Kaedah Hukum Rumusan Mahkamah Agung RI 2018

ARTIKEL HUKUM
Pada tanggal 16 Novmber 2018, Mahkamah Agung RI kembali menerbitkan regulasi yang bersifat quasi-legislatif yang diberi judul “Surat Edaran” namun diberlakukan secara umum layaknya sebuah undang-undang yang mengikat publik pencari keadilan, yang kian membuat norma hukum menjelma “rimba belantara” yang menggurita dan terkesan tumpang-tindih, mengingat pengalaman kurang menyenangkan dari berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sebelum-sebelumnya—dimana juga terkesan kurang matangnya rumusan kaedah yang digodok dalam rapat para Hakim Agung MA RI, bahkan terlihat secara eksplisit bersifat semata diterbitkan untuk memperbaiki “kecelakaan” dalam SEMA-SEMA sebelumnya.
Dalam kesempatan ini SHIETRA & PARTNERS akan mengulas substansi norma yang terhimpun dalam rumusan kaedah hukum bentukan Mahkamah Agung RI pada tahun 2018, yang tentunya kita harapkan tidak membawa dampak blunder baru atau bahkan melahirkan berbagai polemik tidak berkesudahan, sebagaimana yang sudah-sudah.
SURAT EDARAN
Nomor 3 Tahun 2018
Tentang
PEMBERLAKUAN RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG TAHUN 2018 SEBAGAI PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS BAGI PENGADILAN
Penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung salah satunya bertujuan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Rapat pleno kamar adalah salah satu instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut. Oleh karena itu, setiap Kamar di Mahkamah Agung secara rutin menyelenggarakan Rapat Pleno Kemar yaitu pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2017.
Mahkamah Agung pada tanggal 1 November 2018 sampai dengan tanggal 3 November 2018 kembali menyelenggarakan rapat pleno kamar untuk membahas permasalahan teknis dan non-teksnis yudisial yang mengemuka di masing-masing kamar. Pleno kamar tersebut telah melahirkan rumusan-rumusan.
Sehubungan dengan rumusan-rumusan hasil rapat pleno kamar tersebut, disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Menjadikan rumusan hasil rapat pleno kamar tahun 2012, sampai dengan tahun 2018, sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan seluruh rumusan tersebut diberlakukan sebagai pedoman dalam penanganan perkara dan kesekretariatan di Mahkamah Agung, pengadilan tingkat pertama, dan pengadilan tingkat banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding.
2. Rumusan hasil pleno kamar tahun 2012 sampai dengan tahun 2017 yang secara tegas dinyatakan direvisi atau secara substansi bertentangan dengan rumusan hasil pleno kamar tahun 2018, rumusan tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Demikian untuk diperhatikan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
RUMUSAN HUKUM
RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG
TAHUN 2018
1. RUMUSAN HUKUM KAMAR PIDANA
A. Permohonan peninjauan kembali oleh Terpidana yang berada di LAPAS tanpa Kuasa Hukum.
1. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh terpidana yang berada di LAPAS tanpa Kuasa Hukum, mengajukan PK melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS), tidak dibenarkan menurut Pasal 264 Ayat (1) KUHAP, SEMA Nomor 1 Tahun 2012, dan SEMA Nomor 4 Tahun 2016.
2. Dalam hal permohonan PK diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidana penjara di luar daerah hukum pengadilan pengaju dan tanpa kuasa hukum diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan / Kepala Rumah Tahanan Negara ke pengadilan pengaju, pengadilan pengaju mendelegasikan dan disertai berkas asli kepada pengadilan tempat terpidana menjalani pidananya untuk menerima permohonan PK tersebut dan memeriksa alasan permohonan PK. Berkas perkara peninjauan kembali beserta berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat yang dibuat oleh Hakim penerima delegasi, dikirim kepada pengadilan pengaju untuk selanjutnya dikirim ke Mahkamah Agung.
B. Pemeriksaan permohonan PK oleh Hakim Pengadilan Negeri.
Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa alasan permohonan PK wajib memberikan pendapat mengenai aspek formal dan materiil terhadap alasan-alasan PK yang dimohonkan Pemohon PK sesuai Pasal 265 ayat (3) KUHAP.
C. Ketentuan batas maksimum penjatuhan pidana penjara selama waktu tertentu dalam pidana pokok dan pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi.
1. Penjatuhan pidana pokok berupa pidana penjara, tidak boleh lebih dari 20 (dua puluh) tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP.
2. Dalam perkara tindak pidana Korupsi, pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tidak termasuk pidana pokok sebagaimana ketentuan Pasal 12 Ayat (4) KUHP, melainkan merupakan pidana penjara pengganti (subsidaritas) pembayaran uang pengganti yang lamanya pidana penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
D. Ketentuan penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik yang dipilih (elected officials).
Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik, dibatasi oleh jangka waktu yaitu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Terpidana selesai menjalani pidana pokok dan dimuat dalam amar putusan.
E. Penghitungan nilai mata uang asing (kurs asing) dalam menentukan besarnya uang pengganti.
Penghitungan nilai mata uang asing untuk menentukan besarnya uang pengganti, dilakukan sesuai dengan nilai mata uang asing / kurs tengah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat tindak pidana dilakukan (tempus delicti).
F. Perubahan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tentang nilai kerugian keuangan negara.
Penerapan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, berdasarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012, menentukan jika nilai kerugian keuangan negara diatas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dapat diterapkan Pasal 2 Ayat (1). Namun jika nilai kerugian keuangan negara kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 3. Selanjutnya karena terjadi perubahan nilai mata uang, dengan tanpa mengesampingkan unsur pasal yang didakwakan, maka besarnya nilai kerugian keuangan negara tersebut diubah menjadi sebagai berikut:
1. Nilai kerugian keuangan negara diatas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK.
2. Nilai kerugian keuangan negara sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 3 UU PTPK.
II. RUMUSAN HUKUM KAMAR PERDATA
A. PERDATA UMUM
1. Pelaksanaan SEMA Nomor 8 Tahun 2011.
Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri terhadap permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang melampaui tenggang waktu SEMA Nomor 8 Tahun 2011 tanggal 29 Desember 2011 yang memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk tidak mengirim Permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dengan menerbitkan “Penetapan”, hanya berlaku terhadap aspek formal permohonan peninjauan kembali yang melampaui tenggang waktu sebagaimana ditentukan dan diatur dalam Pasal 69 huruf (a), (b), (c), dan (d) Undang-Undang Mahkamah Agung, sedangkan aspek substansi permohonan peninjauan kembali yang ditentukan dalam Pasal 67 huruf (a), (b), (c), (d), (e), dan (f) Undang-Undang Mahkamah Agung sepenuhnya merupakan kewenagnan Majelis Hakim Peninjauan Kembali, bukan kewenangan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk menilainya.
Permohonan Peninjauan Kembali pada prinsipnya hanya dapat diajukan 1 (satu) kali sebagaimana dimaksud Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kecuali ada dua putusan yang saling bertentangan baik dalam perkara perdata, pidana, agama, maupun TUN, vide Angka XV SEMA Nomor 07 Tahun 2012.
2. Perubahan SEMA Nomor 07 Tahun 2012 mengenai derden verzet.
Ketentuan mengenai perkara bantahan (derden verzet) sebagaimana tercantum dalam kesepakatan kamar perdata tanggal 14—16 Maret 2012 (SEMA Nomor 07 Tahun 2012) pada Angka VII Huruf (b), diperbaiki sebagai berikut:
Perkara bantahan (derden verzet) atas sengketa tanah dapat diajukan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ditujukan terhadap sah / tidaknya penetapan sita / berita acara sita atau penetapan eksekusi atau penetapan lelang.
b. Diajukan berdasarkan ketentuan Pasal 195 Ayat (6) juncto Pasal 208 HIR karena alasan “kepemilikan” (Hak Milik, Hak Guna bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak Gadai Tanah), tentang “kepemilikan” itu Majelis Hakim cukup mempertimbangkan dalam pertimbangan hukum, tidak dicantumkan dalam amar dikarenakan yang disengketakan bukan mengenai sah tidaknya “kepemilikan”.
c. Diajukan oleh Pihak Ketiga, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
d. Semua pihak dalam perkara asal / perkara yang dibantah, harus ikut digugat dalam perkara bantahan.
e. Terhadap penyitaan yang sudah dilaksanakan, harus disertai dengan perintah pengangkatan sita apabila bantahan dikabulkan.
3. Upaya hukum permohonan pembatalan penetapan sepihak (ex parte).
Upaya hukum terhadap permohonan pembatalan “penetapan” yang berasal dari permohonan sepihak (ex parte) dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan atau perlawanan atau kasasi.
4. Tenggang waktu pengajuan kasasi oleh pihak lain yang berkepentingan.
Kasasi atas penetapan yang diajukan oleh “pihak lain yang berkepentingan” dapat diterima, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diketahuinya penetapan tersebut.
5. Perceraian yang perkawinannya tidak didaftar di catatan sipil.
Terhadap gugatan perceraian yang diajukan di pengadilan, dapat diterima dan dikabulkan, sepanjang perkawinan yang dilangsungkan secara agama / adat sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
B. PERDATA KHUSUS.
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
1. Hak Pekerja atas Upah Proses.
Dalam hal terjadi perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), pekerja tidak berhak atas Upah Proses apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
[Note SHIETRA & PARTNERS: Kaedah fatalistis bentukan Mahkamah Agung RI demikian, tampaknya kini mustahil diganggu-gugat, tertutup untuk semua upaya hukum untuk menganulir kaedah demikian, mengingat Mahkamah Agung RI sebelumnya telah menyatakan kaedah perihal “tiada Upah Proses bagi Pekerja PKWT yang demi hukum beralih menjadi PKWTT”, sebagai yurisprudensi tetap, dimana bahkan Mahkamah Konstitusi RI mengabaikan berbagai upaya uji materiil perihal kejanggalan kaedah yurisprudensi Mahkamah Agung RI tersebut. Begitupula terhadap peluang uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung, secara politis Mahkamah Agung tidak akan mungkin membatalkan SEMA yang telah diterbitkannya sendiri.]
2. Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) yang memuat dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Posita gugatan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) yang memuat dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH), tidak menyebabkan gugatan PHI menjadi kabur (obscuur libel) sepanjang dalam posita dan petitum menitik-beratkan pada alasan Perselisihan Hubungan Industrial.
3. Upaya hukum perkara Perselisihan Hubungan Industrial.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perkara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sedangkan putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dapat diajukan kasasi sebagai upaya hukum terakhir sesuai Pasal 56, Pasal 57, Pasal 109, dan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial tidak ada upaya hukum Peninjauan Kembali.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Entah mengapa atau bagaimana, Mahkamah Agung RI memutuskan untuk menerapkan kebijakan “menutup pintu” upaya hukum Peninjauan Kembali dalam sengketa hubungan industrial, sementara tidak sedikit jumlah putusan Peninjauan Kembali yang mana Mahkamah Agung dalam amarnya membatalkan putusan tingkat kasasi dalam perkara hubungan industrial, meski dalam perkara perdata umum lainnya tingkat dikabulkannya Peninjauan Kembali juga sama rendahnya dalam perkara hubungan industrial. Seolah, perkara hubungan industrial “dianak-tirikan” oleh Mahkamah Agung RI.]
III. RUMUSAN HUKUM KAMAR AGAMA.
A. Hukum Keluarga.
- Gugatan yang objek sengketa masih menjadi jaminan utang.
Gugatan harta bersama yang objek sengketanya masih (dalam kondisi) diagunkan sebagai jaminan utang atau objek tersebut mengandung sengketa kepemilikan akibat transaksi kedua dan seterusnya, maka gugatan atas objek tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. [Note SHIETRA & PARTNERS: Pembeli yang beritikad baik merupakan pihak ketiga, yang mendapat perlindungan hukum oleh negara.]
- Objek tanah / bangunan yang belum terdaftar.
Gugatan mengenai tanah dan/atau bangunan yang belum bersertifikat yang tidak menguraikan letak, ukuran, dan batas-batasnya, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
- Perbedaan antara fisik tanah antara guagtan dengan hasil pemeriksaan setempat (descente).
Gugatan mengenai tanah dan/atau bangunan yang belum terdaftar yang sudah menguraikan letak, ukuran, dan batas-batas, akan tetapi terjadi perbedaan data objek sengketa dalam gugatan dengan hasil pemeriksaan setempat (descente), maka yang digunakan adalah data fisik hasil pemeriksaan setempat (descente).
- Pihak dalam gugatan pembatalan hibah.
Gugatan pembatalan hibah yang tidak digabungkan dengan perkara gugatan waris, tidak harus melibatkan seluruh ahli waris sebagai pihak.
IV. RUMUSAN HUKUM KAMAR MILITER.
A. Penghentian Perhitungan Daluwarsa Penuntutan Pidana.
1. Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) bukan merupakan tindakan penuntutan, oleh karenanya tidak menghentikan daluwarsa penuntutan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Ayat (1) KUHP, meskipun tercantum perintah Papera kepada Oditur Militer / Penuntut Umum untuk melimpahkan dan menuntut perkara Terdakwa di Persidangan.
2. Penghentian daluwarsa penuntutan pidana, dihitung sejak saat Oditur Militer / Penuntut Umum melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan.
B. Penentuan Status Barang Bukti.
1. Penentuan Status Barang Bukti Senjata Api dan Munisi.
a. Untuk menentukan satus barang bukti senjata api atau munisi, Majelis Hakim dapat mendengar keterangan ahli persenjataan dan munisi dari Dinas Peralatan TNI setempat.
b. Dalam hal barang bukti senjata api dan munisi tersebut tidak dapat lagi digunakan, dalam amar putusannya Majelis Hakim menyatakan barang bukti tersebut dirampas untuk dirusakkan.
2. Penentuan Status barang Bukti Kendaraan yang Tidak Diketahui Pemiliknya.
Barang bukti kendaraan bermotor hasil tindak pidana pencurian atau penadahan tidak dibenarkan dinyatakan dirampas untuk negara dengan alasan tidak diketahui pemiliknya. Majelis Hakim harus menyatakan barang bukti tersebut dikembalikan kepada yang berhak.
C. Penyalahgunaan nark0tika.
1. Penyalahgunaan Cairan Blue Safire.
Penyalahgunaan cairan blue safire dapat dipidana melanggar Pasal 127 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Ri Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, walaupun belum diatur dalam Lampiran Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Nark0tika, namun berdasarkan hasil uji Balai lab Uji Nark0ba BNN, cairan blue safire mengandung 4 chloro-metheathinono atau 4-CMC, salah satu dari 41 jenis New Psychoactive Substances turunan dari Cathinone termasuk Nark0tika Golongan 1.
2. Kewajiban Melaporkan Adanya Tindak Pidana Nark0tika.
a. Setiap prajurit wajib melaporkan adanya tindak pidana nark0tika kepada penegak hukum setempat (Detasemen Polisi Militer setempat), bila tidak memungkinkan, laporan dapat disampaikan kepada Komandan Kesatuan secara hirarkis.
b. Prajurit yang tidak melaporkan hal tersebut dapat didakwa melanggar Pasal 131 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009.
3. Prajurit yang Melakukan Tugas Monitoring Tindak Pidana Nark0tika.
Prajurit yang ditugasi monitoring adanya tindak pidana Nark0tika di suatu tempat wajib melaporkan pelaksanaan tugas tersebut kepada atasan pemberi perintah pada kesempatan pertama. Prajurit yang melaksanakan tugas tersebut tidak ada keharusan untuk melaporkan kepada pejabat yang berwenang (penegak hukum), oleh sebab itu terhadap prajurit tersebut tidak dapat didakwa melanggar Pasal 131 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nark0tika.
4. Pemidanaan dalam Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009.
Rumusan Rapat Pleno Kamar Militer dalam Angka 4 SEMA Nomor 4 Tahun 2014 mengenai pemidanaan dalam Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nark0tika, yang menyatakan “hakim tidak boleh menyimpangi ketentuan minimum pidana dari Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009...”, diubah menjadi penjatuhan pidana dalam Pasal 127 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nark0tika dapat diterapkan terhadap terdakwa yang terbukti melangar Pasal 112 Ayat (1) walaupun urine pelaku negatif mengandung zat Nark0tika, dalam hal terdapat keadaan sebagai berikut:
a. Sabu-sabu (Nak0tika) yang dikuasai pelaku tidak lebih dari 1 (satu) gram; dan
b. Mens rea pelaku, bahwa nark0tika tersebut untuk digunakan bagi diri sendiri.
5. Perkawinan.
a. Perkawinan Seorang Prajurit Tanpa Izin Komandan Kesatuan.
Rumusan Rapat Pleno Kamar Militer Tahun 2013 dalam Angka 10 SEMA Nomor 4 Tahun 2014 yang mengatur bahwa “Izin komandan kesatuan merupakan syarat sahnya perkawinan...” diubah menjadi Izin Komandan Kesatuan bukan syarat sahnya suatu perkawinan, melainkan syarat administrasi kesatuan, sehingga perkawinan kedua yang dilakukan secara siri oleh parjurit yang telah beristeri, melanggar Pasal 279 KUHP.
b. Dakwaan Pasal 103 KUHPM Terhadap Perkawinan Prajurit Tidak Sesuai Prosedur.
Pasal 103 Ayat (1) KUHPM yaitu menolak atau dengan sengaja tidak menaati perintah dinas tidak dapat diterapkan terhadap prajurit yang melangsungkan perkawinan tanpa izin kesatuan (tidak sesuai prosedur), sebab hal tersebut berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007 dinyatakan sebagai pelanggaran disiplin, bukan merupakan suatu tindak pidana.
c. Perkawinan Kedua yang Dilakukan Secara Siri dengan Wali Hakim.
Pasal 279 KUHP tidak dapat diterapkan terhadap prajurit yang telah beristeri secara sah menurut undang-undang yang melangsungkan perkawinan kedua secara siri dengan wali hakim, sebab bertentangan dengan Pasal 1 Huruf (b) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim dan melanggar Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa wali hakim baru bisa bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin dihadirkan atau ghaib.
6. Peniadaan Pidana Tambahan Pemecatan.
Pidana tambahan berupa pemecatan dalam Pasal 26 KUHPM dapat disimpangi, dalam keadaan sebagai berikut: [Note SHIETRA & PARTNERS: “Embel=embel” dapat disimpangi menjadi momok tersendiri dalam norma hukum, dibenci sekaligus dirindukan, suatu dilematika yang tidak terhindarkan seolah menjadi kodrat dari norma hukum itu sendiri yang memang tidak pernah lengkap dan tidak pernah sempurna pengaturan substansinya, sementara dinamika masyarakat selalu berubah dan berkembang secara cair, tidak rigid.]
a. Pasa saat disidangkan status prajurit tersebut dalam proses Masa Persiapan Pensiun (MPP) atau sudah terbit SKEP pensiun; atau
b. Pada saat disidangkan terhadap prajurit tersebut telah dijatuhkan pidana tambahan pemecatan dalam perkara lain; atau
c. Prajurit yang memiliki keahlian khusus yang sangat dibutuhkan oleh institusi TNI antara lain: ahli b0m, penerbang pesawat tempur super canggih, penyelam penjejak kapal, kecuali tindak pidana berat seperti pelanggaran HAM, ter0risme, dan memproduksi nark0tika.
V. RUMUSAN HUKUM KAMAR TATA USAHA NEGARA.
A. Kewenangan Mahkamah Agung dalam Uji Materiil.
Mahkamah Agung berwenang melakukan hak uji materiil, meskipun Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian hak uji materiil di Mahkamah Agung masih diuji oleh Mahkamah Konstitusi, sepanjang bab, materi muatan pasal, atau ayat yang sedang diuji di Mahkamah Konstitusi tidak menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung.
B. Ketentuan Pembatasan Upaya Hukum Kasasi.
Rumusan Kamar TUN dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2015 poin (6) tanggal 9 Desember 2016, disempurnakan sebagai berikut:
Kriteria untuk menentukan pembatasan upaya hukum kasasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 45A Ayat (2) Huruf (c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1895 tentang Mahkamah Agung, adalah dengan melihat dasar hukum kewenangan diterbitkannya objek gugatan.
Apabila objek gugatan diterbitkan atas dasar kewenangan desentralisasi tidak dapat diajukan kasasi, kecuali kewenangan tersebut memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. berkaitan erat dengan kewenangan dekonsentrasi; atau
b. berkaitan erat dengan kewenangan tugas pembantuan terhadap pemerintah pusat (medebewin); atau
c. bersifat strategis atau berdampak luas.
C. Hak Gugat dalam Sengketa Tata usaha Negara Pemilihan.
Rumusan Kamar TUN dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015 poin 3 tanggal 29 Desember 2015, diubah sebagai berikut:
Sesama Pasangan Calon (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota) yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi / KIP Aceh atau KPU Kabupaten / Kota atau KIP Kabupaten / Kota, tidak dapat menggugat dalam sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Pemilihan, karena kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Penggugat dalam sengketa TUN Pemilihan hanya diberikan oleh undang-undang bagi pasangan yang dirugikan kepentingannya atau yang tidak ditetapkan oleh KPU Provinsi / KIP Aceh atau KPU Kabupaten / Kota atau KIP Kabupaten / Kota sebagai Pasangan Calon (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota).
D. Pengujian Pengesahan Badan Hukum.
Pengujian surat keputusan TUN yang diterbitkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI terhadap pengesahan badan hukum, tidak hanya meliputi aspek formal administratif badan hukum dan perizinannya saja, akan tetapi juga harus dipertimbangkan iktikad baik, riwayat pendirian, dan perubahan kepengurusan suatu badan hukum untuk menentukan siapa yang berhak bertindak untuk dan atas nama badan hukum atau organ badan hukum tersebut. Surat keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang pengesahan badan hukum yang baru tidak serta-merta menghilangkan eksistensi dan hak-hak pengurus lama yang tidak didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM RI.
E. Pengujian Sertifikat Tumpang-Tindih.
1. Pengujian keabsahan sertifikat hak atas tanah oleh Pengadilan TUN dalam hal terdapat sertifikat hak atas tanah yang tumpang-tindih, hakim dapat membatalkan sertifikat yang terbit kemudian, dengan syarat:
a. Pemegang sertfiikat yang terbit terlebih dahulu menguasai fisik tanah dengan iktikad baik; atau
b. Riwayat hak dan penguasaannya jelas dan tidak terputus; atau
c. Prosedur penerbitan sertifikat yang terbit terlebih dahulu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Dalam hal tidak terpenuhinya syarat sebagaimana pada poin a atau b atau c di atas, maka masalah kepemilikan terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses perkara perdata. [Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, PTUN dapat saja memeriksa dan memutus sengketa kepemilikan hak atas tanah, konteks tumpang-tindih serfifikat hak atas tanah, sepanjang salah satu syarat tersebut terpenuhi. Kaedah dalam SEMA tersebut cukup bernilai signifikan, karena telah memecah kebekuan “momok” sengketa pertanahan yang selama ini kerap terjadi di tengah masyarakat.]
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Norma hukum bukanlah bersifat “pedoman” sebagaimana disebutkan dalam judul SEMA No. 3 Tahun 2018 diatas. Norma hukum bersifat “imperatif”, bukan “fakultatif” ataupun himbauan layaknya norma sosial. Tampaknya Mahkamah Agung RI masih bersikap “setengah hati”, ketidak-tegasan telah tampak bahkan sejak kita membaca judul SEMA dimaksud. Ketidak-tegasan, melahirkan kesimpang-siuran, dimana norma hukum bertopang pada asas kepastian hukum sebagai pilar utamanya.
Kesan yang tercipta di benak kita setelah menelaah substansi SEMA No. 3 Tahun 2018 tersebut, mau tidak mau akan timbul kesan (image) bahwa berbagai SEMA diterbitkan secara “tambal-sulam”, yang secara tidak langsung mengurangi wibawa dan sakralitas suatu produk hukum. Tidak terhindarkan pula kesan bahwa SEMA No. 3 Tahun 2018 ini, dikemudian hari pastilah akan dianulir oleh berbagai SEMA-SEMA selanjutnya—tanpa mengurangi apresiasi terhadap beberapa kaedah norma penting yang diangkat dan diluruskan dalam SEMA ini.
Ternyata, hukum memang sangat bersifat “tentatif”. Segala ilmu dan sains lainnya, tidak lepas dari hukum sifat “tentatif” demikian, dalam artian sesuatunya tersebut dianggap benar dan legal, sepanjang belum dianulir dan dibatalkan atau dilarang dikemudian hari oleh otoritas / regulator.
Keberlakuan / validitas-nya berangkat pada asumsi bahwa hal tersebut telah benar, sepanjang belum ada bukti yang membuktikan sebaliknya. Kebenaran dalam hukum dan kebenaran dalam sains maupun ilmu-ilmu lainnya, apapun metodologinya, terikat oleh hukum sifat “tentatif” demikian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.