Antara Sita & Blokir Tanah, BPN Mencampur-Adukkan Istilah Catatan, Blokir, dan Sita Pengadilan

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya antara blokir tanah dan sita tanah, itu sama maknanya atau saling berbeda? Kenapa juga bisa sampai terjadi, ada orang bisa seenaknya blokir tanah milik orang lain, padahal tidak pernah ada penetapan sita apapun dari pengadilan?
Brief Answer: Yang disebut dengan blokir terhadap hak atas tanah (terdiri dari Buku Tanah dan Sertifikat hak atas tanah), dapat terjadi atas dua kondisi: terdapatnya sita jaminan perdata ataupun penetapan sita dalam rangka penyidikan dan/atau penuntutan perkara pidana.
Diluar konteks sita pengadilan, Kantor Pertanahan tidak berhak mem-blokir suatu hak atas tanah, oleh sebab Kantor Pertanahan bukanlah lembaga Ajudikasi / Yudikatif yang berhak untuk membuat putusan constitutief—suatu jenis amar putusan yang semata-mata menjadi domain peradilan. Paling jauh, kewenangan Kantor Pertanahan ialah hanya sejauh “pencatatan” status quo paling lama selama 30 hari tanpa adanya suatu penetapan sita dari pengadilan.
Baik Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah maupun Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Inodnesia No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, tidak mengenal istilah “BLOKIR”, namun hanya mengenal terminologi “CATATAN” adanya sengketa kepemilikan tanah.
Namun, dalam praktik, Kantor Pertanahan maupun BPN (Badan Pertanahan Nasional) secara salah-kaprah menyama-ratakan antara “catatan” dan “blokir”, dimana sikap campur-aduk demikian sejatinya melangkahi kewenangan peradilan dalam domain “sita-menyita”.
Dengan kata lain, ketika tiada satupun penetapan sita dari pengadilan, baik dalam perkara pidana (sita pidana) maupun perdata (sita jaminan), maka status hak atas tanah tidak dapat dicatat sebagai “BLOKIR” oleh Kantor Pertanahan, karena antara “BLOKIR” dan “CATATAN” saling berbeda.
Bila “catatan” akan kadaluarsa dalam tempo waktu 30 hari, sementara “blokir” berlaku permanen sampai sita tersebut dicabut lewat sebentuk penetapan pencabutan sita oleh pengadilan negeri setempat. Bahkan, lebih jauh lagi, Mahkamah Agung RI ternyata membedakan antara “catatan”, “blokir”, dan “sita”.
Bila PP No. 24 Tahun 1997 dan Mahkamah Agung RI hanya mengenal istilah “catatan” dan “sita”, berarti hanya BPN dan Kantor Pertanahan itu sendiri yang secara sepihak membuat terminologi “blokir” yang tidak diakui oleh PP Nomor 24 Tahun 1997, dan juga tidak diakui oleh Mahkamah Agung. BPN telah secara melampaui kewenangannya, dengan menyama-ratakan dan “memukul rata” antara “catatan” dan “sita” sebagai “BLOKIR”.
PEMBAHASAN:
Kantor Pertanahan, selaku lembaga penerbit sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti kepemilikan yang otentik terbitan negara, begitu mudahnya “mem-blokir” suatu hak atas tanah yang telah bersertifikat atas permohonan pihak ketiga dengan dasar klaim yang sumir—bahkan sekalipun pengadilan menolak permohonan sita jaminan. Bandingkan dengan sikap kehati-hatian lembaga peradilan dalam meletakkan “sita jaminan” atas sebidang tanah, sebagai berikut:
SURAT EDARAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK Indonesia
NOMOR 05 TAHUN 1975
TENTANG SITA JAMINAN
Walaupun telah dua kali dikeluarkan petunjuk oleh Mahkamah Agung perihal sita jaminan (conservatoir beslag) yaitu tanggal 7 November 1954 dan tanggal 21 November 1985, namun dalam praktek masih terdapat kesalahan-kesalahan mengenai penerapan lembaga sita jaminan, baik yang berhubungan dengan syarat-syarat yang diberikan oleh undang-undang maupun dalam cara pelaksanaannya.
Oleh sebab itu Mahkamah Agung masih merasa perlu untuk mengeluarkan surat edaran lembaga sita jaminan ini untuk dilaksanakan:
1. a. agar para hakim berhati-hati sekali dalam menerapkan atau menggunakan lemabga sita jaminan (conservatoir beslag) dan jangan sekali-kali mengabaikan syarat-syarat yang diberikan oleh Undang-Undang (Pasal 227 H.I.R / 261 R.Bg.);
b. agar diingat adanya perbedaan syarat dan sifat antara conservatoir beslag dan revindicatoir beslag seperti ditentukan dalam peraturan-peraturan yang bersangkutan;
c. agar dalam surat permohonan conservatoir beslag serta surat ketetapan yang mengabulkannya disebut alasan-alasan apa yang menyebabkan conservatoir beslag yang dimohon dan dikabulkan itu, yang berarti bahwa sebelum dikeluarkan surat ketetapan yang mengabulkan permohonan conservatoir beslag diadakan penelitian lebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang dikemukakan oleh pemohon;
d. agar benda-benda yang disita nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi ssengketa), jadi seimbang dengan yang digugat;
e. agar lebih dulu dilakukan penyitaan atas benda-benda bergerak dan baru diteruskan ke benda-benda tetap jika menurut perkiraan nilai benda-benda bergerak itu tidak akan mencukupi;
f. agar selalu diingat pula agar ketentuan dalam Pasal 198 H.I.R./213 R.Bg. dan Pasal 199 H.I.R./214 R.Bg. mengenai benda-benda tetap yang harus dicatat dalam register yang telah disediakan untuk itu di Pengadilan Negeri dan bahwa tembusan berita acara harus disampaikan kepada Kantor Pendaftaran Tanah (Agraria) atau Pejabat yag bertugas membuat akte jual-beli tanah sehingga tidak akan terjadi pemindah-tanganan benda-benda yang ada dibawah penyitaan itu;
g. agar benda-benda yang disita tidak diserahkan kepada pihak pemohon, karena hal itu menimbulkan kesan seolah-olah sudah pasti perkara akan dimenangkan oleh pemohon dan seolah-olah putusannya nanti akan uitvoerbaar bij voorraad;
2. Diharapkan bahwa dikemudian hari dengan adanya surat edaran ini tidak akan terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan dan disamping surat edaran ini hal-hal itu oleh Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negari ditekankan kepada para hakim dan para jurusita baik dalam pertemuan biasa maupun dalam rapat-rapat kerja.
PEMBERITAHUAN-PEMBERITAHUAN
KETUA MAHKAMAH AGUNG
PERADILAN PERDATA
Pensitaan pendahuluan (conservatoir beslag) menurut undang-undang hanya dapat diperintahkan, apabila betul-betul ada kekhawatiran, bahwa barang-barang milik tergugat akan dihamburkan, jadi: a. harus ada kekhawatiran itu, b. barang yang disita itu harus milik tergugat. Hal b. harus sementara dibuktikan, oleh karena kalau tidak seorang pemilik sejati (orang ketiga) akan sangat merugikan.
Pernah di Palembang terjadi seorang A menggugat B untuk membagi barang-barang warisan, antara lain tanah seluas 10 km2, dan dimohon beslag pendahuluan. Beslag dilakukan dan kemudian ternyata tanah seluas itu dipegang oleh sejumlah ratusan orang yang semua merasa berhak atas tanah itu.
Pada sidang pertama A dan B menghadap, lantas mengadakan perdamaian (minnelijke schikking) dimana B akan memberi 1/5 dari hasil penjualan secara eksekusi, dari putusan. Tentunya ratusan orang yang tersebut di atas bergerak tetapi oleh karena keterlanjuran ada beslag mereka harus verzet terhadap beslag.
Suasana menjadi hangat, sampai Gubernur Kepala Propinsi Sumatera Aelatan dan walikota Palembang mengeluh kepada saya. Kebetulan saya sebagai Ketua Mahkamah Agung dapat campur tangan.
Setelah berkas perkara saya periksa ternyata dalam putusan yang memerintahkan supaya A dan B memenuhi akte perdamaian itu, beslag tidak disahkan (van waarde verklaard), maka saya beritahukan kepada Gubernur, Walikota dan ratusan orang itu bahwa beslag dengan sendirinya sudah tidak ada lagi.
Peristiwa ini supaya menjadi peringatan bagi para Hakim Pengadilan Negeri kalau menghadapi permohonan coservatoir beslag.
Jakarta, 7 Nopember 1954
Ketua Mahkamah Agung,
ttd.
(Mr. WIRJONO PRODJODIKORO)
Dengan demikian, permohonan “blokir” cenderung disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang sejatinya sama sekali tidak berhak. Ketentuan diatas juga semestinya diterapkan untuk “sita pidana”, bukan hanya dalam konteks “sita perdata”. Praktis, diluar sita jaminan maupun sita pidana, tiada hal yang patut untuk disebut sebagai “blokir”.
“Blokir” merupakan penyebutan bahasa slank informal internal pegawai BPN itu sendiri, sehingga tidak semestinya dijadikan suatu kebijakan secara eksternal instansi Kantor Pertanahan terhadap warga pemilik sertifikat hak atas tanah. Kebiasaan buruk dari BPN dan berbagai Kantor Pertanahan di Tanah Air ialah, terlampau mudahnya Kantor Pertanahan menyama-ratakan antara “catatan”, “blokir”, dan “sita”—bahkan ketika “blokir” diajukan oleh pihak-pihak yang sama sekali tidak memiliki alas hak.
Untuk itu tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS mencerminkan lewat representatif putusan Mahkamah Agung RI sengketa uji materiil (judicial review) register Nomor 37 P/HUM/2018 tanggal 31 Juli 2018, perkara antara:
- FAKHRUR RAZIE BIN ANSHARI, sebagai Pemohon; melawan
- MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, selaku Termohon.
Yang menjadi objek gugatan uji materiil ini, ialah Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional R.I. Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Bahwa dalam permohonannya, Pemohon adalah Warga Negara Indonesia, yang telah menjadi Terpidana perkara korupsi yang telah di eksekusi pada bulan April 2017 di Lapas Palangkaraya berdasarkan Putusan Nomor 1113 K/Pid.Sus/2016 tanggal 20 Desember 2016 dengan pidana 4 tahun penjara, denda Rp200.000.000,00 dan membayar uang pengganti sebesar Rp1.108.370.947,00;
“Bahwa dalam proses penyidikan oleh Kejaksaan Negeri Murung Raya (Mura), Kalimantan Tengah, seluruh Sertipikat Hak Milik (SHM) Pemohon HUM telah di-blokir oleh Penyidik sampai dengan adanya Putusan Kasasi, belum dicabut blokirnya oleh Penyidik;
“Bahwa terhadap 2 Sertipikat Hak Milik (SHM) Pemohon yang diblokir juga telah di-sita sebagai barang bukti, dan berdasarkan putusan Kasasi kedua Sertipikat Hak Milik (SHM) tersebut harus dikembalikan kepada Pemohon permohonan hak uji materiil (HUM);
“Bahwa Pemohon permohonan hak uji materiil telah berkali-kali meminta kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Murung Raya supaya membuka blokir Sertipikat Hak Milik-nya dan telah bersurat kepada Penyidik Kejaksaan MURA, namun sampai saat diajukan permohonan hak uji materiil (HUM) belum dibuka (hapus) blokir. Pemohon HUM juga telah mengajukan permohonan kepada Kejari MURA untuk mengganti Sertipikat Hak Milik (SHM) yang diblokir dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama istri Pemohon yang telah dihitung oleh appraisal independen senilai lebih dari jumlah uang pengganti;
“Bahwa objek permohonan hak uji materiil mengatur tata cara blokir dan sita yang dilakukan oleh penegak hukum, dan merupakan peraturan yang digunakan untuk memblokir Sertipikat Hak Milik atas nama Pemohon, maka berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pemohon merupakan subjek hukum yang dirugikan haknya akibat berlakunya objek hak uji materiil. Dengan demikian Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil a quo sebagaimana dimaksud Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011;
“Bahwa selanjutnya Mahkamah Agung akan mempertimbangkan pokok permohonan, yaitu apakah ketentuan yang dimohonkan uji materiil a quo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tidak;
“Pokok Permohonan Bahwa pokok permohonan keberatan hak uji materiil adalah pengujian Pasal 7 ayat (2), Pasal 14 Ayat (1), Pasal 16 Ayat (1) huruf (b), dan Pasal 41 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita;
Pendapat Mahkamah Agung
“Bahwa dari alasan keberatan Pemohon, dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Pemohon dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa bunyi norma yang diajukan permohonan hak uji materiil a quo adalah:
Pasal 7 ayat (3) dan (4):
(3) Penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dapat mengajukan pencatatan blokir untuk penyidikan dan penuntutan kasus pidana;
(4) Persyaratan pengajuan blokir oleh penegak hukum, meliputi:
a. formulir permohonan;
b. Surat Perintah Penyidikan;
c. Surat Permintaan Pemblokiran dari instansi penegak hukum disertai alasan diajukannya pemblokiran dengan memuat keterangan yang jelas mengenai:
1) nama pemegang hak;
2) jenis dan nomor hak; dan
3) luas dan letak tanah; atau
d. syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Pasal 14:
1) Catatan blokir oleh penegak hukum berlaku sampai dengan dihentikannya kasus pidana yang sedang dalam penyidikan dan penuntutan, atau sampai dengan dihapusnya pemblokiran oleh penyidik yang bersangkutan;
2) Kepala Kantor Pertanahan dapat meminta keterangan kepada penyidik terkait kasus atas tanah yang dicatat blokir;
Pasal 16:
1) Catatan blokir oleh penegak hukum, hapus apabila:
a. kasus pidana yang sedang dalam penyidikan dan penuntutan telah dihentikan; atau
b. penyidik mengajukan penghapusan catatan blokir;
2) Permohonan penghapusan catatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan;
Pasal 41:
1) Catatan sita hapus apabila jangka waktu berlakunya sita berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
2) Pihak yang berkepentingan, penyidik atau juru sita pajak mengajukan permohonan penghapusan catatan blokir dengan melampirkan persyaratan:
a. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Perkara;
b. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Pidana; atau
c. surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang, putusan pengadilan atau putusan badan penyelesaian sengketa pajak atau surat lainnya yang diterbitkan oleh menteri yang berwenang atau kepala daerah, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Berdasarkan Surat Paksa;
3) Permohonan penghapusan catatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan;
- Bahwa Pasal 7 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 hanya mengakomodir persyaratan lampiran dokumentasi pengajuan blokir dalam konteks penyidikan. Tetapi dalam konteks penuntutan Pasal 7 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tidak mengakomodir persyaratan pengajuan blokirnya. Padahal apabila mengacu pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 yang pada intinya menjelaskan penegak hukum dapat mengajukan pencatatan blokir untuk penyidikan dan penuntutan kasus pidana;
- Bahwa rumusan norma Pasal 7 ayat (2) harusnya secara komprehensif mengatur juga persyaratan pengajuan blokir dalam proses penuntutan, karena terdapat perbedaan kewenangan dari lembaga penyidikan dan penuntutan, dimana dalam perspektif KUHAP penyidikan dan penuntutan merupakan 2 (dua) tindakan dalam perkara pidana yang jauh berbeda, baik dari aspek pengertian antara penyidikan dan penuntutan itu sendiri, aspek subyek hukum atas institusi penegak hukum yang berbeda (dalam praktek tindak pidana umum: penyidikan dilakukan oleh kepolisian, dan penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan), maupun dalam hal pelaksanaan tindakan perkara pidana tersebut (yakni dilakukan terlebih dahulu penyidikan, baru apabila proses penyidikan dianggap cukup, penyidik segera melimpahkan penyidikannya kepada kejaksanaan guna dilakukan penuntutan di muka persidangan);
- Dengan demikian Pasal 7 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 harus dibatalkan karena telah bertentangan dengan Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus menganut azaz kejelasan rumusan, karena mencampuradukan antar kewenangan penyidikan dengan penuntutan;
- Bahwa selanjutnya terhadap Pasal 14 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 terdapat frasa norma yang mengatur ‘sampai dengan dihapusnya pemblokiran oleh penyidik yang bersangkutan’ dan Pasal 16 ayat (1) huruf (b) ‘penyidik mengajukan penghapusan catatan blokir’, pada kedua pasal tersebut tidak jelas kapan penyidik yang mengajukan catatan blokir harus mencabut catatan blokir kepada Kepala Kantor Pertanahan dimana blokir dicatat;
- Bahwa pada saat perkara pidananya telah dihentikan penyidikannya atau penuntutan maka pada saat terbit surat perintah penyidikan (SP3)-nya maka cabut blokir berlaku, sementara untuk perkara yang dilanjutkan ke Pengadilan, status blokir yang diminta penyidik masih melekat pada catatan Kantor Pertanahan;
- Bahwa terdapat 4 (empat) pihak Subyek Hukum yang dikategorikan mempunyai kepentingan terhadap pemblokiran berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 yakni:
a. Perorangan;
b. Badan Usaha;
c. Penegak Hukum; dan
d. Menteri Agraria Tata Ruang / Kepala Kantor Wilayah BPN / Kepala Kantor Pertanahan;
- Bahwa hapus blokir yang diajukan oleh perorangan dan badan usaha telah jelas yaitu berlaku jangka waktu 30 hari kalender sejak tanggal pencatatan blokir oleh Kepala Kantor Pertanahan, dan dapat diperpanjang atas perintah Pengadilan;
- Bahwa norma Pasal 14 dan Pasal 16 objek permohonan hak uji materiil (HUM), tidak memberikan batasan objektif secara hukum maupun tenggang waktu yang jelas, sehingga ketidakjelasan rumusan dapat menimbulkan pelanggaran berupa penyalahgunaan kewenangan penyidik dalam proses hapusnya blokir, dan secara kewenangan ketika penyidikan telah dilimpahkan ke tahap penuntutan (P-21) dan/atau sudah ada putusan Pengadilan, maka tidak ada lagi kewenangan penyidik terhadap perkara yang dahulunya diajukan blokir;
- Bahwa seharusnya oleh pembuat peraturan, secara hukum diatur secara tegas persyaratan batasan objektif hapusnya blokir sebagaimana hapusnya sita pidana yang diatur dalam pasal-pasal pada Bab IV tentang SITA Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 objek hak uji materiil a quo;
- Bahwa Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf b objek permohonan hak uji materiil a quo telah bertentangan dengan Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yaitu tidak terdapat kejelasan rumusan karena tidak menjamin kepastian hukum dan dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang;
ƒ{ Bahwa pada Pasal 41 ayat (2) berbunyi: ‘Pihak yang berkepentingan, penyidik atau juru sita pajak mengajukan permohonan penghapusan catatan blokir dengan melampirkan persyaratan: ...’ dan pada Pasal 41 ayat (3) berbunyi: ‘Permohonan penghapusan catatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan.’;
- Bahwa terhadap Pasal 41 ayat (2) dan (3) objek permohonan hak uji materiil a quo telah terdapat kesalahan penulisan yaitu seharusnya mengatur soal SITA namun tertulis BLOKIR, karena mulai pada Bab IV SITA, maka mulai Pasal 25 sampai Pasal 43 haruslah mengatur SITA, sehingga telah terjadi kesalahan ketik / penulisan norma, oleh karena menimbulkan kekeliruan dalam memahami dan melaksanakan norma Pasal 41 objek hak uji materiil secara utuh;
- Bahwa terhadap substansi norma yang dimaksud Pasal 41 tentang hapusnya catatan sita tidak terdapat permasalahan substansi isi norma, namun kesalahan ketik / penulisan SITA menjadi BLOKIR telah menimbulkan kesalahan perumusan normanya itu sendiri, sehingga bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut diatas maka Pasal 7 ayat (2), Pasal 14 Ayat (1), Pasal 16 Ayat (1) huruf (b), dan Pasal 41 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita haruslah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 5, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga harus dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon harus dikabulkan dan peraturan yang menjadi objek dalam perkara uji materiil a quo harus dibatalkan, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk umum;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: FAKHRUR RAZIE BIN ANSHARI tersebut;
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2), Pasal 14 Ayat (1), Pasal 16 Ayat (1) huruf (b), dan Pasal 41 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum;
3. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.