KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Korupsi Maupun Kolusi Sama-Sama Menimbulkan Kerugian

ARTIKEL HUKUM
Bila korupsi, mengakibatkan perbuatan melawan hukum pelakunya (koruptor) terjadinya kerugian keuangan negara secara langsung (dan mengakibatkan kerugian bagi rakyat secara tidak langsung), maka dalam konteks kolusi, pelaku tindak pidana kolusi mengakibatkan kerugian bagi rakyat maupun kerugian bagi kompetitor peserta tender, secara langsung (dan merugikan reputasi pemerintahan secara tidak langsung).
Oleh karena itulah, baik tindak pidana korupsi maupun kolusi, sama-sama menimbulkan kerugian, dimana bila ada kerugian maka lahir pula pihak korban. Sebagaimana telah kita ketahui, Mahkamah Konstitusi RI lewat para hakimnya yang berliang dalam menara gading, telah menghapus dan membatalkan frasa “dapat” merugikan keuangan negara dalam norma Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor).
Blunder pun pada akhirnya berlanjut, yang memberi “angin surga” bagi kalangan koruptor yang terus beranak-pinak tanpa dapat dibendung, dimana “percobaan” korupsi tidak lagi dapat dihukum. Semisal, dalam hal si pelaku telah memiliki niat buruk untuk korupsi, mulai pula dilakukan langkah permulaan untuk dilakukannya korupsi, disertai dibentuknya rencana untuk memuluskan itikad buruknya demikian, hanya saja keuangan negara terlebih dahulu sempat terselamatkan oleh lembaga pengawas internal maupun eksternal pemerintahan, sehingga kerugian negara belum sempat terjadi, alias kebocoran anggaran berhasil diselamatkan dan dicegah kerugian negara yang mungkin dapat terjadi.
Berdasarkan putusan MK RI tersebut, si pelakunya tidak dapat dipidana, karena percobaan korupsi tidak dapat dipidana disebabkan telah dihapusnya frasa “dapat” pada norma merugikan keuangan negara. Alhasil, kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih berfokus pada ranah kuratif ketimbang ranah preventif, karena langkah preventif tidak lagi dapat memberi efek jera bagi para pelakunya yang terus akan tergiur untuk “mencoba-coba” melakukan korupsi.
Toh, pikir mereka, percobaan korupsi tidak dapat dipidana, sekalipun tidak selesainya aksi korupsi tersebut bukan berdasarkan dorongan batin si pelaku itu sendiri. KPK akan cenderung diam sambil menunggu dan mengawasi hingga kerugian negara benar-benar terjadi, meski sejatinya dapat dicegah itu sampai terjadi.
Putusan MK Ri demikian kontras dengan tindak pidana umum, dimana percobaan terhadap delik kejahatan, semisal percobaan mencuri, percobaan merampok, serta percobaan penggelapan, dapat dipidana penjara. Menjadi pertanyaan besar, kejahatan extraordinary semacam korupsi, mengapa justru pelakunya diberi “angin surga” dengan dilegalkan untuk mencoba-coba melakukan aksi korupsi?
Bila kita konsisten terhadap amar putusan MK RI, maka ketika seorang pelaku Tipikor yang telah tertangkap tangan, bahkan telah ditingkatkan statusnya dari sebatas saksi menjadi tersangka, namun kemudian si pelaku / tersangka mengembalikan uang hasil kejahatan korupsinya, maka mengingat kerugian negara telah dipulihkan dengan dikembalikannya kerugian negara oleh si pelaku, maka sejatinya penyidik dan pejabat penuntut dari KPK tidak dapat lagi menyidik maupun mendakwa si pelaku—KARENA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TELAH KEMBALI DIPULIHKAN SEHINGGA TIDAK ADA LAGI TERCATAT KERUGIAN NEGARA DALAM NERACA KEUANGAN NEGARA. Yang disebut dengan “kerugian negara”, artinya kerugian tersebut secara real menjadi “lost” yang tidak dapat dipulihkan kembali. Jika uang hasil kejahatan korupsi telah dikembalikan, oleh si pelaku atau bahkan oleh pihak penyidik, unsur kerugiannya terletak dimana lagi?
Paradigma yang kemudian lahir, seolah mendidik rakyat untuk berani bersikap korup, ialah bahwa jika aksi kejahatan korupsi tidak terlacak, maka nikmati uang kotor hasil kejahatan Tipikor. Sementara jika ternyata perbuatan korup ter-endus oleh “anjing pelacak” KPK, maka segera kembalikan keuangan negara yang di-korup olehnya, sebelum dirinya sempat divonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Tipikor.
Efek berantai dan efek domino yang kemudian bergulir, lebih banyak terpidana yang dicetak oleh KPK, dan kerugian negara terancam / berpotensi tidak terpulihkan akibat denda uang pengganti kerugian uang negara, dalam amar vonis penjatuhan hukuman, diberlakukan kurungan pengganti yang hanya berlaku selama beberapa bulan lamanya, bila kerugian negara tersebut tidak dibayarkan oleh si terpidana.
Lebih baik memilih untuk menghadapi kurungan pengganti, daripada menyia-nyiakan ratusan miliar Rupiah yang telah berhasil dikorupsi. Setidaknya untuk uang pensiun dan dinikmati saat hari tua setelah dibebaskan dari penjara nanti, itu pun dipastikan akan mendapat “obral” remisi dan pembebasan bersyarat yang otomatis sifatnya ketika telah memasuki 2/3 masa tahanan, karena berbagai Lembaga Pemasyarakatan di Tanah Air telah overload. Demikian pola pikir pragmatis kalangan koruptor, memanfaatkan dengan baik kelemahan sistem Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang sarat bernuansa “negosiatif”.
Kini, bahasan akan penulis gulirkan pada isu hukum perihal kolusi, yang jauh lebih masif dan lebih berjemaah (menggurita) ketimbang praktik korupsi. Lihatlah, berbagai media massa memberitakan para Kepala Daerah tertangkap tangan oleh KPK, bukan lagi karena aksi korupsi, namun tren-nya ialah karena tertangkap basah melakukan aksi kolusi.
Untuk memperkaya diri dengan cara menyalahgunakan wewenangnya, itulah lahan empuk yang jauh lebih nyaman dan lebih aman bagi pejabat “nakal”, yang dalam terminologi Undang-Undang Tipikor disebut sebagai kolusi. Mungkin untuk sang pelaku, lebih tepat dijuluki dengan istilah sebagai “kolusitor”.
Dalam praktik, kalangan kolusitor tersebut melakukan justifikasi perbuatan kolusinya, dengan pembenaran diri seperti ini: jika kolusi tidak merugikan keuangan negara, tidak mark up, maka itu kolusi yang “putih” dan tidak salah secara moril maupun secara hukum. Namun, benarkah pembenaran diri “tidak sehat” demikian?
Pada prinsipnya, bila tidak ada “iming-iming” atau juga “mengiming-imingi”, maka tidak akan terjadi tindak pidana kolusi. Inisiatornya dapat berasal dari pihak pejabat pemerintahan yang mengadakan proses tender pengadaan barang ataupun jasa, menjanjikan / “mengiming-imingi” suatu pihak peserta tender tertentu untuk dimenangkan, dengan tentunya, sejumlah imbalan yang disebut sebagai “success fee” bagi sang pejabat. Inisiator pun dapat bersumber dari pihak penyedia barang / jasa, berupa “iming-iming” imbalan bagi sang pejabat bila mau meloloskan dirinya sebagai pemenang tender.
Jika memang ada yang bernama “kolusi putih”, maka mengapa kemudian Komisi Pengawas Persaingan Usaha menghukum para peserta tender “nakal” demikian, dan bahkan Pengadilan Tipikor kerap kali menjatuhkan vonis hukuman bagi pejabat pemerintah selaku penyelenggara tender yang telah berkolusi dengan peserta tender tertentu?
Tentu jawabannya sangat mudah, yang sebetulnya disadari oleh manusia dewasa berakal sehat manapun, bahwa praktik kolusi merugikan para peserta tender lain yang telah berlaku jujur, atau mengakibatkan penawaran tender terbentuk sedemikian rupa, menyerupai kartel harga, sehingga pemerintah selaku pengguna barang / jasa harus membayar sejumlah nominal yang semestinya dapat ditekan lebih rendah berdasarkan mekanisme pasar supply and demand.
Maka, sejatinya selalu terjadi “mark up” dalam kasus kolusi, oleh sebab bila proses tender belangsung secara jujur dan akuntabel, maka dapat dipastikan harga penawaran dapat ditekan sedemikian rupa lebih rendah, sehingga dapat menyelamatkan banyak anggaran belanja negara. Pada ujung-ujungnya, kolusi selalu berkorelasi dengan kerugian negara juga, pada hilir efek dominonya.
Salah seorang pensiunan pegawai negeri sipil eselon tinggi yang pernah penulis kenal, hingga pensiun sekalipun menyatakan bahwa dirinya tidak menyesal telah menerima uang gratifikasi. Dirinya beralasan, gratifikasi diterima dengan tujuan untuk membayar upeti pada atasannya yang lebih tinggi lagi. Tujuannya apa, bila kita telisik lebih dalam perihal motif?
Ternyata, uang hasil gratifikasi yang diterima olehnya dari masyarakat, kemudian uang tersebut dipakai untuk menyuap atasan yang lebih tinggi, telah membuatnya menjabat pada kursi jabatan-jabatan tinggi di lembaga pemerintahan, yang notabene semestinya dijabat oleh aparatur sipil negara yang lebih kompeten, hanya saja karena tidak memberikan suap, maka jabatan itu (promosi) jatuh ke tangan sang pemberi suap. Dengan kata lain, suap mengakibatkan kerugian bagi mereka yang semestinya lebih layak mendapat promosi, namun kemudian tersisihkan akibat permainan uang suap-menyuap.
Sang mantan / pensiunan pejabat tinggi pemerintahan ini, bahkan menyatakan secara penuh kebanggaan (suatu penyakit mental, dalam hemat penulis), bahwa uang gratifikasi yang diterimanya adalah “berkah dari Tuhan”, dan “rezeki tidak boleh ditolak”. Apapun alasannya, barulah terjawab dan tampak ironis ketika dirinya tidak lagi menjabat pasca pensiun, yakni: tidak ada seorang pun, yang kini sudi memberinya gratifikasi, meski hanya satu sen Rupiah pun.
Mengapa? Dirinya tidak mau berpikir logis ataupun introspeksi diri. Semestinya, dengan akal budi manusia dewasa, sudah dapat menerka, bahwa segala uang pemberian gratifikasi tersebut diberikan terkait jabatan yang dikuasai dalam genggaman tangannya, dengan maksud untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusannya agar lebih menguntungkan suatu pihak, sehingga akan berimbas pada dirugikannya pihak-pihak lainnya sebagai konsekuensi logisnya.
Jika saja dirinya dahulu kala bukanlah pejabat ataupun aparatur sipil negara yang memegang kuasa monopolistik pelayanan publik, maka tidak akan ada satu orang pun yang secara sukarela memberikan satu Rupiah pun uang miliknya untuk diberikan kepada dirinya yang notabene bukanlah seorang pengemis. Tidak ada seorang pun, yang dengan demikian bodohnya bersedia memberi uang pada aparatur sipil negara yang telah hidup dalam “zona nyaman” dibanding rakyat sipil yang hidup dalam ketidakpastian usaha yang dapat mengalami untung dan dapat juga merugi.
Dirinya telah digaji bulanan oleh uang rakyat pembayar pajak, namun masih juga mulutnya terbuka lebar tanpa kenal kenyang, dan terus-menerus merasa kelaparan untuk melahap lebih banyak lagi—bagaikan kendi yang pada bagian dasarnya berlubang, dan itulah mental yang ternyata tidak hilang dari benak sang mantan pejabat pemerintahan sekalipun dirinya kini telah pensiun, yakni meski telah memiliki banyak harta materi dan rumah, dirinya terus bersikap layaknya pengemis yang mengharap berbagai pemberian dari orang-orang di dekatnya, bahkan tanpa malu meminta dari orang-orang yang jauh lebih miskin darinya.
Ironis, namun itulah kenyataannya, tanpa ada yang perlu kita tutup-tutupi. Mental pengemis, yang tidak tahu malu. Dirinya bukanlah dewa yang disembah sehingga diberi banyak upeti, hanya saja dirinya meyakini demikian. Bahkan ketika telah tidak lagi menjabat, dirinya gagal untuk bertanya kepada dirinya sendiri : mengapa kini, setelah pensiun, tidak ada seorang pun yang memberikannya uang gratifikasi?
Jika dirinya benar-benar seorang dewa yang disukai, maka semestinya ia tetap mendapat persembahan “upeti” sekalipun telah pensiun. Terlebih ironis, dirinya sadar telah uzur, berusia sangat lanjut, sementara harta miliknya tidak akan habis digunakan untuk membeli makanan hingga ia meninggal dunia, dimana segala harta itu tidak akan mampu dibawanya ke alam baka.
Namun, mental pengemis dan sifat pembenaran dirinya ibarat menjadi bagian dari karakter pokok dirinya, yang tidak dapat lagi terpisahkan dari watak kepribadian yang bersangkutan. Itulah nasib aparatur sipil negara, tidak pernah terpuaskan, dan hidup dalam lingkaran pembenaran diri yang tidak berkesudahan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.