Antara Menggugat Prosedur dan Menggugat Kepemilikan Tanah dan Sertifikat Tanah

LEGAL OPINION
Question: Bagaimana mungkin bisa terjadi, tanah yang sudah dibangun rumah selama ini ditempati keluarga kami, tapi secara tiba-tiba ada terbit sertifikat tanah diatas tanah yang kami tempati itu, tapi atas nama orang lain. Kalau sampai terjadi tumpang-tindih sertifikat tanah semacam itu, gugatnya kemana, ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) atau ke Pengadilan Negeri?
Brief Answer: Sesuatu yang disebut sebagai prosedur, sebenarnya ditetapkan oleh regulator dengan maksud untuk memberi petunjuk bagi Kantor Pertanahan untuk menarik kesimpulan, apakah benar warga pemohon pendaftaran hak atas tanah adalah betul sebagai pemilik sah atau bukan. Dengan kata lain, antara menggugat prosedural dan menggugat hak kepemilikan, tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Namun untuk memudahkan, secara pragmatis, untuk menggugat ke hadapan PTUN, yang menjadi objek gugatan ialah cacat atau tidak sahnya prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah (masalah aspek prosedural yang digugat). Sementara yang menjadi objek gugatan domain Pengadilan Negeri, ialah perihal sengketa kepemilikan hak atas tanah. Sekalipun telah dipilah secara terkesan “dipaksakan” demikian, tidak dapat kita pungkiri bahwa antara sengketa prosedural dan sengketa kepemilikan, adalah dua sisi dalam satu keping koin yang sama tanpa dapat dipisahkan.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi konkret yang dapat menjadi rujukan SHIETRA & PARTNERS, ialah sebagaimana dicerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 267 K/TUN/2012tanggal 6 Agustus 2012, perkara antara:
- 15 orang anak dan ahli wais dari almarhumah DAISAH binti H. BALOK, sebagai Para Pemohon Kasasi,semula selaku Para Penggugat; melawan
- KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR, sebagai Termohon Kasasi I dahulu Tergugat; dan
- 6 orang warga, selaku Termohon Kasasi II dahulu Tergugat II Intervensi.
Yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini ialah Sertifikat Hak Milik (SHM) No.5113/Lubang Buaya, yang diterbitkan tertanggal 26 Desember 2000, seluas 3.104 m2, atas nama Dongmainta Purba. Sementara yang menjadi Tergugat ialah Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Timur yang telah menerbitkan SHM dimaksud terhadap bidang tanah yang ternyata merupakan bidang tanah warisan Para Penggugat sebagaimana ternyata dalam Girik Daftar C No. 552 atas nama Balok bin Jirun, tanpa sepengetahuan Para Penggugat, yang oleh karena itu jelas merugikan Para Penggugat karena akan kehilangan hak atas tanah yang merupakan hak mewarisnya.
Para Penggugat merupakan anak dan cucu (ahli waris) dari almarhum H. Balok bin Jirun yang telah meninggal dunia pada tahun 1975, dan oleh karena itu Para Penggugat dalam perkara ini bertindak selaku ahli waris Balok bin Jirun. Pada mulanya Para Penggugat mewarisi sebidang tanah dari almarhum H. Balok bin Jirun sebagaimana tercatat dalam Girik C Nomor 552 atas nama H. Balok bin Jirun.
Lalu suami-istri Dja Sarlim Sinaga dan Ny.Dong Mainta Sinaga-Purba, mengaku telah membeli tanah dari H.Balok bin Jirun dalam 2 akte Jual-Beli masing-masing seluas 3.000 m2 dan 3.450 m2, yang telah dibantah oleh H.Balok bin Jirun semasa hidupnya. Dengan adanya permasalahan tersebut, atas prakarsa dari Kelurahan yang membantu melakukan mediasi untuk merundingkan, dimana kedua belah pihak yaitu Para Penggugat sebagai ahli waris dari H.Balok bin Jirun dengan suami-istri Dja Sarlim Sinaga dan Ny.Dong Mainta Sinaga-Purba, telah “Sepakat” menyelesaikan permasalah dan menentukan batas pemilikan antara kedua belah pihak, tertanggal 11 Oktober 1993.
Sejak saat itulah, sesudah adanya persetujuan demikian, maka Para Tergugat menguasai dan memiliki tanah tersebut diatas tanpa ada gangguan dari siapapun termasuk dari Dja Sarlim Sinaga ataupun dari Ny.Dong Mainta Sinaga-Purba, termasuk dari yang bernama Dongmainta Purba.
Berlanjut hingga pada bulan Agustus 2010, Para Penggugat dipanggil oleh pihak Kelurahan untuk hadir dalam pertemuan di Kantor Kelurahan sehubungan adanya permintaan dari orang yang mengaku Ahli Waris almarhumah Ny. Dongmainta Sinaga-Purba untuk dipertemukan dengan ahli waris dari H. Balok bin Jirun.
Pertemuan kemudian diadakan pada tanggal 3 Agustus 2010 di Kantor Kelurahan Lubang Buaya, dimana para ahli waris dari Ny. Dongmainta Sinaga-Purba menyampaikan agar Ahli Waris H. Balok bin Jirun menyerahkan bidang tanah, karena sudah memiliki Sertifikat Hak Milik No. 5113 atas nama Ny. Dongmainta Purba, atas lokasi tanah milik Para Penggugat.
Pihak yang mengaku sebagai ahli waris dari Ny.Dongmainta Sinaga-Purba, menunjukkan fotocopy SHM No.5113 atas nama Ny. Dongmainta Purba untuk menguatkan pengakuannya, meski tidak memperlihatkan aslinya. Para Penggugat selaku ahli waris dari H. Balok bin Jirun, menolak klaim demikian, juga menolak keberadaan dan keabsahan dari SHM dimaksud, karena Para Penggugat tidak pernah mengetahui adanya penerbitan SHM atas nama Ny. Dongmainta Purba diatas tanah yang merupakan harta warisan Para Penggugat, oleh karena itu sertifikat invalid demikian harus dibatalkan atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dengan kata lain, tanpa sepengetahuan Para Penggugat, diatas tanah hak milik Para Penggugat, Tergugat telah menerbitkan SHM atas nama Dongmainta Purba, yang jelas mengakibatkan kerugian bagi kepentingan Para Penggugat yang akan kehilangan haknya atas tanah warisan dari almarhum H. Balok bin Jirun.
Juga ternyata Tergugat menerbitkan sertifikat dimaksud dengan menyatakan bahwa asal hak adalah “Pengakuan / Penegasan Hak” dengan penunjuk “Bekas Tanah Milik Adat : G.552 ps. 23b s.III”, dimana persil seperti itu tidak terdapat didalam Girik 552 atas nama Balok bin Jirun.
Panitia Ajudikasi dari pihak Kantor Pertanahan telah diberi tahu adanya keberatan dari pihak Penggugat selaku ahli waris yang sah dari pemilik tanah, namun justru tidak menghiraukan keganjilan permohonan pendaftaran dalam rangka penerbitan sertifikat oleh pihak lain yang ilegal demikian, sehingga menimbulkan kesan bahwa sertifikat diterbitkan secara diam-diam.
Tergugat dalam menerbitkan keputusannya dinilai melanggar norma Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dikarenakan secara de facto (secara senyatanya) Para Penggugat adalah satu-satunya pihak yang menempati, mengolah, dan menguasai objek bidang tanah, dan Tergugat tidak pernah melibatkan Para Penggugat dalam proses penerbitan sertifikat dimulai dari prosedur pengecekan fisik, pengukuran, pemetaan, penunjukan lokasi, persetujuan tetangga yang saling berbatasan, dan persetujuan lain-lain, sehingga tindakan Tergugat bertentangan dengan berbagai kaedah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.
Tergugat juga tidak menginadhkan prinsip kehati-hatian dalam menerbitkan sertifikat, dengan tidak memeriksa akta peralihan hak dengan seksama, baik mengenai lokasi, persil maupun luas tanah, atau batas-batasnya, sebagaimana didalam sertifikat “hanya” tercantum:
- “Asal Hak”: didasarkan hanya kepada “Pengakuan/Penegasan Hak”;
- “Penunjuk” : disebut bekas Tanah Adat : C.552 ps. 23b. s.III”; sehingga karena itu telah terjadi kesalahan lokasi dan kesalahan persil.
Tergugat lewat staf Panitia Ajudikasi-nya telah tidak seksama dalam menempatkan Peta Situasi sesuai dengan batas-batas yang tercantum dalam warkah berupa Akta jual-Beli milik pihak ketiga teresbut, sehingga terjadi antara lain “kesalahan lokasi”, dimana penerbitan sertifikat tersebut adalah diatas bidang tanah lain yang secara salah diterbitkan Surat Ukur / Peta Situasi yang salah, yakni justru diterbitkan diatas bidang tanah waris milik Para Penggugat yang disebut dalam Sertifikat “bekas Tanah Adat : C.552 ps. 23b. s.III”.
Datas Girik Daftar C No.552 a/n Balok bin Jirun, tidak terdapat dan tidak dikenal adanya persil 23b s.III (Persil 23 b. S.III). Dengan demikian Panitia Ajudikasi Tergugat telah tidak memperhatikan bahkan mengesampingkan begitu saja keganjilan data-data di dalamnya. Tergugat hanya menerima informasi serta klaim dari pemohon hak, tanpa meneliti kebenaran dari akta peralihan hak yang menjadi dasar klaim pihak ketiga tersebut.
Sementara merujuk kaedah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, penerbitan Sertifikat Tanah dengan luas diatas 3.000 m2, adalah domain / ranah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, bukan dalam bentuk Keputusan Ketua Panitia Ajudikasi atas nama Kepala Kantor Pertanahan Kota Jakarta Timur.
SHM No. 5113 diterbitkan secara tidak sempurna, karena tidak menyebutkan nomor penetapan Kepala Kantor, akan tetapi hanya menyebutkan Surat Keputusan Panitia Ajudikasi dan tanggal 9 September 2000. Tidak benar Panitia Ajudikasi telah melakukan pengukuran objek tanah, karena tidak ada yang menyaksikan, setidak-tidaknya telah dilakukan secara diam-diam untuk tidak diketahui oleh Para Penggugat selaku penghuni yang selama ini menempati objek tanah.
Untuk kegiatan-kegiatan Pengukuran, Pemetaan dan lain sebagainya, semestinya harus diumumkan terlebih dulu, dan kegiatan-kegiatan tersebut akan dilakukan setelah tenggang waktu pengumuman berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak manapun. Sementara itu penunjukan batas-batas hanya dilakukan secara sepihak oleh Dongmainta Purba, itupun pastinya (diragukan) tidak dihadiri oleh Dongmainta Purba.
Dalam pelaksanaan pengukuran, karena hakekatnya akan ditetapkan batas-batas bidang tanah, agar tidak merugikan pihak ketiga, maka selain bidang tanah yang ditunjuk pihak Pemohon, perlu hadir dan menyaksikan juga adalah pemilik tanah semula atau yang berbatasan dengannya. Namun pasangan suami istri, Dja Sarlim Sinaga dan Ny.Dongmainta Sinaga-Purba, menguasai paksa sebahagian tanah dari H.Balok bin Jirun, yang kemudian secara ilegal tanpa hak menghibahkan sebahagian tanah-tanah tersebut kepada berbagai pihak, sebagai cara untuk melakukan okupasi / penguasaan massa. Selain itu juga masih hendak menguasai tanah warisan lainnya milik Para Penggugat, dengan alasan telah membeli dari H.Balok bin Jirun.
Bidang tanah warisan Para Penggugat tidak pernah dikuasai oleh pihak lain sejak dahulu, dimana Para Penggugat dengan bebas menguasai atau menggunakan tanah Para Penggugat. Pada tahun 2000, Para Penggugat mendengar adanya Proyek Ajudikasi untuk pensertifikatan tanah di lingkungan Kelurahan Lubang Buaya, namun Para Penggugat tidak mengajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah objek warisan, berhubung adanya masalah internal keluarga diantara Para Penggugat. Selama puluhan tahun idak pernah ada gangguan atau keberatan dari pihak manapun, hingga tiba-tiba pada Agustus 2010 muncul keberadaan sertifikat yang sudah berumur 10 tahun atas nama pihak ketiga.
Sementara itu dalam sanggahannya pihak Tergugat mendalilkan, Para Penggugat baik dalam klaim-klaimnya tersebut menitik-beratkan pada bukti-bukti kepemilikan dari masing-masing pihak yaitu antara girik Letter C No. 552 persil 23 b D.II dan persil 23 a S.III dengan girik C No. 552 persil 23 b S.III, dengan demikian seharusnya Para Penggugat melakukan gugatan di Pengadilan Negeri, bukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, oleh karena isi gugatan mendalilkan perihal sengketa kepemilikan yang merupakan kewenangan dari Pengadilan Negeri.
Terhadap gugatan pihak Penggugat, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemudian menjatuhkan putusan Nomor155/G/2010/PTUN-JKT. tanggal 11 April 2011, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM EKSEPSI:
- Menolak eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur berupa Sertifikat Hak Milik No. 5113/Lubang Buaya yang diterbitkan tanggal 26 Desember 2000, Surat Ukur No. 04136/2000 tanggal 23 Desember 2000, seluas 3.104 M2, atas nama Dongmainta Purba, yang fisik tanahnya berlokasi di Jalan...;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur berupa Sertifikat Hak Milik No. 5113/Lubang Buaya ...”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta lewat putusan No.137/B/2011/PT.TUN.JKT. tanggal 03 Januari 2012, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa yang menjadi dasar persengketaan perkara ini adalah peristiwa-peristiwa yang dilandasi permasalahan dibidang keperdataan;
“Menimbang, bahwa dalam bab tentang eksepsi tersebut diatas, eksepsi Para Pembanding telah dinyatakan diterima, dengan demikian menurut hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara maka terhadap gugatan Para Penggugat / Para Terbanding harus dinyatakan tidak dapat diterima dan pokok sengketa ini tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan diatas, maka Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang mengadili sengketa ini di tingkat banding tidak sependapat dengan Pertimbangan Hukum maupun putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 11 April 2011 Nomor 155/G/2010/PTUN.JKT, oleh karenanya putusan tersebut harus dibatalkan dan Majelis Hakim selanjutnya akan mengadili sendiri sebagaimana amar putusan ini;
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding Tergugat / Pembanding II dan Para Tergugat II Intervensi / Para Pembanding I;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 11 April 2011 Nomor 155/G/2010/PTUN.JKT, yang dimohonkan banding, dan dengan;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
- Menerima eksepsi Absolut Tergugat / Pembanding II dan Para Tergugat II Intervensi / Para Pembanding I;
DALAM POKOK SENGKETA:
- Menyatakan gugatan Para Penggugat / Para Terbanding tidak dapat diterima.”
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding telah “terjebak” dalam mis-persepsi persoalan keperdataan karena adanya dalil-dalil yang berkaitan dengan kepemilikan oleh Para Penggugat, sebagai titik singgung antara kewenangan antara dua lingkungan badan peradilan.
Seharusnya dalil-dalil tentang kepemilikan tersebut tidak harus dijadikan sebagai alasan bahwa sengketa adalah tentang kepemilikan dan menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, karena di Pengadilan Negeri dalam gugatan tentang kepemilikan akan disebut-sebut juga keberadaan SHM yang merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.
Apabila pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Banding akan dibenarkan, maka apabila diajukan ke Pengadilan Negeri, maka eksepsi yang serupa juga akan muncul bahwa sengketa adalah kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, akhirnya tidak pernah berakhir karena tidak jelas yang mana yang lebih berwenang memeriksa dan mengadili perkara.
Sekalipun gugatan ini perihal permohonan pembatalan sertifikat, namun tidak selalu identik dengan memasuki ranah sengketa kepemilikan atas tanah, karena yang digugat ialah mal-praktik prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah yang ilegal.
Tergugat melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, dengan tidak cermat dalam proses pembuatan keputusan. Para Penggugat sejak dari dahulu sampai dengan sekarang ini memiliki, menguasai, menggunakan secara fisik, mendirikan bangunan diatas bidang tanah, menanam pohon-pohon randu yang sekarang sudah berumur sekitar diatas 15 tahun, dengan demikian memiliki kepentingan untuk mengajukan keberatan apabila Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur sebagai Pejabat Tata Usaha Negara telah menerbitkan SHM atas nama orang lain, terlepas dari ada atau tidaknya sengketa tentang pemilikan.
Dalam proses penerbitan sertifikat, Tergugat tidak mengindahkan prosedur sebagaimana digariskan lewat Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, karena pihak Tergugat II Intervensi tidak pernah menguasai bidang tanah yang dimohonkan, bahkan baru mengajukan permohonan pengosongan tanah kepada Kepala Kelurahan Lubang Buaya pada tanggal 3 Agustus 2010, diperbandingkan dengan terbitnya sertifikat pada tanggal 26 Desember 2000.
Berbagai aturan yang jelas-jelas dilanggar oleh Tergugat, yakni norma utama Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 bahwa objek bidang tanah yang dimohonkan pendaftarannya, wajib terlebih dahulu telah dikuasai setidaknya selama 20 tahun sebelum dimohon sertifikasi bidang tanah ke Kantor Pertanahan setempat. Pelanggaran terhadap norma demikian, dimaknai sebagai penyimpangan / pelanggaran terhadap prosedur.
Perkara ini adalah murni tentang penerbitan sertifikat yang invalid, dimana Tergugat telah melakukan pelanggaran prosedur formal, melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan tang Baik, yang mana tidak cermat dalam pembuatan penetapan pemberian hak atas tanah, bukan persoalan siapa yang paling berhak sebagai pemilik atas tanah, sehingga merupakan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan korektif yang mengandung kaedah hukum penting untuk dipahami, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi tentang ‘penerbitan Sertifikat Hak Milik Objek Sengketa cacat yuridis’ dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima, adalah telah salah menerapkan hukum, karena yang digugat oleh Para Penggugat adalah prosedur penerbitan sertifikat hak milik obyek sengketa, bukan kepemilikan;
- Penerbitan sertifikat hak milik objek sengketa cacat yuridis, karena diterbitkan ketika tenggang waktu (mengajukan keberatan selama) 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan sengketa a quo ke Peradilan Umum, belum berakhir;
- Dari Pemeriksaan Setempat ternyata yang menguasai tanah tesengketa adalan Para Penggugat, bukan Tergugat II Intevensi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi : DISAN Bin H. BALOK dan kawan-kawan tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No.137/B/2011/PT.TUN-JKT. tanggal 03 Januari 2012, serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi : 1. DISAN BIN H. BALOK, 2. GEDE NASIR BIN H. BALOK, 3. DAAMIH BIN H. BALOK, 4. AISAH, 5. SAODAH, 6. TSANIH (SAMIH/SANIH), 7. SUHANIH (SUHAMIH), 8. SUMARNI, 9. MAMAT (NAMAT), 10. AMINAH, 11. AMSARIH (AMSARI), 12. HAMAWIH, 13. HASAN BASRI, 14. MUHAMMAD HARIS, 15. RIFIAH tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No.137/B/2011/PT.TUN-JKT. tanggal 03 Januari 2012;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
- Menolak eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur berupa Sertifikat Hak Milik No. 5113/Lubang Buaya yang diterbitkan tanggal 26 Desember 2000, Surat Ukur No. 04136/2000 tanggal 23 Desember 2000, seluas 3.104 M2, atas nama Dongmainta Purba, yang fisik tanahnya berlokasi di Jalan ...;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur berupa Sertifikat Hak Milik No. 5113/Lubang Buaya yang diterbitkan tanggal ...”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.