LEGAL OPINION
Question: Suami pernah kasih personal guarantee ke kreditor, lalu debitornya nunggak ngak bayar hutang ke kreditor itu. Kini kreditornya mau pailitkan si debitor dan pihak pemberi personal guarantee. Apa istri dari pemberi personal guarantee, juga terancam kena pailit? Maksudnya, jadinya suami-istri kena pailit, atau hanya si suami saja yang dulu pernah kasih personal guarantee? Tidak ada perjanjian perkawinan pisah harta antara kami sebagai suami-istri.
Brief Answer: Selama ini terdapat salah kaprah dalam praktik hukum kepailitan di Tanah Air. Betul bahwa harta bersama (gono-gini) menjadi aset yang dapat dituntut oleh kreditor maupun dipailitkan. Namun sifatnya hanya separuh dari harta gono-gini, dan juga harta bawaan dari sang istri (bila yang memberi personal guarantee ialah dari pihak suami) tidaklah masuk dalam “harta bersama” yang dapat dituntut oleh pihak ketiga.
Dengan kata lain, boedel pailit dari aktiva pihak pemberi personal guarantee hanyalah berupa separuh harta gono-gini, dan juga exclude harta bawaan sang istri. Namun praktik yang terjadi, seakan Pengadilan Niaga “memukul rata” dengan memasukkan seluruh aset milik sang suami dan sang istri—yang tentunya praktik demikian menyimpang secara yuridis dari kacamata hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. “Renteng” dan “gono-gini” memiliki konsekuensi hukum yang jelas berbeda, dan tidak dapat dicampur-aduk ataupun saling dipertukarkan antara keduanya.
Hukum dalam konteks kepailitan, akan menjadi suatu “moral hazard” bila secara personal pihak istri dinyatakan turut bertanggung jawab secara “renteng” atas pemberian personal guarantee oleh pihak suami. Konteks demikian berbeda dengan konteks pemberian agunan ataupun ketika aset mereka disita jaminan oleh gugatan suatu pihak. Kepailitan, sifatnya melekat secara personal, sehingga akan sangat fatalistis bila pihak pasangan dalam hubungan perkawinan tersebut turut dinyatakan pailit.
Perkawinan tidak mengakibatkan tanggung jawab renteng, namun hanya sebatas tanggung jawab separuh harta “gono-gini”. Analogi berikut cukup membantu untuk memudahkan pemahaman. Sang suami berhutang pada suatu kreditor, dan hingga kini belum terlunasi. Apakah artinya, sang istri tidak boleh mengajukan cerai terhadap sang suami, hanya karena sang suami belum bersedia melunasi hutangnya pada sang kreditor?
Sang istri dapat saja sewaktu-waktu memutus hubungan pernikahan, terlepas apakah sang suami masih terikat hutang-piutang dengan pihak ketiga. Ketika perkawinan telah dinyatakan putus akibat perceraian, pihak kreditor tetap dapat menagih pelunasan dari sang debitor, berupa separuh harta gono-gini yang kini menjadi harta pribadi sang mantan suami. Terhadap sang mantan istri, pihak kreditor tidak lagi dapat mengganggu-gugat.
Hanya dalam konteks pemberian agunan berupa jaminan kebendaan, yang ikatannya tetap berlaku dan melekat sekalipun sang suami-istri kemudian saling bercerai, dan sekalipun nilai agunan ternyata melampaui separuh total harta bersama. Adalah terlampau fatalistis, bila sang istri kemudian turut dipailitkan, hanya karena sang istri “belum sempat mengajukan cerai” kepada sang suami ketika pihak kreditor hendak mempailitkan sang suami.
Itulah yang SHIETRA & PARTNERS sebut sebagai “moral hazard” salah kaprah sifat harta “gono-gini” (bersifat separuh) dalam konteks personal guarantee yang dicampur-aduk dengan sifat tanggung jawab renteng (bersifat seluruhnya, bukan separuh). Yang bersifat renteng, ialah harta pribadi pihak pemberi personal guarantee terhadap hutang pihak debitor yang dijamin olehnya, bukan tanggung jawab perdata antara sang suami dan pihak sang istri.
PEMBAHASAN:
Bila pailitnya pihak pemberi personal guarantee memang hanya mencakup separuh harta gono-gini, maka tidaklah tepat menjadikan sang suami-istri, keduanya dipailitkan bila hanya sang suami yang menjadi pemberi personal guarantee demikian.
Dalam hal ini, konteks hukum kepailitan tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengindahkan norma hukum perkawinan perihal harta bersama. Jika sekalipun sang istri ikut menandatangani akta pemberian personal guarantee, bukan dimaknai sebagai sang istri ikut menjadi pemberi personal guarantee pula. Ikut tanda-tangannya pihak sang istri, hanya dapat dimaknai sebagai pemberian restu terhadap separuh harta gono-gini sebagai jaminan, itupun separuh harta gono-gini milik sang suami.
Salah kaprah yang kerap terjadi dalam praktik, dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan dalam putusan Pengadilan Niaga Makassar sengketa PKPU berujung pailit register Nomor 8/PDT.SUS-PKPU/2018/PN.NIAGA.MKS tanggal 25 Oktober 2018, perkara antara:
- PT. BANK OCBC NISP, sebagai Pemohon PKPU; melawan
1. PT. CAKRA WISATA UTAMA TRAVELINDO, sebagai Termohon PKPU I; dan
2. YURRY TANDEAN juga bernama JURRY TANDEAN, berikut istrinya EVY JAORY, selaku Termohon PKPU ii.
Termohon PKPU I merupakan debitor dari Pemohon PKPU, sementara Yurry Tandean merupakan pihak pemberi “personal guarantee”, yang mana kebetulan telah memiliki seorang istri bernama Evy Jaory—yang mana kedua pasangan suami-istri tersebut didudukkan sebagai Termohon PKPU II.
Dalam satu sisi dalil dari pihak kreditor, kedua pasangan suami-istri tersebut disebut sebagai Termohon PKPU II, dalam uraian surat permohonan PKPU. Namun dalam bagian lain dalilnya, disebutkan bahwa “Termohon PKPU II dan istrinya Evy Jaory” telah menikah dalam persatuan harta, maka “istri Termohon PKPU II” yaitu Evy Jaory juga bertanggung-jawab atas seluruh utang dari Termohon PKPU II kepada Pemohon PKPU.
Dalam dalil yang satu, pihak kreditor menyebut kedua pasangan suami-istri tersebut sebagai “Termohon PKPU II”, namun dalam dalil lainnya, menggunakan penyebutan “Termohon PKPU II dan istrinya evy jaory” menjadi rancu dan ambigu. Ketidak-konsistenan demikian, selama ini ternyata tidak berhasil disadari dalam praktik peradilan di Indonesia.
Pasal 241 Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur:
“Apabila Debitor telah menikah dalam persatuan harta, harta Debitor mencakup semua aktiva dan pasiva persatuan.”
Penjelasan Resmi Pasal 241 UU Kepailitan dan PKPU:
“Yang dimaksud dengan ‘aktiva’ adalah seluruh kekayaan Debitor, sedangkan ‘pasiva’ adalah seluruh utang Debitor.”
Malapetaka campur-aduk kepailitan yang menerobos asas pemisahan separuh harta gono-gini (sekalipun perkawinan tanpa perjanjian pisah harta), bersumber dari salah kaprah yang dilahirkan oleh keberlakuan norma Pasal 23 UU Kepailitan dan PKPU:
“Debitor sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 22 meliputi iatri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta.”
Pihak kreditor mendalilkan, berdasarkan uraian tersebut di atas telah terbukti secara sederhana bahwa “Termohon PKPU II berikut istrinya EVY JAORY” mempunyai utang kepada Pemohon PKPU yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 6 jo. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.
Yang disayangkan, sang istri belum sempat mengajukan perceraian kepada sang suami sebelum kemudian sang suami dipailitkan oleh kreditornya. Idealnya, pailitnya sang suami perlu dikonstruksikan “menyerupai” harta yang terpisah menjadi dua layaknya terjadi perceraian antara sang suami-istri. Yang cukup disayangkan, terhadapnya Majelis Hakim turut mengikuti pola pikir “salah kaprah” demikian, dengan membuat pertimbangan serta amar putusan yang melahirkan “moral hazard” secara demikian fatalistis sekaligus “dramatis” dengan menerobos keberlakuan “asas pengaman” hukum perkawinan perihal perihal separuh harta “gono-gini”, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena Kreditor tidak menyetujui Pemberian PKPU Tetap terhadap Para Debitor dan tidak dapat menerima proposal rencana perdamaian dari Para Debitor, maka berdasarkan ketentuan Pasal 289 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut, Majelis Hakim Pemutus harus menyatakan Para Debitor PAILIT dengan segala akibat hukumnya;
“Menimbang, bahwa Ketentuan Pasal 292 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut ‘Dalam suatu Putusan Pernyataan Pailit yang diputuskan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285, Pasal 286 atau Pasal 291 tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian’;
“Menimbang, bahwa penjelasan Pasal 292 UU No. 37 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut ‘ketentuan dalam pasal ini berarti bahwa putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta pailit debitor langsung berada dalam keadaan insolvensi’;
“Menimbang, bahwa berpedoman pada ketentuan Pasal 292 dan Penjelasannya UU No. 37 Tahun 2004 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa putusan pernyataan pailit atas penolakan suatu perdamaian mengakibatkan Para Debitor tidak dapat mengajukan perdamaian dan karenanya harta pailit Para Debitor langsung berada dalam keadaan insolvensi terhitung sejak Putusan Pernyataan Pailit diucapkan;
“Menimbang, bahwa oleh karena TERMOHON PKPU I / PT. CAKRA WISATA UTAMA TRAVELINDO dan TERMOHON PKPU II YURRY TANDEAN juga bernama JURRY TANDEAN berikut istrinya EVY JAORY (Dalam PKPU Tetap) dinyatakan pailit dan putusan pernyataan pailit ini merupakan kelanjutan proses PKPU yang telah berakhir;
“Menimbang, bahwa oleh karena TERMOHON PKPU I / PT. CAKRA WISATA UTAMA TRAVELINDO dan TERMOHON PKPU II YURRY TANDEAN juga bernama JURRY TANDEAN berikut istrinya EVY JAORY dinyatakan pailit, maka biaya dalam perkara ini harus dibebankan kepada TERMOHON PKPU I / PT. CAKRA WISATA UTAMA TRAVELINDO dan TERMOHON PKPU II YURRY TANDEAN juga bernama JURRY TANDEAN berikut istrinya EVY JAORY;
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap: i) TERMOHON PKPU I / PT. CAKRA WISATA UTAMA TRAVELINDO berkedudukan di ... ; ii) TERMOHON PKPU II / YURRY TANDEAN juga bernama JURRY TANDEAN berikut istrinya EVY JAORY, keduanya beralamat di Jalan ... , berakhir;
2. Menyatakan: i) TERMOHON PKPU I / PT. CAKRA WISATA UTAMA TRAVELINDO; ii) TERMOHON PKPU II / YURRY TANDEAN juga bernama JURRY TANDEAN berikut istrinya EVY JAORY, keduanya beralamat di Jalan ..., berada dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.