LEGAL OPINION
Question: Bukannya semua kasus penyerobotan tanah ataupun perebutan rumah, selalu merupakan sengketa perdata (sengketa kepemilikan tanah)? Maksudnya, kapan penyerobotan tanah baru dapat benar-benar dapat disebut bukan sengketa perdata, namun merupakan pidana murni?
Kalau memang bisa begitu, semua orang dapat saja asal mengklaim sebagai pemilik rumah, tunjuk rumah ini lalu tunjuk rumah itu sebagai miliknya pakai dokumen yang tidak jelas, lalu apa bisa dibenarkan menyerobot begitu saja tanpa ancaman pidana bagi pelakunya yang asal mengklaim itu?
Brief Answer: Untuk memudahkan pemahaman terhadap isu hukum yang kompleks, untuk itu SHIETRA & PARTNERS memberikan ilustrasi lewat perbandingan analogi. Analogi pertama, A dan B sama-sama memiliki sertifikat hak atas tanah yang asli / otentik, namun ternyata bidang tanahnya saling tumpang-tindih satu sama lain (overlaping). Konstruksi dari analogi demikian, adalah murni perkara perdata, sekalipun satu sama lain saling menuduh telah menyerobot bidang tanah yang sama.
Analogi kedua, sengketa klaim kepemilikan tidak disertai oleh bukti yang sahih oleh salah satu pihak yang menyerobot bidang tanah yang telah bersertifikat milik orang lain. Maka, perlu kita bedakan antara klaim sepihak yang “sumir”, dan klaim para pihak yang masing-masing saling-saling memiliki dasar hukum alas hak kepemilikan yang sahih. Tiada pidana tanpa kesalahan, demikian adagium ilmu hukum pidana menyatakan.
Yang cukup mengherankan ialah ketika pembeli lelang eksekusi Hak Tanggungan telah memenangkan lelang eksekusi berupa bidang tanah, dan telah dikukuhkan dalam “balik-nama” sertifikat hak atas tanah berdasarkan Risalah Lelang Eksekusi, namun pembeli lelang baru hanya dapat menempati objek bidang tanah lewat perantaraan jurusita pengadilan, meski bila kita taat asas, maka sekalipun pembeli lelang “menyerobot” masuk objek bidang tanah / bangunan yang dibelinya tanpa peran eksekusi pengosongan lewat perantara jurusita pengadilan, maka hal tersebut murni perkara perdata sengketa kepemilikan, bukan pidana. Tidaklah logis, pemilik bidang tanah sebagaimana tercantum dalam data yuridis sertifikat hak atas tanah, disebut telah “menyerobot” tanah milik sahnya sendiri.
PEMBAHASAN:
Norma hukum pidana terkait memasuki pekarangan milik orang lain tanpa izin, tertuang secara selengkapnya dalam ketentuan Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
1) Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, atau barangsiapa tidak setahu yang behak lebih daulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk.
3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan;
4) Pidana tersebut dalam ayat (1) dan (3) dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.
Terdapat ilustrasi konkret, salah satunya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 346 K/Pid/2009 tanggal 30 Juli 2009, dimana Terdakwa didakwa karena telah memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipakai PT. Prima Karya Kencana dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan / suruhan pemilik tanah, tidak pergi dengan segera, dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu yang dilakukan oleh para Terdakwa, yang memimpin sekitar 100 orang memasuki pekarangan tertutup yang merupakan lokasi proyek milik PT. Prima Karya Kencana tanpa ijin, kemudian memasang patok dari bambu dan membangun bangunan dari kayu dan atap seng serta memasang kawat berduri yang menghubungkan patok-patok tersebut, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 167 Ayat (1) dan Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bermula ketika karyawan PT. Prima Karya Kencana meminta Terdakwa I, Terdakwa II dan sekitar 100 orang bersama mereka untuk keluar dari pekarangan tertutup milik PT. Prima Karya Kencana, Terdakwa I, Terdakwa II yang memimpin sekitar 100 orang menolak meninggalkan lokasi dengan alasan bahwa tanah di lokasi tersebut adalah milik Terdakwa I, Terdakwa II dan keluarga besar keduanya, dan belum mendapat ganti-rugi dari pihak PT. Prima Karya Kencana. [Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan, isu hukum yang bergulir kemudian ternyata oleh Mahkamah Agung tidak dinyatakan sebagai sengketa perdata kepemilikan, namun sebagai pidana murni.]
Pada kenyataannya alas hak dari pekarangan tertutup yang merupakan lokasi proyek PT. Prima Karya Kencana yang dimasuki tanpa ijin oleh Terdakwa I, Terdakwa II dengan memimpin sekitar 100 orang tersebut, adalah Sertifikat Hak Guna Bangunan No.393 / Cengkareng atas nama PT. Prima Karya Kencana, sedangkan yang menjadi “alas hak” terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 11 September 1987, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama PT. Prima Karya Kencana.
Pemilik tanah kemudian melayangkan 3 kali Somasi kepada Terdakwa I, Terdakwa II, yang masing-masing somasi menyebutkan agar orang-orang yang memasuki lokasi tanah milik PT. Prima Karya Kencana tanpa ijin untuk meninggalkan lokasi, akan tetapi Terdakwa I, Terdakwa II dan sekitar 100 orang yang memasuki lokasi tanah PT. Prima Karya Kencana tanpa ijin tersebut, tidak kunjung meninggalkan lokasi. Akhirnya pemilik tanah melaporkan perbuatan para Terdakwa ke pihak berwajib.
Jaksa Penuntut juga mendakwa pasal berlapis dalam bentuk dakwaan kumulatif Dakwaan Kedua, dimana para Terdakwa didakwa karena telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati berupa Girik an. MONEL bin MURSIN seluas 4.550 m², Girik an. Asim bin MOERSIN seluas 4.550 m², dan Girik an. IMANG bin MURSIN seluas 4.030 m², jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian terhadap pemilik tanah yang sebenarnya, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Para Terdakwa memasuki lokasi tanah milik PT. Prima Karya Kencana, dengan mengklaim memakai Girik No.314 Persil 8 b S II an. MOERSIN bin OSAN, sedangkan Girik yang diklaim tersebut berada dalam penguasaan Sdr. H. SUKARNA sebagai jaminan dari pinjaman uang Rp.100.000.000,- yang dilakukan para Terdakwa berdasarkan kuitansi tanggal 28 Oktober 2004 dan Surat Kuasa tanggal 23 Oktober 2004, padahal kenyataannya girik yang diklaim para Terdakwa yang dikuasai Sdr. H. SUKARNA tersebut yaitu Girik 314 Persil 8 b S II seluas 10.510 m² an. MOERSIN bin OSAN tidak terdaftar pada buku pencatatan Daftar C yang ada di Kantor Kel. Cengkareng Barat.
Kenyataannya alas hak dari lokasi proyek PT. Prima Karya Kencana yang diklaim sebagai milik Terdakwa I, Terdakwa II, adalah Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 393/Cengkareng atas nama PT. Prima Karya Kencana. Sedangkan terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 11 September 1987 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama PT. Prima Karya Kencana, dan di dalam diktumnya menimbang bahwa Sertifikat tersebut berasal dari Tanah Negara Bekas Milik Adat C No. : 1017, 1372, 1587, 3247, 2880, 2771, 1574, 2772, 2897, 3127, 3051, 3040, 3034, 3050, 2776, 3098, 2774, 553, 62, 555, 1237, 1609, 2747, 1237, 1239, 917, 2706, 1471, 3057, 3058, 1470, 353/Cengkareng …. dst. sedangkan letak lokasi tanah tersebut dapat diketahui berdasarkan Surat Ukur / Gambar Situasi tertanggal 16 Juni 1986, dan pada saat ini di atas lokasi tanah tersebut didirikan proyek perumahan Taman Kencana.
Para Terdakwa dengan demikian, menggunakan surat Girik Letter C yang seolah-olah sejati, alias palsu untuk menjadi dasar klaim kepemilikan dan merugikan pihak pemilik tanah yang sah. Para Terdakwa bahkan sempat mengajukan gugatan dengan menggunakan surat-surat girik palsu demikian.
Akibat perbuatan Terdakwa, setidak-tidaknya dapat menimbulkan kerugian immateriil terhadap pemilik PT. Prima Karya Kencana, karena mengganggu reputasi dan proses penjualan rumah-rumah yang dibangun pada lokasi tanah yang diklaim oleh para Terdakwa berdasarkan girik-girik yang seolah-olah sejati tersebut.
Terhadap tuntutan pihak Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 1825/Pid/B/2006/PN.JKT.BRT tanggal 11 September 2006, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menyatakan Terdakwa I SOLIHIN bin SAI’IH dan Terdakwa II IDRIS SANWANI bin SAI’IH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:
1. Secara tanpa hak masuk ke dalam pekarangan orang lain dan tidak segera pergi dari tempat itu atas permintaan yang berhak secara bersama-sama;
2. Mempergunakan surat palsu secara bersama-sama;
- Menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa masing-masing dengan pidana penjara Terdakwa I, 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan Terdakwa II, 1 (satu) tahun.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 63/PID/2007/PT.DKI tanggal 31 Juli 2007, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permintaan banding yang diajukan oleh Terdakwa dan Penuntut Umum;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Nomor 1825/Pid/B/2006/PN.JKT.BRT tanggal 11 September 2006 yang dimintakan banding tersebut.”
Pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi / para Terdakwa : I. SOLIHIN bin SAI’IH dan II. IDRIS SANWANI bin SAI’IH tersebut.”
Untuk membuat kontras sebagai perbandingan, SHIETRA & PARTNERS perlu merujuk pula putusan pidana dalam perkara terpisah sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1079 K/PID/2016 tanggal 21 Desember 2016, dimana Terdakwa didakwa karena telah dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 385 Ayat (1) KUHP.
Bermula saat H. Abdul Rauf (Alm) semasa masih hidup, telah mendapat bagian pembagian waris berupa bidang tanah darat dari tanah warisan alm. H. Buang seluas 1300 M2, di mana H. Abdul Rauf (Alm) mendapat bagian seluas 630 M2, Sdr. Mardiyah mendapat bagian 285 M2, dan Terdakwa mendapat bagian 285 M2 sesuai dengan Akta Pembagian dan Pemisahan tertanggal 09 Januari 1997.
Bagian tanah warisan yang diterima Terdakwa kemudian dijual olehnya kepada Rosid seluas 223,50 M2, namun untuk uang penjualannya yang menerima adalah H. Abdul Rauf sedangkan tanah sisanya seluas 85 M2 dijual kepada Jamhuri, sedangkan uangnya telah diterima ibu Terdakwa.
Setelah H. Abdul Rauf meninggal dunia, ahli warisnya H. Abdul Rauf, yaitu Sdr. Rufkih ada menjual bidang tanah seluas 251 M2 kepada Sdr. Ansori sesuai dengan Akte Jual Beli tertanggal 26 Agustus 2011, dikarenakan fisik tanah masih kosong bisa langsung dikuasai oleh Sdr. Ansori yang kemudian pihak Terdakwa dan Sdr. Jubaedah mengetahuinya sehingga mengajukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 2012 dengan putusan Nomor 83/PDT.G/2012/PN.TNG, akan tetapi gugatan tersebut dimenangkan oleh Sdr. Rufkih selaku ahli waris dari alm. H. Abdul Rauf, kemudian pihak Terdakwa dan Jubaedah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten tahun 2013 dengan Putusan Nomor 71/PDT/2013/PT.BTN. yang ternyata juga tetap dimenangkan oleh pihak Sdr. Rufkih selaku ahli waris alm. H. Abdul Rauf.
Berlanjut pada tahun 2014 Sdr. Rufkih kembali menjual sisa tanah milik alm. H. Abdul Rauf seluas 379 M2 kepada saksi Ansori sesuai Akte Jual Beli tertanggal 16 Oktober 2014, sehingga total luas tanah yang didapat Sdr. Ansori ialah seluas 630 M2 yang ketika itu masih berwujud tanah kosong sehingga dapat Sdr. Ansori kuasai sampai sekarang.
Setelah Sdr. Ansori membeli tanah tersebut, kemudian Terdakwa mengajukan gugatan secara perdata kepada Tergugat Rufki selaku ahli waris H. Abdul Rauf atas tanah yang Sdr. Ansori beli termasuk bangunan rumah tua yang sampai sekarang ditinggali oleh Sdri. Jubaedah.
Dalam putusan perdata di Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 83/PDT.G/2012/PN.TNG, majelis hakim “menolak gugatan” Terdakwa, yang kemudian dalam tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Banten juga “menolak gugatan” yang diajukan Terdakwa, yang berarti bahwa bidang tanah yang Sdr. Ansori beli, termasuk rumah yang sekarang ini ditempati Sdri. Jubaedah, adalah milik Rufkih selaku ahli waris dari H. Abdul Rauf.
Sdr. Ansori kemudian memberi somasi (surat teguran) kepada Terdakwa untuk pergi dari rumah tersebut, tetapi Terdakwa dan Sdri. Jubaedah masih tetap tinggal di atas bidang tanah yang telah dibelinya. Selanjutnya, Terdakwa pada tanggal 25 Pebruari 2015 menjual tanah seluas 630 M2 kepada Sdr. H. Hamidi dengan harga sebesar Rp600.000.000,00 akan tetapi tidak dilengkapi dengan Surat Akte Jual Beli.
Pada saat Sdr. Ansori akan membuat pagar, namun dihalangi oleh pihak Terdakwa. Kemudian Sdr. Ansori melaporkan Terdakwa kepada pihak Kelurahan Batu Jaya untuk dimediasi, namun Sdr. Ansori mendapat keterangan dari Lurah Batu Jaya yang menerabgkan bahwa bidang tanah milik Sdr. Ansori telah dijual kepada H. Hamidi berdasarkan bukti berupa surat pernyataan jual beli dan kuitansi penyerahan uang, sehingga Sdr. Ansori melaporkan kepada pihak Kepolisian.
Terhadap tuntutan pihak Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1959/Pid.B/2015/PN.Tng. tanggal 14 April 2016, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa Siti Rodaya binti (alm) H. Buang terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana;
2. Melepaskan Terdakwa Siti Rodaya binti (alm) H. Buang oleh karena itu dari segala tuntutan hukum;
3. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
Pihak Jaksa Penuntut mengajukan keberatan, berupa upaya hukum kasasi dengan kukuh mendalilkan bahwa telah terjadi penggelapan hak atas barang tidak bergerak dan atau memasuki pekarangan tanpa ijin dan atau menguasai tanah tanpa hak. Dimana terhadap keberatan demikian, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung berpendapat: Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum. Putusan Judex Facti yang menyatakan bahwa Terdakwa ‘terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana’, didasarkan pada pertimbangan yang tepat dan benar atas seluruh fakta hukum yang terungkap dalam persidangan;
“Bahwa yang menjadi objek tindak pidana dalam perkara a quo adalah atas sebidang tanah yang terletak di Jalan ... , tanah milik H. Abdul Rauf yang berasal dari pembagian harta warisan H. Buang, yang kemudian dijual oleh Rufkih (ahli waris H. Abdul Rauf) kepada saksi Ansori dengan Akta Jual Beli Nomor 175/2014 tanggal 16 Oktober 2014, sedangkan Terdakwa Siti Rodaya juga menjual tanah yang sama kepada H. Hamidi dengan alasan bahwa Terdakwa telah menerima penggantian dari alm. Abdul Rauf, karena H. Abdul Rauf semasa hidupnya telah menjual bagian warisan Terdakwa Siti Rodaya (tanah sawah); [Note SHIETRA & PARTNERS: Sangatlah berbahaya bila Majelis Hakim hanya mendengar secara satu pihak dari pihak Jaksa Penuntut, tanpa mendengarkan keterangan dari pihak Terdakwa.]
“Bahwa ternyata Terdakwa atas permasalahan diantara para ahli waris tersebut telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang dengan perkara nomor 83/Pdt.G/2012/PN.Tng. dengan Siti Rodaya selaku Penggugat, sedangkan Para Tergugat adalah seluruh ahli waris alm. H. Abdul Rauf, dan dalam perkara gugatan tersebut Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan gugatan Penggugat ‘kabur’ karena menggabungkan gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, oleh karenanya gugatan ‘dinyatakan tidak dapat diterima’, dan putusan Pengadilan Negeri Tangerang tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten dalam putusan nomor 71/PDT/2013/PT.BTN. tanggal 29 Juli 2013, dengan demikian putusan pengadilan atas gugatan Penggugat tersebut belum masuk pada pemeriksaan mengenai pokok perkara; [Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, gugatan para Terdakwa bukanlah telah “ditolak” sebagaimana klaim Jaksa Penuntut Umum.]
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa atas tanah objek sengketa belum ditentukan siapakah yang paling berhak, oleh karena itu perbuatan Terdakwa sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, murni merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan;
“Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan. Alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
“MENGADILI :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.