KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Delegasi Kewenangan Terkait Tanggung Jawab Hukum Administrasi Pemerintahan

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya yang namanya mendelegasikan tugas atau kewenangan, itu apa artinya si pemberi delegasi sudah tidak lagi punya kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang didelegasikan kepada pihak lain? Apa betul bahkan seorang presiden sekaiipun tidak lagi bisa memberikan izin usaha ke rakyat, hanya karena kewenangan itu telah didelegasikan kepada para menterinya?
Mengapa yang disebut dengan mendelegasikan, selalu dimaknai sebagai melimpahkan seluruh kewenangan itu sampai-sampai kehilangan kewenangannya sendiri secara sepenuhnya? Analoginya seorang direksi perseroan terbatas, sekalipun mendelegasikan masing-masing bidang tugas pada manajernya, namun bukan berarti sang direktur tidak bisa untuk secara langsung bertindak dalam segala hal terkait pengurusan perseraon.
Brief Answer: Tampaknya perspektif “delegasi” dalam ranah sipil, saling berbeda ketika disandingkan terhadap konsep pendelegasian dalam ranah hukum administrasi negara, setidaknya secara preseden putusan pengadilan, sekalipun secara peraturan perundang-undangan tidak ada satupun kaedah yuridis yang secara eksplisit menyebutkan bahwa dengan telah di-delegasikannya suatu kewenangan maka pemberi delegasi kehilangan kewenangannya tersebut secara seutuhnya.
Seorang kepala pemerintahan dapat saja sewaktu-waktu mencabut kembali apa yang telah didelegasikannya, maka secara falsafah tentu saja tetaplah sang pemberi delegasi yang lebih tinggi tingkatan kewenangannya. Akan tetapi tampaknya yang menjadi latar belakang sikap monoton aparatur sipil negara demikian, ialah terkait tertib administasi negara semata.
Sebagai contoh, kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah, telah dilimpahkan kepada berbagai Kepala Kantor Pernatahan yang tersebar di Tanah Air. Bila saja sang Kepala Badan Pertanahan Nasional masih juga disaat bersamaan merasa berhak / berwenang untuk secara langsung menerbitkan sertifikat hak atas tanah, maka tertib administrasi pertanahan dapat menjadi demikian rentan dari overlaping tata dokumen dan pemberkasan. Ibaratnya, sebuah kapal hanya boleh memiliki seorang nahkoda yang mengarahkan kapal.
Pemerintahan, merupakan sebuah organisasi dengan lingkup yang kompleks dan masif, dengan tersebar dari selurah kota dan daerah, dengan jutaan aparaturnya secara makro maupun secara mikro, sehingga atas dasar kondisi keterdesakan koordinasi yang demikian hierarkhis, dibutuhkan manajerial yang serba prosedural dan linear pola “aturan mainnya”.
Berbeda dengan perusahaan sipil / swasta yang masih dimungkinkan bagi sang direksi untuk melakukan kewenangan apapun secara langsung, tanpa mengakibatkan chaos yang kompleks dalam ketertiban internal organisasi. Untuk organisasi swasta mikro seperti Grup Usaha saja, sudah mulai tampak berbagai disharmoni antar level pejabat internal perusahaan akibat tidak menerapkan sistem manajerial layaknya administrasi pemerintahan yang memiliki sistem satu arah demikian.
Penting juga untuk diperhatikan, kewenangan apa yang ruang lingkup serta batasannya didelegasikan. Sebagai contoh, kewenangan untuk menerbitkan suatu perizinan didelegasikan kepada suatu instansi khusus tertentu, maka apakah kewenangan untuk menindak pelaku usaha yang tidak memiliki izin untuk melangsungkan usaha, juga turut didelegasikan atau tidaknya.
Begitupula dalam ranah vicarious liability, apapun alasannya dalam ranah tanggung jawab perdata institusi swasta, tetaplah direksi perseroan bertanggung jawab atas setiap perbuatan hukum bawahannya. Namun dalam konteks hukum administrasi pemerintahan, delegasi mengakibatkan pemberi delegasi tidak dapat digugat dalam hal terjadinya mal-administrasi oleh instansi vertikal yang diberikan delegasi—seolah-olah instansi penerima delegasi tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan pertanggung-jawaban kinerja kepada pemberi delegasi.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa perizinan register Nomor 32 PK/TUN/2017 tanggal , perkara antara:
- REZA VAHLEFI, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Pemohon; melawan
- BUPATI KABUPATEN MERANGIN, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon.
Yang menjadi Objek Sengketa dalam gugatan yang diajukan pihak warga, ialah “sikap diam” Bupati Kabupaten Merangin yang tidak memproses surat permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimohonkan oleh Pemohon. Pemohon mendalilkan, pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dalam waktu paling lama 10 (hari) kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Apabila dalam batas waktu tersebut, badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan, maka permohonan warga pemohon dianggap dikabulkan secara hukum, sebagaimana diamanatkan secara imperatif lewat keberlakuan norma Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Penggugat merupakan pemilik tanah berdasarkan Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat. Namun dengan tidak diprosesnya surat permohonan penerbitan IMB, maka Penggugat dirugikan dengan hilang haknya untuk membangun unit ruko di atas tanah miliknya.
Tanggal 19 Agustus 2014, Penggugat datang ke pihak Kantor Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BM-P2T), menyampaikan klarifikasi dan konfirmasi, apakah surat permohonannya diterima ataukah ditolak? Jika diterima, maka mohon dibuatkan tanda terima, dan jika ditolak juga adar buat surat “penolakan”. Hal tersebut merupakan permintaan yang wajar dari aplikasi yang dimohonkan warga dari etika surat-menyurat, yakni tanda terima serta jawaban tegas.
 Akan tetapi dari pihak Tergugat, dijawab bahwa mereka baru akan membuat surat penolakan jika sudah ditandatangani Lurah Pematang Kandis. Tanggal 25 Agustus 2014, Penggugat datang ke Kantor Lurah, namun mendapat jawaban bahwa lurah tidak bersedia menanda-tanggani karena tanah bermasaalah, oleh karena Surat Permohonan IMB prasyaratnya ada Rekomendasi Camat.
Tanggal 8 September 2014, Penggugat datang ke Kantor Camat untuk meminta rekomendasi Camat. Namun penggugat justru mendapati jawaban yang saling melempar tanggung jawab, bahwa surat rekomendasi baru akan diberikan Camat setelah surat permohonan ditandatangani pihak Lurah.
Kepada Kepala BM-P2T, kemudian Penggugat mempertanyakan alasan untuk diwajibkan adanya surat permohonan IMB yang ditolak ditanda-tanggani lurah dan direkomendasi oleh camat, dijawab bahwa hal demikian menjadi persyaratan, sebab yang mengetahui keadaan tanah “di lapangan” adalah lurah dan camat.
Penggugat sudah 3 kali menanyakan kepastian hukum surat permohonan IMB, namun dari pihak BM-P2T selalu dijawab agar Penggugat bersabar karena ada mekanismenya, dimana terakhir kali dijawab oleh mereka bahwa kalau tidak sabar maka silakan gugat. Penggugat menemui jalan buntu karena seluruh jalur komunikasi didiamkan dan tidak ditanggapi baik lisan maupun tertulis.
Kemudian akibat menemui jalan buntu, Penggugat menghadap pihak pejabat Bupati untuk melapordan dan minta ditindak-lanjuti atas pelayanan publik yang terjadi dibawah yurisdiksi kewenangan sang Bupati selaku pemimpin tertinggi di wilayah tersebut. Tujuannya, Penggugat hanya minta kepastian hukum. Akan tetapi sampai gugatan diajukan, tidak ada jawaban ataupun kepastian hukum bagi Penggugat selaku warga pemohon.
Yang menjadi salah satu pokok keberatan Penggugat, ialah tiadanya Asas Keterbukaan, yakni membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memporoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif atas setiap pelayanan publik. Jikalau pun permohonan Penggugat ditolak, maka perlu ada surat penolakan disertai keterangan yang layak untuk dapat dipenuhi kekurangan persyaratan dimaksud sebagaimana mestinya. Sebaliknya, surat permohonan sejak tanggal 1 Desember 2014 didiamkan dan tidak diproses oleh pihak Tergugat.
Terhadap gugatan sang warga pemohon, pihak Tergugat mengutip ketentuan Peraturan Bupati Merangin Nomor 65 Tahun 2014 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Di Bidang Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan Kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Merangin, terkandung ketentuan bahwa Badan / Pejabat Tata Usaha Negara yang diberi kewenangan berdasarkan delegasi untuk menyelenggarakan pelayanan administrasi, penetapan serta penandatanganan perizinan dan non perizinan di Kabupaten Merangin, adalah Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Merangin (sekarang disebut sebagai Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Merangin).
Dengan demikian, terlihat adanya kekeliruan Penggugat sewaktu mengajukan gugatan, oleh sebab yang seharusnya dijadikan Tergugat, bukanlah Bupati Merangin, melainkan Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Merangin, sebagaimana digariskan norma Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang memiliki pengaturan:
“Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Apakah artinya, masyarakat sipil tetap tidak dapat menggugat lemahnya fungsi pengawasan pihak pemberi delegasi, seolah-olah pemberi delegasi dapat lepas tanggung jawab begitu saja setelah memberikan delegasi demikian? Apakah delegasi dapat dimaknai sebagai melepas tangan dan melepas tanggung jawab?]
Diuraikan lebih lanjut lewat ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:
(1) Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila:
a. Diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya;
b. Ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan
c. Merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada;
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi, tanggung jawab kewenangan berada pada penerima delegasi.”
Terhadap gugatan pemohon, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor 03/G/2015/PTUN.JBI, tanggal 21 Mei 2015, sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal ‘sikap diam’ Bupati Kabupaten Merangin yang tidak memproses Surat Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimohonkan Reza Vahlefi tanggal 1 Desember 2014;
3. Mewajibkan Bupati Kabupaten Merangin untuk memproses dan menerbikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimohonkan Reza Vahlefi tanggal 1 Desember 2014.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor 130/B/2015/PT.TUN-MDN, tanggal 1 Oktober 2015, sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat / Pembanding;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor 03/G/2015/PTUN-JBI, tanggal 21 Mei 2015, yang dimohonkan banding.”
Sementara dalam tingkat kasasi, yang kemudian menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 19 K/TUN/2016, tanggal 7 April 2016, sebagai berikut:
MENGADILI :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: BUPATI KABUPATEN MERANGIN tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor 130/B/2015/PT.TUN-MDN, tanggal 1 Oktober 2015, yang menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor 03/G/2015/PTUN.JBI. tanggal 21 Mei 2015;
MENGADILI SENDIRI
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Pihak pemohon izin mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut dapat dibenarkan hanya semata-mata sebagai sarana “Corrective Justice”, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan oleh pembuat undang-undang dimaksudkan untuk meningkatkan ‘kualitas pelayanan publik’ dalam kerangka negara hukum dengan sistem demokrasi dan suasana kemajuan masyarakat di bidang ICT (Information Communication Technology), disebut Lembaga ‘Fiktif Positif’;
2. Lembaga ‘Fiktif Positif’ tersebut legalitas implementasinya harus melalui Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersifat final dan mengikat; [Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan demikian, semestinya terhadap putusan PTUN terkait realisasi keputusan ‘fiktif positif’ tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi.]
3. In casu dalam proses perkara tersebut telah berlangsung upaya hukum banding dan kasasi yang oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015, tanggal 21 Agustus 2015, tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan, lembaga upaya hukum tersebut tidak dikenal, oleh sebab itu putusan kasasi tersebut harus dibatalkan, namun substansi putusannya sudah benar dan diambil-alih sebagai Putusan Peninjauan Kembali ini;
4. Lembaga upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali) menjadi dibuka untuk melakukan ‘Corrective Justice’;
5. Majelis Peninjauan Kembali menilai terdapat ‘kekeliruan yang nyata’ dalam Putusan Judex Facti (Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi) sehingga harus dibatalkan, karena kewenangan pemberian izin-izin bangunan telah didelegasikan kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPM-PPT) Kabupaten Merangin, sebagaimana Pasal 43 ayat (1) dan (2), Pasal 44, dan Pasal 45 Peraturan Daerah Kabupaten Merangin Nomor 20 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Merangin, juncto ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kabupaten Merangin Nomor 03 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, junctis ketentuan Pasal 227.B dan Pasal 228.B Peraturan Bupati Merangin Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bupati Nomor 23 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Merangin, junctis ketentuan Pasal 1 ayat (7) Peraturan Bupati Merangin Nomor 65 Tahun 2014 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan di Bidang Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Merangin;
6. Selain itu, penyebutan istilah ‘Gugatan dan/atau Penggugat’ dalam sengketa penerimaan permohonan untuk mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan sebagaimana putusan Judex Facti Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi tidaklah tepat, sehingga Mahkamah Agung dalam peninjauan kembali ini perlu memperbaikinya dengan menggunakan istilah ‘Permohonan dan/atau Pemohon’;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: REZA VAHLEFI terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 19 K/TUN/2016, tanggal 7 April 2016, sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor 03/G/2015/PTUN.JBI, tanggal 21 Mei 2015, serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: REZA VAHLEFI tersebut;
“Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 19 K/TUN/2016, tanggal 7 April 2016, dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor 03/G/2015/PTUN.JBI, tanggal 21 Mei 2015;
MENGADILI KEMBALI:
- Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.