Simpang Siur Amar Putusan Akibat Tidak Diakuinya Preseden dalam Sistem Hukum dI Indonesia, Semua Berpulang pada Selera Masing-Masing Hakim

LEGAL OPINION
Question: Memang seperti apa, konsekuensi paling merugikannya bagi masyarakat pencari keadilan, bila memang keberlakuan yurisprudensi hanya dipandang sebelah mata oleh hakim sehingga yurisprudensi seolah-olah tidak pernah eksis untuk dijadikan sebagai sumber rujukan?
Brief Answer: Fungsi utama preseden maupun yurisprudensi, tidak lain untuk mengontrol dan membatasi keleluasaan hakim dalam memutus suatu perkara, yang secara tidak langsung dapat menciptakan sebentuk budaya “kepastian hukum” bagi warga masyarakat, sekaligus menekan potensi penyalah-gunaan kekuasaan kehakiman.
Ketika hakim memutus suatu perkara tanpa diikat oleh keberlakuan “blangko” kaedah preseden, maka hakim akan cenderung “tends to corrupt” dalam karakter putusannya—yang pada gilirannya norma hukum menjadi demikian simpang-siur dan membingungkan masyarakat. Tiada lagi kepastian hukum, yang tersisa hanyalah “selera” sang hakim saat memutus perkara. Tiada parameter, sementara preseden justru mengikat hakim dalam lingkup parameter.
Tanpa keberlakuan preseden secara mengikat, bahkan hakim seolah disahihkan untuk memutus secara menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang sekalipun telah memiliki pengaturan norma secara tegas. Disparitas dan overlaping antar putusan, merupakan indikator konkret betapa sistem hukum demikian tidaklah sehat untuk dipraktekkan. Daya mengikat preseden merupakan rambu pengaman paling akhir, ketika seorang hakim bertendensi memutus secara menyimpang dari peraturan perundang-undangan.
PEMBAHASAN:
Cerminan konkret berikut ini dapat menjadi ilustrasi sempurna betapa simpang-siurnya norma hukum ketika hakim merasa bebas sebebas-bebasnya saat memutus suatu perkara, tanpa ada rasa kewajiban untuk memedomani kaedah preseden, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 267 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015, perkara antara:
1. SUTARYO; 2. ADI SUGIHARTO; 3. LUKMAN MUALANA; 4. IMAM MUJAHID, sebagai Para Pemohon Kasasi I, semula selaku Tergugat VII, VIII, IX dan X; serta
1. MUHARSONO; 2. AHYAD; 3. IKSAN JAJULI; 4. NURUL MUFID; 5. SUSANTO; 6. TRI WIARTO, sebagai Para Pemohon Kasasi II dahulu Tergugat I, II, III, IV, V dan VI; melawan
- PT. KARYA PRATAMA DUNIA, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Antara Penggugat dengan Para Tergugat semula terikat dalam hubungan kerja yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian kerja, dimana Penggugat sebagai Pengusaha sedangkan Para Tergugat sebagai Pekerja. Obyek dari gugatan ini adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Para Tergugat, sebagai akibat hukum dari tindakan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama antara Serikat Buruh dengan PT. Karya Pratama Dunia periode 1 Juni 2013 sampai dengan 31 Mei 2015, dimana kesalahan Para Tergugat yang dapat mengakibatkan PHK karena “pelanggaran berat”.
Perjanjian Kerja Bersama tersebut berkedudukan sebagai hukum otonom, yang berlaku dan mengikat seluruh Pekerja termasuk Para Tergugat, dan merupakan sarana hubungan industrial yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang mengikatkan diri didalamnya.
Ditengah-tengah upaya berunding untuk mencapai kesepakatan atas suatu sengketa yang terjadi dalam hubungan kerja, Para Tergugat mengajukan pemberitahuan mogok kerja yang direncanakan dilakukan terhitung tanggal 16 Desember 2013.
Atas pemberitahuan mogok kerja tersebut, Penggugat mengirim surat tertanggal 11 November 2013 untuk kembali melakukan perundingan kepada Serikat Pekerja, namun pihak Pekerja menyatakan tidak bersedia kembali melangsungkan perundingan.
Tanggal 16 Desember 2013, Para Penggugat secara bersama-sama melakukan tindakan yang bernada menghasut, memprovokasi, mengintervensi bahkan bernada ancaman yang jelas-jelas merupakan pelanggaran dari ketentuan Pasal 52 ayat (2) huruf e dan f Perjanjian Kerja Bersama.
Upaya Menghidari Pemutusan Hubungan Kerja tidak berhasil dilakukan, karena pelanggaran yang dilakukan Para Tergugat termasuk kategori pelanggaran berat, maka telah diupayakan Perundingan Bipartit dengan Serikat Pekerja pada tanggal 25 Februari 2014, namun belum mencapai kesepakatan.
Pihak Pengusaha Kembali Melakukan Upaya Untuk Menghindari PHK, maka Perundingan Bipartit dengan Serikat Pekerja kembali dilakukan Pada tanggal 26 Februari 2014, namun tidak juga tercapai kesepakatan. Maka, terhitung tanggal 27 Februari 2014, Penggugat melakukan PHK dan Sanksi Skorsing terhadap Para Tergugat.
Selanjutnya pihak Penggugat mengajukan permohonan mediasi kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, yang kemudian dilangsungkan pada tanggal 29 April 2014 hingga 22 Mei 2014, namun belum tercapai kesepakatan penyelesaian, sehingga Mediator pada Dinas Tenaga Kerja pada tanggal 11 Juli 2014 menerbitkan surat anjuran, dengan substansi sebagai berikut:
1. Agar Pengusaha PT Karya Pratama Dunia mempekerjakan kembali Sdr. ... dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Agar Pengusaha PT Karya Pratama Dunia memanggil kembali Sdr. Muharsono dkk (11 orang) yang namanya tersebut pada butir 1 (satu) diatas untuk bekerja kembali paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran ini;
b. Agar Pekerja Sdr. Muharsono dan kawan-kawan (11 orang) yang namanya tersebut pada butir 1 (satu) diatas melaporkan diri secara tertulis untuk bekerja kembali paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah menerima anjuran ini;
c. Agar Pengusaha membayar upah pekerja Sdr. Muharsono dan kawan-kawan (11 orang) yang namanya tersebut pada butir 1 (satu) diatas selama tidak dipekerjakan sesuai dengan ketentuan Pasal 155 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 tahun 2003;
2. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran ini.”
Pihak Penggugat menyatakan menolak anjuran demikian, dengan alasan Mediator seharusnya menyadari dasar pengenaan pemutusan hubungan kerja terhadap para Tergugat adalah Perjanjian Kerja Bersama antara Pengurus Serikat Buruh dengan PT. Karya Pratama Dunia, antara lain:
- Pasal 52 ayat (2) huruf (e) yang: “Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengitimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja”; dan
- Pasal 52 ayat (2) huruf (f):” Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Terhadap gugatan demikian dari pihak Pengusaha, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 152/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Bdg. tanggal 27 Januari 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan mogok kerja Para Tergugat, tidak sah;
- Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Para Tergugat terhitung sejak tanggal 27 Februari 2014;
- Menghukum Penggugat untuk membayar uang pisah secara tunai dan seketika kepada Para Tergugat masing-masing sebagai berikut: ...;
- Menolak gugatan selain dan selebihnya.”
Berbagai norma preseden sebetulnya telah memiliki kaedah hukum, bahwa mangkir kerja untuk dapat dikategorikan sebagai “mengundurkan diri”, wajib didahului surat panggilan untuk kembali masuk bekerja, sebanyak 2 kali, dan panggilan wajib dilayangkan secara patut. Para Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan penuh blunder, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 19 Februari 2015 dan 23 Februari 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 10 Maret 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum pertimbangan sudah tepat dan benar dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa sesuai fakta persidangan, para Tergugat dikwalifikasikan mangkir karena mogok kerja tidak sah dan terbukti telah dipanggil melalui pengumuman untuk masuk kerja;
“Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Agung anggota I: Dr. H. Fauzan, S.H., M.H., menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti salah dalam mempertimbangkan bahwa para Tergugat dianggap mangkir karenanya diputus hubungan kerjanya dengan mendapat hak berupa uang pisah, pertimbangan mana seharusnya sesuai ketentuan Pasal 6 Kepmenakertrans Nomor 232/Men/2003 terlebih dahulu dipanggil secara patut dan tertulis sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut sementara tidak ada surat pemanggilan untuk berkeja kembali, sehingga para Tergugat tidak dapat dikwalifikasikan mengundurkan diri;
“Bahwa terhadap peristiwa hukum diatas oleh karena salah satu pihak hubungan kerjanya tidak dapat dipertahankan lagi maka patut dan adil hubungan kerja diputus dengan kompensasi 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: SUTARYO dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi I: 1. SUTARYO, 2. ADI SUGIHARTO, 3. IMAM MUJAHID dan Para Pemohon Kasasi II: 1. MUHARSONO, 2. AHYAD, 3. IKSAN JAJULI, 4. NURUL MUFID, 5. SUSANTO, 6. TRI WIARTO tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.