Putusan & Perdamaian Van Dading yang Tidak dapat Dieksekusi (Amar Non Executable), Menang Diatas Kerta

LEGAL OPINIONs
Question: Rencananya para pihak yang terlibat sengketa gugat-menggugat ini, akan berdamai dengan membuat akta van dading (akta perdamaian yang dikukuhkan oleh Majelis Hakim pengadilan sehingga seketika berkekuatan hukum tetap). Apa saja yang perlu diperhatikan, agar tidak terjebak dalam keadaan putusan yang non executable?
Brief Answer: Yang terlebih perlu dipahami, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), tidak identik dengan dapat dieksekusi. Terdapat beberapa ragam model petitum (pokok permintaan dalam gugatan maupun draf naskah Akta Perdamaian yang tidak dapat dieksekusi, sekalipun kemudian dikukuhkan oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap.
Pada prinsipnya, hakim pemutus hanya mengikuti petitum dalam surat gugatan ketika gugatan dinyatakan dikabulkan, dan hanya sekadar mengukuhkan draf Akta Perdamaian dalam acte van dading yang dibuat dan dirancang oleh para pihak itu sendiri. Hakim yang mengabulkan gugatan, tidak dapat membuat amar putusan menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam petitum gugatan (terancam dikategorikan sebagai ultra-petita)
Terdapat strategi dan teknik tertentu, agar pihak penggugat tidak terjebak dalam amar putusan yang “tidak dapat dieksekusi” sekalipun gugatan dikabulkan sepenuhnya oleh majelis hakim. Begitupula, terdapat rumusan akta pedamaian dalam persidangan yang bersifat “tidak dapat dieksekusi” sekalipun secara hukum seketika berkekuatan hukum tetap.
Hal ini penting, bahkan menjadi vital, karena bila amar putusan maupun akta perdamaian ternyata non executable, dan pihak tergugat tidak bersedia tunduk ataupun mematuhi isi amar putusan maupun van dading, maka pihak Penggugat kemudian terjebak dalam kondisi tersandera dan “dead lock” secara permanen.
Ketika penggugat kembali menggugat tergugat karena tergugat melalaikan atau tidak mengindahkan amar putusan ataupun akta perdamaian bercorak “tidak dapat dieksekusi” demikian, maka batu sandungan asas larangan “nebis in idem” menjadi momok yang bagai mimpi buruk dan bagai memenjarakan.
PEMBAHASAN:
Contoh konkret berikut cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh sengketa perdata register Nomor 64/Pdt.G/2017/PN.Bna. tanggal 21 Desember 2017, perkara antara:
1. PT. SAMANA CITRA AGUNG; 2. 2.DENI FAHLEVI BIN ABUBAKAR, sebagai Para Tergugat / Pihak Pertama; melawan
- ANDAMAN, selaku Penggugat / Pihak Kedua.
Dimana terhadapnya gugat-menggugat antara para pihak, Penggugat dan Tergugat saat dalam proses persidangan setuju dan bersepakat untuk berdamai dan mengakhiri gugatan, yang kemudian dituangkan ke dalam draf akta perdamaian yang kemudian dikukuhkan oleh hakim pengadilan.
Maka, seketika itu juga jalannya perkara gugatan diakhiri, dan Majelis Hakim mengukuhkan draf / naskah akta perdamaian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak yang saling bersengketa tersebut, dengan membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Yang menerangkan bahwa mereka bersedia untuk mengakhiri persengketaan di antara mereka seperti yang termuat dalam surat gugatan tersebut, dengan jalan perdamaian melalui mediasi dan untuk itu telah mengadakan persetujuan berdasarkan Kesepakatan perdamaian secara tertulis tertanggal 15 Desember 2017 sebagai berikut;
Pasal 1
PIHAK PERTAMA berkewajiban menyelesaikan persoalan-persoalan yang diminta oleh PIHAK KEDUA dan juga PIHAK KEDUA menyelesaikan persoalan-persoalan yang diminta oleh PIHAK PERTAMA dengan ketentuan kedua belah pihak sanggup melaksanakan secara nyata.
Pasal 2
PIHAK PERTAMA bersedia secara ikhlas menyerahkan antara lain, Laporan PT. Samana Citra Agung antara lain, laporan rugi-laba, laporan keuangan tahun 2014, laporan keuangan tahun 2015, laporan keuangan tahun 2016 yang telah di audit oleh Akuntan Publik, memperlihatkan dalam RUPS perjanjian kerja sama atau join ventura agreement antara perseroan dengan Semen Indonesia serta lampirannya, perjanjian jual beli saham bersyarat atau akta pengalihan hak atas saham, rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha perseroan, laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh dewan komisaris selama tahun buku yang baru lampau, nama anggota direksi dan dewan komisaris dan gaji, tunjangan bagi anggota direksi, gaji atau honorarium tunjangan anggota dewan komisaris perseroan untuk tahun baru lampau serta dokumen-dokumen lain yang terkait dengan perusahaan.
Pasal 3
PIHAK PERTAMA wajib memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Memberikan Hak Sdr. Andaman Ibrahim berupa gaji sebagai Direktur selama 38 bulan semenjak sakit yang belum dibayar;
2. Menyatakan gaji pokok Direksi PT. Samana Citra Agung sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per bulan;
3. Telah membayarkan gaji Sdr Andaman Ibarahim secara penuh selama 13 bulan terhitung sejak bulan September 2014 sampai dengan September 2015 sesuai dengan kesepakatan para pemegang saham;
4. Menyetujui bersama PIHAK KEDUA pembayaran gaji yang belum dilakukan pembayaran selama 25 bulan terhitung sejak Oktober 2015 sampai dengan Oktober 2017 sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) perbulan seperti yang telah disepakati dan disetujui sejumlah Rp. 125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah;
5. Membayar sisa pembayaran gaji sebagaimana disebutkan pada poin nomor 4 diatas paling lama 4 Januari 2018 setelah perkara pidana dan perdata dicabut sesuai dengan pasal 4;
6. Menerima dan menjadikan PIHAK KEDUA sebagai karyawan dan atau pekerja yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pencabutan semua perkara baik pidana maupun perdata;
7. Menyetujui bersama PIHAK KEDUA pemberian pinjaman sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang akan dikurangkan dari deviden setelah dilakukan perhitungan dengan merujuk kepada laporan keuangan tahun 2014, tahun 2015, dan tahun 2016 yang sekarang masih dalam proses pengerjaan, diberikan selambat-lambatnya tanggal 4 Januari 2018 setelah perkara pidana dan perdata di cabut sesuai dengan pasal 4;
Pasal 4
Bahwa PIHAK KEDUA sebagaimana yang disebut dalam Pasal 3 akan mencabut dan menggugurkan sendiri Perkara Pidana (laporan Polisi) No. ... tanggal 25 Agustus 2017 di Polresta Banda Aceh dan mencabut Perkara Permohonan No. 191/Pdt.P/2017/PN.Bna tanggal 1 November 2017 yang ada di Pengadilan Negeri Banda Aceh yang terkait dengan PIHAK PERTAMA atau juga dengan PT. Samana Citra Agung.
Pasal 5
Bahwa PIHAK KEDUA sepakat menjual sebidang tanah dengan 11 helai sertifikat atas nama Andaman Ibrahim di Desa Kulee Kec. Batee Kab. Pidie kepada PT. Semen Indonesia Aceh untuk kepentingan pembangunan pabrik semen, mengenai pembagian akan disesuaikan dengan bukti-bukti kepemilikan kedua belah pihak.
Pasal 6
Bahwa PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah terjadi penyelesaian sebagaimana disebut dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 maka PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sudah bisa bersepakat untuk melaksanakan seluruh isi perjanjian sebagaimana tuntutan kedua belah pihak dan dalam hali ini perlu diatur dalam perjanjian selanjutnya.
Pasal 7
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat jika terdapat hutang piutang Sdr. Andaman Ibrahim semasa menjabat Direktur PT. Samana Citra Agung kepada perseroan yang nominalnya nanti akan dibicarakan dalam RUPS.
Pasal 8
Bahwa PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah menyetujui dengan penandatanganan PERJANJIAN DASAR KESEPAKATAN DAMAI ini.
PERJANJIAN DASAR KESEPAKATAN DAMAI dibuat dua rangkap dengan ditempelkan materai secukupnya dan keduanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
“Setelah isi Kesepakatan Perdamaian di bacakan kepada kedua belah pihak, masing-masing pihak menerangkan dan menyatakan menyetujui seluruh isi Kesepakatan Perdamaian tersebut.
“Kemudian Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan Putusan sebagai berikut:
P U T U S A N
Nomor 64/Pdt.G/2017/PN.Bna.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
“Telah membaca Kesepakatan Perdamaian tersebut di atas;
“Telah mendengar kedua belah pihak berperkara;
“Mengingat Pasal 154 RBg dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan serta ketentuan peraturan Perundangundangan lain yang bersangkutan.
M E N G A D I L I :
- Menghukum kedua belah pihak Penggugat dan Tergugat untuk mentaati dan melaksanakan Kesepakatan Perdamaian yang telah disetujui tersebut.”
Catatan Penutup Penulis:
Menjadi pertanyaan klasik yang mendasar, bagaimana bila seandainya pihak Tergugat tidak bersedia secara sukarela mengindahkan dan melaksanakan isi amar / akta perdamaian demikian? Mungkinkah, pihak Penggugat dengan berbekal model amar / akta perdamaian demikian, memohon eksekusinya kepada Ketua Pengadilan Negeri? Mungkinkah jurusita pengadilan dapat mengeksekusinya? Bagaimana cara mengeksekusinya?
Corak karakter amar / akta perdamaian demikian, semata mengandalkan itikad baik pihak Tergugat untuk patuh dan memenuhinya. Yang disebut dengan putusan yang non-executable, tidak lain ialah amar putusan yang semata mengandalkan itikad baik dan kesukarelaan pihak Tergugat untuk tunduk dan patuh, dimana pihak pengadilan sekalipun tidak akan mampu mengintervensi sekalipun pihak Tergugat melalaikannya.
Tips pertama yang dapat SHIETRA & PARTNERS rekomendasikan, hindari jebakan model “menang di atas kertas” demikian dengan mengetahui amar putusan dan van dading apa yang harus dihindari. Tips kedua, cantumkan petitum ataupun rumusan akta perdamaian, yang bersifat subsidair, dalam arti bila perikatan / penghukuman didalamnya tidak diindahkan oleh pihak Tergugat, maka terdapat alternatif metode eksekusi lainnya yang lebih mudah, sebagai contoh dengan rumusan petitum / akta perdamaian, antara lain sebagai berikut:
“Bila pihak Tergugat melalaikan amar putusan / akta perdamaian ini, maka setelah lewatnya waktu 30 hari, dapat dimaknai pihak Tergugat bersedia dan menyanggupi untuk memberi kompensasi sebesar Rp. ... yang dapat ditagih secara seketika dan tunai, dimana Penggugat akan dianggap sebagai pihak yang berhutang dengan demikian, dimana seluruh harta benda pihak Tergugat dapat disita eksekusi untuk dieksekusi.”
Kata kuncinya ialah membuat model petitum ataupun rumusan akta perdamaian yang bagai memiliki struktur hierarkhis ketika pihak Tergugat melalaikan perikatan / penghukuman pokok dalam amar putusan maupun akta perdamaian. Sehingga, dengan model subsidairitas demikian, secara seketika alternatif substansi eksekusi dapat ditempuh dan diberlakukan sebagai opsi pamuncak yang lebih rasional.
Merumuskan petitum ataupun akta perdamaian yang membuka celah / ruang untuk tidak ditaati pihak Tergugat, sama artinya mengundang niat buruk pihak Tergugat untuk tidak mengindahkannya sama sekali amar putusan ataupun akta perdamaian demikian. Seyogianya kita tidak mengundang niat-niat buruk untuk memanfaatkan “celah” demikian yang berpotensi disalah-gunakan sebagai “penjegal” langkah hukum selanjutnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.