Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Merupakan Penguasa Yuridis Agunan, Menyewa Rumah Agunan Tanpa Izin Kreditor, Penyewa Tidak Dilindungi oleh Hukum

LEGAL OPINION
Question: Katanya jual-beli rumah, tidak memutus sewa-menyewa. Sebagai calon peminat beli rumah lelangan kredit macet di bank (lelang eksekusi Hak Tanggungan), menjadi agak cemas karena ternyata kini objek rumah itu ditempati dan dikuasai penyewa yang tampaknya tidak akan mau menyerahkan rumah kepada pembeli lelang, nantinya. Bagaimana pandangan hukumnya?
Brief Answer: Perlu dipahami terlebih dahulu, perbedaan yuridis antara “penyewa yang beritikad baik” dan “penyewa yang tidak beritikad baik”. Bila hukum hanya memberi perlindungan hukum bagi “pembeli yang beritikad baik”, maka hukum juga hanya memberi perlindungan hukum bagi “penyewa yang beritikad baik”.
Secara argumentum a contrario, “penyewa yang tidak beritikad baik” tidaklah dilindungi oleh hukum. Dengan kata lain, tidak semua penyewa dan hubungan sewa-menyewa yang akan dilindungi oleh hukum, ketika peralihan hak atas tanah terjadi kepada pihak ketiga dari pemilik tanah / rumah kepada pihak pembeli.
Salah satunya, ialah penyewa atas objek bangunan / gedung, yang ternyata telah berstatus / dibebani Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang kepada pihak kreditor, namun penyewa melakukan hubungan hukum sewa-menyewa dengan pemilik agunan tanpa izin dari pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan, maka sewa-menyewa tersebut tidak sah secara hukum—karenanya pihak penyewa tidak akan dikategorikan sebagai “penyewa yang beritikad baik”.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut ini sangat representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa sewa-menyera rumah terkait objek agunan, register Nomor 1694 K/PDT/2011 tanggal 9 Februari 2012, perkara antara:
- I MADE WIRANATHA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- PT. MOUNTBATTEN RESORTS INDONESIA, sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
- EDDY NYOMAN WINARTA, Notaris, selaku Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat.
Bermula pada tanggal 14 Agustus 2008 Penggugat dan Tergugat menanda-tangani Perjanjian Sewa dan Manajemen Hotel yang dituangkan dalam akta di hadapan Turut Tergugat selaku notaris, dimana Tergugat selaku pemilik tanah seluas 13.168 m2 berikut hotel yang dibangun di atasnya, telah sepakat untuk menyewakan Hotel dan Tanah kepada Penggugat.
Selain kesepakatan untuk menyewakan Hotel dan Tanah, Perjanjian Sewa dan Manajemen Hotel “dengan hak opsi untuk membeli” ini juga mengatur mengenai pengelolaan dan pengoperasian Hotel oleh Penggugat. Lebih lanjut, dalam Perjanjian Sewa dan Manajemen Hotel Tergugat juga telah menyetujui akan menjual Hotel dan Tanah kepada Penggugat atau pihak lain yang ditunjuk oleh Penggugat, apabila Penggugat menyampaikan niatnya untuk membeli Hotel dan Tanah tersebut. Para pihak juga telah menyepakati bahwa harga jual-beli atas Hotel dan Tanah tersebut adalah sebesar US$ 10 juta.
Tanggal 7 Oktober 2009, Penggugat telah menyampaikan pemberi-tahuan tertulis menyatakan niatnya untuk memakai hak opsi membeli Hotel dan Tanah kepada Tergugat dan telah siap untuk melakukan pembayaran sebesar US$ 10 juta kepada Tergugat. Namun, Tergugat ternyata menolak untuk memenuhi kewajibannya untuk menjual Hotel dan Tanah tersebut kepada Penggugat, walaupun hal tersebut nyata-nyata diwajibkan dalam Perjanjian Sewa dan Manajemen Hotel, sehingga Tergugat dinilai telah ingkar janji (wanprestasi).
Penggugat menduga bahwa Tergugat berupaya menggunakan segala cara untuk menguasai Hotel dan Tanah secara paksa, terutama setelah melihat perkembangan dan prospek Hotel sewaktu dikelola oleh Penggugat, atau dengan kata lain setelah Hotel direnovasi oleh Penggugat dan ternyata berjalan dengan baik serta menguntungkan, Tergugat hendak mengambil-alih Hotel tersebut dari Penggugat dengan mengingkari janji dalam perjanjian awal. Selanjutnya, pihak Tergugat bahkan mengusir Penggugat dari gedung hotel lewat aksi premanisme.
Terhadap gugatan pihak penyewa, Pengadilan Negeri Denpasar kemudian menjatuhkan putusan No. 550/Pdt.G/2009/PN.DPS., tanggal 7 September 2010, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk keseluruhan.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri di atas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dengan putusan No. 145/PDT/2010/PT.Dps., tanggal 17 Januari 2011, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Penggugat / Pembanding;
DALAM POKOK PERKARA:
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 7 September 2010 Nomor 550/Pdt.G/2009/PN.Dps., yang dimohonkan banding tersebut;
“DENGAN MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat / Pembanding untuk sebagian;
2. Menyatakan Perjanjian Sewa dan manajemen Hotel yang dituangkan dalam Akte Notaris No. 73 tanggal 14 Agustus 2008 dihadapan EDDY NYOMAN WINARTA, SH Notaris di Kuta, Badung Bali adalah sah dan mengikat Penggugat / Pembanding dan Tergugat / Terbanding;
3. Menyatakan Tergugat / Terbanding telah melakukan perbuatan cedera janji (wanprestasi) terhadap Penggugat / Pembanding;
4. Memerintahkan Tergugat / Terbanding untuk menjual Hotel dan Tanah kepada Penggugat / Pembanding atau pihak lain yang ditunjuk oleh Penggugat / Pembanding dengan harga jual beli sebesar US$ 10 juta sesuai dengan perjanjian sewa dan manajemen Hotel yang dituangkan dalam Akte Notaris No. 73 tanggal 14 Agustus 2008 didepan EDDY NYOMAN WINARTA, SH Notaris di Kuta Badung Bali;
5. Menghukum Tergugat Terbanding untuk membayar uang paksa kepada Penggugat / Pembanding sebesar US$ 50.000 / bulan, apabila Tergugat / Terbanding lalai memenuhi amar butir (4) dari putusan ini;
6. Memerintahkah kepada Turut Tergugat / Turut Terbanding tunduk kepada putusan ini;
7 Menolak permohonan Penggugat / Pembanding untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa disatu pihak adanya perjanjian tersebut, yang pada dasar mengatur:
- Perjanjian sewa dan menajemen hotel;
- Adanya syarat “opsi membeli” atas tanah dan hotel dengan digantungkan pada suatu syarat penyewa mempunyai hak pertama untuk membeli tanah dan hotel, jika BRI (Bank) menyatakan bahwa pemilik / yang menyewakan (Tergugat) wanprestasi atas perjanjian pinjaman;
Dilain pihak, obyek tanah masih dalam keadaan menjadi jaminan atas perjanjian kredit pada Bank BRI. Atas pinjaman (kredit) tersebut, sertifikat hak milik atas tanah dibebani jaminan Hak Tanggungan, maka dengan demikian syarat “opsi membeli” tersebut digantungkan pada peristiwa yang belum pasti terjadi, yaitu dalam hal ini harus ada keadaan atau peristiwa bahwa Tergugat benar-benar dalam keadaan wanprestasi atau tidak mampu membayar utangnya (pinjamannya) pada Bank BRI, yang mana status kredit Tergugat tidaklah macet dan masih lancar pembayarannya.
Perintah untuk menjual tanah dan hotel dengan harga US$ 10 juta kepada Penggugat sebagaimana tertuang dalam amar putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, bertentangan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Perintah tersebut jika dilaksanakan, tentunya akan merugikan pihak ketiga (Bank BRI) yang sampai saat ini masih memiliki hak parate eksekusi hak tanggungan atas objek jaminan.
Sementara itu Bank BRI yang dalam kenyataanya tidak sebagai pihak dalam Akta Perjanjian sewa dengan hak opsi demikian, sehingga tidak akan tunduk pada isi perjanjian dimaksud. Sekalipun perjanjian yang dibuat mengikat sebagai undang-undang kepada para pihak yang membuatnya, namun tidak dengan sendirinya perjanjian tersebut berlaku dan mengikat bagi pihak ketiga.
Dalam hal ini Bank BRI sebagai pihak ketiga selaku pemegang Hak Tanggungan. Karena jika debitur wanprestasi, pihak kreditur (Bank BRI) sebagai pihak yang mempunyai hak preferen atas hasil penjualan objek Hak Tanggungan tetap berhak menuntut pelunasan pembayaran utang kepada Tergugat walaupun obyek Hak Tanggungan dipindahkan atau dijual kepada pihak lain. Hak tanggungan mengikuti objek, bukan melekat pada subjek.
Tergugat tidak mungkin mematuhi perintah amar putusan Pengadilan Tinggi, selama tanah dan hotel masih tetap menjadi jaminan dan dibebani Hak Tanggungan. Proses jual beli tidak mungkin dilaksanakan selama sertifikat asli hak atas tanah tempat berdirinya hotel, masih menjadi jaminan utang pada Bank BRI, sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 394 K/Pdt/1984, tanggal 31 Mei 1985 yang berpendirian bahwa barang-barang yang sudah dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan yang telah didaftarkan di Kantor Pertanahan, tidak dapat diletakkan sita jaminan. Amar putusan demikian jelas merugikan pihak Bank BRI yang notabene pihak ketiga yang juga berkepentingan.
Pihak Tergugat keberatan ketika Pengadilan Tinggi menyatakan dalam pertimbangan hukumnya sebelum menjatuhkan amar putusan, bahwa pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak punya kepentingan atas objek agunan. Tergugat kemudian mendalilkan, bagaimana mungkin ada jaminan bagi kreditur, dan/atau kreditur bisa memperoleh jaminan secara penuh terhadap utang debitur, bilamana debitur menjual obyek Hak Tanggungan.
Sebetulnya Sarjana Hukum manapun, tidak terkecuali hakim pengadilan manapun, pastilah telah mengetahui dan memahami Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, yang menyatakan: “memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.” Pasal 1 Angka (5) UU Hak Tanggungan: “Akta pemberian hak tanggungan adalah akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.”
Pasal 11 Ayat (2) Huruf (a). jo. huruf (b) UU Hak Tanggungan, memiliki pula kaedah norma: “Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan, menentukan atau mengubah jangka waktu sewa, mengubah bentuk atau tata susunan obyek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tang-gungan.
Maka dari itu, untuk kelengkapan pengalihan obyek hak tanggungan oleh debitur, maka debitur tetap disyaratkan adanya ijin / persetujuan tertulis dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan. Dengan demikian perjanjian demikian bersifat “bersyarat”, yakni Tergugat wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari PT. BRI, bila hendak menjual objek Hak Tanggungan,
Mengingat Tergugat tidak dapat persetujuan tertulis dari Bank BRI sebagai pemegang Hak Tanggungan yang kedudukannya diutamakan, maka karenanya Akta Perjanjian “sewa-beli” demikian belum mengikat Penggugat  dan Tergugat.
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar memerintahkan agar Tergugat  ntuk menjual obyek Hak Tanggungan kepada Penggugat, sedangkan terbukti di persidangan bahwa obyek tanah dan hotel menjadi jaminan dan dibebani Hak Tanggungan, sehingga putusan Pengadilan Tinggi bertentangan dengan tujuan Hak Tanggungan guna memberikan jaminan kuat bagi kreditur untuk didahulukan dari kreditur lain, atau dengan kata lain Pengadilan Tinggi Denpasar telah mengabaikan pembebanan Hak Tanggungan dan menghilangkan atau meniadakan kedudukan yang diutamakan dari pemegang Hak Tanggungan.
Penggugat telah mengetahui bahwa sertifikat hak milik yang menjadi alas pendirian hotal, telah dibebani Hak Tanggungan, karena Tergugat meminjam sejumlah uang pada PT. BRI, dengan demikian pihak kreditor memiliki hak jaminan yang wajib dilindungi oleh hukum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Hak Tanggungan.
Bagaimana bisa pihak kreditor dapat menggunakan hak utamanya untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan, apabila sang debitur cedera janji. Konsekuensi logisnya, objek Hak Tanggungan akan dijual lelang dimuka umum untuk pelunasan hutang sang debitor. Dengan demikian opsi untuk menjual dan opsi untuk membeli hotel dan tanah dalam perjanjian demikian, bergantung pada suatu syarat.
Bagaimana akta jual beli dapat ditanda-tangani dihadapan PPAT oleh para pihak, padahal pada saat yang bersaman Sertifikat Hak milik atas tanah tersebut masih dibebani Hak Tanggungan, maka dari itu “opsi menjual dan opsi membeli” adalah bertentangan dengan syarat obyektif “kausa yang sahih”, maka sepanjang isi perjanjian yang berkenaan dengan “opsi menjual dan opsi membeli”, harus dimaknai sebagai “batal” sejak ditanda-tangani dan sudah tentu tidak berlaku sebagai “undang-undang” bagi para pihak yang membuatnya.
Kemustahilan berikutnya, ketentuan Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatur: jual beli atas barang milik orang lain daripada si penjual adalah batal (null and void), dengan demikian klausul “opsi menjual dan opsi membeli” dalam perkara adalah “cacat”—perbuatan yang dilakukan dan akibatnya, dari semula dianggap tidak pernah ada atau batal sejak dibuat (ex tunc).
Dimana terhadap keberatan-keberatan demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang mengandung kaedah hukum penting untuk dipahami, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi / Judex Facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa dalam perjanjian Akta No. 73 Pasal 2 nomor 2.4 disebutkan : ‘Pemberi sewa dengan ini menyatakan dan menjamin bahwa pihaknya telah mendapatkan persetujuan dari BRI atas sewa dan pelaksanaan hak-hak penyewa dan pelaksanaan kewajiban pemberi sewa berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan perjanjian ini termasuk pelaksanaan hak pertama untuk membeli hotel dan tanah oleh penyewa apabila BRI menyatakan pemberi sewa lalai berdasarkan perjanjian pinjaman sebagaimana diuraikan selanjutnya dalam Pasal 14.4.’;
- Bahwa sesuai dengan bunyi akta tersebut maka ijin dari PT. BRI mutlak harus diperlukan. Namun kenyataannya ijin dari BRI belum ada untuk mengijinkan beralihnya benda yang diletakkan hak tanggungan, sehingga Akta No. 73 dan No. 74 sepanjang mengenai opsi menjual dinyatakan batal demi hukum, maka gugatan Penggugat ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : I MADE WIRANATHA dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 145/PDT/2010/PT.Dps., tanggal 17 Januari 2011 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 550/Pdt.G/2009/PN.DPS., tanggal 7 September 2010 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : I MADE WIRANATHA tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 145/PDT/2010/PT.Dps., tanggal 17 Januari 2011 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 550/Pdt.G/2009/PN.DPS., tanggal 7 September 2010;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk keseluruhan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.