Terdakwa Tidak Mengakui Perbuatannya di Hadapan Hakim, sebagai Faktor Pemberat Pidana

LEGAL OPINION
Question: Kalau seorang tersangka tetap bersikukuh ngak bersalah di pengadilan, apa itu bisa jadi bumerang bagi tersangka di kemudian ahri? Kalo memang ngak salah, kenapa musti ngaku salah?
Brief Answer: Terdapat perbedaan konstruksi hukum antara “pengakuan Tersangka di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Penyidik” dan “pengakuan Terdakwa di hadapan persidangan”. Pengakuan dalam BAP, masih dapat dicabut oleh terdakwa di hadapan persidangan, bila memang dibuat dengan disertai kekerasan oleh pihak penyidik. Namun khusus untuk pengakuan verbal Terdakwa kepada Majelis Hakim persidangan, hal tersebut menjadi bukti absolut kebenaran tuduhan Jaksa Penuntut Umum.
Bila memang secara jujur, pihak Terdakwa mengaku tidak bersalah di hadapan Majelis Hakim, maka opsi terbaik ialah tetap bersikap tegas pada pendirian awal, bahwa tidaklah benar apa yang dituduhkan pihak Jaksa Penuntut Umum. Yang paling penting, ialah konsisten dari sejak awal tahapan persidangan. Yakni, tidak plin-plan dengan mengubah-ubah pendirian yang pada gilirannya akan dinilai “berbelit-belit” oleh Majelis Hakim.
Yang dimaksud dengan bersikap tegas, ialah katakan “ya” bila “ya”, dan “tidak” bila memang “tidak”, secara konsisten. Namun bukan berarti tiada resiko sama sekali untuk “bersikap tegas” di persidangan perkara pidana. Bila Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara berpendapat bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut, maka sikap tegas Terdakwa dapat menjadi faktor pemberat vonis putusan.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi konkret yang cukup mewakili, dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 565 K/PID/2016 tanggal 9 Agustus 2016, dimana Terdakwa didakwakan karena telah secara sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bermula pada tahun 1995, Terdakwa menerima selembar surat “Keterangan Djual Beli” sebidang tanah tertanggal 15 April 1960 dari ibu kandung Terdakwa. Kemudian, sebanyak 5 kata yang ada di dalam surat “Keterangan Djual Beli” tersebut dihapus terlebih dahulu, lalu ditebalkan oleh seseorang yang belum diketahui identitasnya dengan memakai pena / pulpen warna biru, penebalan kata dimaksud terdapat pada kalimat sebagai berikut:
Satu bidang pek : jang terdiri dari pohon Kelapa peninggalan orang tua kami nama : Lanap. jang telah lama meninggal dunia. Kb. Pekarangan tsb ada berduduk di kl Tg. Binga, dengan berwataskan:
- Sebelah kanan dgn pekarangan : Talau;
- Sebelah kiri dgn pekarangan : Tuja;
- Sebelah belakang dgn pekarangan : Hutan;
- Sebelah muka dgn pekarangan : Pantai Penarikan;
Seolah-olah lokasi tanah tersebut berada di atas tanah Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT. Belitung Pantai Intan (PT. Belpi). Tahun 2013, Terdakwa memperbanyak / mem-fotokopi surat tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 23 Oktober 2014, Terdakwa menggunakan fotokopi surat “Keterangan Djual Beli” tersebut untuk mengajukan permohonan pendaftaran penSertifikatan tanah dan diterima oleh saksi Mutrimah (Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Belitung) seolah-olah surat tersebut sejati.
Sedangkan berdasarkan keterangan Ahli bahasa atas nama Frans Asisi Datang, M.Hum, ditemukan beberapa hal dianggap tidak wajar dalam surat “Keterangan Djual Beli” tersebut, salah satunya dalam surat tersebut ditemukan banyak sekali penggunaan singkatan dan kependekan seperti sdr, tsb, dgn Kl, Kb, Tg, pek, dan ket.
Singkatan sdr dan dgn memang digunakan pada kamus pada masa itu, namun tsb tidak ditemukan dalam kamus. Sebaliknya, dalam surat-surat yang ditemukan pada masa itu singkatan seperti itu sangat jarang digunakan. Menurut Ahli, penggunaan singkatan dan kependekan tersebut merupakan pengaruh penulisan di media sosial seperti SMS yang serba singkat dan tidak menggunakan tanda titik pada masa sekarang.
Sebagian besar penggunaan singkatan dan kependekan di atas tidak menggunakan dengan benar karena tidak menggunakan tanda baca titik setelah singkatan dan kependekan tersebut. Fakta-fakta tersebut menunjukkan gejala masa kini, bukan kebiasaan pada tahun 1960-an.
Kata berduduk dalam kalimat “Kp pekarangan tsb ada berduduk di Kl Tg: Binga…” tidak ditemukan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014) terdapat kata berkedudukan. Sangat janggal kata tersebut digunakan pada surat tersebut. Kata berwataskan dalam kalimat “dengan berwataskan” tidak ditemukan pada Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954), yang ada adalah bentuk berwatas(an) bukan berwataskan. Imbuhan ber-/-kan di sini tidak lazim dalam Bahasa Indonesia pada masa itu. Imbuhan tersebut banyak digunakan pada masa sekarang.
Perihal gaya bahasa surat. Judul surat tertulis “Keterangan Djual Beli” sangat tegas dan sesuai dengan Bahasa Indonesia sekarang. Dalam data saya temukan surat keterangan tahun 1959 yang diberi judul “Dikasih Keterangan”. Jadi, menurut ahli, bentuk judul seperti itu dipengaruhi kebiasan pada sekarang.
Pada bagian penutup surat tersebut tertulis “Demikian Ket. diperbuat/untuk dapat dipergunakan bilamana perlu”. Ungkapan seperti itu sangat lazim dengan bahasa surat sekarang ini. Dalam data yang saya temukan, ungkapan lazim digunakan pada tahun 1960-an adalah - “Demikian dikasih keterangan ditetapkan sebagai pemilikan …”;
- “Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya”;
- “Apabila keterangan kami tidak benar, kami bersedia menjalani segala akibat tindakan jang diambil oleh Pemerintah”;
- “Demikian keterangan ini saja buat dengan sebenarnja mengingat sumpah djabatan”;
- “Demikian surat daftar keluarga ini dibuat dengan sebenarnja dan agar jang berkepentingan mendjadikan periksa adanja”;
- “Demikianlah keterangan ini saja buat dengan sebenarnja, dan berani angkatsumpah bila perlu”;
- “Demikian dikasih keterangan ditetapkan sebagai pemilikan dan diperkuat di atas segel”.
Berkaitan dengan bentuk huruf tulisan tangan, pada tahun 60-an bentuk tulisan tangan adalah huruf miring bersambung. Dunia pendidikan mendidik anak didik menulis dengan gaya penulisan huruf miring bersambung. Dalam surat tersebut, hampir tidak ada huruf miring bersambung. Semua huruf ditulis terpisah dan tampak tegak. Gaya tulis tangan seperti itu sangat biasa pada masa sekarang.
Akibat perbuatan Terdakwa, PT. Belpi merasa keberatan dan dirugikan karena dapat menghambat kegiatan pembangunan wisata yang akan dilakukan oleh PT. Belpi di lokasi tanah tersebut. Selanjutnya pihak PT. Belpi melaporkannya ke Mapolres Belitung untuk diproses secara hukum.
Terhadap tuntutan yang diajukan pihak Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Tanjungpandan Nomor 153/Pid.B/2015/PN.Tdn tanggal 3 Desember 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa selanjutnya dari keterangan Saksi Mutrimah Lestari yang bertugas sebagai Staf Administrasi Umum Kantor Pertanahan Kabupaten Belitung telah meneliti permohonan yang diajukan Terdakwa Ajuin Bin Djaharan dan saksi H. Mukhdi Syafi’ie dengan kesimpulan bahwa permohonan yang diajukan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka kemudian saksi Mutrimah Lestari menjelaskan kepada Terdakwa Ajuin bahwa permohonan pengajuan penerbitan sertifikat atas tanah tersebut tidak dapat diterima, namun atas penjelasan saksi Mutrimah Lestari baik terhadap Terdakwa Ajuin Bin Djaharan maupun saksi H. Mukhdi Syafi’ie tidak mau menerima penjelasan tersebut dan tetap memaksa saksi Mutrimah Lestari untuk membuat tanda terima akhirnya saksi Mutrimah Lestari tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa membuat tanda terima dokumen dengan memberi cap ‘TIDAK ADA ASLI’ di dalam tanda terima dokumen tersebut;
“Menimbang, bahwa benar permohonan pengajuan penerbitan sertifikat yang dimohonkan oleh Terdakwa Ajuin terhadap lahan di Pantai Penarikan tersebut sampai sekarang tidak bisa diperoses karena berdasarkan keterangan saksi Ir. Sugeng Santoso dan Saksi Mutrimah Lestari, permohonan penerbitan sertifikat yang diajukan oleh Terdakwa Ajuin berdasarkan Surat Keterangan Djual Beli segel tahun 1960 tersebut sama lokasinya dengan lahan yang dikuasai oleh PT. BELITUNG PANTAI INTAN (PT. BELPI) berdasarkan Serifikat Hak Guna Bangunan Nomor 21, 26, 30 dan 31; dan PT. BELITUNG PANTAI INTAN (PT. BELPI) tidak ada melakukan pencabutan terhadap sertifikat Hak Guna Banguan tersebut;
“Menimbang, bahwa dari keterangan saksi Kuryati Binti Derani juga menerangkan sekitar tahun 2013 saksi ada melihat Surat Keterangan Djual Beli Segel tahun 1960 dimana pada saat itu Terdakwa Ajuin Bin Djaharan hendak memfotokopi Surat Keterangan Jual Beli segel Tahun 1960 tersebut di tempat usaha fotokopi milik saksi Kuryati Binti Derain dimana pada saat hendak saksi fotokopi saksi melihat dan sempat membacanya dan yang saksi Kuryati Binti Derain lihat Surat Keterangan Jual Beli Segel Tahun 1960 sudah ada penebalan tulisan dan seperti ada bekas di-tipex warna putih pada bagian tulisan yang menutupi tulisan asli di bawahnya;
“Menimbang, bahwa dari keterangan, Saksi Nurdi Bin Kaim, Saksi Matsidi Als Marsidi Bin Ayub, dan Saksi Ishak Mahmudin juga ada melihat asli Surat Keterangan Djual Beli segel tahun 1960 tersebut di Kantor Polres Belitung, dimana pada saat para saksi melihat isi dari surat segel tersebut ada melihat perbedaan penulisan berupa bentuk tulisannya huruf miring atau condong serta ada juga tulisan yang tidak condong selain itu ada penebalan huruf yaitu pada penulisan Kelapa, Talau, Tuja, Hutan dan Pantai Penarikan;
“Menimbang, bahwa selain itu dari keterangan saksi Aisyah Binti Thalib alias Talau bahwa saksi benar anak dari Talau yang nama aslinya adalah Thalib dimana nama Talau tersebut tertera dalam surat keterangan jual beli segel Tahun 1960 di dalam salah satu batasnya dan sepengetahuan saksi, orang tua saksi yang bernama Thalib alias Talau tidak pernah memiliki lahan di Pantai Penarikan;
“Menimbang, bahwa dari keterangan Ahli Frans Asisi Datang, M.Hum menerangkan menemukan beberapa hal yang tidak wajar dalam Surat Keterangan Djual Beli segel tahun 1960 tersebut yaitu: Pertama: mengenai kata pekarangan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang terbit tahun 1954 kata pekarangan artinya ‘halaman rumah’. Yang tidak wajar atau logis adalah dalam “Surat Keterangan Djual Beli” itu tertulis mengenai lokasi atau batas-batas tanah adalah “Sebelah Belakang dgn pekarangan Hutan, Sebelah Muka dengan pekarangan Pantai Penarikan”.
“Makna kata pekarangan pada kalimat tersebut tidak sesuai dengan makna kata pekarangan yang sebenarnya yaitu ‘halaman rumah’. Apakah Hutan dan Pantai Penarikan nama orang? Mana mungkin hutan dan pantai punya pekarangan? Frase pekarangan Hutan dan pekarangan Pantai Penarikan tidak menunjukkan milik seseorang. Hutan dan Pantai Panarikan bukan orang di sini;
“Menimbang, bahwa yang Kedua: berkaitan dengan penggunaan tidak logis / wajar kata pekarangan di atas, dalam surat tersebut penggunaan kata pekarangan dan kebun juga tidak konsisten. Kata pekarangan yang berarti ‘halaman rumah’ dan kata kebun yang berarti ‘sebidang tanah yg ditanami pohon buah-buahan dsb’ tentu tidak sama. Hal ini membuat objek surat tersebut menjadi tidak jelas, apakah tanah yang menjadi objek jual beli dalam surat itu: kebun atau pekarangan. Lebih tidak jelas lagi masalahnya karena dalam surat itu digunakan frase: kb pekarangan yang tentu dimaksud adalah kebun yang di sekitar rumah;
“Menimbang, bahwa yang Ketiga: dalam surat itu digunakan kata-kata “Pihak jang Ke I”. Pembuat surat ini terbiasa dengan kebiasaan pembuatan surat-surat resmi atau perjanjian yang menyebutkan para pihak yang terlibat. Namun, di dalam surat itu hanya satu pihak yang disebutkan yaitu Pihak jang Ke I; sedangkan pihak yang lain tidak disebutkan dalam surat tersebut. Jadi, siapakan pihak keduanya, tidak ada atau tidak disebutkan sehingga membuat perkataan pihak dalam surat tersebut menjadi tidak jelas;
“Menimbang, bahwa yang Keempat: dari segi ejaan, penulisan frase berduduk di Kl Tg Binga (penulisan di dipisah dari kata berikutnya) tidak sesuai dengan kaidah ejaan pada masa itu, seharusnya penulisan yang sesuai dengan kaidah ejaan pada masa itu adalah di-Kl atau dikelurahan (penulisannya disambung).
“Dalam data di Arsip Nasional yaitu surat tahun 1953 ditemukan bentuk ke-Bandung dan di-Tjikawao. Jadi, preposisi di dan ke disatukan dengan kata berikutnya dengan tanda sambung. Selain itu, penulisan Rp 3000 dalam surat “Keterangan Djual Beli” tersebut juga tidak sesuai dengan kaidah ejaan yang digunakan pada masa itu. Seharusnya ditulis Rp. 3000,-. Dalam data di Arsip Nasional ditemukan bentuk Rp.360,- (1953). Selain itu kata penulisan kata pihak pada masa itu lazimnya ditulis fihak;
“Menimbang, bahwa yang Kelima: dalam surat tersebut juga ditemukan banyak sekali penggunaan singkatan dan kependekan seperti Saudara, tsb, dgn, Kl, Kb, Tg, pek, dan ket. Singkatan Saudara dan dgn memang digunakan pada kamus pada masa itu, namun tsb tidak ditemukan dalam kamus.
“Sebaliknya, dalam surat-surat yang ditemukan pada masa itu singkatan seperti itu sangat jarang digunakan. Menurut Ahli, penggunaan singkatan dan kependekan tersebut merupakan pengaruh penulisan di media sosial seperti SMS yang serba singkat dan tidak menggunakan tanda titik pada masa sekarang.
“Sebagian besar penggunaan singkatan dan kependekan di atas tidak menggunakan dengan benar karena tidak menggunakan tanda baca titik setelah singkatan dan kependekan tersebut. Ini menunjukkan gejala masa kini dan bukan kebiasaan pada tahun 1960-an;
“Menimbang, bahwa yang Keenam: berkaitan dengan kata berduduk dalam kalimat “Kp pekarangan tsb ada berduduk di Kl Tg: Binga…” tidak ditemukan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014) terdapat kata berkedudukan. Sangat janggal kata tersebut digunakan pada surat tersebut. Kata berwataskan dalam kalimat “dengan berwataskan” tidak ditemukan pada Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954), yang ada adalah bentuk berwatas(an) bukan berwataskan. Imbuhan ber-/-kan di sini tidak lazim dalam bahasa Indonesia pada masa itu. Imbuhan tersebut banyak digunakan pada masa sekarang;
“Menimbang, bahwa yang Ketujuh: mengenai gaya bahasa surat. Judul surat tertulis “Keterangan Djual Beli” sangat tegas dan sesuai dengan bahasa Indonesia sekarang. Dalam data ditemukan surat keterangan tahun 1959 yang diberi judul “Dikasih Keterangan”. Jadi, menurut ahli, bentuk judul seperti itu dipengaruhi kebiasan pada saat sekarang. Pada bagian penutup surat tersebut tertulis “Demikian Ket. diperbuat/untuk dapat dipergunakan bilamana perlu”. Ungkapan seperti itu sangat lazim dengan bahasa surat sekarang ini;
“Menimbang, bahwa yang Kedelapan: mengenai batas-batas tanah yang disebutkan dalam surat “Keterangan Djual Beli” tersebut sebenarnya tidak jelas, karena yang tertulis di situ hanya:
- Sebelah kanan dengan pekarangan Talau
- Sebelah kiri dengan pekarangan Tujo
- Sebelah Belakang dengan pekarangan Hutan,
- Sebelah Muka dengan pekarangan Pantai Penarikan.
“Bahwa benar kata kiri, kanan, belakang, dan muka dalam surat itu sama sekali tidak jelas karena tidak jelas karena tergantung kita berdiri. Pada tahun-tahun tersebut, sudah biasa digunakan kata utara, selatan, timur, dan barat. Penggunaan kata kanan, kiri, muka, dan belakang dalam surat tersebut sifatnya tidak pasti dan bergantung pada dimana kita berdiri. Ahli menyatakan berdasarkan pengalamannya menangani kasus-kasus serupa dan berdasarkan data-data di arsip nasional, penggunaan istilah utara, selatan, barat dan timur untuk menyatakan batas-batas wilayah sudah sangat dikenal pada masa itu tahun 1960;
“Menimbang, bahwa yang Kesembilan: berkaitan dengan bentuk huruf tulisan tangan, pada tahun 60-an bentuk tulisan tangan adalah huruf miring bersambung. Dunia pendidikan mendidik anak didik menulis dengan gaya penulisan huruf miring bersambung. Dalam surat tersebut, hampir tidak ada huruf miring bersambung. Semua huruf ditulis terpisah dan tampak tegak. Gaya tulis tangan seperti itu sangat biasa pada masa sekarang;
“Menimbang, bahwa terhadap kesalahan penulisan dalam suatu surat resmi tidak bisa begitu saja dibenarkan dan tidak bisa sembarangan memberikan makna terhadap perkataan yang terkandung di dalamnya. Apabila dalam surat resmi terdapat kesalahan, maka cara membenarkan yang harus dilakukan yaitu dicoret, ditulis yang benar dan diparaf, bukan dengan penebalan atau dihapus;
“Menimbang, bahwa dengan demikian Ahli Frans Asisi Datang menarik kesimpulan bahwa Surat Keterangan Segel Jual Beli tanggal 15 April 1960 tidaklah dibuat pada tahun 1960, melainkan pada tahun 1980-an dan ditulis oleh dua orang yang berbeda;
“Menimbang, bahwa menurut Ahli Markus Priyo Gunarto, makna surat palsu dalam rumusan Pasal 263 ayat (2) KUHPidana tersebut yaitu sebelumnya tidak pernah ada surat kemudian ada seseorang yang membuat surat yang seolah-olah asli, sedangkan makna surat yang dipalsukan yaitu sudah ada surat tetapi dengan perbuatan sedemikian rupa yang merubah atau menambah sehingga seolah-olah sebagai sejati. Frasa surat palsu atau dipalsukan dalam rumusan Pasal 263 ayat (2) KUHPidana dihubungkan dengan kata penghubung alternatif, oleh karena itu perbuatan yang dilakukan dapat memenuhi salah satu dari perbuatan yang tercantum dalam pasal tersebut;
“Menimbang, bahwa Ahli Markus Priyo Gunarto menerangkan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHPidana, perbuatan tersebut diancam dengan pidana jika dari perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian, artinya kerugian itu sifatnya potensial bukan aktual. Belum terjadi kerugian saja, perbuatan menggunakan surat palsu sudah dapat dipidana, apalagi yang secara nyata telah menimbulkan kerugian maka telah memenuhi unsur delik dan juga dapat dipidana;
“Menimbang, bahwa Ahli Markus Priyo Gunarto menerangkan yang orang menggunakan surat palsu tidak harus yang membuat, sepanjang yang menggunakan tahu surat tersebut palsu maka ia sudah memenuhi pasal 263 ayat (2) KUHP. Menggunakan surat palsu dapat dikategorikan bentuknya yang tidak benar atau isinya yang tidak benar, maksud dari menggunakan surat palsu adalah surat yang format, isi dan bentuknya tidak benar, walaupun surat tersebut fotokopi;
“Menimbang, bahwa Ahli Markus Priyo Gunarto menerangkan apabila ada perubahan atau penambahan pada surat ‘Keterangan Djual Beli’ tahun 1960 tersebut, maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan membuat menjadi palsu; namun apabila surat ‘Keterangan Djual Beli’ tahun 1960 tersebut belum pernah ada sebelumnya, maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan membuat surat palsu;
“Menimbang, bahwa Ahli Markus Priyo Gunarto menerangkan orang yang menggunakan suatu surat yang diduga palsu tidak perlu mengetahui pernah ada suatu pemalsuan surat, tetapi juga berdasarkan proses perjalanan waktu, orang tersebut pernah menggunakan surat tersebut tetapi di-tolak oleh instansi atau otoritas yang berwenang namun tetap digunakan untuk melakukan perbuatan hukum, maka perbuatan tersebut juga dikatakan menggunakan surat palsu dengan contoh ahli mempunyai uang palsu lalu ahli membelanjakan uang tersebut namun orang tempat saksi belanja menyebutkan uang tersebut adalah palsu, selanjutnya ahli membelanjakan kembali uang tersebut untuk objek lain, maka ahli menggunakan uang palsu, jadi dalam perkara ini yang bersangkutan tidak perlu tahu surat tersebut dibuat palsu, namun dengan perjalanan waktu yang bersangkutan akan mengetahui surat tersebut adalah palsu;
“Menimbang, bahwa dapat disimpulkan bahwa perbuatan Terdakwa Ajuin Bin Djaharan yang mengklaim lahan di Pantai Penarikan adalah milik ahli waris almarhum Djaharan berdasarkan Surat Keterangan Jual Beli Segel Tahun 1960 dengan mendatangi saksi Syahroni selaku Kepala Desa Tanjung Binga untuk berusaha menerbitkan Surat Keterangan Tanah, yang ternyata oleh saksi SYAHRONI ditolak karena dengan alasan bahwa di atas lahan tersebut telah terdapat sertifikat Hak Guna Bangunan milik PT. BELITUNG PANTAI INTAN (PT. BELPI), yang kemudian walaupun Terdakwa Ajuin Bin Djaharan sudah mengetahui di lahan yang diklaim tersebut milik PT. BELITUNG PANTAI INTAN (PT. BELPI) namun Terdakwa Ajuin Bin Djaharan tetap menjual lahan tersebut kepada H Mukhdi Syafi’ie dengan luas ± 9,9 hektar dengan harga Rp.16.000.000.000,- namun baru dibayar Rp.500.000.000,- kemudian Terdawa Ajuin Bin Djaharan bersama H. Muhdi Syafi’ie tetap berusaha memperoses permohonan penerbitan Sertifikat ke Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Belitung dengan dasar fotokopi surat Keterangan Jual Beli segel Tahun 1960 sebagai alat bukti hak yang nyatanya menurut keterangan Ahli Frans Asisi Datang, M.Hum berkesimpulan bahwa surat Keterangan Jual Beli Segel 1960 tidaklah dibuat pada tahun 1960, melainkan pada tahun 1980-an dan ditulis oleh dua orang yang berbeda serta adanya banyak sekali kejanggalan dalam hal penulisan serta adanya penebaalan dan penghapusan di dalam isi dari surat keterangan Jual Beli tahun 1960 tersebut selain itu dikaitkan dengan Keterangan AHLI Prof. DR. Marcus Prio Gunarto, SH.,Hum yang berkesimpulan apabila ada perubahan dan penambahan pada surat Keterangan Jual beli Segel Tahun 1960, maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan membuat menjadi Palsu yang format, isi, bentuknya tidak benar, dengan demikian Majelis Hakim berkeyakinan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Ajuin Bin Djaharan telah dengan sengaja memakai surat palsu yang seolah olah sejati;
“Menimbang, bahwa dapat disimpulkan perbuatan Terdakwa Ajuin Bin Djaharan mengklaim tanah yang berada di Pantai Penarikan Desa Tanjung Binga Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung adalah milik ahli waris almarhum Djaharan berdasarkan Surat Keterangan Djual Beli segel tahun 1960 yang berada di dalam areal tanah milik PT. BELITUNG PANTAI INTAN sesuai dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor ... dan selanjutnya Terdakwa Ajuin Bin Djaharan memasuki lahan PT. BELITUNG PANTAI INTAN tanpa izin, kemudian melakukan penebangan pohon didalam areal tersebut serta mendirikan bangunan berupa gubuk dan bangunan lainnya berupa bangunan semi permanen serta Terdakwa Ajuin Bin Djaharan juga memasang plang tepat disamping plang resmi milik PT. BELITUNG PANTAI INTAN (BELPI) yang berisi tulisan “ASAL USUL LAHAN INI ADALAH MILIK DJAHARAN BERDASARKAN SURAT KETERANGAN JUAL BELI DIATAS SEGEL TAHUN 1960 TANGGAL 15 APRIL 1960“ selain itu pula Terdakwa Ajuin Bin Djaharan telah menjual lahan tersebut kepada H Mukhdi Syafi’ie; dengan demikian Majelis hakim berkesimpulan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Ajuin Bin Djaharan tersebut dapat mengakibatkan PT. BELITUNG PANTAI INTAN mengalami kerugian karena kegiatan pembangunan wisata yang akan dilakukan PT. BELITUNG PANTAI INTAN menjadi terhambat;
“Menimbang, bahwa Penasihat Hukum Terdakwa dalam pembelaannya telah menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Bahwa dalam pertimbangan unsur ‘Barang Siapa’ jaksa Penuntut Umum telah ceroboh dan dipaksakan bahkan ada tindakan melakukan penuntutan terhadap orang yang bukan dan tidak sebagai pelaku pemalsu sehingga merupakan perkara yang ‘error in persona’ atau tindakan melakukan tuntutan karena tidak cukup bukti kuat untuk menyatakan terdakwa sebagai pelaku pemalsu;
- Bahwa dalam pertimbangan unsur ‘sengaja’ jaksa penuntut umum telah melakukan reka-reka dan memakai kata dan berinterprestasi sendiri dari keterangan saksi saksi dan sama halnya dengan dilakukan penyidik sehingga fakta keterangan dari keterangan saksi bukan dari fakta hukum yang sebenarnya yang didapat dipersidangan dan unsur ‘dengan sengaja’ yang dapat ditujukan kepada Terdakwa Ajuin Bin Djaharan sebagai pelaku yang telah memalsu incase Surat Keterangan Jual Beli diatas Kertas Segel Tertanggal 15 April 1960 kemudian dengan sengaja menggunakan surat aquo yang dituduhkan palsu belum dibuktikan tentang palsunya, apalagi secara jelas dan tegas dari fakta-fakta hukum bahwa surat aquo telah di terima Terdakwa dari saksi Norma Binti Suhud sebagaimana adanya;
- Bahwa dalam pertimbangan unsur ‘Memakai surat palsu atau yang dipalsu seolah olah sejati’ jaksa penuntut umum tidak menjelaskan kaitan dan dasar tuntutan atas diri Terdakwa Ajuin Bin Djaharan sebagai pelaku yang memakai surat palsu atau dipalsu seolah olah sejati sehingga Tuntutan Penuntut umum tidak relevan kepada terdakwa dan tidak jelas dan tidak dapat menguraikan rangkaian peristiwa tersebut yang mana dari fakta-fakta tidak satupun yang tahu dan menerangkan Terdakwa Ajuin Bin Djaharan telah melakukan perbuatan memalsu surat Incase Surat Keterangan Djual Beli diatas Segel tanggal 15 April 1960 karena dari fakta justru surat aquo diterima dari ibunya Norma Binti Suhud dimana dalam penggunaannya tidak digunakan dalam upaya dan dalam suatu niat serta mengatahui adanya kepalsuan dari surat aquo karena surat tersebut adalah bukti hak dari tanah warisan orangtua almarhum Djaharan, dimana kemudian digunakan dalam upaya melakukan pengurusan surat-surat untuk kepentingan hak ahli waris atas tanah warisan milik almarhum Djaharan;
“Menimbang, bahwa oleh karena seluruh unsur tindak pidana dalam dakwaan tersebut di atas telah terpenuhi dalam diri dan perbuatan Terdakwa, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Menggunakan Surat Palsu seolah-olah sejati’; namun mengenai lamanya pidana yang harus dijatuhkan kepada Terdakwa sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukannya, Majelis Hakim tidak sependapat dengan Penuntut Umum karena Terdakwa adalah tulang punggung keluarganya dan masih memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya serta Terdakwa belum pernah dihukum;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan putusan, agar putusan khususnya yang menyangkut mengenai penjatuhan pidana dapat dirasa adil, berdasarkan Pasal 197 huruf f KUHAP terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan atas diri Terdakwa:
Hal-hal yang memberatkan:
- Terdakwa tidak mengakui perbuatan yang dilakukannya;
Hal- hal yang meringankan:
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa berlaku sopan di persidangan;
- Terdakwa sebagai tulang punggung keluarganya;
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa AJUIN bin DJAHARAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘MENGGUNAKAN SURAT PALSU SEOLAH-OLAH SEJATI’;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa AJUIN bin DJAHARAN oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 8 (delapan) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 01/PID/2016/PT.BBL, tanggal 22 Februari 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa / Penuntut Umum;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjungpandan tanggal 3 Desember 2015 Nomor 153/Pid.B/2015/PN.Tdn yang dimintakan banding;
MENGADILI SENDIRI:
- Menyatakan Terdakwa AJUIN bin DJAHARAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan;
- Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut;
- Memulihkan Hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
- Memerintahkan supaya Terdakwa dibebaskan dari tahanan.”
Pihak Jaksa Penuntut mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan kasasi dari Pemohon kasasi / Jaksa / Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
“Terlepas dari alasan kasasi Jaksa / Penuntut Umum, bahwa pertimbangan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bangka Belitung yang menyebutkan bahwa fakta persidangan tidak menjelaskan / tidak membuktikan siapa sebenarnya yang membuat surat palsu tersebut, apalagi bukti pembandingnya juga tidak ada, di samping itu Terdakwa yang mengklaim tanah tersebut dengan mendalilkan bahwa Surat Jual Beli bersegel tahun 1960 tersebut adalah sebagai miliknya dan diwarisi oleh orang tuanya.
“Sementara di pihak lain, PT. Belitung Pantai Intan (PT. BELPI) juga mengklaim bahwa tanah yang dikuasai Terdakwa adalah sebagai milik PT. Belitung Pantai Intan (PT. BELPI). Untuk menguji siapa yang benar maka merupakan kewenangan Hakim Perdata yang harus diselesaikan di peradilan perdata. Oleh karena itu maka putusan Judex Facti yang membebaskan Terdakwa dari dakwaan Jaksa / Penuntut Umum harus diperbaiki dengan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti telah melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Tunggal Jaksa / Penuntut Umum, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa / Penuntut Umum dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 01/PID/2016/PT.BBL, tanggal 22 Februari 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjungpandan Nomor 153/Pid.B/2015/PN.Tdn tanggal 3 Desember 2015, untuk kemudian Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
“Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Dr. Salman Luthan, S.H., M.H., selaku Ketua Majelis dengan pendapat sebagai berikut:
- Bahwa alasan kasasi Jaksa / Penuntut Umum dapat dibenarkan karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum dalam mengadili Terdakwa dalam perkara a quo. Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungpandan yang menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana ‘Menggunakan surat palsu seolah-olah sejati’ dan karena itu Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun 8 bulan, kemudian Pengadilan Tinggi Bangka Belitung menyatakan Terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa / Penuntut Umum dan karena itu membebaskan Terdakwa dari dakwaan Jaksa / Penuntut Umum tersebut berdasarkan pertimbangan hukum yang salah.
- Judex Facti salah mempertimbangkan bahwa tidak ada seorang saksi pun yang menyatakan surat segel tahun 1960 tentang jual beli antara Ahim, Saha, Sante dan Siot selaku Penjual dan Djaharan selaku Pembeli adalah palsu, tetapi rangkaian fakta yang diungkap para saksi bahwa tanah dalam surat segel tahun 1960 tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan, sedangkan bukti kepemilikan berupa surat Hak Guna Bangunan Nomor 22, 26, 30 dan 36 adalah milik PT. Belitung Pantai Intan (PT. BELPI), yang terdaftar di BPN dan diterbitkan pada tahun 1994, 1995 dan 1996.
- Berdasarkan keterangan 5 (lima) orang saksi bahwa dalam surat segel tahun 1960 tersebut isinya meragukan karena ada penebalan tulisan batas dan nama-nama yang disebutkan dalam batas tidak memiliki tanah di lokasi tersebut, dan keterangan Ahli Frans Asisi Datang, M.Hum., Ahli Bahasa Indonesia, bahwa terdapat 9 kejanggalan yang ditemukan dalam pemakaian bahasa yang digunakan pada tahun 1960 yang mengindikasikan surat tersebut palsu.
- Bahwa untuk menyatakan suatu surat palsu tidak selalu melalui pemeriksaan laboratorium, cukup ada 2 (dua) alat bukti sudah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 182 Ayat (6) KUHAP Majelis Hakim setelah bermusyawarah mengambil keputusan dengan suara terbanyak yaitu mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tanjungpandan tersebut;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / JAKSA / PENUNTUT UMUM pada KEJAKSAAN NEGERI TANJUNGPANDAN tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 01/PID/2016/PT BBL, tanggal 22 Februari 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjungpandan Nomor 153/Pid.B/2015/PN.Tdn tanggal 3 Desember 2015 tersebut;
MENGADILI SENDIRI:
1. Menyatakan Terdakwa AJUIN bin DJAHARAN tersebut terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana;
2. Melepaskan Terdakwa AJUIN bin DJAHARAN tersebut dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging);
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.