KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Sifat Fatalistis Putusan Praperadilan: TERTUTUP SELURUH LANGKAH UPAYA HUKUM

LEGAL OPINION
Question: Praperadilan diputus oleh seorang hakim tunggal di PN (pengadilan negeri). Peluang kolusi sang hakim tunggal dapat berpeluang terbuka lebar karena susunannya bukanlah Majelis Hakim. Lagipula bisa juga praperadilan diperiksa dan diputus oleh hakim yang tidak berkompeten, bukan oleh Hakim Pengadilan Tinggi ataupun oleh seorang Hakim Agung.
Apa ada cara, untuk mengoreksi putusan praperadilan? Misal penyidik masih dalam tahap menghimpun alat bukti, untuk mencari tersangka, tapi si tersangka udah langsung ajukan praperadilan untuk menjagal proses penyidikan. Masih “on process” sudah dijegal. Toh alat bukti masih dalam tahap pencarian dan pengumpulan, sehingga kerja polisi belum tuntas, sudah dijagal seperti itu oleh seorang tersangka.
Brief Answer: Putusan Praperadilan, bersifat “final and binding”, tanpa upaya hukum banding maupun Kasasi, dan tertutup juga bagi upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali—sehingga seketika itu juga menjadi inkracht. Penyidik yang tidak bergerak cepat, akan seketika itu juga diintervensi oleh tersangka sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi penyidik untuk menghimpun alat bukti.
Trik formil-yuridis yang dapat menjadi solusi bagi kalangan internal penyidik kepolisian, tetapkan status orang yang disangka sebagai pelaku, sebagai “saksi” alih-alih sudah ditetapkan sebagai “tersangka”. Ketika seluruh alat bukti telah lengkap, barulah status dirinya ditingkatkan dari “saksi” menjadi “tersangka” untuk kemudian seketika itu juga dinaikkan statusnya sebagai “terdakwa”.
PEMBAHASAN:
Dilematika putusan praperadilan, akan tampak secara gamblang meski dengan nuansa agak sedikit berbeda, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara praperadilan register Nomor 31 PK/PID/2017 tanggal 7 Juni 2017, antara:
- ALI CHANDRA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Pemohon Praperadilan; melawan
- KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA cq. KEPOLISIAN DAERAH METRO JAYA, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon Praperadilan.
Tanah yang telah dibeli dan dibayar lunas oleh Pemohon Praperadilan, ternyata tanpa seijin ataupun sepengetahuan Pemohon, oleh PT. Pembangunan Perisai Baja yang diwakili Para Terlapor selaku Direktur dan Komisaris, telah dijual lagi kepada pihak ketiga.
Pemohon mendalilkan, dalam perkara ini, tidak perlu dibuktikan siapa pemilik tanah tersebut, karena bukan sengketa kepemilikan, tetapi yang perlu dibuktikan setidaknya adalah apakah benar adanya fakta hukum delik formil berupa transaksi jual-beli yang telah dibayar lunas antara Pemohon dengan PT. Pembangunan Perisai Baja, serta apakah Para Terlapor telah menjual kembali tanah yang telah dibeli dan dibayar lunas oleh Pemohon kepada pihak lain tanpa seijin dan sepengetahuan Pemohon?
Sudah sangat jelas, bila menjual kembali barang yang sudah dibeli dan dibayar oleh orang lain, itu namanya “menipu” atau “menggelapkan”. Niat batin (mens rea) dari pelaku dengan demikian memiliki itikad buruk untuk merugikan Pemohon. Untuk Pemohon mengajukan gugatan praperadilan untuk menyatakan tidak sah penetapan Penghentian Penyidikan oleh Termohon terhadap Laporan Polisi yang diajukan oleh Pemohon selaku korban.
Terhadap permohonan Pemohon, yang kemudian menjadi putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 35/Pid.Prap/2015/PN.JKT.Sel., tanggal 26 Mei 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari jawab menjawab tersebut antara Pemohon dengan Termohon, Hakim berpendapat bahwa ada perselisihan tentang hak milik di dalam perkara permohonan praperadilan ini;
“Menimbang, bahwa oleh karena ada perselisihan tentang hak milik, maka permasalahannya harus terlebih dahulu diselesaikan melalui persidangan perkara perdata, untuk menentukan siapa sebenarnya yang berhak atas tanah yang diperselisihkan tersebut;
MENGADILI :
- Menyatakan Permohonan Praperadilan Pemohon tidak dapat diterima.”
Pemohon yang notabene merupakan korban pelapor, mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan argumentasi bahwa yang menjadi dasar yuridis pengajuan Peninjauan Kembali atas Putusan Praperadilan, berlandaskan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tertanggal 28 Maret 2014, dengan kaedah: “Peninjauan Kembali Terhadap Praperadilan tidak diperbolehkan, kecuali dalam hal ditemukan indikasi penyelundupan hukum.”
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, sebagai berikut:
“bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan permohonan Peninjauan Kembali Pemohon tidak dapat diterima, berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali yang merupakan upaya hukum luar biasa (extra ordinary remedy) berdasarkan ketentuan Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya diperuntukkan untuk putusan pemidanaan yang merupakan hak Terpidana atau hak ahli warisnya, tidak diperuntukkan bagi putusan praperadilan; [Note SHIETRA & PARTNERS: patut menjadi pertanyaan, mengapa hukum acara pidana tidak justru lebih cenderung berpihak pada kepentingan sipil yang emnjadi korban?]
2. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65 PUU/IX/2011 menentukan bahwa putusan praperadilan merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat para pihak sejak diputuskan peradilan tingkat pertama sehingga tidak ada upaya hukum terhadap putusan praperadilan;
3. Bahwa ketentuan Pasal 45 A Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung melarang / tidak memperkenankan putusan praperadilan untuk dilakukan kasasi yang merupakan upaya hukum biasa (ordinary remendy). Karena putusan praperadilan dilarang untuk upaya hukum biasa (kasasi), maka secara tersirat berdasarkan logika hukum, upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) dilarang juga untuk putusan praperadilan;
4. Bahwa ketentuan Pasal 3 PERMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, menentukan bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali;
“Menimbang, bahwa dengan mengingat ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHAP serta dihubungkan dengan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Pemohon Praperadilan ALI CHANDRA harus dinyatakan tidak dapat diterima;
M E N G A D I L I :
Menyatakan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali ALI CHANDRA tersebut tidak dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.