Pelanggaran Pegawai yang Tidak Menyetor Uang Hasil Penjualan ke Rekening Perusahaan

LEGAL OPINION
PERIHAL KADALUARSA / MASA BERLAKU HAK PEMBATALAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Question: Staf bagian penagihan pembayaran dari para pelanggan, ternyata tidak meyetorkan dana pembayaran itu ke kas atau rekening perusahaan. Itu termasuk pelanggaran berat kan, bisa dipecat langsung karyawan yang melakukan pelanggaran begitu?
Brief Answer: Seorang Pekerja yang tidak menyerahkan dana hasil penjualan / pelunasan dari konsumen, memang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap peraturan / SOP perusahaan pemberi kerja. Hanya saja untuk dapat di-putus hubungan kerja (PHK), berdasarkan preseden / praktik peradilan yang ada di Pengadilan Hubungan Industrial, wajib disertai kompensasi sebesar 1 kali ketentuan pesangon. Sementara perihal dugaan “penggelapan dalam ranah pekerjaan”, hal tersebut merupakan ranah Majelis Hakim perkara pidana untuk memutus.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 52 PK/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 28 September 2016, perkara antara:
- SANTOSO, sebagai tanggal 30 September 2015, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. SUZUKI FINANCE INDONESIA, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat.
Penggugat terkena PHK secara sepihak oleh Tergugat pada tanggal 25 Mei 2012, dimana sebelum dilakukan PHK Tergugat tidak pernah mengeluarkan Surat Peringatan (SP) atas kesalahan yang diduga dilakukan oleh Penggugat, dan juga Tergugat tidak pernah merundingkan terlebih dahulu dengan Penggugat tentang rencana pemutusan hubungan kerja demikian.
Sementara upah Penggugat sejak bulan Mei 2012, belum dibayar, demikian juga hak-hak Penggugat lainnya yaitu Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2012 dan tahun 2013, selama tidak dipekerjakan hingga gugatan ini diajukan, juga belum dibayar.
Terhadap gugatan sang mantan Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya kemudian menjatuhkan putusan Nomor 22/G/2014/PHI.Sby, tanggal 23 Juli 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara;
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat tidak sah dan batal demi hukum;
3. Menyatakan Putus Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak dibacakannya Putusan ini yaitu terhitung sejak tanggal 23 Juli 2014;
4. Menghukum Tergugat membayar Penggugat Uang Pesangon sebesar 2 (dua) kali Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan masa kerja sebagaimana Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sebagaimana Pasal 156 ayat (4) Undang–Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan jumlah total sebesar Rp38.771.560,00;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar Penggugat gaji bulan Mei 2012 dan gaji selama tidak dipekerjakan serta hak–hak Penggugat lainnya antara lain Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2012 dan tahun 2013, sebesar Rp47.596.800,00 dengan perincian sebagai berikut;
- Gaji bulan Mei 2012 = Rp1.983.200,00.
- Gaji selama tidak dipekerjakan: 21 bulan xRp1.983.200,00 = Rp41.647.200,00.
- THR tahun 2012 dan tahun 2013: 2 x Rp1.983.200,00 = Rp3.966.400,00
Jumlah = Rp47.596.800,00.”
Dalam tingkat kasasi, yang kemudian menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 633 K/Pdt.Sus-PHI/2014, tanggal 21 Januari 2015, sebagai berikut:
MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi PT. Suzuki Finance Indonesia tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 22/G/2014/PHI.Sby, tanggal 23 Juli 2014;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Dalam putusan tingkat kasasi diatas, gugatan sang Pekerja dinyatakan telah kadaluarsa, oleh sebab Mahkamah Agung secara keliru semata-mata hanya merujuk norma Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang memiliki pengaturan:
Pekerja / buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja / buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja / buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Kini, perhatikan tiga buah pasal dalam pengaturan norma diatas yang terikat limitatif masa kedaluarsa, yakni akan kita telaah esensi Pasal 158, Pasal 160, serta Pasal 162 UU Ketenagakerjaan.]
Putusan tingkat kasasi, sama sekali tidak mengindahkan norma putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004, yang menyatakan bahwa anak kalimat “Pasal 158 ayat (1)” sudah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan kata lain, ketika seorang Pekerja di-PHK dengan alasan terjadi pelanggaran berat vide Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, maka ketentuan masa kadaluarsa hak menggugat PHK limitatif 1 tahun, tidak berlaku dalam konteks PHK berdasarkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI per tanggal 28 Oktober 2004 dalam perkara Nomor 012/PUU-I/2003, dengan amar putusannya sebagai berikut:
Mengadili:
“Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian;
“Menyatakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
- Pasal 158
- Pasal 159;
- Pasal 160 ayat (1) sepanjang anak kalimat ‘bukan atas pengaduan pengusaha’;
- Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat ‘kecuali Pasal 158 ayat (1)’;
- Pasal 171 sepanjang anak kalimat ’Pasal 158 ayat (1)’;
- Pasal 185 sepanjang mengenai anak kalimat ‘Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)’;
Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Menyatakan Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160 ayat (1) sepanjang anak kalimat ‘bukan atas pengaduan pengusaha’, Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat ‘kecuali Pasal 158 ayat (1)’, Pasal 171 sepanjang anak kalimat ‘Pasal 158 ayat (1)’, dan pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat ‘Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan’ tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Sementara, adapun substansi norma Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, berbunyi sebagai berikut:
“Gugatan oleh pekerja / buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.”
Dengan demikian Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 konteksnya adalah mengatur pemutusan hubungan kerja, sebagaimana yang dimaksud dalam:
- Pasal 159 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Apabila pekerja / buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja / buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian hubungan industrial.”
- Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004, Pasal 159 dimaksud diatas sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan korektif, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan peninjauan kembali tanggal 20 Oktober 2015 dan jawaban alasan peninjauan kembali tanggal 8 Desember 2015, dihubungkan dengan pertimbangan (Judex Juris / Judex Facti), ternyata telah terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa kekeliruan yang nyata dari putusan Judex Juris adalah seharusnya ketentuan Pasal 82 Undang-Undang tahun 2004, tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo karena alasan PHK tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 160 dan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Bahwa gugatan Penggugat / Pemohon Peninjauan Kembali terkait dengan PHK akibat Pemohon menurut Termohon Peninjauan Kembali melakukan penyalahgunaan dana nasabah yang melanggar peraturan perusahaan, sama sekali tidak terkait dengan alasan PHK karena mengundurkan diri dan melakukan tindak Pidana sebagaimana secara tegas diatur Pasal 160, 162, 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 kadaluarsa gugatan selama 1 tahun, dengan demikian gugatan beralasan hukum tidak kadaluarsa;
[Note SHIETRA & PARTNERS: Adapun substansi norma Pasal 160 UU Ketenagakerjaan:
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja / buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja / buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja / buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja / buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)  dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan  hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja / buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).”
[Artinya, bila seandainya Pengusaha mem-PHK sang Pekerja yang sedang menjalani proses persidangan perkara pidana sebagai Terdakwa, namun dalam amar putusan pengadilan pidana dinyatakan “tidak bersalah / dibebaskan”, maka hak gugat terhadap PHK yang dialami sang Pekerja, memiliki masa kadaluarsa 1 tahun setelah amar putusan pengadilan perkara pidana.
[Sementara kaedah norma Pasal 162 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pekerja / buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
[Artinya, sebagai contoh, seorang Pekerja yang mengundurkan diri, namun karena pasca pengunduran diri ternyata tawaran kompensasi dari pihak Pengusaha tidak dibayarkan, maka pengunduran diri sang Pekerja dapat digugat pembatalannya oleh sang Pekerja itu sendiri, dengan jangka waktu paling lambat 1 tahun sejak pengundurkan diri dilakukan.
[Singkat kata, diluar konteks Pasal 160 dan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan, hak gugat pembatalan PHK, tidak memiliki masa berlaku, dan juga tidak dibatasi maksimum hanya boleh diajukan paling lambat 1 tahun sejak terjadinya PHK.]
“Bahwa dalam pokok perkara sesuai dengan alat bukti tertulis dan saksi benar Penggugat melakukan penundaan penyetoran dana nasabah yang sudah ditagih dan dugaan memanipulasi tanda-tangan nasabah, perbuatan mana menururt Judex Facti harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan Pidana tidak dibenarkan, karenanya salah menerapkan hukum;
“Bahwa perbuatan tersebut merupakan pelanggaran apalagi perusahaan tempat kerja Pemohon dalam bidang keuangan namun bukan merupakan kesalahan berat sebagaimana PHK Pengusaha, sehingga berhak atas kompensasi 1 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan adil diberikan upah proses 6 bulan sesuai dengan lamanya proses penyelesaian perselisihan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 juncto Rumusan Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia;
“Bahwa perhitungan hak kompensasi Pemohon Peninjauan Kembali adalah:
4.1 Uang Pesangon 1 x 7 x Rp1.983.200,00 =Rp13.882.400,00;
4.2 Uang Penghargaan Masa Kerja 3 x Rp1.983.200,00 =Rp 5.949.600,00;
4.3 Uang Penggantian Hak 15 % x Rp19.832.000,00 =Rp 2.974.800,00;
4.4 Uang Proses PHK 6 bulan upah =Rp11.899.200,00;
Jumlah =Rp34.706.000,00;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: SANTOSO tersebut dan membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 633 K/Pdt.Sus-PHI/2014, tanggal 21 Januari 2015, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: SANTOSO tersebut;
- Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 633 K/Pdt.Sus-PHI/2014, tanggal 21 Januari 2015;
“MENGADILI KEMBALI
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan PHK antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan Judex Facti diucapkan;
3. Menghukum Tergugat / Pengusaha membayar uang kompensasi PHK kepada Penggugat Rp34.706.000,00 dengan rincian sebagai berikut:
- Uang Pesangon 1 x 7 x Rp1.983.200,00 = Rp13.882.400,00;
- Uang Penghargaan Masa Kerja 3 x Rp1.983.200,00 = Rp 5.949.600,00;
- UangPenggantian Hak 15 % x Rp19.832.000,00 = Rp 2.974.800,00;
- Uang Proses PHK 6 bulan upah = Rp11.899.200,00;
Jumlah = Rp34.706.000,00;
4. Menolak gugatan selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.