Keberatan Nilai Ganti-Rugi Pembebasan Tanah Pasca Penitipan Uang di Pengadilan

LEGAL OPINION
Question: Tanah keluarga kami masuk dalam peta pembebasan tanah proyek pemerintah. Keluarga tidak setuju dengan nilai ganti-rugi pembebasan tanah yang ditetapkan pemerintah, maka kami tidak mau melepas tanah kami saat proses perundingan dan negosiasi pelepasan hak. Kini uang ganti-rugi mereka titipkan ke pengadilan, dan seketika tanah kami diambil-alih sekalipun belum ada kesepakatan harga.
Pertanyaannya, kalau uang ganti-rugi sudah dititipkan oleh tim panitia pengadaan tanah ke pengadilan, apa artinya warga pemilik tanah sudah tidak lagi berhak untuk menggugat atau mengajukan keberatan atas besaran nilai ganti-rugi? Kami merasa, jika tidak diberi kesempatan untuk menolak dan mempertahankan tanah milik kami, itu namanya perampasan dan penyerobotan oleh pemerintah yang otoriter dan tidak demokratis.
Brief Answer: Pernah terjadi, uang nilai ganti-kerugian hak atas tanah yang dibebaskan pihak pemerintah untuk kepentingan umum, sekalipun telah dititipkan ke pengadilan (konsignyasi) karena pihak pemilik tanah tidak bersedia melepas hak atas tanahnya atau karena tidak sepakat terhadap besaran nilai ganti-rugi, tidak dimaknai menutup upaya hukum “keberatan” berupa gugatan ke pengadilan—terutama dengan tujuan agar Majelis Hakim mengoreksi nilai ganti-rugi secara real menyesuaikan dengan harga ganti-rugi yang patut sesuai “nilai pasar”.
Keberatan menjadi domain gugatan perdata di pengadilan, karena diluar proses konsignyasi, konstruksi hukum yang terjadi ialah “jual-beli biasa” (meski sekalipun dengan judul kemasan “pembebasan / pengadaan tanah”), dimana terjadi perundingan, tawar-menawar, dan negosiasi harga tanah yang akan dilepaskan selayaknya jual-beli biasa.
Ketika tidak terjadi kesepakatan perihal besaran nominal harga jual-beli, maka barulah sifat “top to down” rezim pembebasan lahan diberlakukan lewat mekanisme konsignyasi, dimana warga pemilik tanah diberi kesempatan mengajukan keberatan terhadap besaran nominal konsignyasi dengan mengajukan gugatan “keberatan” ke pengadilan penerima titipan uang konsignyasi.
Yang cukup membingungkan dari rezim hukum pengadaan tanah, ialah perihal simpang-siur isu perihal “keberatan”. Terdapat dua konteks makna “keberatan” yang dapat terjadi, yakni keberatan nilai ganti-rugi saat proses negosiasi antara panitia pengadaan tanah dan pihak warga pemilik tanah, serta keberatan terhadap nominal uang konsignyasi. Namun, apakah yang dimaksud dengan “keberatan”, apakah hanya berupa pernyataan keberatan, ataukah “keberatan” berupa gugatan perdata ke pengadilan?
Ketika keberatan terjadi masih dalam proses negosiasi harga, maka apakah artinya warga pemilik tanah harus mengajukan gugatan keberatan ke pengadilan, sementara itu belum ada penetapan pemberian nominal ganti-rugi oleh pemerintah yang dapat dijadikan objek gugatan. Itulah dilematika serta polemik yang mengemuka, sehingga “keberatan” dalam artian sebuah “upaya hukum gugatan”, hanya tepat dalam konteks keberatan terhadap nilai nominal konsignyasi,
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk sebagai cerminan, tertuang lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa pengadaan tanah demi kepentingan umum register Nomor 2121 K/Pdt/2017 tanggal 16 Agustus 2017, perkara antara:
- BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAN BARANG MILIK DAERAH KABUPATEN MINAHASA UTARA (TIM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUAS JALAN SOEKARNO DARI TUGU SOEKARNO KE RINGROAD II), sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Termohon Keberatan II; melawan
- CIELTJE WATUNG, sebagai Termohon Kasasi dahulu Pemohon Keberatan; dan
1. KANTOR PERTANAHAN PROVINSI SULAWESI UTARA cq. KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN MINAHASA UTARA; 2. BUPATI MINAHASA UTARA CQ. DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN MINAHASA UTARA cq. BIRO HUKUM KABUPATEN MINAHASA UTARA, cq. CAMAT KALWAT KABUPATEN MINAHASA UTARA, cq. KEPALA DESA MAUMBI, selaku Para Turut Termohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan I, III.
Pemohon Keberatan memiliki sebidang tanah, yang saat ini sedang dan akan dijadikan sebagai lokasi pembangunan ruas jalan umum, yang hingga saat ini masih menolak untuk melepaskan atau menyerahkan hak atas tanahnya bagi program pemerintah pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan, oleh karena proses inventarisasi dan identifikasi terkait luas tanah yang dilakukan tidak sesuai dengan kaedah Pasal 35 Undang-Undang 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum juncto Pasal 67 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Adapun alasan mengapa masih ditolaknya untuk melepaskan atau menyerahkan hak penguasaan tanah, karena penetapan nilai ganti-rugi yang ditawarkan oleh pemerintah, dinilai tidak layak dan tidak adil, sementara bidang tanah Pemohon telah ditetapkan sebagai salah satu lokasi terkena proyek pembangunan ruas Jalan program dari Bupati Minahasa Utara (Termohon III).
Bupati Minahasa berdasarkan kewenangannya telah membentuk Tim Pengadaan Tanah, yang bertugas antara lain mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti-rugi.
Pada tanggal 22 Desember 2016 antara Pemohon dan Termohon II, diadakan musyawarah terkait nilai ganti-kerugian yang akan dibayarkan kepada Pemohon, namun dalam musyawarah tidak terjadi kesepakatan terkait nilai ganti-rugi.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, disyaratkan bagi pihak yang keberatan tentang penetapan nilai ganti-kerugian, dapat mengajukan keberatan paling lama 14 (empat belas) hari setelah hasil musyawarah penetapan ganti-kerugian, dan Pemohon dalam mengajukan permohonan ini belum melewati batas tenggang waktu tersebut.
Sementara berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) PERMA Nomor 3 Tahun 2016, ditentukan pula bahwa terkait pengajuan permohonan penitipan uang ganti kerugian (konsinyasi) oleh Termohon II, kepada Pengadilan Negeri Airmadidi, tidak dapat dilaksanakan jika ada pihak yang mengajukan permohonan keberatan ke Pengadilan.
Dalam realitanya, Tim Pengadaan Tanah (Termohon II) pada tahap kedua di tahun 2016, membayar tanah milik warga dengan harga yang berbeda-beda sehingga proses pembayaran, sehingga ganti rugi tersebut dinilai warga sangat tidak adil. Pemohon keberatan dengan proses penilaian dan pembayaran ganti-rugi pembebasan tanah dengan harga pembebasan tanah per meter persegi yang berbeda-beda, sehingga dinilai merugikan pihak Pemohon selaku pemilik salah satu bidang tanah.
Disamping itu, jika dihitung dari keseluruhan luas satu bidang tanah yang akan dilepas oleh Pemohon Keberatan berdasarkan inventarisasi dan identivikasi Tim Pengadaan Tanah (Termohon II), yaitu seluas 2.728 m², terdapat sisa tanah dari bidang tanah tersebut milik Pemohon yang tidak lagi dapat difungsikan dan/atau tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh Pemohon, yaitu seluas 98 m², yang seharusnya sisa tanah milik Pemohon tersebut harus turut dibebaskan, turut dinilai, dan turut dibayarkan ganti-rugi secara menyeluruh oleh Termohon II, sementara itu telah terdapat norma Pasal 67 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012, yang mengatur bahwa bagi pemilik tanah yang dimana sisa tanah yang tidak lagi dapat difungsikan / dimanfaatkan, dapat meminta penggantian secara utuh (satu kesatuan) atas bidang tanahnya.
Penetapan besaran nilai ganti-kerugian yang dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik sipil /swasta sebagai Penilai Independen, ternyata bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang 2 Tahun 2012 juncto Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012, yang secara tegas mengatur bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan pemberian ganti-kerugian yang layak dan adil, yang pada kenyataan dilakukan dengan cara yang tidak adil.
Sebelumnya, pada tahun 2013, Keluarga Ci Hong telah membeli sebidang tanah seluas 1 hektar lainnya milik Pemohon Keberatan, yang berlokasi di daerah yang sama, dengan harga Rp350.000/m². Lokasi tanah yang pernah dijual Pemohon tersebut kepada pihak ketiga, bersebelahan dengan lokasi tanah milik Pemohon yang saat kini dijadikan proyek pembangunan ruas Jalan.
Begitupula di dekat lokasi proyek pembangunan Jalan Soekarno dari Tugu Soekarno ke Ringroad II, di Desa Mamumbi, Kecamatan Kalawat, terdapat bangunan perumahan yang berjarak kurang lebih 300 meter dari lokasi tanah milik Pemohon, dimana nilai jual terhadap kelebihan tanah dalam hal pembelian perumahan yaitu senilai Rp500.000/m².
Adapun Kantor Jasa Penilai Publik yang disewa pemerintah, menetapkan nilai ganti-kerugian untuk satu bidang tanah seluas 2.728 m²  Pemohon, yakni hanya senilai Rp130.000/m², sedangkan satu bidang tanah seluas 1.815 m² milik Keluarga Awalui (tetangga), sebesar Rp265.000/m². Ketimpangan harga antara penetapan dan nilai harga wajar (harga pasar), terjadi kesenjangan yang demikian mencederai rasa keadilan masyarakat.
Bidang tanah milik Pemohon dan bidang tanah milik Keluarga Awalui berada dalam satu hamparan dan di lokasi yang sama serta berdekatan, yaitu di Desa Maumbi Kecamatan Kalawat Minahasa Utara, lokasi yang masuk dalam peta pembangunan ruas jalan program pemerintah daerah. Sehingga, seharusnya jasa penilai yaitu Kantor Jasa Penilai Publik yang disewa pemerintah dan Termohon II menetapkan nilai ganti-kerugian tanah yang sama atas tanah milik Penggugat dan tanah milik Keluarga Awalui, akan tetapi faktanya nilai tanah yang ditetapkan Kantor Jasa Penilai Publik dan Termohon II, saling beragam dan berbeda-beda—yang tentunya menjadi patut “dipertanyakan” keabsahannya.
Pada faktanya di tahun 2016, Tim Pengadaan Tanah (Termohon II) melakukan penilaian atas tanah dengan menggunakan jasa Penilai yaitu Kantor Jasa Penilai Publik (swasta) untuk melakukan penilaian terhadap bidang tanah milik Pemohon dan bidang tanah milik keluarga Awalui, dimana Kantor Jasa Penilai Publik tersebut ditunjuk secara sepihak oleh pihak pemerintah.
Dengan demikian, penetapan ganti kerugian tanah objek sengketa oleh Para Termohon adalah merupakan tindakan sepihak, dan sangat terang telah merugikan Pemohon selaku pemilik tanah yang terkena program pembebasan lahan, yaitu dengan rincian:
a. Tanah seluas 2.728 m² (tanah milik Pemohon yang terpakai untuk pembangunan jalan):
- Total nilai taksiran tim penilai independen luas tanah 2.728 m² X Rp130.000,00 / meter = total Rp354.640.000,00;
- Nilai Pasar Rp500.000 / meter;
- Nilai Pengganti Wajar Rp400.000 / meter;
Total Nilai Kerugian Rp400.000,00 / meter x 2.728 m² = Rp1.091.200.000.
b. Tanah seluas 98 m² (sisa tanah milik Pemohon yang tidak dapat dimanfaatkan lagi):
- Nilai Pasar Rp500.000,00 / meter;
- Nilai Pengganti Wajar Rp400.000,00 / meter;
Total Nilai Kerugian Rp400.000,00 / meter x 98 m² = Rp39.200.000,00.
Terhadap klaim keberatan sang warga, pihak pemerintah mendalilkan dengan pokok sanggahan bahwa berdasarkan Pasal 5 PERMA Nomor 3 Tahun 2016, telah diatur: “Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah hasil musyawarah penetapan ganti kerugian.”
Permohonan Keberatan diajukan oleh Pemohon pada tanggal 23 Desember 2016, sedangkan hasil musyawarah penetapan ganti-kerugian yang tertuang dalam bentuk berita acara dilaksanakan dan dibuat pada tanggal 17 Oktober tahun 2016, sehingga dari selisih waktu terhitung terdapat jeda waktu 67 hari dari hasil musyawarah penetapan ganti-rugi, baru kemudian Pemohon mengajukan permohonan keberatan ke pengadilan, dengan demikian permohonan keberatan (gugatan) Pemohon sudah daluwarsa (lampau waktu). Berkas penyampaian penitipan ganti kerugian tanah, dikirim ke Pengadilan Negeri Airmadidi pada tanggal 25 November 2016.
Terhadap Keberatan yang diajukan sang warga pemilik tanah, Pengadilan Negeri Airmadidi kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 204/Pdt.G/2016/PN.Arm. tanggal 23 Februari 2017, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Keberatan:
1. Mengabulkan keberatan Pemohon Keberatan;
2. Menetapkan harga bidang-bidang tanah / kebun milik dari Pemohon yang dijadikan proyek pembagunan ruas Jalan Ir. Soerkarno-Ring Road II sebesar Rp350.000,00 per meter persegi;
3. Menghukum Termohon I dan Termohon II Keberatan untuk melaksanakan pemberian ganti-kerugian kepada Pemohon sesuai dengan besarnya ganti-kerugian yang ditetapkan sebesar Rp350.000,00 per meter persegi;
4. Menyatakan sisa bidang tanah milik Pemohon yang tidak dapat dipergunakan lagi oleh karena pembangunan ruas Jalan Ir. Soerkarno-Ring Road II, tetap dilakukan pembayaran oleh Termohon I dan Termohon II.”
Pihak pemerintah mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Airmadidi Nomor 204/Pdt.G/2016/PN.Arm tanggal 23 Februari 2017 telah diberitahukan pada tanggal 23 Februari 2017 sedangkan permohonan kasasi diajukan pada tanggal 17 Maret 2017, oleh karena itu permohonan tersebut telah melewati tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, oleh karena itu berdasarkan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
M E N G A D I L I :
“Menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAN BARANG MILIK DAERAH KABUPATEN MINAHASA UTARA (TIM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUAS JALAN SOEKARNO DARI TUGU SOEKARNO KE RINGROAD II) tersebut, tidak dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.