Sarjana Lulusan Fakultas Hukum Tidak Terserap Kebutuhan Lapangan Kerja

ARTIKEL HUKUM
Mengapa dari tahun ke tahun, pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil Instansi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, selalu memecahkan rekor dengan jumlah pelamar setiap tahunnya? Bahkan, Kementerian Hukum menjadi instansi dengan jumlah pelamar tertinggi nomor satu, setiap tahunnya, melampaui peminat instansi seperti Kementerian Keuangan yang notabene membuka lowongan pegawai yang kebutuhannya jauh lebih besar ketimbang Kementerian Hukum.
Kementerian Keuangan membawahi berbagai instansi seperti Kantor Pajak, Kantor Lelang Negara, dan berbagai instansi vertikal lainnya yang menjadi “tulang punggung” perekonomian fiskal maupun moneter negara. Sementara itu bila dibanding dengan tugas dan kewenangan Kementerian Keuangan, bidang tugas Kementerian Hukum jauh relatif lebih sempit ketimbang ruang lingkup bidang tanggung-jawab maupun keluasan bidang kerja Kementerian Keuangan.
Anda jangan berpikir segala produk hukum diterbitkan oleh Kementerian Hukum. Tanpa Kementerian Hukum sekalipun, setiap Kementerian dapat membuat draf usulan / rancangan undang-undang kepada pemerintah maupun parlemen serta membuat peraturannya sendiri. Peraturan yang dibuat oleh Kementerian Hukum, bahkan masih jauh dibawah kuantitas peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan.
Begitupula sarjana lulusan Fakultas Ekonomi maupun Fakultas Pajak disamping Fakultas Manajemen, setiap tahunnya jauh melampaui jumlah lulusan Fakultas Hukum di Tanah Air. Secara logika orang awam, semestinya Lulusan Fakultas Ekonomi, Fakultas Pajak, serta Fakultas Manajemen di Indonesia, telah over supply mengingat jumlah fresh graduate lulusannya dicetak secara demikian produktif di berbagai universitas swasta, universitas negeri, maupun berbagai perguruan tinggi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Sebaliknya jumlah perguruan tinggi hukum, masih terbilang jauh dibawah fakultas lain yang memang lebih diminati mereka yang berjiwa entrepreneur maupun yang berjiwa digital (Fakultas Ilmu Program dan Komputer).
Pertanyaan introspektif serta keganjilan aktual dalam realita demikian, sungguh menggelitik untuk dievaluasi serta dianalisa. Sebenarnya jawabannya sangat sederhana, setidaknya oleh kaca-mata internal kalangan pengusaha di lapangan yang setiap hari berkecimpung dalam “memutar” modal dan roda ekonomi. Untuk sebagian orang, fenomena demikian sesungguhnya tidaklah mengejutkan, dan telah dapat diprediksi.
Berikut inilah kerangka acuan berpikir dunia lapangan kerja yang real di lapangan, yang akan membuat niat Anda yang hendak menjadi seorang Sarjana Hukum, mungkin akan pupus dan segera “putar haluan” sekarang juga sebelum terlambat. Sementara yang sudah terlanjur “tercebur” dalam gelar Sarjana Hukum, tampaknya tidak ada pilihan lain selain “jalan terus” atau ilmu hukumnya akan “berkarat” dan “karatan” menjelma besi rongsok.
Mari kita bahas bersama. Dalam dunia industri, pola pikir yang banyak terlibat ialah produksi dan penjualan. Itulah urat nadi ekonomi makro dan perdagangan nasional. Dengan demikian, kebutuhan akan jasa pegawai hukum, menjadi kebutuhan sekunder—atau bahkan dipandang sebagai kebutuhan tersier, terbukti dari berbagai kota di Tanah Air, kebutuhan dan serapan tenaga pegawai dibidang hukum, hanya tersebar di kota-kota besar seperti Jabodetabek dan Surabaya. Di kota-kota industri lainnya, atau bahkan pada pabrik-pabrik di daerah, bahkan sama sekali tidak dijumpai adanya staf hukum pada perusahaan yang berdiri di sana. Sarjana Hukum yang pulang ke desa kampung halamannya, harus siap-siap menjadi “tuna wisma” atau terpaksa kembali bersawah seperti leluhurnya. Gelar “S.H.” hanya menjadi penghias KTP, ataupun untuk mendongkrak gengsi pada kartu undangan saat dirinya menikah, atau dapat juga digunakan untuk sekadar membuat kagum calon mertua.
Mind set pelaku usaha, tanpa dapat kita pungkiri dan harus kita akui, masih berkiblat: bagaimana agar pabrik dapat terus berproduksi, dan bagaimana agar barang hasil produksi dapat terserap oleh pasar agar dapat menjadi modal baru untuk meningkatkan kapasitas produksi. Untuk itu, kebutuhan akan tenaga kerja lulusan Fakultas Ekonomi menjadi sentral utama perhatian para kalangan pelaku usaha. Lulusan Manajemen juga dapat menjadi fokus perhatian untuk di-rekrut, untuk menyusun strategi selling dan pemasaran yang handal dan andal.
Langkah kedua, bagaimana agar pembukuan dan laporan pajak perusahaan, tidak bermasalah, demikian juga pembayaran gaji pekerja dan buruh, maka lulusan Fakultas Akuntansi serta Fakultas Pajak menjadi primadona di kota dan di daerah mana pun di Tanah Air, sekalipun itu di tempat terpencil dan di pelosok yang belum baik infrastrukturnya.
Dari pengamatan serta pengalaman pribadi penulis bersentuhan dengan dunia kerja maupun dunia ekonomi, kejadian seperti contoh berikut ini jamak kita jumpai: sebuah perusahaan pegadaian swasta memiliki lima ribu karyawan tersebar di seluruh kota di Pulau Jawa. Tahukah Anda, berapa banyak staf hukum perusahaan tersebut? Hanya satu orang. Ya, hanya satu orang, bahasa kerennya “one man show”, alias bergelar “LLM” (lama-lama mati).
Perusahaan lain, yang bergerak dibidang produksi pembuatan plastik di sebuah kota di Provinsi Banten, berupa grup usaha yang memiliki hampir empat puluh anak usaha yang bergerak dibidang logistik, pabrik kantung plastik, karet gelang, packaging, jasa keamanan perparkiran, impor panel surya sel, dengan ribuan karyawan pabrik, namun tahukah Anda berapa jumlah staf hukum Grub Usaha bersangkutan? Hanya satu orang. Ya, Anda tidak salah baca: hanya SATU ORANG.
Apa yang kemudian terjadi? Satu orang Sarjana Hukum tersebut harus melayani perintah dari ratusan orang setiap harinya, melayani tugas dan bobot kerja yang mengalir derat tanpa hentinya untuk setiap harinya. Pakar neurologi menyebutkan, terdapat salah satu kromoson dalam genetik manusia, yang dapat menghambat penyerapan dopamin oleh neurotransmitter otak akibat terlampau banyak diberi perintah oleh orang lain. Input empirik demikian, imbasnya sangatlah signifikan terhadap seseorang. Keinginan pimpinan perusahaan tiada batasannya dan tiada habis-habisnya, sementara tenaga dan waktu satu orang staf hukum, tidak akan pernah mampu mengakomodasi berbagai keinginan demikian.
Pegawai yang terlampau banyak menerima perintah tanpa diberi hak untuk menolak, akan memiliki kadar stres diatas pegawai rata-rata. Apa yang kemudian akan terjadi, mudah untuk ditebak, tingkat “in dan out” staf hukum pada perusahaan demikian, sangat tinggi, bahkan untuk hitungan “dalam satu bulan staf hukum akan resign dan digantikan oleh staf hukum baru untuk kemudian digantikan lagi oleh staf hukum baru lainnya”.
Namun disaat bersamaan, di perusahaan tersebut terdapat divisi HRD yang berisi belasan staf, divisi marketing yang terdiri dari puluhan pegawai, divisi pajak yang terdiri dari banyak kepala, divisi pembukuan dan keuangan yang terdiri dari banyak pekerja, hingga divisi admin yang juga jamak jumlahnya. Bahkan, jumlah petugas resepsionis masih lebih banyak ketimbang sang staf hukum yang hanya seorang diri harus menanggung semua beban itu. Dengan kata lain, untuk perusahaan sekelas perusahaan raksasa demikian, ternyata semua perhihal hukum hanya ditumpukan sebagai beban pada bahu SATU ORANG SARJANA HUKUM. Perihal gaji, kabar buruknya yang dapat membuat Anda tersenyum simpul, tidak jauh-jauh dari gaji seorang buruh dengan tingkat UMR (Upah Minimum Regional).
Pernahkah Anda mengalaminya? Salah satu saksi mata sekaligus satu korbannya, ialah penulis itu sendiri ketika masih muda dan masih “hijau” untuk mampu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Perasaan dilecehkan, diperlakukan tidak adil, serasa dieksploitasi, dimanipulasi, dan berbagai perasaan tidak berdaya dan tidak berharga lainnya, sudah menjadi “makanan” sehari-hari kalangan Sarjana Hukum yang mencoba mengadu nasib pada Pemberi Kerja swasta.
Betul bahwa Sarjana Hukum juga dapat direkrut untuk mengisi jabatan lowongan staf Human Resource Department (HRD), namun hal tersebut merupakan salah-kaprah sekaligus mencaplok “lahan” bagi lulusan Fakultas Psikologi. Praktis, lulusan Fakultas Hukum hanya layak untuk mengisi jabatan Staf Hukum serta Staf Hubungan Industrial (bukan HRD).
Divisi HRD yang berisi Sarjana Hukum, besar kemungkinan akan disibukkan oleh pertengkaran antara sang Sarjana Hukum idealis Vs. manajemen yang hendak “memelintir” aturan hukum ketenagakerjaan, atau sebaliknya menjadi pragmatis dengan sering bertengkar-mulut dengan para buruh yang merasa “terzolimi” oleh kebijakan perusahaan.
Apa yang kemudian terjadi pada nasib kalangan Sarjana Hukum? Disebabkan karena latar belakang over supply yang tidak seimbang dengan demand peluang dan lapangan pekerjaan, mengakibatkan daya tawar kalangan Sarjana Hukum menjadi demikian merosot hingga titik nadir. “Bila Anda tidak mau menerima syarat kerja kami, yang tentu saja sangat memberatkan Anda ini, maka pelamar lain masih banyak yang mengantri”.
Menjadi tidak lagi mengherankan, bila kalangan Sarjana Hukum di Tanah Air, saling “obral diri” bahkan diri perlu “menggadaikan” dirinya. “Yang penting diterima kerja”, itulah yang kira terpikirkan oleh mereka, para Sarjana Hukum malang yang berpikir dapat hidup dalam karir penuh gengsi selepas tamat dari bangku pendidikan tinggi hukum.
Selama ini banyak kaum muda tergiur oleh citra sosok profesi hukum yang terkesan glamor, mewah, prestise, berkelas, lengkap dengan jas mengilat dan mobil bermerek mahal, dan tentu saja, bernuansa uang senilai jutaan Dollar $$$ USA. Berbagai kalangan Pengacara maupun Konsultan Hukum ternama yang selama ini kita kenal, dapat mencapai puncak karirnya oleh sebab mereka merukan Sarjana Hukum generasi pertama di Indonesia sejak kemerdekaan RI.
Pada saat Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaan, hanya terdapat segelintir Sarjana Hukum di Tanah Air. Kantor Hukum pun tidak tersebar bak jamur di musim penghujan seperti sekarang ini—dimana bahkan di setiap sudut perumahan dan pemukiman paling pelosok sekalipun dapat kita jumpai kantor hukum dengan mudahnya, bersanding dengan toko-toko kelontong.
Karena pada saat itu, setengah abad lampau, antara supply dan demand masih lebih tinggi faktor demand, maka jelas saja para Sarjana Hukum senior tersebut dapat cepat memiliki klien dan menjadi termasyur dalam sekejap waktu. Tidak ada saingan yang berarti, dan kompetitor pun masih hitungan jari pada saat itu. Namun impian kaum muda pada saat kini, ibarat sudah “ketinggalan zaman”, sudah tidak lagi sesuai konteksnya. Sarjana Hukum kontemporer, harus siap menghadapi kenyataan yang mendorong dirinya untuk bertahan hidup dengan menjadi seorang pedagang.
Tidak ada pengacara ataupun konsultan pada masa kontemporer ini, kecuali penulis tentu saja, yang dapat mendongkrak popularitas namanya dengan meroket sedemikian pesat sebagaimana Sarjana Hukum pendahulu (“generasi pertama”) mereka, akibat perubahan zaman: faktor supply dan demand menjelma keterbalikan sebagaimana kondisi setengah abad lampau.
Orang sakit, senantiasa banyak dijumpai, dan tidak mengenal musim juga tidak mengenal zaman. Zaman lampau, hingga zaman kini, dan di zaman dimasa yang akan datang, para pasien selalu akan mengantri di berbagai rumah sakit, sebanyak apapun rumah sakit dan dokter didirikan. Namun, ironisnya, “pesakitan hukum” tidak selalu ada setiap harinya.
Tidak sedikit kantor hukum generasi Sarjana Hukum masa kini, yang lebih banyak dikunjungi lalat dan nyamuk yang usil—ya, paling tidak ada kesibukan untuk mengusir nyamuk dan memecah kesunyian. Ironis yang kedua, banyak diantara para pelaku pelanggar yang cukup menyelesaikan masalah hukumnya dengan menyewa “makelar kasus” atau semudah menyuap aparatur sipil negara dan aparatur penegak hukum lainnya. Para “makelar kasus” tersebut, bahkan sama sekali bukan berlatar-belakang Sarjana Hukum.
Kutukan kedua bagi kalangan Sarjana Hukum, ialah selalu hidup dalam “serba salah”, terutama bagi Sarjana Hukum beridealisme tinggi. Pernah suatu kali saat masih seorang fresh graduate, penulis yang melakukan magang di sebuah kantor pengacara, mengalami “konflik batin” ketika kantor menjadi pengacara seorang bajingan. Namun pimpinan kantor pengacara tersebut kemudian menyampaikan pada penulis, bahwa sikap penulis adalah “tidak profesional karena tidak bersedia sepenuh hati menjadi pembela hukum klien, apapun dan sebiadab apapun sang klien”.
Senada dengan itu, kawan-kawan Sarjana Hukum di perusahaan manapun itu, harus menelan “pil pahit” bahwa diri mereka menjadi “bumper” bagi kebijakan dan keputusan perusahaan yang menyerupai tiran, diktator, serta menyerupai bak “penyampun” terhadap para pegawai dan buruh mereka. Katakanlah sang atasan pemilik perusahaan memerintakan agar para buruh dipecat tanpa pesangon (alias merampok hak pesangon buruhnya sendiri). Namun bukanlah dirinya, sang atasan, yang akan turun dan berhadapan langsung dengan para buruh yang di-zolimi olehnya.
Sekali lagi, yang akan turun ke lapangan dan berhadapan langsung dalam aksi adu mulut, perang dingin, hingga melakukan pemecatan, dicaci-maki pekerja yang marah, menghadapi amukan rekanan perusahaan yang wanprestasi terhadap perusahaan, menghadapi konsumen yang tidak puas dan merasa tertipu oleh perusahaan, tidak lain ialah staf hukum ataupun staf hubungan industrial—sementara sang atasan hanya duduk manis, sambil asyik memerintah dengan nada marah-marah sembari menyusun rencana berbagai perintah baru lainnya yang akan menyusul ia lontarkan, sembari menunggu laporan dari staf hukum-nya yang akan kembali dalam keadaan “babak-belur”. Jika sang staf hukum kembali dalam kondisi “babak-belur”, berarti dirinya telah bekerja dengan baik. Sementara jika sang staf hukum pulang dalam keadaan “mulus tanpa lecet” sedikit pun, artinya ia belum sama sekali bekerja. Adakah yang lebih gila daripada itu?
Kutukan ketiga bagi kalangan Sarjana Hukum yang menjabat staf hukum, seolah kisah tragis diatas belum cukup menyedihkan, ialah kenyataan bahwa sekalipun sang staf hukum yang melakukan pemecatan, melakukan “perampokan” terhadap hak pesangon para buruh, melakukan aksi dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya terhadap sesama karyawan, namun sang staf hukum juga merupakan karyawan perusahaan, yang suatu waktu nanti mungkin akan bernasib sama dengan pegawai lain yang sebelumnya diperlakukan secara tidak patut oleh sang staf hukum (meski dirinya hanya menjelankan perintah atasan). Staf hukum dituntut loyalitas, namun jangan harap sebaliknya.
Kutukan keempat, yang lebih tragis dari “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, ialah setiap Sarjana Hukum tahu dan sadar sepenuhnya berbagai perintah sang atasan ialah melanggar hukum. Namun perintah adalah perintah, harus dikerjakan dan dilaksanakan, tanpa boleh membantah atasan yang memberi gaji bulanan sang staf hukum.
Namun apa yang kemudian terjadi? Staf hukum-lah yang kerap kali dijadikan “boneka” bagi kepentingan pemilik perusahaan, dijadikan “kambing-hitam”, serta dijadikan alat untuk melakukan berbagai kegiatan kotor yang tidak lain merupakan kepentingan semata pihak perusahaan.
Ketika sang staf hukum mendapat perintah untuk membawa bungkusan berisi uang untuk menyuap aparat dan/atau pejabat, maka pada gilirannya nanti sang staf hukum tertangkap-tangan oleh pihak berwajib, maka pihak perusahaan akan memainkan aksi klasik “cuci-tangan” dengan berkata: “Perusahaan saya tidak pernah memerintahkan anak buah saya untuk menyogok, itu tanggung-jawab pribadi si orang tersebut, tidak ada urusan ataupun sangkut-pautnya dengan kami.” Buang jauh-jauh asumsi, bahwa kejadian demikian tidak akan terjadi pada Anda yang sedang “bermain dengan api”.
Ilustrasi diatas bukanlah isapan jempol, namun konkret memang benar-benar terjadi secara masif dan meluas, bahkan menjadi suatu pola tersistematis yang dapat kita jumpai di perusahaan swasta manapun, dan kapan pun. Polanya selalu sama berulang kali terjadi. Ketika itu yang dikemudian hari (potensi resiko demikian bersifat laten dalam setiap profesi staf hukum perusahaan swasta mana pun), benar-benar terjadi pada kita, menerima perintah yang kita ketahui secara sadar melanggar hukum dan bertentangan dengan hati nurani, pilihannya hanya dua: tetap melakukan dengan konsekuensi resikonya, atau seketika itu juga mengundurkan diri (resign).
Ironisnya, pilihan demikian tampak seperti tidak kasat-mata. Pilihan demikian seolah bukan bagian dari kehendak bebas diri pribadi si staf hukum. Bayangan gambaran kehilangan pekerjaan tampak seolah lebih menakutkan ketimbang mengambil resiko demikian, dan harus rela menjadi “bumper” demi “bumper” yang sekalipun melecehkan harkat maupun martabat pribadinya sendiri—dan itulah yang tepatnya benar-benar terjadi selama ini dalam praktik, yang mungkin diantara kita pun mampu menyebutkan nama rekan-rekan kita yang mengalami nasib serupa—atau bahkan kita sendiri yang pernah mengalami nasib serupa.
Ironi yang “sudah tidak jelas keberapa”, staf hukum dituntut untuk menjadi seperti layaknya “superman”, yang tahu semua hal seputar hukum. Satu hal saja terkait hukum yang tidak mampu dijawab olehnya, maka akan diberi stigma sebagai “tidak mampu” atau “tidak berkualifikasi”, alias “tidak kompeten”.
Padahal, sebagaimana telah kita ketahui, dua puluh tahun lampau peraturan perundang-undangan tidak semasif saat kini yang telah menjelma menyerupai “hutan belantara”. Adalah mustahil bagi seorang Sarjana Hukum, seorang diri, mampu menguasai seluruh bidang aspek hukum yang demikian luas, mulai dari hukum pajak, hukum pasar modal, hukum penanaman modal, hukum ketenagakerjaan, hukum kredit, hukum pidana, hukum perizinan, hukum ekspor-impor, hukum pertanahan, dan berbagai disiplin ilmu hukum lainnya. Padahal jika undang-undang berubah, seorang Sarjana Hukum tetap saja harus mengulang semua itu dari “NOL”.
Sekalipun dirinya telah berupaya sekuat yang ia mampu, tetap saja akan dinilai sebagai “impoten”. Prestasi yang espektasinya diluar kewajaran—namun kalangan diluar Sarjana Hukum mana mau tahu—mereka berpikir bahwa seorang Sarjana Hukum sudah semestinya “tahu hukum” dan selalu siap dengan jawabannya. Kadang staf hukum mengalami konflik atau benturan dengan keinginan pimpinan perusahaan yang hendak melakukan manuver bisnis yang melanggar hukum, dan menuntut kita selaku staf hukum untuk tetap berhasil meng-gol-kan rencana bisnis mereka tersebut. Mission impossible...
Ironi terakhir, meski bukan yang paling akhir, staf hukum dikodratkan untuk selalu mengalami perang abadi dengan para staf Divisi Pemasaran / Marketing. Kita tahu, petugas bagian penjualan selalu berorientasi profit, berhasil menjual sebanyak apapun, kalu perlu menjual celana dalam yang sedang ia kenakan, dengan sikap keras kepala : “tidak mau tahu apakah itu menabrak hukum yang berlaku ataukah tidak”.
Ketika staf hukum menyampaikan ada yang bermasalah dengan draf kontrak kerja sama dengan pihak calon rekanan perusahaan, maka sang staf hukum akan dicemooh sebagai penghambat penghasilan perusahaan. Kesannya, seolah staf hukum merupakan “kuda hitam penjegal”. Persepsi demikian jamak kita jumpai pada perusahaan swasta mana pun.
Banyak diantara kalangan fresh graduate Sarjana Hukum, yang bahkan tidak siap menghadapi kenyataan demikian. Tidak ada rasa bangga, tiada harga diri tersisa, semua bayang-bayang tentang kemegahan profesi hukum, runtuh dalam sekejap mata, sejak dirinya menyentuh dunia praktik yang memang jauh dari kata ideal.
Ketika staf hukum hanya sekadar menjadi “tukang cap” perusahaan, dimana semua keinginan Divisi Marketing harus dipenuhi (atau bila tidak maka engkau akan di-cap esbagai “tukang hambat), semua kontrak di-ACC oleh staf hukum, setidak-menguntungkan seperti apapun isi di dalamnya, yang pada akhirnya akan dipersalahkan jika benar-benar terjadi sengketa atau wanprestasi dikemudian hari antara rekan bisnis dan pihak perusahaan, adalah staf hukum sebagai “kambing-hitam”-nya. Staf hukum yang hanya didudukkan untuk menjadi sekadar “tukang cap” sekaligus dirancang untuk dipersiapkan sebagai “kantung sak-sak tinju” untuk dipersalahkan jika dikemudian hari terjadi masalah terhadap perusahaan.
Nah, setelah sekian banyak “motivasi” yang penulis urai perihal fakta realita yang benar-benar terjadi di lapangan tentang apa yang menjadi kodrat / takdir setiap profesi hukum di Tanah Air, masihkah Anda berniat untuk menginvestasikan waktu serta biaya Anda untuk menembuh jenjang Pendidikan Tinggi Hukum? Bercermin dari ilmu peluang (probabilitas), karir yang cemerlang masih lebih besar peluangnya dengan menekuni bidang diluar hukum.
Kecuali bila Anda punya visi dan misi yang unik yang membuat Anda demikian berbeda dari jutaan Sarjana Hukum lainnya, atau bila tujuan Anda mempelajari hukum ialah untuk mendukung gagasan bisnis dan usaha wirausaha Anda, maka silahkan terjunkan diri Anda dalam dunia Pendidikan Tinggi Hukum. Hari gini, siapa yang tidak kenal Konsultan Shietra? (sementara disaat bersamaan terdapat jutaan Sarjana Hukum di Indonesia, yang nama dirinya terbenam ke dalam dasar lumpur yang tidak seorang pun tahu atau pernah mendengarnya). Tragis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.