Membiarkan Dianggap Diam-Diam Melepaskan Hak, Kadaluarsa Mengakibatkan Penelantaran Objek Tanah

LEGAL OPINION
Question: Yang namanya hak milik, bukannya artinya tanah itu selamanya menjadi milik pemiliknya?
Brief Answer: Pada prinsipnya segala bentuk penelantaran melahirkan konsekuensi yuridis lepasnya hak atas suatu objek benda bergerak maupun tidak bergerak. Terutama objek tanah yang ditelantarkan selama kurun waktu tertentu, melahirkan hak kepemilikan bagi penguasa fisik objek tanah dan disaat bersamaan mengakibatkan hapusnya hak bagi pihak yang telah menelantarkan objek tanah.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 475 PK/Pdt/2016 tanggal 14 Desember 2016, perkara antara:
- KAERUMAN, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; melawan
- TAUCHID, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat.
Yang menjadi pokok sengketa dalam gugatan ini, ialah ketika Penggugat tidak dapat mengajukan pendaftaran hak atas tanah ke Kantor Pertanahan atas sebdang tanah, karena masih dikuasai oleh Tergugat. Mulanya tanah sengketa ditempati oleh sepasang suami istri yang bernama Marjikan (Alm) dan Jatimah (Alm), yang menumpang sementara untuk dijadikan tempat tinggal dengan seijin pemilik sah waktu itu yakni orang tua Penggugat.
Namun setelah orang tua Tergugat meninggal dunia, tanah sengketa tidak dikembalikan kepada yang berhak, akan tetapi justru kemudian dikuasai oleh Tergugat sebagai anak dari Marjikan (Alm) dan Jatimah (Alm). Sederhananya, Tergugat tidak bersedia menyerahkan kembali objek tanah ke dalam penguasaan pihak Penggugat.
Terhadap gugatan pihak Penggugat, Pengadilan Negeri Lumajang kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 26/Pdt.G/2012/PN.Lmj tanggal 14 Januari 2013, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan secara hukum Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat;
- Menyatakan secara hukum tanah sengketa berupa tanah pekarangan beserta bangunan yang berdiri di atasnya yang terletak di Jl. ... seluas ± 108 m2 dengan batas-batas sebagai berikut: ... yang selama ini dikuasai Tergugat dan termasuk dalam letter C Kelurahan Nomor 117 merupakan hak milik Penggugat;
- Menetapkan sebagai hukum, bahwa penguasaan tanah sengketa oleh Tergugat adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang merupakan hak dan kepentingan Penggugat;
- Menghukum Tergugat supaya menyerahkan seluruh tanah sengketa kepada Penggugat dalam keadaan baik dan kosong dari apa dan siapa saja yang berada disitu karena mendapat hak atau izin daripadanya, selanjutnya akan dimiliki Penggugat;
- Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp50.000,00 setiap harinya kepada Penggugat disebabkan Tergugat lalai menyerahkan objek sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan baik terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) sampai dengan objek sengketa diserahkan Tergugat dalam keadaan kosong dan baik kepada Penggugat;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 190/PDT/2013/PT.SBY tanggal 09 Juli 2013, sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Tergugat;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lumajang tanggal 14 Januari 2013, Nomor 26/Pdt.G/2012/PN.Lmj., yang dimohonkan banding tersebut.”
Sementara dalam tingkat kasasi, yang kemudian menjadi amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2957 K/Pdt/2013 tanggal 20 Oktober 2014, sebagai berikut:
“Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa penguasaan objek sengketa oleh Tergugat sudah dimulai sejak tahun 1959 sampai sekarang mulai dari ibu Tergugat hingga meninggal dunia, dilanjutkan oleh Tergugat;
- Bahwa penguasaan tersebut dilindungi oleh hukum bukan perbuatan melawan hukum, sebab sejak tahun 1959 objek sengketa dalam rincik telah berubah menjadi atas nama B. Chotifah Jatimah yang berdasarkan keterangan saksi Sijono antara nama B. Chotifah Jatimah adalah sama orangnya dengan Jatimah B. Taufik sebagaimana dalam rincik pada tahun 1989 sampai sekarang;
- Bahwa kurun waktu penguasaan pihak Tergugat mulai dari ibunya sampai pada diri Tergugat sudah lebih dari 40 tahun, tidak ada gugatan dari pihak manapun, sehingga harus dianggap pihak Penggugat telah melepaskan haknya secara diam-diam (rechtsverwerking);
“MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi TAUCHID tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 190/Pdt/2013/PT.SBY., tanggal 9 Juli 2013 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Lumajang Nomor 26/Pdt.G/2012/PN Lmj., tanggal 14 Januari 2013;
Mengadili Sendiri:
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Sehingga fakta yang terungkap di persidangan ialah, tanah sengketa sudah dikuasai oleh Tergugat selama 50 tahun lebih secara turun-temurun dan terus-menerus, maka tidak mengherankan bila gugatan Penggugat yang mengklaim sebagai pemilik tanah, telah lampau waktu (kadaluarsa).
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa tanah sengketa yang ditempati oleh Tergugat sekarang ini adalah berasal dari warisan kakek Penggugat. Bila sekalipun selama ini ibu Penggugat andaikata benar belum pernah meminta kembali tanah sengketa tersebut dari orang tua Tergugat, yang selanjutnya tanah sengketa ini ditempati / dikuasai oleh Pihak Tergugat, tidak dapat diartikan ataupun tidak berarti secara otomatis, Penggugat telah melepaskan haknya atas objek tanah (rechtsverwerking).
Selama ini pihak Penggugat dengan sabar menunggu objek tanah dikembalikan secara baik-baik ataupun secara sukarela oleh Pihak Tergugat. Penggugat baru dapat dikatakan benar-benar telah melepaskan haknya (rechtsverwerking), apabila selain mereka tidak pernah menegur / meminta kembali tanah sengketa tersebut dari pihak Tergugat.
Jadi, tanpa adanya tindakan atau perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai / terlihat sebagai hal-hal yang bisa diartikan sebagai perbuatan melepaskan haknya, maka belum dapat diartikan telah melepaskan hak atas objek tanah. Penggugat tidak pernah menghibahkan tanah tersebut.
Dimana terhadap keberatan-keberatan demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, dengan alasan tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan nyata dalam putusan Judex Juris yang mengabulkan kasasi Tergugat;
“Bahwa terbukti orang tua Tergugat / Termohon Peninjauan Kembali telah menguasai tanah sengketa sejak tahun 1959;
“Bahwa bukti-bukti peninjauan kembali tidak dapat mematahkan fakta bahwa tanah sengketa telah dikuasai oleh orang tua Tergugat sejak tahun 1959. Bukti-bukti peninjauan kembali juga tidak bersifat menentukan sehingga tidak memenuhi kualitas sebagai novum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 Huruf (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali KAERUMAN tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali KAERUMAN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.