Surat Peringatan Berantai yang Tidak Wajar dalam Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Memang surat peringatan itu masa berlakunya 6 bulan, tapi apa artinya pihak perusahaan boleh memberondong pegawai dengan berbagai surat peringatan dalam tempo waktu yang sangat singkat? Memangnya, yang paling cepat itu kapan, surat peringatan berikutnya boleh diberikan manajemen kepada seorang pegawai?
Brief Answer: Surat peringatan yang wajar, biasanya memberikan tenggang-waktu bagi sang Pekerja untuk memaknai, memhami, mempertimbangkan, serta memperbaiki sikap / kinerjanya. Bila sang pekerja tidak diberi “ruang nafas” untuk mulai beradabtasi pada perubahan sikap / kinerja, maka sama artinya tidak diberi kesempatan untuk memahami surat teguran yang telah diterima olehnya.
Lantas, jangka waktu sepanjang apakah yang paling patut diberikan pada sang Pekerja untuk memperbaiki diri? Tidak ada aturan tertulis yang secara baku mengatur kapan surat peringatan berikutnya paling cepat dapat diberikan, namun asas kepatutan dan kewajaran sesuai karakter perkara, menjadi parameter yang dapat dipedomani.
PEMBAHASAN:
Cerminan dalam contoh kasus berikut dapat menjadi representasi sebagaimana SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 286 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 25 April 2017, perkara antara:
- PERUSAHAAN DAERAH PROVINSI BALI, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- DRS I.B. GEDE PURNAMABAWA, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tahun 1986. Ketegangan bermula pada tanggal 20 Juni 2016, ketika secara mendadak Tergugat memberikan Surat Peringatan Pertama dengan nomor 119/DP/UM/VI/2016, tertanggal 20 Juni 2016, dengan alasan dimana Penggugat telah dianggap melakukan beberapa pelanggaran, yaitu;
1. Kedisiplinan Kerja;
2. Melakukan Pelecehan (mangkir) terhadap pertemuan yang dilaksanakan oleh Direksi dan Staf pada hari Senin tanggal 20 juni 2016;
3. Tidak hadir dalam pertemuan tanpa adanya laporan;
4. Pelanggaran yang dilakukan terhadap peraturan ini maka Penggugat diberikan sanksi berupa Surat Peringatan I (SP I).
Yang menjadi permasalahan, belum sempat Penggugat memikirkan dan mempertimbangkan serta mencermati makna Surat Peringatan I tertanggal 20 Juni 2016 tersebut, tiba-tiba keesokan harinya pada tanggal 21 Juni 2016 kembali Penggugat mendapat Surat Peringatan kembali dengan Nomor 122/PD/UM/VI/2016 tertanggal 21 Juni 2016, perihal “Peringatan Dan Sanksi”, yang pada intinya menegaskan dimana Penggugat telah dikategorikan melakukan kesalahan yang bersifat sangat prinsip, yakni melecehkan Perusahaan Daerah Provinsi Bali, termasuk mengganggu kenyamanan karyawan.
Selanjutnya diputuskan agar Penggugat membuat Surat Pernyataan Permohonan Maaf kepada direksi dan segenap karyawan, selambat-lambatnya tanggal 23 Juni 2016, dan sebagai sanksi atas pelanggaran atau kesalahan tersebut Penggugat dibebas-tugaskan selama 7 hari terhitung dari tanggal 23 Juni 2016 sampai dengan 30 Juni 2016. Selanjutnya, mulai tanggal 1 Juli 2016 Penggugat dipindahkan dari posisi Kepala Urusan Pemasaran menjadi Staf Pemasaran.
Dapat disimpulkan isi surat dimaksud, mengandung 4 masalah hukum sekaligus, yaitu:
1. Mengandung kesimpulan bahwa Penggugat diputuskan melakukan pelanggaran yang merupakan kesalahan yang bersifat sangat prinsip, yakni melecehkan Perusahaan Daerah Provinsi Bali, termasuk mengganggu kenyamanan karyawan;
2. Atas kesalahan dimaksud Penggugat diminta membuat Surat Pernyataan Permohonan Maaf kepada direksi dan segenap karyawan selambat-lambatnya tanggal 23 Juni 2016;
3. Sebagai sanksi atas kesalahan atau pelanggaran tersebut maka Penggugat dibebas-tugaskan selama 7 hari terhitung dari tanggal 23 Juni 2016 sampai dengan 30 Juni 2016;
4. Dan mulai tanggal 1 Juli 2016 Penggugat dipindahkan dari posisi Kepala Urusan Pemasaran menjadi Staf Perusahaan.
Mendapati Surat Peringatan dan sanksi demikian, tentu Penggugat belum memiliki cukup waktu dan kemampuan untuk menyikapinya, hanya bisa menulis Surat Keberatan yang ditujukan kepada Badan Pengawas Perusahaan tertanggal 22 Juni 2016, serta kepada Direktur Utama Perusahaan Daerah tertanggal 24 Juni 2016.
Akan tetapi semua usaha Penggugat, tidak menghasilkan adanya penyelesaian yang baik seperti harapkan setiap orang. Berlanjut pada tanggal 24 Juni 2016, Tergugat mengeluarkan Surat Keputusan, yaitu: Keputusan Direksi Perusahaan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2016, tentang Mutasi Jabatan Struktural di Lingkungan Perusahaan Daerah Provinsi Bali, dan memutuskan, serta menetapkan Penggugat menjadi staf administrasi pemasaran dari kepala urusan pemasaran.
Mendapat perlakuan demikian, Penggugat membuat Surat Pengaduan kepada Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali, dengan harapan bisa memediasi perselisihan-perselisihan yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat. Sehingga terbitlah Anjuran Mediator, dengan substansi sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap pemberian surat peringatan dan sanksi yang diterapkan pimpinan Perusahaan (Direksi) Perusahaan Daerah Provinsi Bali terhadap pekerja saudara. Ida Bagus Gede Purnamabawa, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Peraturan Perusahaan Daerah Provinsi Bali dan ketentuan Pasal 161 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;
2. Terhadap pemberian peringatan dan sanksi yang dilakukan Pimpinan Perusahaan (Direksi). Perusahaan Daerah Provinsi Bali, menurut pandangan mediator hubungan industrial, belum memenuhi aspek hukum dan aspek pembinaan, dimana setiap Surat Peringatan yang diberikan tenggang waktu kurang dari 6 (enam) bulan, sebagai upaya untuk memberikan ruang dan kesempatan terhadap pekerja untuk memperbaiki kesalahannya pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja, sementara waktu 6 (enam) bulan dipandang waktu yang relatif cukup, bagi pengusaha untuk menilai kinerja karyawan;
3. Terhadap pemberian Surat Peringatan dan sanksi yang diberikan atas pelanggaran yang dilakukan pekerja menurut pandangan Mediator Hubungan Industrial, selayaknya perlu dilakukan klarifikasi langsung melalui komunikasi dengan pihak pekerja, guna mengetahui alasan dan kebenaran dari ketidakhadiran atau pelanggaran yang dilakukan pekerja, guna penerapan sanksi proporsional dengan pelanggaran dan kesalahan dari pekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Anjuran Mediator Hubungan Industrial:
1. Agar Pimpinan Perusahaan (Direksi) Perusahaan Daerah Provinsi Bali beserta seluruh karyawan / pekerja Perusahaan Daerah Provinsi Bali secara konsisten mentaati peraturan perusahaan yang telah dibuat dan disahkan oleh pejabat instansi yang berwenang;
2. Agar pimpinan Perusahaan (Direksi) Perusahaan Daerah Provinsi Bali mempertimbangkan meninjau kembali Keputusan Direksi Perusahaan Daerah Provinsi Bali Nomor 06 Tahun 2016 tentang Mutasi Jabatan Struktural di Lingkungan Perusahaan Daerah Provinsi Bali yang ditetapkan secara khusus terhadap karyawan saudara: Ida Bagus Gede Purnamabawa.”
Tergugat hingga saat ini sama sekali tidak mengindahkan anjuran dari Mediator Disnaker, bahkan Tergugat di hari dan tanggal yang sama menerbitkan kembali Surat Teguran Nomor 152/PD/UM/VII/2016, tertanggal 25 Juli 2016. Terhadap surat teguran tersebut, telah ditanggapi oleh Penggugat, untuk menjelaskan alasan tidak kerja, dan maksud Penggugat mengajukan cuti sampai ada kepastian tentang penyelesaian perselisihan yang terjadi dengan Tergugat.
Terhadap Surat yang Penggugat kirim tanggal 25 Juli 2016, ternyata mendapat respon berupa “Peringatan III”, dengan suratnya tertanggal 23 Agustus 2016 Nomor 173/PD/UM/VII/2016, yang diterbitkan oleh Kepala Bagian Umum atas nama Direksi.
Terhitung sejak bulan Juli 2016, Tergugat tidak lagi membayar upah Penggugat. Untuk itu Penggugat merujuk kaedah normatif Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/ buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut;
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Senada dengan ketentuan Pasal 21 Peraturan Perusahaan Daerah Provinsi Bali, tentang Pemberian Surat Peringatan: “Tiap-tiap Surat Peringatan mempunyai masa berlaku selama 6 (enam) bulan dan apabila ternyata yang bersangkutan masih melakukan pelanggaran lagi, maka Perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dirujuk pula Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tanggal 9 Juni 1999, khususnya Pasal 6 Ayat (d), dinyatakan bahwa Pemberi Kerja diwajibkan membina Pegawai. Begitu pula tindakan Tergugat dengan tidak membayar gaji kepada Penggugat terhitung mulai bulan Juli 2016, adalah merupakan perbuatan melawan hukum, karena bertentangan dengan Pasal 155 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Denpasar kemudian menjatuhkan putusan Nomor 16/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Dps tanggal 15 Desember 2016, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa SK Nomor 06 Tahun 2016 tanggal 24 Juni 2016 yang dikeluarkan oleh Tergugat telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka harus dinyatakan tidak sah dan Penggugat dipekerjakan kembali pada jabatan semula, sehingga dengan demikian petitum gugatan angka 2 (dua) dan 4 (empat) beralasan hukum untuk dikabulkan;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Surat Keputusan Nomor 06 Tahun 2016 tertanggal 24 Juni 2016 yang dikeluarkan Tergugat tidak sah dan batal demi hukum;
3. Menghukum Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat pada Jabatan seperti semula sebagai Kepala Urusan Pemasaran di Perusahaan Tergugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar Upah Penggugat beserta hak-hak lainnya seperti semula terhitung sejak dibacakannya putusan dalam perkara ini pada tanggal 15 Desember 2016;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa yang menjadi dasar dari Majelis Hakim dalam membatalkan SK Nomor 06 Tahun 2016 tanggal 24 Juni 2016, karena dianggap sebagai double punishment. Padahal, apabila diteliti secara saksama tidak ada aturan baik dalam UU Ketenagakerjaan yang menjadi pegangan dalam hubungan antara pemberi kerja dengan karyawan, karena masih menjadi pertanyaan; apakah double punishment yang dikenakan kepada karyawan adalah suatu hal yang dilarang menurut peraturan ketenagakerjaan kita? Apakah itu benar? jenis dan tipe punishment seperti apa yang dimaksudkan tersebut? Dasar aturan apakah yang digunakan?
Bahwa Majelis Hakim tidak menjelaskan secara rinci apa yang menjadi bentuk dari double punisment dimaksud, apakah karena perihal Surat Peringatan dan Sanksi Nomor 122/PD/UM/VI/2016 tanggal 21 Juni 2016 dikeluarkan karena sebelumnya sudah ada tanggal 20 Juni 2016 telah dikeluarkan Surat Peringatan I Nomor 119/PD/UM/VI/2016.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 9 Januari 2017 dan kontra memori kasasi tanggal 24 Januari 2017 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa surat peringatan dan sanksi dari perusahaan Daerah Provinsi Bali tidak sesuai ketentuan Pasal 21 Peraturan Perusahaan Daerah Provinsi Bali dan ketentuan Pasal 161 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 13 Tahun 2003, maka SK Nomor 06 Tahun 2016 tanggal 24 Juni 2016 yang dikeluarkan oleh Tergugat tidak sah dan batal demi hukum, sehingga Penggugat harus dipekerjakan kembali pada kedudukan semula, dan mendapatkan hak-haknya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PERUSAHAAN DAERAH PROVINSI BALI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PERUSAHAAN DAERAH PROVINSI BALI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.