KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Uang Pisah sebagai Substitusi Uang Pesangon

LEGAL OPINION
Perjanjian Bersama dapat Menjelma Bumerang, Daya Ikatnya Mutlak
Question: Dulu pernah ada buat Perjanjian Bersama dengan pihak perusahaan, dan sudah didaftar ke pengadilan. Tapi setelah beberapa waktu dipikir-pikir dan direnungkan, rasanya saya sendiri yang merugi sebagai pekerja, isi Perjanjian Bersama itu lebih menguntungkan pihak perusahaan. Apa masih ada langkah hukum yang dapat ditempuh?
Brief Answer: Perjanjian perdata biasa pada umumnya, masih terbuka peluang “dibatalkan sepenuhnya” maupun “dibatalkan separuh perikatan di dalamnya” (partial annulment), bila memang dapat dibuktikan adanya unsur daya paksa, penipuan, ataupun ketimpangan posisi dominan sehingga daya tawar dapat dikategorikan bersifat berat sebelah.
Daya ikat dalam perjanjian konvensional, termasuk perjanjian kerja, tidaklah mutlak sepenuhnya (vide Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sementara daya ikat Perjanjian Bersama, adalah mutlak dan seketika berkekuatan hukum tetap—sekalipun, sebagai contoh, isi Perjanjian Bersama yang telah disepakati dan didaftarkan ternyata mengatur besaran pesangon dibawah hitungan minimum ketentuan dalam undang-undang.
Namun untuk konteks Perjanjian Bersama yang disepakati antara pemberi kerja dan pihak pekerja dalam suatu forum perundingan bipartit atas suatu sengketa hubungan industrial, ketika Perjanjian Bersama yang telah disepakati tersebut telah resmi didaftarkan ke kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial, maka tidak lagi terbuka langkah hukum untuk membatalkan daya keberlakuan mengikat Perjanjian Bersama demikian, dan para pihak harus patuh dan tunduk. Karena itu, selalu bersikap waspada terhadap berbagai tawaran dalam pembahasan draf Perjanjian Bersama, agar tidak tersandera secara yuridis, sehingga tidak membawa penyesalan dikemudian hari.
Maka, dalam satu sudut pandang lainnya, substansi Perjanjian Bersama yang hanya menyepakati pemberian “uang pisah” sebagai konsekuensi kebijakan PHK, maka dapat diartikan sebagai perjanjian / kesepakatan untuk melepaskan hak atas “uang pesangon” secara tidak langsung atau secara implisit. Kesepakatan, selalu terdiri dari dua mata dalam satu keping yang sama: kesepakatan untuk mengambil sesuatu, dan sekaligus kesepakatan untuk melepaskan sesuatu lainnya.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut SHIETRA & PARTNERS harapkan dapat menjadi representatif yang tepat, sebagaimana dicerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 109 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 20 Februari 2017, perkara antara:
- ALAMSYAH, sebagai Penggugat, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. SARIMELATI KENCANA PIZZA HUT INDONESIA PALEMBANG, selaku Tergugat dahulu Tergugat.
Singkatnya, Penggugat merupakan Pekerja pada pihak Tergugat, sebelum kemudian terkena kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Terhadap PHK tersebut, selanjutnya terjadi perundingan bipartit antara pihak manajemen Tergugat dan Penggugat, yang kemudian lahir kesepakatan berupa Perjanjian Bersama yang disepakati dan telah didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Namun entah karena apa, pihak Penggugat merasa berkeberatan terhadap isi Perjanjian Bersama, lalu mengajukan gugatan PHK ke PHI menuntut agar Majelis Hakim PHI mengabulkan tuntutan pesangon yang diajukan pihak Penggugat, tanpa mengindahkan keberadaan Perjanjian Bersama yang sebelumnya telah disepakati oleh para pihak.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Palembang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 19/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Plg, tanggal 23 Mei 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa “perjanjian bersama” yang dibuat antara Tergugat dengan Penggugat tidak dilandasi oleh semangat musyawarah dan kesepakatan bersama atau mufakat, melainkan dibuat dengan dominasi yang kuat oleh Tergugat, sehingga dengan situasi dan kondisi demikian, terjadi tekanan-tekanan psikologis berupa ancaman-ancaman yang dilakukan Tergugat.
Sang Pekerja menuduh bahwa Perjanjian Bersama “disepakati” tidak berdasarkan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan kata lain Tergugat telah melakukan tekanan-tekanan kepada Penggugat dalam perundingan bipartit yang melahirkan “Perjanjian Bersama” tersebut.
Pekerja tersebut mendalilkan, dalam “Perjanjian Bersama” tersebut telah terjadi manipulasi terhadap hak-hak normatif Penggugat sebagai pihak yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk mendapatkan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima bila berdasarkan Ketentuan Hukum Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Namun didalam “Perjanjian Bersama”, justru pihak Tergugat telah membuat aturan atau ketentuan hukum sendiri yang menyimpang dan bertentangan dengan ketentuan pesangon Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dimana dalam dokumen tersebut dinyatakan:
“Pihak Pertama (Tergugat) sepakat untuk memberikan hak Pihak Kedua (Penggugat) berupa uang pisah sebesar 1 (satu) x upah Pihak Kedua (Penggugat) dan sisa cuti yang masih ada dan belum hangus yang kesemuanya tersebut akan ditransfer ke rekening Pihak Kedua (Penggugat) setelah dikurangi kewajiban atau hutang dan ketentuan yang berlaku.”
Dengan “disepakatinya” Pasal yang memuat tentang “uang pisah” tersebut, hilanglah hak-hak Penggugat untuk mendapatkan “uang pesangon” sebesar 9 x upah (sesuai masa kerja pihak Penggugat) karena masa kerja Penggugat telah masuk 10 tahun lamanya, termasuk pula uang penghargaan masa kerja 4 x upah, dan uang Penggantian Hak yang kesemuanya merupakan hak-hak normatif pekerja yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Sang Pekerja berkeberatan terhadap pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Hubungan Industrial, yang menyatakan bahwa pihak Tergugat telah melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang tertuang pada “Perjanjian Bersama” yang sudah didaftarkan tersebut, yaitu berupa mengirimkan “uang pisah” sebesar Rp2.183.828,00 kepada Penggugat yang merupakan Hak Penggugat berupa 1 kali upah setelah dikurangi hutang, dengan demikian kewajiban Tergugat terhadap Penggugat sudah selesai menurut Hukum dan Penggugat tidak ada upaya hukum lagi termasuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Palembang.
Pihak Penggugat bersikukuh, “Perjanjian Bersama” yang dibuat antara Tergugat dengan Penggugat telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 156 ayat. Salah satu syarat sahnya suatu perjanjian, ialah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang (vide Pasal 1337 KUHPerdata).
“Perjanjian Bersama” tersebut yang secara tidak langsung menyatakan menghapuskan hak uang pesangon, jelas bertentangan dengan Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, terutama norma imperatif Pasal 156 yang memiliki pengaturan: “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, Pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.
Sementara hak normatif pihak Penggugat, “semestinya” Penggugat mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 4 bulan upah, disamping pesangon berupa 9 bulan upah, maupun uang penggantian hak berupa penggantian perumahan serta pengobatan. [Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan demikian paling tidak berdasarkan ketentuan Undang-Undang, setidaknya kompensasi PHK ialah sebesar total 13 bulan upah]
Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial justru telah memutuskan sah “uang pisah” sebesar 1 x upah ditambah uang sisa cuti yang masih ada dan belum hangus, yang total dikirimkan ke rekening Penggugat hanya sebesar 1 bulan upah, sehingga seluruh masa kerja Penggugat maupun hak atas pesangon, hangus begitu saja meski nominal antara “uang pesangon yang semestinya” terhadap “uang pisah berdasarkan Perjanjian Bersama”, sangatlah kontras yakni selisih 12 bulan upah (13 bulan upah – 1 bulan upah = 12 bulan upah).
Adapun isu hukum yang digulirkan oleh pihak Pekerja, “perjanjian bersama” demikian nyata-nyata telah bertentangan dengan aturan atau hukum yang lebih tinggi (dalam hal ini Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), maka secara serta-merta “Perjanjian Bersama” tersebut batal demi hukum akibat tidak terpenuhinya unsur objektif “causa yang tidak sahih”. Dalam pengertian ini, “Perjanjian Bersama” tersebut telah batal dengan sendirinya sejak semula.
Gugatan ini, seolah-olah pihak Penggugat hendak menggugat kesepakatan yang telah dibuat sendiri olehnya—alias menggugat kecerobohan dirinya sendiri. Dimana terhadap alasan-alasan demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 15 Juni 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 1 Agustus 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Penggugat dan Tergugat telah melakukan proses bipartite tanggal 2 Desember 2015, terkait dengan kejadian keributan tanggal 28 November 2015 di restoran Pizza Hut;
- Bahwa Tergugat menganggap perbuatan itu melanggar Pasal 52 huruf A dari Peraturan Perusahaan yang telah didaftarkan di Kementerian Tenaga Kerja, oleh karena itu Penggugat dikenakan sanksi Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan mendesak;
- Bahwa permasalahan Penggugat dan Tergugat telah diselesaikan secara bipartite dengan perjanjian tanggal 2 Desember 2015 dan telah diajukan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang;
- Bahwa dengan demikian perselisihan tersebut tidak dapat lagi diajukan dengan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Penggugat: ALAMSYAH tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Penggugat ALAMSYAH tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.