ZAMAN EDAN, yang Benar Dipersalahkan, yang Salah Dibenarkan

ARTIKEL HUKUM
Baru-baru ini penulis ketika hendak menuju loket pada stasiun kereta, seseorang penumpang lainnya menyerobot antrian sehingga penulis berseru: “Hei, bisa ngantri tidak?!” Luar biasanya, pihak yang ditegur justru lebih galak dan kemudian memaki-maki penulis. Zaman edan, pelaku pelanggar justru lebih galak ketimbang warga yang ingin agar semua pihak taat hukum. Ditegur pun, memberi respon dengan sikap seolah warga lain tidak berhak menegur dirinya. Seakan, negara ini adalah negara preman, tanpa hukum dan tanpa ada aturan.
Perihal antri, itu bukanlah domain hukum negara, tapi hukum kebiasaan sopan santun, sehingga semua warga berhak menegur warga yang menyimpang dari norma sosial demikian (setiap warga negara merupakan stakeholder norma sosial. Contoh, mencibir warga lain yang melanggar asusila bukan menjadi monopoli petugas atau kepolisian). Tidaklah harus seorang petugas atau polisi, yang berhak menegur dan mengingatkan warga yang menyimpang dari norma sosial. Sebagai contoh, seorang warga menegur tetangganya yang melakukan praktik “kumpul kebo” di lingkungan perumahannya, adalah sah dan dapat dibenarkan secara moril.
Kejadian belum lama sebelumnya, lebih ganjil lagi, namun realitanya benar-benar terjadi yang mungkin saja bukan hanya pernah dialami oleh penulis. Ketika kereta tiba di stasiun, penulis yang berdiri di atas peron memberi jalan bagi penumpang kereta yang hendak turun, namun kemudian seorang preman berbadan besar mengenakan seragam militer, menyerobot antrian, dan langsung naik ke atas kereta tanpa memberi jalan bagi penumpang di atas kereta untuk terlebih dahulu turun—konteksnya berbeda bila penumpang di atas kereta tidak mau turun-turun juga meski penumpang di bawah kereta yang hendak naik telah memberi waktu yang cukup bagi mereka untuk terlebih dahulu turun.
Alhasil, penulis menegur dirinya agar “beri jalan yang turun terlebih dahulu!” Disamping fakta bahwa dirinya tidak mengantri, menyerobot hak penulis dan penumpang lain yang terlebih dahulu antri di barisan depan, serta mengakibatkan “bottle neck” akibat tidak membiarkan penumpang dari atas kereta untuk turun terlebih dahulu.
Apa yang kemudian terjadi, sungguh mengejutkan. Preman berbaju militer yang penulis tegur, justru menantang berkelahi penulis sembari berkata: “Memangnya kamu itu petugas! Saya penumpang, kamu juga penumpang, jadi jangan banyak omong apalagi ngatur-ngatur!” Dirinya bila memang penumpang, mengapa bisa merasa berhak untuk merugikan penumpang lainnya?
Apakah bila tidak ada petugas, artinya setiap warga berhak untuk tidak tertib dan tidak tahu aturan? Budaya hukum macam apakah, warga baru bersedia tertib ketika ditegur petugas, atau sementara saat ada petugas baru warga bersangkutan baru mau bersikap antri? Budaya hukum warga Indonesia sangatlah buruk dan memprihatinkan bila mencermati fenomena keseharian yang ada di keseharian.
Meski, gaibnya, Warga Negara Indonesia yang berkunjung ke negara-negara tetangga seperti Singapura yang super tertib, bersedia secara sukarela bersikap tertib, patuh, bahkan mengantri serta juga tidak berani membuang sampah sembarangan. Hal itu terjadi, karena penegakan hukum di negara tersebut sangatlah konsisten dan tegas, tidak membuka ruang toleransi ataupun kompromi terlebih negosiasi, sehingga warga tidak berani untuk menantang hukum di negara tersebut.
Sama seperti kelakuan para pengedar obat terlarang di Indonesia, yang menjamur dan tidak kenal takut, akibat penegakan hukum di Indonesia yang sangat “impoten” serta lemah dan dapat didikte serta disetir hingga “dipelintir” mereka yang berkuasa secara politis dan memiliki kekuatan ekonomi. Pelaku bandar obat terlarang tersebut, tidak berani memasuki wilayah seperti Singapura, karena Singapura berhasil membuat budaya hukum super ketat dan tertib yang dikenal secara global, sehingga dikenal sebagai negara dengan penegakan hukum “zero tolerance” tanpa dapat dilecehkan oleh pelanggar manapun, ataupun oleh premanisme manapun.
Di sebuah stasiun kereta, yang notabene merupakan ruang publik, alias ruang milik publik, dimana tidak ada penumpang satu yang lebih merasa memiliki atau lebih penting ketimbang penumpang lainnya, maka adalah hak setiap penumpang untuk menegur penumpang lain yang tidak tertib. Bukan hanya seorang petugas stasiun yang berhak menegur dan mengingatkan para penumpang agar “tahu aturan”. Menangkap tangan seorang pencopet, pun dapat dilakukan oleh warga setempat, mengingat tidak setiap saat dan tidak pada setiap tempat terdapat seorang penyidik kepolisian.
Yang penulis maksud dengan “zaman edan” sebagaimana judul artikel ini, tampaknya tidak berlaku secara global, namun hanya secara spesifik terjadi secara vulgar dan masif di Indonesia, tanpa malu-malu dan terjadi secara berjemaah (meski mengakunya sebagai negara dengan atribut agamais terheboh lengkap dengan halal lifetyle-nya), dimana terkesan berbagai anomali sosial demikian sengaja dibiarkan atau bahkan dipelihara oleh pemerintah yang lebih kerap memeras rakyat ketimbang melayani masyarakat pembayar pajak—seakan, para aparatur sipil negara digaji oleh rakyat hanya untuk memeras dan menelantarkan warga masyarakat yang memberi mereka gaji, yang dalam istilah sosial dinamakan sebagai “durhaka” terhadap rakyat.
Dapat juga kita temukan kegilaan zaman ini di Indonesia, berupa hak monopoli penyelenggara negara. Cobalah kita ancam pihak-pihak yang melanggar hak warga negara kita, bahwa perbuatan mereka akan kita laporkan kepada pihak berwajib. Apa respon yang akan Anda dapatkan? Mereka akan menertawai Anda, karena sekalipun Anda memanggil polisi, polisi tidak akan pernah datang, dan laporan Anda hanya ditaruh diarsip meja tanpa ditindak-lanjuti. Tidak ada penjahat yang takut ketika kita selaku korban, mencoba menghubungi pihak berwajib maupun membuat laporan polisi. Tidak percaya? Coba saja sendiri, dan buktikan dengan mata kepala Anda sendiri. Penjahat yang ditangkap polisi, hanya sedang apes—dan mereka pun menjadi objek pemerasan sang oknum polisi yang sedang “kejar target”.
Sementara, disaat bersamaan, Anda tidak diperkenankan oleh negara untuk memegang senjata untuk membela diri ataupun untuk “main hakim sendiri”—padahal, sebelum hukum negara terbit, semua warga, tanpa terkecuali, termasuk kita, berhak untuk menyandang senjata tajam maupun senjata api untuk membela diri.
Namun sejak hukum negara terbit, hak-hak dasariah kita untuk ”main hakim sendiri” kemudian dipreteli satu per satu dan diambil ke tangan penyelenggara negara bernama kepolisian secara monopolitik. Alhasil, warga harus menjadi pengemis di hadapan petugas kepolisian hanya untuk mendapat perlindungan hukum dan penegakan keadilan.
Kegilaan yang sama terjadi pada kasus Jaminan Kesehatan Nasional yang menjadi program pemerintah, namun ternyata warga masyarakat yang menjadi tumbal dari program pemerintah. Ketika warga masyarakat merasakan buruknya pelayanan oleh Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) terhadap pasien pembayar iuran program pemerintah (bila pemerintah yang mengadakan program, mengapa kemudian warga yang harus membayar iurannya?), namun warga yang kemudian menemui kekecewaan pelayanan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional, dipaksa untuk seumur hidup membayar iuran setiap bulannya, dengan mengatasnamakan frasa “wajib” untuk bergotong-royong (dari mana pula istilah gotong-royong yang berlandaskan kesukarelaan menjadi dipaksakan keberlakuannya?), dapat dapat mengundurkan diri, memutus kepersertaan, ataupun berhenti dari program.
Perlakuan buruk dan merendahkan pernah penulis alami dari fasilitas kesehatan Puskesmas poliklinik gigi, dimana pasien dapat dilecehkan dan tidak dilayani dengan baik dengan dalih sang dokter telah “kecapekan” lalu menyalahkan sang pasien bila karang gigi belum bersih, seolah pasien program Jaminan Kesehatan Nasional tidak mambayar untuk layanan, meski senyatanya setiap peserta membayar iuran setiap bulan sekalipun sedang tidak berobat.
Ketika pasien komplain pelayanan yang buruk, justru pihak petugas Puskesmas yang memfitnah pasien, itulah fenomena “maling teriak maling”, salah satu ciri khas “zaman edan”. Sudah menjadi korban, difitnah pula sebagaimana penulis alami dan buktikan sendiri, oleh poliklinik gigi Puskesmas Kecamatan Cengkareng, dimana pihak dokter hanya melakukan scaling (pembersihan karang gigi) selama 5 menit lalu mengeluh ini itu bahwa sang dokter sedang capek, bahkan tidak mau memberi jawaban apakah terdapat gigi berlubang atau tidaknya.
Tidak lama berselang, penulis kembali mendatangi faskes dimaksud, alangkah tragis justru mendapat fitnah dari petugas poliklinik bersangkutan, bahwa cara penulis menggosok gigi yang tidak benar yang menyebabkan karang gigi (karang gigi mana tidak pernah dibersihkan secara tuntas dalam scaling sebelumnya di tempat tersebut).
Apakah prosedur SOP scaling gigi pasien, hanya selama 5 menit? Scaling gigi yang normal, paling cepat selama 15 menit untuk 1 rahang atas atau rahang bawah. Di poliklinik Puskesmas Kecamatan Cengkareng, waktu yang terbuang untuk menuju ke tempat tersebut dan waktu untuk duduk mengantri, puluhan kali lipat ketimbang 5 menit layanan “omong kosong” gimmick yang diterima pasien poliklinik gigi bersangkutan.
Hanya dokter dan suster gigi “tidak waras” yang punya SOP demikian, dan itulah tepatnya SOP Puskesmas Kecamatan Cengkareng cq. Poliklinik Gigi. Siap-siaplah Anda selaku pasien yang akan difitnah dan dilecehkan. Bila Anda tidak menilai rendah harga diri Anda, tentulah Anda akan seketika mem-blacklist poliklinik “tukang fitnah” demikian. Harga diri lebih mahal ketimbang biaya layanan di klinik gigi swasta. Untuk apa membayar dokter yang kemudian justru memfitnah Anda yang telah diberi layanan buruk? Pemerintah selaku penyelenggara, seolah hendak mengumandangkan jargon: sekalipun pelayanan kesehatan kami buat lebih buruk, peserta telah kami sandera seumur hidup tanpa dapat keluar dari keanggotaan, dan yang belum menjadi anggota untuk bayar iuran bulanan, akan kami paksa dan wajibkan!
Sama seperti ketika penulis tengah menaiki jembatan penyeberangan orang, penulis menangkap tangan pencuri yang sedang menggerayani tas penulis (pencopet). Namun kemudian seorang wanita kawanan (komplotan) dari pencuri itu bersama dengan beberapa rekannya, memaki dan menyalahi penulis dengan cara yang demikian over-acting, dengan harapan dapat “copet teriak copet”.
Uniknya, meski penulis berteriak “maling”, semua warga lainnya seakan mencari selamat sendiri dengan tidak menghiraukan, sekadar menjadi penonton, namun dalam kasus lainnya banyak terjadi seorang pencuri dikeroyok mati oleh warga dengan “main hakim sendiri” karena polisi dinilai tidak berhasil membuat efek jera bagi para pencuri yang terus menggurita tanpa kenal henti, seakan mati satu tumbuh seribu, terlebih pencuri residivis hasil program “obral” remisi negara yang mengklaim penjara telah terlampau penuh tidak muat lagi menampung narapidana baru yang setiap harinya begitu produktif dicetak.
Pernah pula penulis berkendara dengan sepeda motor roda dua, tersasar ke wilayah yang masih asing bagi penulis, yang kala itu terpaksa harus berfokus memerhatikan papan penunjuk arah. Namun, seakan terjebak oleh jebakan yang terkesan memang dipasang hanya untuk menjebak, penulis kena tilang oleh polisi. Alasannya, melanggar rambu “motor dilarang melintas”.
Setelah penulis kembali ke tempat asal, ternyata memang terdapat papan ukuran super “mini” berupa plang kecil di pinggir jalan menggambarkan motor dilarang masuk, yang berjarak hanya terpaut beberapa ratur meter dari tempat sang polisi bersembunyi di balik tikungan. Plang motor dilarang masuk tersebut, sungguh tidak ada gunanya dipasang, karena itu terkesan memang hanya “jebakan” untuk menjebak pengguna kendaraan roda dua yang kebetulan tersasar dan melintas. Salah satu jebakan tersebut dapat Anda jumpai di wilayah dari Jalan Wolter Monginsidi ke arah Bundaran Senayan, Jakarta Selatan.
Jika polisi benar-benar bermental melayani masyarakat, maka pertanyaannya ialah: mengapa polisi itu tidak berdiri di depan plang peringatan, dan memperingatkan pengendara motor roda dua untuk mengambil lajur ke arah lain untuk melintas, alih-alih membiarkan pengenda pengguna jalan untuk tersesat untuk kemudian masuk dalam “jaring perangkap” yang terkesan memang sengaja ditebarkan demikian? Seakan, para polisi tersebut memang digaji hanya untuk menebar jaring perangkap, lalu memeras dan menilang warga masyarakat.
Keganjilan lainnya, ialah pengendara motor akan terkena tilang, ketika pajak tahunan (bukan PNBP lima tahunan) tidak diperbaharui meski STNK induk masih berlaku, maka oleh pihak kepolisian yang menilang dikenakan “double penalty” alias “double jeopardy”, berupa: denda tilang (yang diputus Pengadilan, kini di Kejaksaan), dan kedua ialah dikenakan denda pajak Pemerintah Daerah. Menurut doktrin ilmu hukum pidana, ketentuan POLRI yang memberlakukan “double jeopardy” demikian adalah rezim keblablasan yang telah melanggar asas larangan pemidanaan ulang terhadap satu pelanggaran yang sama, dimana ketentuan POLRI tersebut berpotensi dibatalkan lewat mekanisme uji materiil oleh setiap warga pemilik kendaraan bermotor.
Ketika seseorang warga tidak bersedia ditegur warga negara lain yang bukan petugas, maka jadinya tidak tahu aturan (preman), dan seseorang yang tidak tahu aturan demikian pada gilirannya pasti ia akan merugikan warga negara lain. Tidak ada petugas, bukan artinya seorang warga bebas tanpa aturan, karena itu sesama anggota komunitas masyarakat punya hak untuk membela hak-hak komunitas masyarakat dengan menjadi petugas secara inheren—dalam istilah administrasi negara dapat diistilahkan sebagai pejabat “plt” ataupun “plh”. Budaya hukum bangsa, dicerminkan dari sikap warga ketika tiada petugas yang mengawasi dan menegur.
Petugas tidak mungkin selalu ada di semua tempat dan semua waktu, karena itu warga dan setiap individu berhak untuk menjadi penegak hukum, meski tidak boleh sampai main hakim sendiri berupa penganiayaan, namun sebatas menangkap dan mengamankan.
Jangankan punya kekuasaan dan pangkat kedudukan serta sumber daya uang yang kuat, ternyata memiliki bentuk tubuh sebesar “kingkong” saja dapat membuat orang tersebut bersikap korup (power tends to corrupt). Begitu pula ketika seseorang dalam bentuk gerombolan, cenderung menindas seseorang yang hanya berada seorang diri.
Contoh, pernah terjadi, penulis mengikuti seminar, di sebelah kursi tempat penulis duduk, ada dua orang ibu-ibu yang berisik ngobrol sendiri sehingga mengganggu pendengaran penulis yang menyimak pembicara seminar. Namun ketika giliran penulis sedikit “berisik” seorang diri, kedua ibu-ibu tersebut justru kemudian memaki penulis dengan nada yang melecehkan.
Ternyata, jumlah orang pun dapat menjurus “power tends to corrupt” bukan hanya sekadar bentuk tubuh dan kekuasaan materi—terutama mereka yang memiliki pengikut dan mampu menyetir / memobilisasi warga masyarakat. Pada gilirannya, segala bentuk kekuasan demikian yang tidak mampu dipedomani rambu etik yang ketat, hanya akan melukai orang lain dan dirinya sendiri. Sungguh, Negeri Indonesia adalah negeri berisi bangsa yang tidak logis dan irasional, yang mana, semakin dipikir semakin tidak masuk diakal.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.