LEGAL OPINION
Question: Debitor tidak juga mau menyerahkan rumah ke pembeli lelang (eksekusi Hak Tanggungan), yang sudah jadi pemenang lelang di Kantor Lelang Negara. Alasan si debitor, kalau ia tidak merasa pernah menjual rumahnya itu. Gimana ini?
Bahkan di Kutipan Risalah Lelang yang diberikan Pejabat Lelang, memang benar, ngak ada disebut-sebut itu nama si debitor sebagai pihak penjual. Sebagai pembeli lelang, maka saya harus tagih janji penyerahan rumah yang sudah saya beli, kemana dan ke siapa?
Brief Answer: Sertifikat Hak Tanggungan, sejatinya merupakan perikatan bersyarat tangguh, dalam artian: eksekusi Hak Tanggungan seketika akan terpicu ketika terjadi wanprestasi dari pihak debitor. Di dalam Sertifikat Hak Tanggungan, terdapat klausul dengan bunyi kurang-lebih seperti berikut: “Dengan ini, debitor / pemberi agunan memberikan kuasa kepada penerima Hak Tanggungan untuk melelang eksekusi agunan bila debitor ingkar janji.”
Melihat konstruksi hukum pemberian kuasa sebagaimana diatas, maka menjadi jelas kedudukan hukum pejabat penjual lelang eksekusi sejatinya hanyalah “penerima kuasa untuk menjual” dari pihak debitor / pemberi agunan itu sendiri.
Maka, secara langsung atau tidak langsung, sang debitor itu sendiri-lah yang telah menjualnya dengan cara melakukan wanprestasi ataupun lalai dalam melunasi hutangnya alias menunggak—sehingga, semestinya Risalah Lelang menyatakan bahwa pihak kreditor menjual untuk dan atas nama sang debitor / pemberi agunan.
PEMBAHASAN:
Sebagai bukti argumentasi yang tidak lagi terbantahkan, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk dan menjadikan cerminan putusan Pengadilan Negeri Kediri sengketa lelang eksekusi Hak Tanggungan register Nomor 40/Pdt.Plw/2011/PN.Kdr tanggal 30 Agustus 2012, perkara antara:
1. Rr. RULLY KUSHARTUTI; 2. Drs. MARUTO ASMORO, S.Pd, sebagai Pelawan I dan Pelawan II; melawan
1. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO), Tbk. Kantor Cabang Kediri, sebagai Terlawan I; dan
2. KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG MALANG sebagai Terlawan II.
Para Pelawan merasa keberatan dengan rencana lelang obyek sengketa yang dijadikan barang jaminan perjanjian kredit, dimana Pelawan I dengan persetujuan Pelawan II sebelumnya meminjam dana kepada Terlawan I sebesar Rp. 350.000.000,-.
Pelawan I mengklaim masih sanggup untuk melakukan pembayaran, oleh karena itu lelang yang diajukan oleh Terlawan I melalui Terlawan II harus dibatalkan. Permohonan Terlawan I untuk melelang obyek jaminan, terlampau tergesa-gesa dan tidak adil, sebab Pelawan I masih mampu mengembalikan pinjaman, asalkan diberi kelonggaran waktu dengan penjadwalan ulang terlebih dahulu, jatuh temponya diberi waktu beberapa bulan untuk dilakukan penjualan sendiri oleh Pelawan I. Sang debitor berpendirian bahwa rencana parate eksekusi yang diajukan oleh sang kreditor, adalah tidak sah, karena harus ada penetapan terlebih dahulu dari Pengadilan Negeri (fiat eksekusi).
Sementara dalam bantahannya, pihak kreditor menerangkan, dengan dijaminkannya sertifikat hak atas tanah milik debitor, membawa akibat hukum bahwa sertifikat tanah tersebut menjadi jaminan pelunasan kredit sang debitor. Apabila ternyata debitor tidak dapat melunasi kewajibannya (wanprestasi), maka agunan akan dilelang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan hasilnya akan digunakan untuk melunasi hutang yang tertunggak.
Ternyata dalam perjalanannya, kewajiban yang seharusnya dilakukan setiap bulannya sebagaimana telah disepakati dalam Akta Perjanjian kredit, tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Surat-Surat Peringatan yang telah berulang kali dilayangkan sang kreditor, ternyata tidak diberi respon.
Terlagi, sampai dengan jatuh tempo kredit yaitu tertanggal 22 April 2011, tidak juga dilakukan pelunasan, maka berlakulah / aktiflah perjanjian “bersyarat tangguh” demikian berupa ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 Ayat (1) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan juncto pemberian kuasa untuk menjual atas kekuasaan sang penerima kuasa itu sendiri (beding van eigenmatiche verkoop) sebagaimana kemudian dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Jatuh tempo kredit sudah pada tanggal 22 April 2011 dan sudah diberi peringatan pada bulan Oktober 2010, serta pelelangan dilakukan di pertengahan tahun 2011. Sehingga adalah hal yang mengada-ada apa yang disampaikan oleh sang debitor dalam perlawanannya ini, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada dimana jangka waktu dari surat peringatan hingga dilakukan lelang sudah lebih dari tujuh bulan, yang dalam waktu tersebut pihak debitor semestinya dapat memanfaatkan waktu untuk melakukan cicilan atas hutangnya, tetapi hal tersebut tidak dimanfaatkan dengan semestinya.
Note SHIETRA & PARTNERS : Adapun substansi norma utuh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, mengatur: “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Adalah mustahil hukum membenarkan praktik penjualan barang milik pihak lain—karenanya, kaedah demikian hanya dapat dimaknai / dikonstruksikan sebagai : pemberian dan penerimaan kuasa untuk menjual dari pemberi agunan terhadap penerima Hak Tanggungan saat mengikatkan diri dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT), yang kemudian dilekatkan pada Sertifikat hak tanggungan dan menjadi satu kesatuan untuk dapat dieksekusi tanpa perlu lagi persetujuan dari pihak pemberi agunan, ketika debitor cidera janji.
Konstruksi hukum demikian, kemudian dijewantahkan ke dalam APHT, yang dalam perkara ini tertuang dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tertanggal 03 Mei 2010 yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang mengatur:
“Jika debitur tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya, berdasarkan perjanjian utang piutang tersebut di atas, oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua selaku Pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, dan untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Pihak Pertama:
a. menjual atau suruh menjual di hadapan umum secara lelang Objek Hak Tanggungan baik seluruhnya maupun sebagian-sebagian;
b. mengatur dan menetapkan waktu, tempat, cara dan syarat-syarat penjualan;
c. menerima uang penjualan, menanda-tangani dan menyerahkan kwitansi;
d. menyerahkan apa yang dijual itu kepada pembeli yang bersangkutan;
e. mengambil uang dari hasil penjualan itu seluruhnya atau sebagian untuk melunasi utang debitor tersebut di atas; dan
f. melakukan hal-hal lain yang menurut undang-undang dan peraturan hukum yang berlaku diharuskan atau menurut pendapat Pihak Kedua perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan kuasa tersebut.”
Sementara itu pihak Kantor Lelang Negara dalam sanggahannya menyatakan, dalam pelaksanaan lelang tersebut, pihak Penjual telah melengkapi dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Kediri, yang menerangkan bahwa SHM Nomor 200 tanggal 28-12-1984 atas nama Drs. Maruto Asmoro (Pelawan), telah dibebani Hak tanggungan Peringkat Pertama pada PT. BRI (Pesero) Tbk.
Dimana terhadap gugatan sang debitor, Majelis Hakim yang sudah dijenuhkan dengan gugatan-gugatan serupa dari debitor kredit macet, membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap eksepsi dari Terlawan I mengenai Keberatan Atas Parate Eksekusi Seharusnya Diajukan Dalam Bentuk Gugatan, Bukan Perlawanan, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa untuk mengetahui apakah Pelawan seharusnya mengajukan perlawanan atau gugatan kepada Para Terlawan, maka Majelis Hakim harus terlebih dahulu memeriksa pokok perkara;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan eksepsi dari Terlawan I mengenai Perlawanan Yang Dajukan Kabur Atau Tidak Jelas (Obscuur Libel);
“bahwa adapun dalam perkara ini, setelah Majelis Hakim membaca cermat dan teliti perlawanan Para Pelawan, ternyata:
- dalam posita perlawanan Para Pelawan tidak disebutkan secara jelas dan tegas mengenai kriteria obyek perlawanan, yaitu: obyek perlawanan berupa tanah, atau bangunan, atau tanah dan bangunan; batas-batas tanah; letak tanah; luas tanah;
- kepemilikan atas tanah obyek perlawanan berdasarkan sertifikat atau Letter C, Pethok D atau bentuk kepemilikan lainnya;
- bukti kepemilikan atas tanah obyek perlawanan tersebut atas nama siapa;
- tanah obyek perlawanan sekarang dikuasai oleh siapa;
- demikian pula dalam petitum perlawanan Para Pelawan tidak disebutkan secara jelas dan tegas mengenai obyek perlawanan, yaitu mengenai: batas-batas tanah; luas tanah; bukti kepemilikan atas tanah obyek perlawanan tersebut atas nama siapa; sehingga dengan demikian dalam perlawanan Para Pelawan terdapat kekaburan mengenai obyek perlawanan;
- dalam petitum angka 5 perlawanan Para Pelawan tidak disebutkan secara jelas dan tegas lelang yang mana yang tidak ada Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Terlawan I, dan terhadap benda tetap yang mana;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I pada putusan Mahkamah Agung No. 1559 K/Pdt/1983 tanggal 23-10-1984 disebutkan gugatan yang tidak menyebutkan batas objek tanah sengketa dinyatakan Obscuur Libel, dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,
“Begitu pula dalam putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1975 tanggal 17-4-1979 surat gugatan yang tidak menyebut dengan jelas letak dan batas-batas tanah sengketa, berakibat gugatan tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka sudah jelas terbukti bahwa perlawanan Para Pelawan tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk) oleh karenanya perlawanan Para Pelawan termasuk dalam kategori perlawanan kabur (obscuur libel);
“Menimbang, bahwa oleh karena sudah jelas terbukti perlawanan Para Pelawan kabur (obscuur libel), maka eksepsi dari Terlawan I dan Terlawan II mengenai perlawanan Para Pelawan kabur / tidak jelas (obscuur libel), dapat dikabulkan;
“Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi dari Terlawan I / eksepsi Terlawan II mengenai perlawanan Para Pelawan kabur / Tidak Jelas (obscuur libel) dikabulkan, maka perlawanan Para Pelawan haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk Verklaard);
“Menimbang, bahwa oleh karena perlawanan Para Pelawan dinyatakan tidak dapat diterima, maka Majelis Hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan pokok perkara;
“M E N G A D I L I :
I. DALAM EKSEPSI;
- Mengabulkan eksepsi dari Terlawan I dan Terlawan II mengenai perlawanan Para Pelawan kabur/ tidak jelas (obscuur libel);
- Menolak eksepsi dari Terlawan I untuk selain dan selebihnya;
II. DALAM POKOK PERKARA:
- Menyatakan perlawanan Para Pelawan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard).”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.