Gugatan Sebagai Cara Jitu Membuka Aib Pribadi, Gugatan yang Menampar Wajah Sendiri

LEGAL OPINION
Question: Memang dari sejak awal terjadinya masalah hukum, pihak kami sudah memutuskan untuk menggugat. Jadi, kenapa juga kami musti cari dan bayar biaya untuk meminta opini dari konsultan hukum terlebih dahulu, ketimbang untuk langsung cari pengacara untuk menggugat? Maksudnya, apa untungnya meminta pendapat konsultan hukum, bila kami bisa langsung sewa pengacara untuk menggugat?
Brief Answer: Menggugat, tidak pernah dimaknai sebagai identik dengan keuntungan bagi pihak penggugat, tidak juga dapat dimaknai untuk memutar-balik keadaan, terlebih sebagai solusi untuk kuratif. Tanpa menyadari fungsi hukum sebagai langkah preventif (disamping mitigasi dan mediatif), pihak tersebut dapat jatuh dalam sengketa hukum. Adalah asumsi semu, menangnya gugatan sebagai akhir dari masalah—kendala dalam eksekusi putusan perdata merupakan momok yang justru lebih menakutkan (sebagian dari putusan pengadilan di Tanah Air, hanya bernasib menjadi “menang diatas kertas”. Praktis, hanya gugatan perceraian saja yang mudah eksekusinya.).
Ketika pihak tersebut merasa demikian berhak menggugat, diperkeruh oleh iming-iming kalangan pengacara, maka dirinya akan tercebur dan tenggelam dalam sengketa yang berlarut-larut. Gugatan yang irasional bermuara pada “ditolaknya gugatan”—kerugian dua kali akibat biaya jasa litigasi—disamping hanya membuka aib pribadi dirinya sendiri kepada publik—mengingat putusan pengadilan terbuka bagi umum, dan menjadi kerugian ketiga.
Kerugian keempat dapat terjadi akibat “termakan” oleh iming-iming maupun harapan semua bernama “gugatan”, ketika pihak tergugat justru mengajukan gugatan-balik (rekonpensi). Karena itulah, opini dan analisi hukum yang netral dan objektif, sebagai fungsi preventif dari hukum, sebagaimana layanan jasa profesi Konsultan Hukum, selalu jauh lebih ideal bagi masyarakat daripada jasa litigasi (pengacara).
Ketika suatu pihak diliputi oleh semangat “menggebu” untuk menggugat, daya pikir rasional menjadi cenderung menjadi irasional—berdasarkan pengalaman SHIETRA & PARTNERS ketika menangani para klien. Karena itulah, momen kritis demikian akan jauh lebih tepat meminta konseling pada jasa profesional Konsultan Hukum, karena Konsultan Hukum tidak memiliki conflict of interest terhadap sengketa di peradilan yang menjadi ranah usaha kalangan profesi Advokat.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi konkret yang dapat diangkat, untuk itu SHIETRA & PARTNERS menjadikan cerminan putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor 263 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 5 Juni 2014, perkara antara:
- S. DWI IRIANTO, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. INDONESIAN TOBACCO, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Bermula pada tanggal 19 April 2001 Penggugat bekerja pada Tergugat dengan menjabat sebagai manager administrasi dan keuangan, serta merangkap sebagai Kuasa Direktur. Namun per 24 Februari 2009, Penggugat menjabat sebagai Direktur para perusahaan Tergugat, berdasarkan Akta tertanggal 24 Februari 2009.
Tanggal 9 Maret 2012, Manager HRD menemui Penggugat atas instruksi dari Direktur Utama untuk menawarkan Pensiun Dini sebagai Direktur, dan Penggugat menerima tawaran tersebut. Adapun selama ini pembayaran upah yang diterima Penggugat yang sifatnya rutin dan tetap setiap bulan, yakni melalui dua rekening yang berbeda, yaitu rekening Bank Mandiri KCP Malang Suprapto atas nama S. Dwi Irianto, dan BCA KCU Borobudur atas nama S. Dwi Irianto.
Penggugat mendapatkan upah terakhir melalui payroll Bank Mandiri sebesar Rp6.550.000,00 dan payroll BCA sebesar Rp7.700.000,00. Tanggal 18 Mei 2012, Manager HRD, Manager Administrasi, dan Manager Keuangan Naldo melakukan proses perhitungan sebagian uang pensiun dari upah yang diterima setiap bulan melalui payroll bank Mandiri.
Tergugat lalu menanyakan bagaimana dengan penghitungan pesangon dari payroll BCA? Itulah yang kemudian menjadi awal mula sengketa, oleh sebba pihak Direktur Utama memberi jawaban agar Tergugat mau menerima uang perpisahan dari para pribadi pemegang saham perseroan, dan menjelaskan bahwa Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan hanya mengatur tatanan pesangon untuk pekerja dan karyawan biasa, tidak mengatur pesangon bagi organ perseroan seperti Direktur.
Yang menarik, tanggal 16 Juli 2012, Penggugat mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Malang, namun tidak ditanggapi. Tanggal 1 Agustus 2012, Penggugat mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan kembali kepada Disnaker Kota Malang dengan tembusan Bapak Walikota Malang dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang.
Tanggal 7 Agustus 2012, Penggugat baru menerima surat yang dikirim ke rumah Penggugat dari Disnaker yang menjelaskan bahwa permasalahan telah dianggap selesai dan tuntas oleh Mediator Disnaker. Tanggal 14 Juni 2012, Penggugat mendatangi kantor Disnaker Kota Malang, dimana pihak Disnaker menyampaikan bahwa “karena Bapak sudah terima sebagian pesangon dan sudah tanda tangan maka Disnaker menganggap permasalahan antara Penggugat dan Tergugat sudah selesai.” Saat itu Penggugat mendapatkan fotocopy penghitungan pesangon dan surat pernyataan pensiun dini.
Kuasa Hukum kemudian meminta dilakukan mediasi ulang terhadap permasalahan ini pada tanggal 21 Maret 2013, namun pihak Disnaker menjelaskan bahwa mediasi ulang tidak dapat dilakukan dan bersikukuh bahwa permasalahan ketenagakerjaan antara Penggugat dan Tergugat telah selesai dengan tuntas.
Singkatnya, Penggugat menuntut pesangon ketika jabatannya selaku direksi dicopot oleh perseroan, karena pihak pengacaranya tidak memberi opini hukum yang objektif bahwa organ perseroan bukanlah “Pekerja” dalam konteks hubungan industrial, dan bersikukuh bahwa direktur adalah “pekerja”. Sehingga, menjadi tidak mengherankan bila Penggugat mengajukan tuntutan berikut dalam surat gugatannya (petitum):
1. Menyatakan Penggugat adalah sah karyawan Tergugat;
2. Menyatakan payroll yang dibayarkan Tergugat secara rutin dengan nominal tetap setiap bulan kepada Penggugat melalui dua rekening yaitu Bank Mandiri dan BCA adalah upah yang sah sebagaimana dijelaskan dalam pasal 157 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
3. Menyatakan bahwa perbuatan Tergugat dengan membayar upah melalui dua rekening yang berbeda adalah perselisihan hak upah;
4. Bahwa perbuatan Tergugat tidak membayar pesangon secara penuh terhadap Penggugat adalah perselisihan hak upah;
5. Bahwa tindakan Tergugat dengan tidak membayarkan pesangon sebagaimana upah yang diterima dari rekening payroll BCA yang diterima secara rutin dan tetap adalah perselisihan hak upah pesangon dan melanggar undang-undang ketenagakerjaan;
6. Bahwa sistem penggajian / payroll dengan dua cara merupakan sistem pembukuan ganda adalah perselisihan hak upah pesangon;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar pesangon Penggugat sebesar dan segala penggantian hak sesuai ketentuan peraturan yang berlaku sebesar Rp322.001.319,00.
Dalam bantahannya, pihak perusahaan menyanggah bahwa Penggugat bukan lagi terdaftar sebagai pekerja di perusahaan Tergugat sejak tanggal 18 Mei 2012 (sejak diberikan olehnya surat pernyataan pensiun dini yang ditandatangani oleh Penggugat di atas materai), dibuktikan dengan adanya pembayaran hak-hak Penggugat oleh Tergugat dan diterima dan diuangkan dengan sadar oleh Penggugat pada tanggal 18 Mei 2012.
Terhadap gugatan sang mantan direktur, Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya kemudian menjatuhkan putusan Nomor 82/G/2013/PHI.Sby., tanggal 11 November 2013, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Sang mantan direktur melakukan kekeliruan ketiga, dengan bersikukuh untuk mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan secara tegas dan konsisten dengan corak perkara serupa, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 17 Desember 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tidak salah menerapkan hukum namun demikian dalam putusan Judex Facti perlu ada perbaikan amar putusan dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Dalam gugatan Penggugat pada butir 3, Penggugat mengaku sebagai Direktur yang diangkat berdasarkan Akta Notaris (RUPS), karenanya Penggugat bukanlah sebagai pekerja sebagaimana dimaksud ketentutan Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, sehingga bukan merupakan Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004. Dengan demikian sesuai ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 82/G/2013/PHI.Sby tanggal 16 November 2013 sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi S. DWI IRIANTO, tersebut;
“Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 82/G/2013/PHI.Sby tanggal 16 November 2013 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
- Menerima eksepsi Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA :
- Menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial, tidak berwenang memeriksa perkara ini.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Sengketa diatas sejatinya sangatlah sederhana untuk diurai dan diantisipasi sejak awal, sehingga tidak menjelma sengketa “benang kusut” yang berlarut-larut. Bila saja sejak semula pihak penggugat mencari jasa konsultasi hukum ketika hendak diangkat sebagai direktur, maka seorang konsultan hukum akan memberi rekomendasi agar dirinya terlebih dahulu memohon agar dinyatakan di-putus hubungan kerja dengan disertai pesangon, sebelum kemudian diangkat sebagai direksi, dalam satu-kesatuan paket keputusan Rapat Umum Pemegang Saham perseroan.
Bercermin dari contoh kasus diatas, diharapkan dapat membuka persepsi masyarakat agar lebih mampu memahami fungsi utama jasa profesi Konsultan Hukum. Kalangan profesi Konsultan Hukum memiliki etika profesi untuk memberi pandangan serta nasehat hukum secara netral dan objektif, tidak memiliki benturan kepentingan layaknya kalangan prefesi pengacara yang selalu akan mendorong agar sang klien mengajukan gugatan, terlepas apakah gugatan tersebut “layak” atau “tidak layak” untuk diajukan.
Menyesal, pepatah menyebutkan, selalu datang terlambat. Namun, sejarah tidak dapat diputar kembali. Sengketa berujung gugatan yang telah terjadi, menjadi cacatan buruk yang terekam oleh sejarah, tanpa dapat dihapus, sekalipun disesali oleh pihak penggugat itu sendiri dikemudian hari. Itulah sebabnya, mitra hukum terbaik masyarakat, ialah kalangan profesi Konsultan Hukum, bukan Pengacara.
Bila pengacara mencari nafkah dari mempersengketakan (dan jika perlu mendorong sengketa atau membuat lebih panas sengketa), maka profesi Konsultan Hukum memungut tarif layanan dari jasa menghindari klien dari potensi sengketa yang dapat timbul, serta menghindari upaya hukum yang tidak perlu.
Itulah sebabnya, antara profesi Konsultan Hukum dan Pengacara, bukanlah komplomenter, bukan juga bersifat substitutif, tapi hierarkhis, dimana bagi masyarakat yang lebih memahami kalkulasi “untung dan rugi” bersengketa di peradilan (yang kian hari kian merosot integritasnya), menyadari sepenuhnya peran utama fungsi konsultasi hukum pada profesi Konsultan Hukum yang menghindari pengguna jasa dari suatu aksi spekulatif di pengadilan.
Dalam contoh kasus diatas, Konsultan Shietra menyebutnya sebagai gugatan yang mematikan karir dan masa depan sang pihak Penggugat itu sendiri, mengingat bersengketa di pengadilan, dimaknai sebagai membuka aib ke hadapan publik, sekaligus mencoreng wajah diri pihak-pihak yang saling bersengketa itu sendiri. Lebih besar resiko ketimbang faedahnya. Bersikap rasional, hanya dapat ditawarkan dan diberikan oleh kalangan profesi Konsultan Hukum yang netral dan objektif—terutama yang tidak merangkap sebagai Advokat, namun murni sebagai Konsultan Hukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.