Lulusan Universitas Negeri Bukanlah Selalu Sarjana yang Terbaik

ARTIKEL HUKUM
Bagai tidak dapat lepas dari “kutukan” dikotomi, antara lulusan Universitas Negeri dan Universitas Swasta, bagaimana menentukan “prestis” sang lulusan yang menjadikan almamaternya sebagai bagian dari citra dirinya sendiri. Dengan demikian apakah artinya, sebagai lulusan Perguruan Tinggi Swasta, kita menjadi lulusan “kelas 2”?
Kebetulan, penulis merupakan lulusan Perguruan Tinggi Swasta, apakah artinya penulis harus merasa lebih rendah “kasta”-nya terhadap mereka yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi Negeri? Jika memang demikian, mengapa juga Anda sekalian masih saja membaca berbagai karya tulis penulis, yang notabene merupakan Sarjana Hukum lulusan Perguruan Tinggi Swasta?
Namun banyak orang yang tidak mengetahui, bahwa disaat bersamaan penulis merupakan mahasiswa “abadi” pada Universitas Kehidupan, yang, tentu saja, baru akan lulus saat di liang kubur. Title “S.H.”, hanyalah formalitas belaka.
Sekalipun ada diantara penbaca yang bergelar “Doktor Hukum” atau “Profesor Hukum”, tetap saja, keadilan dan kebenaran bukanlah monopoli Profesor Hukum, bukan juga monopoli Sarjana Hukum, terlebih monopoli profesi hukum yang berkantor di Jakarta. Apakah Anda pikir, pendiri Google adalah orang-orang yang bergelar sarjana dari perguruan tinggi formil?
Sama ketika warga dikotak-kotakkan menjadi warga Kota Besar dan warga Dusun Kecil. “Penjara” stigma demikian sangatlah fatalistis, dan kontraproduktif. Stigma terdiri dari dua ragam: stigma dari luar (faktor eksternal), dan stigma dari dalam diri kita sendiri (faktor internal). Stigma sangat erat dengan pencitraan (metafisika), baik citra yang dikukuhkan dalam suatu komunitas sosial maupun citra diri kita terhadap persepsi diri kita sendiri. Bila kita tidak mampu mengubah faktor eksternal, setidaknya kita memiliki kuasa penuh untuk menentukan faktor internal diri kita sendiri.
Sebagai contoh, penulis lulus dari Perguruan Tinggi di Jakarta, dan memiliki kantor di Jakarta, bukan karena suatu keistimewaan tertentu. Penulis lahir serta tumbuh besar di Jakarta, itu saja latar belakangnya. Jika saja kemudian penulis memilih untuk berpindah domisili ke Papua, maka mungkin stigma di mata masyarakat akan berubah drastis: “Oh, Konsultan Hukum yang analisisnya tajam itu, pusatnya bukan lagi di Jakarta, tetapi di Papua!”
Bahaya dibalik stigma, tepat kiranya penulis mengutip kisah dari seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta. Mari kita simak bersama:
Anak-Anak Kelas B
“Beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian dibidang pendidikan diadakan secara rahasia di sebuah sekolah di Inggris. Sekolah itu memiliki dua kelas untuk setiap kelompok anak-anak yang berusia sepantaran. Pada akhir tahun ajaran diadakanlah sebuah ujian dalam rangka memilih anak-anak untuk pembagian kelas pada tahun berikutnya. Akan tetapi, hasil ujian itu tak pernah diumumkan. Dalam kerahasiaan, hanya kepala sekolah dan para pakar psikologi saja yang mengetahui kenyataannya, anak-anak yang mendapat peringkat satu ditempatkan di kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat empat dan lima, delapan dan sembilan, dua belas dan tiga belas, dan seterusnya. (hlm. 20)
Sementara anak-anak yang mendapat peringkat dua dan tiga pada ujian tersebut, ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringat enam dan tujuh, sepuluh dan sebelas, dan selanjutnya. Dengan kata lain, berdasarkan kinerja selama ujian, anak-anak dibagi rata menjadi dua kelas. Para guru pun diseleksi berdasarkan kesetaraan kemampuan. Bahkan setiap ruang kelas diberi fasilitas yang sama. Segala sesuatunya dibuat sesetara mungkin, kecuali untuk satu hal : satu disebut ‘Kelas A’ dan yang lain disebut ‘Kelas B’.” (hlm. 20)
Pada kenyataannya, setiap kelas memiliki anak-anak yang setara kemampuannya. Tetapi di benak setiap orang, anak-anak dari kelas A dianggap sebagai anak-anak yang cerdas, sedangkan anak-anak dari kelas B dianggap tak begitu pandai. Beberapa orang tua dari anak-anak kelas A mendapat kejutan yang menyenangkan karena anak-anaknya telah lulus dengan baik dan menghadiahi mereka dengan bingkisan dan pujian. Sementara beberapa orang tua dari Kelas B mengomeli dan menghukum anak-anaknya karena mereka dianggap tak berusaha cukup keras selama ujian. Bahkan para guru pun mengajar anak-anak Kelas B dengan sikap yang berbeda; dengan tidak berharap banyak dari mereka. Sepanjang tahun ajaran, ilusi tersebut terus dipertahankan. Lalu tibalah ujian akhir tahun berikutnya. (hlm. 20—21)
Hasilnya membuat merinding, tetapi tidak mengagetkan. Anak-anak Kelas A menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada anak-anak Kelas B. pada kenyataannya, hasilnya juga akan seperti itu jika dulunya mereka terpilih sebagai setengah dari yang teratas pada ujian tahun lalu. Mereka benar-benar menjadi anak-anak kelas A (nomor 1). Dan di kelompok lain, walaupun setara pada tahun lalu, mereka menjadi anak-anak kelas B (nomor 2) sungguhan. Seperti apa mereka diajar sepanjang tahun, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka.” (hlm. 22)
Bocah di Pasar Swalayan
Saya bilang kepada murid-murid saya sewaktu saya mengajar di penjara, agar jangan pernah berpikir bahwa diri mereka adalah penjahat, melainkan berpikirlah sebagai seseorang yang telah melakukan suatu tindakan kejahatan. Sebab jika mereka bilang bahwa mereka adalah penjahat, jika mereka diperlakukan sebagai penjahat, dan jika mereka percaya bahwa diri mereka adalah penjahat, mereka akan menjadi penjahat betulan. Begitulah cara kerjanya.” (hlm. 22)
Seorang bocah menjatuhkan sekotak susu di bagian kasir sebuah pasar swalayan, kotaknya terbuka dan susunya tumpah menggenangi lantai. ‘Anak bodoh,’ kata ibunya.” (hlm. 22)
Di lorong sebelahnya, seorang bocah yang lain menjatuhkan sekotak madu, kotak itu juga pecah dan madunya menjalar ke lantai. ‘Itu perbuatan bodoh, Nak,’ kata ibunya.” (hlm. 22)
Bocah pertama telah di-cap sebagai anak bodoh, sedangkan bocah yang satunya cuma ditegur karena suatu kesalahan. Bocah yang pertama mungkin benar-benar akan menjadi bodoh; sedangkan bocah yang satunya akan belajar untuk tidak lagi mengulangi perbuatan bodohnya.” (hlm. 22)
Saya bertanya kepada murid-murid saya di penjara, apa saja yang telah mereka perbuat pada hari mereka berbuat kejahatan? Apa saja yang telah mereka perbuat pada hari-hari lainnya pada tahun itu? Apa saja yang telah mereka perbuat pada tahun-tahun kehidupan mereka? “ (hlm. 22)
“Kemudian saya menceritakan kembali kisah tembok bata saya. Ada batu bata lain di tembok yang mewakili kehidupan kita, terlepas dari kejahatan yang pernah kita perbuat. Pada kenyataannya, selalu ada banyak batu bata yang bagus, jauh lebih banyak daripada yang jelek. Nah, apakah Anda adalah sebuah tembok jelek yang pantas dihancurkan? Atau sebuah tembok yang bagus dengan sepasang batu bata jelek, seperti kebanyakan dari kita? (hlm. 22—23)
Beberapa bulan setelah saya menjadi kepala Vihara dan tidak lagi mengunjungi penjara, saya menerima sebuah telepon pribadi dari salah seorang petugas penjara. Dia meminta saya untuk kembali mengunjungi penjara. Dia memberikan ucapan selamat yang akan selalu saya hargai. Dia bilang bahwa murid-murid saya di penjara, sejak mereka menyelesaikan masa hukumannya, tak pernah balik lagi ke penjara.” (hlm. 23)
Bila Anda berpikir bahwa Anda adalah warga “kelas II”, maka Anda benar. bila Anda berpikir bahwa Anda hanyalah lulusan kampus “kelas B”, maka Anda juga benar. Bila Anda berkeyakinan bahwa Anda adalah “manusia gagal”, atau bahkan sebagai “manusia sampah”, maka Anda lebih benar lagi. Kita semua adalah sama-sama merupakan mahasiswa dari Kampus Kehidupan. Bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri, itulah yang akan menjadi diri kita.
Seperti yang telah dikatakan oleh Ajahn Brahm, “Seperti apa mereka diajar sepanjang tahun, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka.” Kita semua pernah berbuat keliru, kita semua pun pernah mengalami kekalahan dan kegagalan. Namun, sekali lagi, bukanlah berarti itu menjadi bukti bahwa kita adalah manusia “yang tidak berguna” ataupun “tidak mampu untuk berhasil”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.