Tiada Pidana Penghinaan bila Kejadian Sebatas Empat Mata

LEGAL OPINION
Pidana Pencemaran Nama Baik Bersifat di Muka Umum.
TELAAH PENGHINAAN YANG DAPAT DIPIDANA DAN HINAAN YANG TIDAK DAPAT DIPIDANA
Question: Yang disebut dengan telah melakukan pidana pencemaran nama baik, itu apa harus selalu pelakunya melakukan perbuatan pencemaran nama orang lain itu di depan umum? Maksudnya, ada tidak penghinaan yang dapat dipidana, dan hinaan yang tidak dapat diancam pidana?
Brief Answer: Tujuan utama niat batin untuk mencemarkan nama baik seseorang, tidak lain ialah untuk didengar atau diketahui khalayak ramai. Bila hanya sebatas “caci-maki” secara personal secara “empat mata”, maka hal tersebut bukan dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, namun lebih tepat disebut sebagai “perbuatan tidak menyenangkan”—terlepas dari fakta yuridis bahwa delik norma pidana “perbuatan tidak menyenangkan” telah dihapus dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. Yang kedua, sifat tuduhannya pun tidak dapat dibuktikan, sehingga pidana “pencemaran nama baik” selalu setali dengan perbuatan “fitnah”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminlah lewat putusan Pengadilan Negeri Sampang perkara pidana pencemaran nama baik, register Nomor 144/Pid.B/2014/PN.Spg tanggal 26 Agustus 2014. Yang menarik dari perkara pidana ini ialah, sifat pembalasan hinaan yang tidak proprorsional ternyata berbuntut kriminalisasi pada si korban semula itu sendiri, sehingga pengalaman berharga berikut ini patut menjadi pembelajaran.
Kejadian bermula ketika kekasih sang mantan suami dari Terdakwa mengata-ngatai Terdakwa sebagai “gembel” dan memiliki “anak haram”, sehingga terjadilah ajang pembalasan eksesif yang berujung dijadikannya Terdakwa sebagai pesakitan di “meja hijau”. Dimana terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi, terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti dipersidangan, maka majelis menyusun fakta hukum sebagai berikut:
- Bahwa pada tanggal 16 Februari 2014 sekira pukul 10.00 WIB terdakwa mendatangi kosan Saptantri bersama dengan tiga orang teman perempuan dengan mengendarai sepeda motor;
- Bahwa alasan terdakwa mendatangi Saptantri karena terdakwa merasa terhina dan marah dikatakan anaknya anak haram oleh Saptantri;
- Bahwa sampai di kosan setelah mengetuk pintu, Ariyanto (mantan suami terdakwa) yang membuka pintu namun Saptantri berteriak, ‘Ada apa’.
- Bahwa terdakwa lalu mencaci maki Saptantri dengan mengatakan ‘pelacur’ berulang kali;
- Bahwa akibat teriakan terdakwa yang berulang kali dan keras itu membuat penghuni kos yang lain keluar, dan Sapatantri pun ditegur oleh ibu kos karena membuat keributan;
- Bahwa atas kejadian itu Saptantri lantas menjelaskan pada penghuni kos perihal yang terjadi, dan akhirnya Saptantri keluar dari kosan tersebut karena malu;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum diatas, terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
“Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal 310 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Unsur Barang Siapa;
2. Unsur Sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu;
“Menimbang, bahwa sengaja (opzettelijk) terdapat dalam Pasal 310 KUHP, maksudnya harus ada niat untuk berbuat sesuatu dengan maksud agar orang lain mendapatkan malu di depan umum;
Menimbang, bahwa sesuai dengan fakta dipersidangan:
- Terdakwa mendatangi kosan Saptantri, karena terdakwa merasa tersinggung anaknya disebut anak haram oleh Saptantri; [Note SHIETRA & PARTNERS: Sebaliknya, mengapa Saptantri tidak turut dipidana karena telah melakukan pencemaran nama baik? Karena besar kemungkinan pernyataan “anak haram” dilontarkan olehnya secara “empat mata”, sehingga unsur di muka umum tidak terpenuhi.]
- Terdakwa setelah bertemu dengan Saptantri mencaci-maki dengan mengatakan ‘Be’en sondel patek, be’en se anak haram ta’andhik bapak, benyak palak yang keluar masuk ke pokehmu pelacur, sondel awas yeh saya bunuh kamu, e dheddhe’eh be’en, esambelih be’en so senkok.’
“Menimbang, bahwa terdakwa menyangkal mengatakan ‘benyak palak yang keluar masuk ke pokehmu pelacur’, mengenai hal ini saksi-saksi (selain Saptantri) tidak yakin apakah terdakwa ada mengucapkan kata-kata tersebut;
“Menimbang, bahwa menurut hemat Majelis pada intinya terdakwa mencaci maki Saptantri dengan menyebut Saptantri “pelacur” berulang kali dengan suara keras, keributan ini mengundang penghuni kos yang lain dan juga ibu pemilik kos; hingga akhirnya karena tak kuat menanggung malu, Saptantri keluar dari kos-kosan tersebut;
“Menimbang, bahwa terdakwa sebagai orang yang dewasa dan berakal sehat tentu mengetahui, bahwa tempat kos-kosan itu merupakan tempat berdiamnya beberapa orang atau orang banyak, dengan terdakwa menyatakan kepada Saptantri lewat sms akan mendatangi kosan Saptantri, berarti terdakwa sudah punya niat akan melakukan sesuatu, kemudian di tempat kejadian terdakwa berteriak mengatakan Saptantri ‘pelacur’ berarti terdakwa memang telah sengaja berniat mendatangi Saptantri untuk membuat Saptantri merasa malu dan terhina di depan orang banyak.
“Menimbang, bahwa alasan karena terdakwa tidak terima anaknya dikatakan anak haram oleh Saptantri, bukanlah berarti membolehkan terdakwa melakukan main hakim sendiri, apalagi yang dilakukan terdakwa sangat tidak berimbang dengan yang dilakukan Saptantri, karena Saptantri mengatakan anak terdakwa anak haram di sms yang tidak tersiar kemana-mana, sedangkan terdakwa mengatakan Saptantri ‘pelacur’ dengan suara keras dan didengar oleh seluruh penghuni kos yang ada di situ.
“Menimbang, bahwa selain itu perbuatan terdakwa dengan mengajak beberapa orang temannya mendatangi kosan Saptantri merupakan perbuatan yang tidak etis, karena masalah terdakwa dengan Saptantri adalah masalah pribadi, namun terdakwa melibatkan orang lain dalam hal ini.
“Menimbang, bahwa Majelis telah mencermati pembelaan terdakwa, Majelis berpendapat bahwa jika terdakwa merasa dirugikan oleh Saptantri, maka seharusnyalah terdakwa menyelesaikannya lewat jalur hukum, bukan eigenrichting atau main hakim sendiri, sebab dalam ilmu hukum perbuatan eigenrichting hanya diperkenankan apabila seseorang secara hukum dibenarkan melakukan karena dua hal, pertama keadaan darurat, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang, dan perintah jabatan. Kedua, karena force majeur atau keadaan diluar kemampuan manusia;
“Menimbang, bahwa Majelis telah mencermati fakta di persidangan dan menemukan bahwa terdakwa tidak sedang berhadapan dengan suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya, menurut Majelis terdakwa dapat menghindari terjadinya masalah ini apabila terdakwa menyikapi sms Saptantri dengan kepala dingin dan tidak membalasnya, kemudian terdakwa juga dapat menghindari dengan tidak mendatangi kosan Saptantri, dalam hal ini justru terdakwa datang dengan membawa beberapa teman terdakwa, kemudian berteriak-teriak di depan kosan Saptantri, sehingga masalah ini menjadi tersiar kemana-mana, sehingga tidak hanya berujung pada terdakwa yang menerima akibatnya, namun juga Saptantri yang telah dipermalukan oleh terdakwa di depan umum.
“Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis menolak seluruh nota pembelaan diri terdakwa;
“Menimbang, bahwa oleh karena itu menurut Majelis unsur kedua telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa;
“Menimbang, bahwa oleh keseluruhan unsur-unsur dari Pasal 310 ayat (1) KUHP telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa, maka terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang kualifikasinya akan disebutkan dalam amar putusan;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan penerapan pidana;
Hal-hal yang memberatkan:
- Bahwa terdakwa dalam nota pembelaannya tidak merasa bersalah;
- Bahwa terdakwa telah main hakim sendiri;
- Bahwa perbuatan terdakwa tidak berimbang dengan yang dilakukan oleh korban;
Hal-hal yang meringankan:
- Bahwa terdakwa memiliki anak yang masih kecil berusia dibawah 5 tahun yang memerlukan perawatan dan kasih sayang terdakwa;
- Bahwa terdakwa tidak memiliki suami sehingga harus mencari nafkah untuk anaknya;
- Bahwa terdakwa kooperatif di persidangan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa sebagaimana akan disebutkan dalam amar putusan, sudah dipandang patut dan memberikan pelajaran yang cukup bagi terdakwa agar tidak mudah emosi dan bertindak main hakim sendiri;
“Menimbang, bahwa Majelis berpendapat pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali kalau di kemudian hari dengan putusan hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa terpidana sebelum waktu percobaan yang akan disebutkan dalam amar putusan telah melakukan perbuatan pidana yang dinyatakan dalam putusan hakim;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan terdakwa AMALIA TRISNA NINGTIYAS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana DENGAN SENGAJA MERUSAK NAMA BAIK SESEORANG DENGAN JALAN MENUDUH DIA MELAKUKAN SESUATU PERBUATAN DENGAN MAKSUD YANG NYATA AKAN TERSIARNYA TUDUHAN ITU;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan;
3. Menyatakan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali apabila dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim karena terpidana sebelum lewat masa percobaan 2 (dua) bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Seorang Ibu dari mana, yang akan rela membiarkan anaknya disebut sebagai “anak haram”? Dalam padangan pribadi penulis, terdapat “alasan pemaaf” bagi Terdakwa, yakni tekanan batin / psikis yang luar biasa mendesaknya, sehingga terjadilah luapan emosi penuh kemarahan untuk dilampiaskan pada pelakunya. Penyebutan “anak haram” oleh pelapor, merupakan prima facie dari perbuatan Terdakwa yang kemudian melakukan luapan emosi penuh kemarahan demikian.
Dari segi telaah moril, siapakah yang paling patut dipersalahkan? Jika pelapor tidak memulai, tiada insiden demikian, dimana korban yang justru kemudian dikriminalisasi. Secara “uji moril”, nuansa putusan demikian tidak mencerminkan empati dan kemampuan hakim untuk memahami perasaan seorang ibu yang telah bertaruh nyawa melahirkan anaknya, namun kemudian disebut sebagai “anak haram”—tepatnya terlontar dari mulut kekasih mantan suami Terdakwa (perhatikan konteks tersebut).
Hinaan “pelacur” masih jauh lebih tidak sadistik, ketimbang frasa hinaan “anak haram”. Ketika seorang ibu disebut memiliki “anak haram”, dirinya bukan hanya mengalami kemarahan untuk dirinya seorang, namun juga perasaan kasihan terhadap sang anak yang disebut sebagai “haram”. Itulah yang penulis sebut sebagai putusan dengan semangat bias gender, dimana hakim pria kerap kali gagal untuk memahami perasaan kaum wanita yang telah menjadi seorang ibu.
Kritisme kedua penulis, yakni lemahnya pemahaman stelsel ilmu hukum pidana paling mendasar perihal teori “conditio sine qua non”. Secara harafiah, “sine qua non” merupakan bahasa latin yang arti harafiahnya ialah “harus ada”. Dengan demikian, “conditio sine qua non” memiliki makna sebagai “suatu kondisi yang harus ada untuk sesuatu dapat sampai terjadi”. Sejatinya, sampai disini saja kita sudah dapat benang-merah kesalaahn konklusi Majelis Hakim saat mengurai pertimbangan hukum yang dibuatnya.
Berdasarkan teori “conditio sine qua non” dalam stelsel pemidanaan, yang kemudian digunakan untuk membedah perkara sebagaimana ilustrasi diatas, tidaklah tepat bila Terdakwa yang kemudian dipersalahkan, mengapa? Karena tanpa adanya “sine qua non” berupa hinaan “anak haram”, maka frasa “pelacur” tidak akan terlontar dari mulut Terdakwa. Sesederhana itu saja, penjelasannya, dan tidak ada penjelasan intelektual lain yang lebih memuaskan dari itu.
Hanya saja, seperti yang telah penulis sampaikan di muka, hinaan terbagi menjadi dua kategori: hinaan secara privat “peer to peer” dan hinaan secara “terbuka” di ruang publik. Namun, hinaan tetaplah sebuah hinaan, sehingga tidak dapat dibenarkan pelecehan dilakukan secara masif dalam kerangka “bukan dilakukan di ruang publik”, sehingga hukum yang logis perlu menerapkan prinsip “conditio sine qua non” secara konsisten serta holistik, agar tidak lagi jatuh korban-korban kriminalisasi serupa dikemudian hari.
Mungkin tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS menganugerahi putusan pengadilan di atas, sebagai putusan terburuk sepanjang sejarah perkara pencemaran nama baik. Pertimbangan Majelis Hakim tampak elaboratif, namun sarat kandungan keliru dalam silogisme yang justru menjadi cerminan kesalahan manarik kesimpulan dari proposisi paling mendasar.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.