PKWT Pekerjaan Penunjang Sektoral Pertambangan

LEGAL OPINION
Question: Bukannya yang boleh di-PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan outsource itu, yang kerjaannya hanya seperti tenaga cleaning service dan satpam saja?
Brief Answer: Dalam beberapa sektoral bidang usaha, terdapat pengaturan sektoral masing-masing lembaga kementerian terkait, yang mengatur secara tersendiri jenis-jenis pekerjaan “penunjang” yang dapat diadakan PKWT. Sehingga, tidak terdapat jawaban baku secara umum, namun perlu untuk terlebih dahulu melihat jenis bidang usaha sektoral dari Pemberi kerja.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi konkret berikut ialah terkait bidang usaha sektoral pertambangan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS jadikan sebagai cerminan merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 820 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 12 Oktober 2016 oleh, perkara antara:
- 145 orang Pekerja, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Para Penggugat; melawan
1. PT. MESCO SARANA NUSANTARA; 2. CNOOC SES Ltd, sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat I, II; dan
- PT. GEOSERVICES, selaku Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat.
PT. Mesco Sarana Nusantara  bergerak di bidang penyedia jasa pekerja yang terikat dalam hubungan bisnis dengan CNOOC SES Ltd dalam penyediaan kebutuhan tenaga kerja untuk dipekerjakan di lokasi pekerjaan CNOOC SES Ltd, di lepas pantai Kepulauan Seribu.
PT. Mesco Sarana Nusantara menerima pengalihan hubungan kerja Para Penggugat sebanyak 180 orang dari PT. Geoservices (Turut Tergugat) untuk dipekerjakan di area pekerjaan CNOOC SES Ltd, tetapi tidak dibawah perintah manajemen PT. Mesco Sarana Nusantara. Dalam melaksanakan pekerjaannya, Para Penggugat bekerja dibawah perintah manajemen CNOOC SES Ltd, dan lokasi kerja serta jenis pekerjaan yang dikerjakan tidak berbeda dengan jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh para pekerja CNOOC SES Ltd.
Sementara itu, PT. Geoservices bergerak dibidang penyedia jasa pekerja (Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja) yang terikat dalam hubungan bisnis dengan CNOOC SES Ltd dalam penyediaan kebutuhan tenaga kerja untuk dipekerjakan dilokasi pekerjaan CNOOC SES Ltd, di lepas pantai Kepulauan Seribu.
PT. Geoservices merekrut dan mengikat dalam hubungan kerja dengan Para Penggugat sebanyak 180 orang sejak tanggal ditanda-tanganinya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama oleh Para Penggugat dengan Turut Tergugat sampai dengan dialihkannya hubungan kerja Para Penggugat kepada Tergugat I.
Turut Tergugat mempekerjakan Para Penggugat di area pekerjaan CNOOC SES Ltd, tetapi tidak dibawah perintah manajemen PT. Geoservices. Dalam melaksanakan pekerjaannya, Para Penggugat bekerja dibawah perintah manajemen CNOOC SES Ltd, dan lokasi kerja serta jenis pekerjaan yang dikerjakan tidak berbeda dengan jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh para pekerja CNOOC SES Ltd.
Para Penggugat terikat dalam hubungan kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan Tergugat-1 sebagai Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja dan dipekerjakan bagi kepentingan Tergugat-2 selaku perusahaan Pengguna Jasa Pekerja. Adapun hubungan kerja Para Penggugat dengan Tergugat-1, merupakan pengalihan hubungan kerja yang dilakukan pada tanggal 1 Juli 2013 dari Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja sebelumnya, yaitu PT. Geoservices (Turut Tergugat).
Hubungan kerja masing-masing Para Penggugat dengan Turut Tergugat telah dilakukan sejak ditanda-tanganinya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang pertama kali dengan Turut Tergugat, sehingga masa kerja Para Penggugat bekerja di area pekerjaan Tergugat-2, rata-rata telah mencapai belasan tahun.
Para Penggugat dipekerjakan di area pekerjaan Tergugat II dan bekerja dibawah perintah kerja dari Tergugat II serta pekerjaan yang dilakukan Para Penggugat adalah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi minyak dan gas bumi (migas) yang merupakan pekerjaan pokok dari Tergugat II.
Pasal 1 angka 15 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 mendefinisikan hubungan kerja adalah: hubungan antara pengusaha dengan pekerja / buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Bahwa berdasarkan definisi demikian, maka terjadinya hubungan kerja harus memenuhi unsur-unsur pekerjaan, upah dan perintah sebagai satu-kesatuan (kumulatif) yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yang berarti juga:
- pekerjaan dari satu pengusaha / badan hukum yang sama kepada seorang pekerja yang sama;
- upah dari satu pengusaha / badan hukum yang sama kepada seorang pekerja yang sama; dan
- perintah dari satu pengusaha / badan hukum yang sama kepada seorang pekerja yang sama.
Sementara fakta yang terjadi terhadap Para Penggugat, adalah sebagai berikut:
- pekerjaan yang dikerjakan oleh Para Penggugat didapat dari Tergugat II;
- upah yang diterima oleh Para Penggugat dibayar oleh Tergugat I; dan
- perintah kerja yang dilaksanakan oleh Para Penggugat atas perintah Tergugat II.
Dari uraian demikian, membuktikan bahwa Para Tergugat telah melanggar Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan karenanya harus dinyatakan demi hukum hubungan kerja Para Penggugat adalah dengan Tergugat-II, karena unsur pekerjaan dan unsur perintah secara efektif berada di tangan Tergugat II.
Sementara itu Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan bahwa, pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Dijelaskan dalam Penjelasan Ayat (1) Pasal 66: bahwa, pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja / buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Dalam realitanya, Tergugat II mempekerjakan Para Penggugat untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Kaedah normatif Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan bahwa, Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Dijelaskan dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
Merujuk uraian norma diatas, jelas bahwa pekerjaan dari Tergugat II yang dikerjakan oleh Para Penggugat merupakan pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman, dan karenanya harus dinyatakan dengan tegas sesuai dengan Pasal 59 Ayat (7), bahwa demi hukum hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat II menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau bersifat tetap / permanen terhitung sejak Para Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat II.
Terhadap gugatan para Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 288/PDT.SUSPHI/2015/PN.JKT.PST tanggal 18 Februari 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“bahwa meskipun demikian, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 beserta penjelasannya tidak menjelaskan apa saja yang termasuk usaha jasa penunjang di perminyakan, mengingat jenis kegiatan usaha Tergugat II adalah di bidang perminyakan dan gas bumi. Hal inilah yang memicu terjadinya perselisihan antara Para Penggugat dengan Para Tergugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas Majelis Hakim berpendirian Para Penggugat tidak dapat membuktikan pekerjaan yang dilakukannya di perusahaan Tergugat II merupakan kegiatan atau pekerjaan pokok Tergugat II. Sedangkan Tergugat II dapat membuktikan sebaliknya, bahwa pekerjaan yang diserahkan pengerjaannya kepada Tergugat I dan Para Tergugat adalah jenis pekerjaan atau kegiatan penunjang di perusahaan Tergugat II;
“Menimbang, bahwa karena jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Para Penggugat di perusahaan Tergugat II termasuk jenis pekerjaan penunjang di perusahaan tersebut, maka tindakan Tergugat II menyerahkan pekerjaan-pekerjaan tersebut untuk dikerjakan oleh perusahaan Tergugat I dan Turut Tergugat, adalah sudah sesuai dengan pelaksanaan Pasal 64 jo Pasal 66 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa dalam bukti yang diajukan oleh Para Penggugat (Bukti P-180) di atas, dasar hukum Tergugat II menjelaskan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja tentang jenis pekerjaan di perusahaannya yang dapat dialihkan kepada perusahaan lain adalah Kepmen Nomor 220/MEN/X/2004 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Demikian juga alasan direktorat jenderal pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan RI melakukan pengawasan terhadap aktivitas pelaksanaan kegiatan penunjang di perusahaan Tergugat II adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Bukti T.2-XIII). Kedua peraturan tersebut sesuai dengan bagian mengingat kedua permenaker tersebut merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.”
Para Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan sesungguhnya secara limitatif dan imperatif mengatur dengan kualifikasi: “Pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, semestinya Majelis Hakim di Pengadilan tidak perlu menafsirkan lain lagi, karena sudah sangat jelas dan tegas bahwa untuk kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi tidak boleh dikerjakan oleh pekerja / buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing).
Para Penggugat dipekerjakan pada perusahaan Tergugat-2 untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, yakni: operator produksi, special project, teknisi lab, radio operator, seksi pemeliharaan (mekanik, elektrikal, instrument, welder, pipe fitting), integrated preventive management, dan seksi keselamatan (safety), yang semua pekerjaan tersebut merupakan bagian dari proses produksi secara keseluruhan dan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain sebagai kegiatan utama / pokok dari perusahaan Tergugat-2.
Sebagaimana diakui secara eksplisit oleh Tergugat-2 dalam suratnya kepada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Jakarta Selatan, bahwa Kegiatan Utama perusahaan Tergugat-2 adalah: (1) Eksplorasi Minyak dan Gas, (2) Eksploitasi Minyak dan Gas, dan (3) produksi minyak dan gas.
Pengadilan Hubungan Industrial justru menggunakan instrument peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, yakni Permenaker Nomor 19 tahun 2012 dan Permen ESDM Nomor 27 tahun 2008 yang secara substansi dan maknanya bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Selain itu, Permen ESDM Nomor 27 tahun 2008 tentunya tidak relevan keberadaanya dan patut dikesampingkan karena kementerian ESDM tidak dalam kapasitasnya mengatur relasi hubungan kerja. Peraturan perundang-undangan secara hierarkis keberadaanya tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tidak ada satupun regulasi yang membenarkan terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2008 ketika mengatur perihal relasi hubungan kerja, terlebih klasifikasi pekerjaan jasa penunjang.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut pertama sampai dengan keberatan kelima tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 21 Juni 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 29 Juni 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa jenis pekerjaan / Para Pemohon Kasasi selaku seksi produksi, seksi pemeliharaan, seksi keamanan yang bergerak pada bidang pertambangan dan perminyakan adalah jenis pekerjaan jasa penunjang sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (3) huruf i dan p Permen ESDM Nomor 27 Tahun 2008 tentang Kegiatan Usaha Penunjang Migas jo. Surat Dirjen Kemenaker Nomor B.702/PPK-NKJ/NI/2014 tanggal 1 Desember 2014;
2. Bahwa dengan demikian tidak ada alasan hukum hubungan kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan beralih ke Tergugat II / CNOOC SES Ltd;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi: Taufik Hidayat dan kawankawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.