Bebas Sebebas-Bebasnya, Artinya Terpenjara Sekuat-Kuatnya

ARTIKEL HUKUM
Selama ini kita mendambakan kebebasan, mengagung-agungkan kebebasan, dan mendewakan kata “bebas”. Begitupula berbagai instrumen hukum bernama Hak Asasi Manusia lengkap dengan berbagai konvensi hukum internasional yang mengusung tema “kebebasan absolut”. Namun, yang menjadi masalah, apa yang menjadi definisi kita perihal “kebebasan” itu sendiri? Menyatukan persepsi adalah hal yang terpenting, agar “kebebasan” tidak menjelma “ketidak-mampuan untuk mengendalikan diri sendiri”, atau bahkan “kebebasan yang merenggut kebebasan individu pribadi lainnya”.
Antara bebas “sebebas-bebasnya”, dan terpenjara “seketat-ketatnya”, meski tampak berbeda dan saling bertolak-belakang, namun ternyata memiliki satu kesamaan, yakni sama-sama bersifat ekstrim pada masing-masing sudut kubunya sendiri. Pribadi yang mengagungkan kebebasan tanpa terkontrol, cenderung menjadi “budak” dari nafsu ego-nya sendiri, alias terpenjara oleh kebodohan batinnya sendiri. Seseorang yang hidup bebas, cenderung tidak disiplin, tidak terkontrol, tidak mengindahkan hukum, bahkan juga tidak perduli terhadap norma sosial—karena tidak lagi memiliki rasa takut maupun rasa malu untuk melanggar.
Kita bebas memilih, namun disaat bersamaan kita terjebak dan terpenjara oleh obsesi kita untuk bebas memilih. Mungkin itulah yang sering diistilahkan sebagai nilai “antinomi”—suatu wujud yang sejatinya berwajah ganda, bagaikan dua sisi yang saling bertolak-belakang pada satu koin logam yang sama.
Ilmu filsafat menyebutkan: Ada siang, maka ada malam. Ada yang ada, maka ada yang tiada. Maka, tiada yang istimewa dari suatu “eksistensi di dunia ini”, semata sebagai konsekuensi logis dari yang “tiada eksis di dunia ini”. Karena ada yang buruk, maka ada yang disebut sebagai cantik. Mereka yang cantik, harus berterimakasih dan berhutang budi pada mereka yang buruk rupa sehingga yang cantik dapat eksis.
Ilustrasi sederhana lewat pengungkapan kisah, tampaknya dapat memudahkan pemahaman kita, untuk itu penulis mengutip kisah dari seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, dengan kutipan inspiratifnya sebagai berikut:
DUA JENIS KEBEBASAN
“Ada dua jenis kebebasan yang dapat kita temukan di dalam dunia kita: kebebasan untuk berkeinginan (freedom of desires) dan kebebasan dari berkeinginan (freedom from desires).
“Kebudayaan modern Barat kita hanya mengenal jenis yang pertama saja, kebebasan untuk berkeinginan. Kita memujanya sebagai sebuah kebebasan dengan mengabadikannya di pembukaan undang-undang nasional dan piagam hak-hak asasi manusia.
“Dapat dikatakan bahwa paham yang mendasari kebanyakan sistem demokrasi Barat adalah untuk melindungi kebebasan rakyat untuk mewujudkan hasratnya, sejauh mungkin. Anehnya, di negeri-negeri seperti itu, orang-orangnya tidak merasa benar-benar bebas.
“Kebebasan jenis kedua, kebebasan dari berkeinginan, hanya dikenal dalam beberapa komunitas religius. Mereka menjunjung rasa keberkecukupan, kedamaian yang bebas dari berkeinginan. Anehnya, dalam komunitas yang penuh aturan disiplin seperti di Wihara saya, orang-orangnya justru merasa benar-benar bebas.
DUNIA BEBAS
“Selama beberapa minggu , seorang rekan biksu mengajar meditasi di sebuah penjara baru dengan tingkat pengamanan yang sangat ketat di dekat Perth. Sekelompok kecil narapidana telah mengenal baik dan menghormati sang biksu. Pada akhir sebuah sesi, mereka mulai bertanya mengenai rutinitas keseharian sang biksu di Wihara.
“’Kami harus bangun pada pukul 4 pagi setiap hari,’ katanya. ‘Kadang-kadang terasa sangat dingin karena kamar kami yang kecil tidak memiliki penghangat ruangan. Kami hanya makan sekali sehari, semuanya dicampur-aduk dalam satu mangkuk. Selewat tengah hari dan pada malam hari, kami tidak makan apa pun. Dan tentu saja, tidak boleh berhubungan seksuil atau minum minuman beralkohol. Kami tidak punya televisi, radio, ataupun alat musik. Kami tidak pernah nonton film, juga tidak berolahraga untuk kesenangan. Kami berbicara sedikit, bekerja keras, dan melewatkan waktu luang dengan duduk bersila mengamati napas. Kami tidur di atas lantai.’
“Para napi tertegun mengetahui minimnya kehidupan membiara kami. Kalau diperbandingkan, itu membuat penjara mereka seperti sebuah hotel bintang lima. Bahkan, seorang napi begitu tergerak simpatinya atas merananya si biksu sahabatnya ini, sampai dia lupa di mana dia berada dan berkata, ‘Ngeri amat tinggal di Wihara-mu. Kenapa kamu tidak pindah ke sini dan tinggal bersama kami saja?’
“Si biksu bercerita kepada saya, bahwa semua orang di ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Begitu pula saya ketika dia menceritakan kejadian itu. Lalu saya mulai merenunginya dengan mendalam.
“Memang benar Wihara saya jauh lebih sederhana daripada penjara terketat untuk para terpidana, namun banyak yang datang dengan kemauan sendiri, dan bahagia di sini. Sementara, begitu banyak orang yang mencoba kabur dari penjara yang lebih nyaman, dan tidak bahagia di sana. Mengapa?
Itu karena, di Wihara saya, penghuninya ingin berada di sana. Di penjara, penghuninya tidak ingin berada di sana, itulah bedanya.
Saat Anda tidak ingin berada di suatu tempat, di mana pun itu, senyaman apa pun, itu adalah sebuah penjara bagi Anda. Inilah arti sesungguhnya dari kata ‘penjara’—situasi apa pun di mana Anda tidak ingin berada. Jika Anda ada dalam pekerjaan yang tidak Anda inginkan, berarti Anda berada dalam penjara. Jika Anda ada dalam sebuah hubungan yang tidak Anda inginkan, Anda berada dalam penjara. Jika Anda sedang sakit dan terperangkap di dalam tubuh menyakitkan yang tidak Anda inginkan, itu pun penjara buat Anda. Penjara adalah situasi apa pun di mana Anda tidak ingin berada di dalamnya.
“Lantas, bagaimana caranya untuk dapat bebas dari berbagai penjara kehidupan? Gampang. Ubah saja persepsi Anda tentang situasi sekarang menjadi ‘ingin berada di sana’. Walaupun berada si San Quentin (Redaksi: nama penjara tempat hukuman mati di California), atau yang sedikit lebih lumayan—Wihara saya, kalau Anda ingin berada di sana, maka itu tidak lagi menjadi penjara bagi Anda. Dengan mengubah persepsi Anda terhadap pekerjaan, relasi, tubuh yang sakit, dan dengan menerima situasinya alih-alih menolaknya, maka itu tidak lagi terasa seperti sebuah penjara. Saat Anda menerima untuk berada di sana, Anda telah bebas.
Kebebasan adalah merasa puas di mana pun Anda berada. Penjara berarti menginginkan berada di tempat lain. Dunia bebas adalah dunia yang dialami orang seseorang yang puas. Kebebasan sejati adalah kebebasan dari berkeinginan, bukannya kebebasan untuk berkeinginan.
MAKAN MALAM BERSAMA AMNESTY INTERNATIONAL
“Mempertimbangkan kondisi kehidupan yang keras di Wihara saya, saya sangat menjaga hubungan baik dengan perwakilan Amnesty Internasional di Perth. Jadi ketika saya menerima undangan makan malam yang diselenggarakan oleh Amnesty Internasional, untuk memperingati 50 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, saya mengirim balasan kepada mereka sebagai berikut:
Yth. Julia, Bagian Humas,
Terima kasih banyak atas surat undangan Anda yang baru-baru ini saya terima mengenai peringatan 50 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada hari Sabtu, 30 Mei. Saya merasa sangat tersanjung menerima undangan untuk menghadiri acara tersebut.
Akan tetapi, saya adalah seorang biarawan Buddhist dari tradisi Theravada, yang mana tradisi ini sangat menjaga aturan yang ketat. Sayangnya, aturan tersebut melarang saya makan mulai dari tengah hari sampai pagi hari berikutnya, dan dengan demikian, aduh, itu berarti tidak boleh makan malam! Alkohol pun tidak boleh, termasuk juga anggur.
Seandainya saya memenuhi undangan Anda, maka, saya terpaksa duduk dengan piring kosong di samping gelas kosong, sepanjang waktu menonton orang-orang di sekitar saya yang dengan nikmat menyantap jamuan makan yang mewah. Hal ini akan menjadi sebuah siksaan bagi saya, yang mana, sebagai Amnesty International, pasti tak akan pernah Anda cuekkan!
Lebih lanjut, sebagai seorang biksu dalam tradisi ini, saya tidak boleh menerima dan memiliki uang. Sejauh ini saya tetap bahagia berada di bawah garis kemiskinan yang mengacaukan statistik pemerintah! Jadi, saya tidak punya cara untuk membayar makan malam itu, yang toh tidak bisa saya santap juga.
Saya ingin terus bercerita tentang masalah-masalah seorang biksu, seperti hambatan aturan berbusana untuk acara semacam ini, tetapi saya rasa sudah cukup banyak yang saya katakan. Dengan ini saya mohon maaf karena tidak mampu menghadiri acara makan malam tersebut.
Yang bahagia dalam kemelaratan,
Brahm.”
Tersandera oleh keinginan, terpenjara oleh ketidak-puasan, tersiksa oleh obsesi yang tiada habisnya, terbudaki oleh ambisi yang egoistik, semua itu merupakan manifes dari impian untuk hidup bebas tanpa kendali diri. Kebebasan bukan selalu bermakna tidak mencengkeram atau tiada menggenggam sesuatu, namun bisa jadi kebebasan dalam wujud konkretnya dijewantahkan lewat suatu sikap yang mencengkeram erat suatu hasrat yang tidak terbendung bahkan oleh dirinya sendiri. Ironisnya, tersandera atau tidak bebas, juga memiliki makna yang sama persis dengan makna kebebasan—itulah polemik ambigunya.
Ketika kita mendapati seseorang menyerukan slogan perihal “kebebasan”, maka perlu kita klarifikasi terlebih dahulu kepada yang bersangkutan, bahwa kebebasan yang dikehendakinya ialah “bebas dari apakah”? Sudah saatnya kita memaknai frasa “bebas” sebagai “kesediaan untuk menerima kondisi secara apa adanya”.
Menyemai kata “bebas”, sama artinya kita harus mau terikat oleh sebentuk komitmen dan tanggung jawab, tidak bisa tidak. Untuk bisa terbebas, kita harus mau terikat oleh berbagai disiplin diri. Hidup bebas tanpa diimbangi sebentuk pola hidup bertanggung jawab, sejatinya tengah melemahkan kebebasan hidup dirinya sendiri. kita bebas untuk menggenggam objek yang kita pilih, namun kita tetap hanya sebatas memiliki dua tangan untuk memegang benda di waktu yang bersamaan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.