Beda Tidak Bayar Upah & Kurang Bayar

LEGAL OPINION
Question: Benar ya, kalau tiba-tiba tidak dikasih gaji selama 3 bulan atau lebih, secara berturut-turut, maka karyawan bisa minta gugat PHK (pemutusan hubungan kerja) ke pengadilan, dengan minta kompensasi pesangon dua kali besaran pesangon normal?
Brief Answer: Terlebih dahulu bedakan antara “tidak membayar upah” dan “kurang membayar upah”. Keduanya memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda satu sama lain. Hak bagi Pekerja / Buruh untuk mengajukan gugatan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), khusus hanya dalam konteks “tidak dibayarkannya” Upah selama 3 bulan berturut-turut, bukan dalam konteks “kurang bayar”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah contoh kasus akibat dicampur-adukkannya antara “kurang bayar” terhadap “tidak membayar” suatu upah, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 898 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 7 Desember 2016, perkara antara:
- PT. WANA SUBUR SAWIT INDAH, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 24 orang Pekerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Mungkin tepat kiranya bila disebutkan bahwa sengketa perburuhan dalam perkara ini diperkeruh dan dibuat semakin panas, justru oleh “percikan api” yang cetuskan oleh pihak Tim Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Siak yang menerbitkan surat Anjuran tertulis, dengan substansi yang saling bertolak-belakang antar butir di dalamnya, sebagai berikut:
1. Agar Pihak Pengusaha PT. WSSI membayar selisih upah pekerja / Sdr. Roni Abdi Saputra dan kawan-kawan dari Januari 2014 hingga Maret 2014 berdasarkan UMSP Provinsi Riau tahun 2014;
2. Agar Pihak Pengusaha PT. WSSI yang telah mengakhiri hubungan kerja Pekerja / Sdr. Roni dkk dilakukan dengan memberikan kompensasi kepada Pekerja / Sdr. Roni dkk, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 169 Ayat (2), terhitung waktu sejak pertama kali Pekerja / Sdr Roni dkk bergabung diperusahaan hingga Maret 2014, yaitu memberikan kompensasi uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) serta berhak untuk menerima hak-hak lainnya yang belum dibayarkan oleh pengusaha sampai selama proses perselisihan berlangsung dan/atau penetapan mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan dibayarkan secara sekaligus;
3. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban tertulis atas anjuran ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah menerima anjuran ini.”
Sekalipun Mediator Disnaker telah sangat memberi “angin surga” bagi kalangan Pekerja, namun Para Penggugat menolak Anjuran Mediator demikian, dengan alasan karena didalam anjuran poin 1 “Pengusaha dianjurkan hanya membayar kekurangan upah dari Januari 2014 sampai dengan Maret 2014”, sementara upah Para Penggugat hanya dibayar Rp550.000 sejak Januari 2014 sampai dengan Maret 2015 dan tidak terteranya nama Sdr. INI dan nama Sdr. Kamarudin dalam anjuran tersebut.
Dari bulan Januari 2014 sampai dengan Desember 2014, upah Para Penggugat hanya dibayar Rp550.000 setiap bulannya oleh Tergugat, yang apabila diperhitungkan berdasarkan Peraturan Gubernur Riau Nomor 24 Tahun 2014 tentang Upah Minimum Sektoral, upah minimum yang ditetapkan pemerintah ialah sebesar Rp1.875.000,00 untuk setiap bulannya, sehingga terjadi kekurangan setiap bulan nya sebesar Rp1.325.000,00.
Terhitung sejak tanggal 1 April 2015, Tergugat tidak membayar upah Para Penggugat, sampai dengan saat gugatan ini diajukan. Untuk itu Para Penggugat menuntut penerapan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa Pekerja / Buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dalam hal pengusaha melakukan perbuatan, yang salah satunya ialah: Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih.
Dengan tidak dibayarnya upah Para Penggugat terhitung sejak tanggal 1 April 2015, dan kurang-nya pembayaran upah sejak Januari 2014 s/d Maret 2015, maka Tergugat telah melanggar Pasal 169 UU Ketenagakerjaan, “sehingga Para Penggugat berhak mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
Sementara PHK yang terjadi akibat pemberlakuan Pasal 169 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, mengakibatkan Para Penggugat berhak mendapat mendapat kompensasi uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Terpancing oleh godaan pihak Mediator Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) yang memberi “ide” untuk menuntut hak normatif dengan mendaku pada kaedah Pasal 169 UU Ketenagakerjaan, alhasil gugatan ini diajukan dengan harapan yang melambung, dengan klaim tuntutan yang tampaknya kemungkinan besar tak akan dapat dipenuhi oleh perusahaan yang memang kondisi keuangannya telah kolaps dan non aktif.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru telah memberi Putusan Nomor 21/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr., tanggal 23 Juni 2016 yang amarnya sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat putus sejak tanggal 14 Maret 2016;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Para Penggugat atas pemutusan hubungan kerja, secara tunai dan sekaligus yang keseluruhannya dibulatkan berjumlah Rp1.906.305.765,00;
4. Membebankan biaya perkara ini kepada Tergugat sebesar Rp426.000,00;
5. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Albert Einstein pernah menyatakan, dengan mendefinisikan masalah secara tepat, maka separuh masalah telah teratasi. Kegagalan kita untuk menerjemahkan (memilah, menganalisa, dan kemudian men-sintesa-nya kembali) suatu permasalahan yang kita hadapi, maka yang akan terjadi ialah suatu gerakan “salah-kaprah”.
Selanjutnya pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa karena para Pekerja sudah tidak pernah bekerja lagi selama satu tahun lebih, yaitu semenjak Maret 2014 sampai dengan Maret 2015, dan dibuktikan bahwa mereka telah mencairkan klaim jaminan hari tua kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Dimana terhadap keberatan pihak Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa dengan saksama memori kasasi yang diterima tanggal 25 Juli 2016 dan kontra memori kasasi yang diterima pada tanggal 31 Agustus 2016 dihubungkan dengan putusan Judex Facti / Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru telah salah menerapkan hukum menyatakan Tergugat / Pemohon Kasasi terbukti melanggar ketentuan Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, efisiensi karena petitum Para Penggugat / Para Termohon Kasasi tegas mengacu pada ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu tidak membayar upah yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, dengan perhitungan sebagai berikut: ...; Upah Proses Menuju Pemutusan Hubungan Kerja 6 (Enam) Bulan Upah: ...;
“Bahwa dari fakta hukum sebagaimana telah benar dipertimbangkan Judex Facti bahwa yang benar Tergugat / Pemohon Kasasi bukan tidak membayar upah tepat waktu, melainkan membayar kurang upah dari upah yang seharusnya yang menjadi hak dari Para Penggugat / Para Termohon Kasasi;
“Bahwa pembayaran tersebut telah berlangsung berbulan-bulan sejak bulan Januari 2014 sampai dengan bulan Maret 2015 dengan adanya pembayaran terakhir yang dikenal dengan nama uang sagu hati. Sagu hati merupakan budaya lokal yang dapat diartikan untuk menetralisir sesuatu kejadian yang kurang enak antara dua pihak, sebagaimana bukti pembayaran T-6 sampai dengan T-27, yang telah benar dipertimbangkan Judex Facti;
“Bahwa dengan telah diterimanya uang sagu hati tersebut dikaitkan dengan maknanya, benar antara para pihak telah menerima dan sepakat dan menganggap permasalahan yang timbul antara para pihak telah selesai, namun tidak dituangkan dalam Perjanjian Bersama (PB) sehingga tidak memenuhi maksud Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004;
“Bahwa dengan adanya tuntutan mohon keadilan ‘ex aequo et bono’, dan fakta-fakta sebagaimana berdasarkan alat bukti tertulis yang diajukan Para Penggugat / Para Termohon Kasasi dan Tergugat / Pemohon Kasasi, dan keterangan saksi-saksi Tergugat / Pemohon Kasasi, diperoleh fakta hukum:
1. Selama tidak ada pekerjaan Januari 2014 - Maret 2015 upah para pekerja dibayar sejumlah Rp550.000,00 / bulan, dan terakhir uang sagu hati Rp500.000,00;
2. Bahwa benar selama 1 (satu) tahun lebih perusahaan tidak aktif karena macet;
3. Tidak ada bukti bahwa perusahaan dapat aktif atau beroperasi secara normal kembali;
4. Bahwa telah tercapai penyelesaian perselisihan dengan tata cara kearifan lokal ‘sagu hati’;
“Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut adil menyatakan putus hubungan kerja (PHK) dengan uang kompensasi untuk masing-masing Para Penggugat 1 (satu) kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai Pasal 164 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan upah proses 6 (enam) bulan upah sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015, dengan perhitungan sebagai berikut: Nama ... ; Uang kompensasi PHK ... ; Upah proses ...;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. WANA SUBUR SAWIT INDAH tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 21/Pdt.Sus-PHI.G/2016/PN Pbr. Tanggal 23 Juni 2016 serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. WANA SUBUR SAWIT INDAH tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 21/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr. tanggal 23 Juni 2016;
“MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara Para Penggugat dengan Tergugat, sejak putusan Judex Facti diucapkan;
3. Menghukum Tergugat membayar uang kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada masing-masing Penggugat / Para Penggugat, Roni Abdi Saputra sampai dengan INI (24 orang), masing-masing 1 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sebagai berikut: ...;
4. Menolak gugatan Para Penggugat selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.