tergugat I dan Tergugat II, Jual Beli mana dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan tanahnya telah bersertifikat, maka jual-beli hak atas tanah telah berlangsung sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, oleh karenanya Tergugat III harus mendapat perlindungan hukum dengan menyatakan bahwa Jual Beli yang telah dilakukan, proses balik-nama SHM dari atas nama Tergugat I dan Tergugat II dialihkan ke atas nama Tergugat III, adalah sah menurut hukum dan mempunyai kekuatan hukum berlaku dan patut dinyatakan sebagai pemilik sah atas objek tanah, bukan justru membatalkan Akta Jual Beli, menyatakan peristiwa balik-nama SHM mengandung cacat hukum, dan memerintahkan pihak pembeli untuk menyerahkan objek tanah kepada pihak Tergugat I, Tergguat II dan Penggugat.
Adapun Yurisprudensi terkait pembeli yang beritikat baik yang harus mendapatkan perlindungan hukum, dimana dari berbagai preseden putusan Mahkamah Agung RI, dapat diketahui bahwa pembeli yang beritikad baik harus mendapatkan perlindungan hukum, antara lain:
1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 10 Januari 1975 Nomor 210 K/Sip/1955, berbunyi : “Pembeli sawah yang dengan itikad baik membeli sawah tersebut dari seorang ahli waris dari pemiliknya, harus dilindungi.
2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 26 Desember 1958 Nomor 251 K/Sip/1958, berbunyi: “Pembeli yang telah bertindak dengan itikad baik harus dilindungi, dan Jual Beli yang bersangkutan haruslah dianggap sah.
3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 23 September 1975 Nomor 52 K/Sip/1975, berbunyi: “Walaupun Tergugat asal I dan Tergugat asal II menjual lebih dari bagian warisan mereka, jual beli tanah itu tidak dapat dibatalkan untuk melindungi pembeli yang jujur (beli tanah warisan dari sebagian dari ahli waris), sedang Para Penggugat asal masih dapat menggugat Tergugat asal I dan II.
4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 7 Maret 1981 Nomor 1150 K/Sip/1978, berbunyi: “Pembeli yang beritikat baik harus dilindungi hukum, sebab kalau tidak demikian akan menimbulkan dampak yang negatif yakni dikemudian hari orang tidak percaya lagi pada hukum.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah yang menurut Konsultan Shietra, menjadi alasan paling mendesak terciptanya kepastian hukum bagi pembeli hak atas tanah, guna menghinari moral hazard.]
5. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 29 Maret 1982 Nomor 1230 K/Sip/1980, berbunyi: “Pembeli yang beritikat baik harus dapat perlindungan hukum”.
6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 30 Mei 2006 Nomor 335 K/Pdt/2006, berbunyi: “Judex Facti salah menerapkan hukum pada pembeli yang beritikat baik dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Tergugat I membeli tanah sengketa dari Tergugat II di muka PPAT dan tanah sudah bersertifikat;
- Pembeli i.c. Tergugat I adalah pembeli yang beritikat baik harus dilindungi;
- Penggugat terbukti pemilik tanah sengketa, dan dijual oleh Tergugat II pada Tergugat I;
- Tanah sengketa adalah hak Penggugat yang dijual Tergugat II kepada Tergugat I, maka Tergugat II harus dihukum membayar harga tanah tersebut pada Penggugat, sesuai dengan nilai jual objek pajak setelah Putusan berkekuatan hukum tetap.”
7. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 27 November 2007 Nomor 1142 K/Pdt/2007, berbunyi: “Judex Facti telah salah menerapkan hukum tentang perlindungan hukum terhadap pembeli yang beritikat baik, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Tergugat II membeli tanah sengketa dari Tergugat I di hadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) yang berwenang;
- Objek Jual Beli sudah mempunyai Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 181/Rawabangke atas nama Tergugat I yang diterbitkan tahun 1991;
- Tergugat I memperoleh hak atas tanah objek sengketa, atas dasar pelepasan hak dari beberapa orang pemegang hak;
- Dengan demikian Tergugat II membeli dan menguasai tanah objek sengketa adalah itikat baik, sehingga pembeli yang beritikad baik harus dilindungi;
- Penggugat mendalilkan dirinya sebagai pemilik asal atas tanah objek sengketa, oleh karena itu apabila Penggugat merasa berhak, maka Penggugat dapat mengajukan ganti rugi kepada pihak yang mengalihkan tanah objek sengketa kepada pihak Tergugat I.
8. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 20 Maret 2009 Nomor 2026 K/Pdt/2007, berbunyi: “Judex Facti Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Perkara a quo diajukan dalam hubungannya dengan Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 35/Pdt.G/2005 tanggal 17 Januari 2006 yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi tidak dapat dieksekusi karena bersifat deklaratur;
- Amar putusan Peninjauan kembali Nomor 10 PK/Pdt/2002 tanggal 27 Oktober 2004, yang menghukum Tergugat atau orang lain yang mendapat hak dari Tergugat untuk mengosongkan tanah sengketa, tidak dapat dipaksakan pada pihak ketiga (Penggugat I, II) karena telah terbukti mereka adalah pembeli yang beritikad baik dan bukti hak berupa Serifikat Hak Milik yang telah dinyatakan sah;
- Pihak yang menang dalam putusan peninjauan kembali Nomor 10/PK/Pdt.2002, tidak dapat meminta kembali tanah sengketa, karena telah dimiliki pihak ketiga melalui prosedur yang sah, kecuali hanya menuntut ganti rugi nilai tanah sengketa pada pihak yang kalah dalam perkara tersebut;
- Sesuai yurisprudensi (lama), pembeli yang beritikad baik harus dilindungi;
- Dalam system BW ada teori legitimasi dari Paul Scholten tetapi hanya untuk barang bergerak, dan berlaku dalam bidang perdagangan, vide Pasal 1977 BW; yang harus dilindungi adalah pembeli yang beritikad baik tidak berlaku terhadap barang yang berasal dari pencurian;
- Perlindungan pada pihak yang beritikad baik, juga untuk melancarkan lalu lintas hukum;
- Berdasarkan uraian tersebut, pembeli terakhir yang beritikad baik harus dilindungi dengan cara analogi atas teori legitimasi tersebut.”
9. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 7 Januari 2011 Nomor 444 PK/Pdt/2010, berbunyi: “Alasan tersebut dapat dibenarkan oleh karena dalam putusan yang dimohonkan peninjauan kembali terdapat kekeliruan dan kekhilafan yang nyata dari Hakim, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Jual beli objek sengketa antara Yulius Thomas sebagai penjual dengan Joseph Setlight dilakukan dimuka PPAT / Pejabat Pembuat Akta Tanah, telah memenuhi unsur KTT (konkrit, Terang dan Tunai), dan sejak ditandatangani objek sengketa di PPAT, hak atas objek jual beli / tanah sengketa sudah beralih kepada pembeli;
- Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 210 K/Sip/1955 tanggal 10 Januari 1957 bahwa pembeli sawah dari salah seorang ahli waris alm. pemilik tanah harus dilindungi, karena telah beritikad baik dalam membeli sawah tersebut.
10. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 6 September 2011 Nomor 739/K/Pdt/2010, berbunyi: “Judex Facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) salah menerapkan hukum tentang jual beli tanah berdasarkan hukum adat, yang memberi perlindungan hukum kepada pembeli yang beritikad baik Tergugat VIII membeli objek sengketa dari para penjual tanah, yang sudah bersertifikat Hak Milik Nomor 1323/Pasar Baru, jual beli tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah / PPAT pada tanggal 21 Oktober 2002 Nomor 16/2002 seluas 628 m² dengan harga Rp966.993.000,00 (sembilan ratus enam puluh enam juta Sembilan ratus Sembilan puluh tiga ribu rupiah) yang telah dibayar lunas oleh Tergugat VIII, dengan demikian Tergugat VIII adalah pembeli yang beritikat baik yang harus dilindungi dan apabila Penggugat merasa dirugikan, ia dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian tersebut.
11. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 14 Juni 2012 Nomor 1154 K/Pdt/2011, berbunyi: “Judex Facti / Pengadilan Tinggi Surabaya yang telah memperbaiki putusan Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar serta tidak salah dalam menerapkan hukum, maka Penggugat harus dilindungi karena Penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya bahwa jual-beli yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat I sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang sehingga sangkalan para Tergugat menandatangani surat-surat yang berhubungan dengan balik-nama sertifikat kepada Penggugat, tidak dapat dibenarkan.
12. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 4 Oktober 2012 Nomor 2751 K/Pdt/2011 berbunyi: “Judex Facti / Pengadilan Tinggi Surabaya yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Probolinggo telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Judex Facti tidak mempertimbangkan hak perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikat baik, sebab dari hasil pemeriksaan di persidangan telah terbukti bahwa objek sengketa tersebut atas nama Tergugat V dan dalam penguasaan Tergugat V, kemudian Terugugat I membeli objek sengketa dari Tergugat V tersebut di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah sehingga Tergugat I adalah pembeli yang beritikad baik, oleh karena Tergugat I berhak atas objek jual beli sebagai mana dibuat dalam Akta Jual Beli;
- Apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan karena transaksi jual beli tersebut maka pihak yang merasa dirugikan tersebut in casu para Penggugat dapat mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pihak penjual (Tergugat V). Lagi pula dalam pemeriksaan persidangan tidak terungkap adanya bukti sah yang menunjukan bahwa Terugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga adalah bertentangan dengan hukum apabila terhadap Tergugat I dijatuhi hukuman.
Oleh karena itu, karena telah terbukti Tergugat III mempunyai itikad baik dalam jual-beli tanah itu, yang dinyatakan sendiri oleh Majelis Hakim Agung di tingkat kasasi, yang dengan janggalnya justru menyatakan permohonan kasasi “ditolak”. Dimana terhadap keberatan-keberatan demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang mengandung kaedah hukum penting, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah membaca dengan saksama memori kasasi tanggal 21 Desember 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 17 Maret 2017, dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Facti dan Judex Juris, ternyata dalam putusan Judex Facti dan Judex Juris telah terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Juris dan Judex Facti telah tidak menerapkan doktrin hukum, bahwa pembeli beriktikad baik wajib diberi perlindungan hukum;
“Bahwa doktrin hukum tentang pembeli beriktikad baik berhak atas perlindungan hukum telah pula ditegaskan dalam Rapat Pleno Kamar Perdata 14-16 Maret 2011 sebagaimana dipublikasikan dalam kompilasi peraturan sistem kamar pada Mahkamah Agung (Sekretariat Kepaniteraan MA-RI, 2014, halaman 72 huruf IX yang menyatakan: ‘perlindungan harus diberikan kepada pembeli beriktikad baik’);
“Bahwa Tergugat III/Tergugat III memenuhi kriteria sebagai pembeli beriktikad baik sebagaimana dirumuskan dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2014 karena pada waktu Tergugat III/Tergugat III membeli objek sengketa, objek sengketa sudah terdaftar atas nama Tergugat I dan II yang bertindak sebagai penjual dan pemilik berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor 89/Pondok Cina;
“Bahwa Akta Jual Beli objek sengketa juga dilakukan di hadapan PPAT, dan pada saat Akta Jual Beli objek sengketa tidak dalam status berperkara atau sita, oleh karena itu Tergugat III/Tergugat III berhak atas perlindungan hukum sebagai pembeli beriktikad baik.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Tergugat III: PATEH JULIANA RESOLINA dan membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2305 K/Pdt/2014 tanggal 26 November 2015 serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PATEH JULIANA RESOLINA tersebut;
- Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2305 K/Pdt/2014 tanggal 26 November 2015;
“MENGADILI KEMBALI:
Dalam Pokok Perkara
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II sebagai ahli waris dari almarhum Soeprayono alias H.Soeprajono dan almarhumah Hj.Siti Djahrah;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.