ARTIKEL HUKUM
Bagaimana perbedaan antara “pidana dengan pemberatan” dan “pertimbangan hakim yang memberatkan pidana terdakwa”? Pertanyaan demikian kerap terlontar dari kalangan awam dibidang hukum, namun tidak tertutup kemungkinan juga masih menjadi pertanyaan yang menggelitik di internal kalangan profesi hukum itu sendiri.
justru, dalam penilaian pribadi penulis, Sarjana Hukum yang tidak pernah berani memasuki ranah “menanyakan” pertanyaan “sederhana” demikian, atau bahkan gagal sebelum mencoba, patut diwaspadai—karena bisa jadi hanya memahami “kulit” dari ilmu hukum, terkait stelsel pidana pada khususnya.
“Pidana dengan pemberatan”, biasanya diatur dalam suatu pasal peraturan perundang-undangan yang mengatur perbuatan pidana yang dilarang, sekaligus ancaman sanksi hukumannya. Sebagai contoh, antara norma larangan serta ancaman bagi pelaku delik “pencurian” dan terhadap pelaku delik “pencurian dengan pemberatan”, diatur dalam dua pasal yang saling berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Seperti apakah, perbuatan yang dikategorikan sebagai “pidana pencurian dengan pemberatan”? Semisal bila pencurian dilakukan pada malam hari, atau bahkan dilakukan dengan ancaman kekerasan (menjelma norma pidana yang lebih berat lagi: perampokan). Konsekuensi yuridis-logis-nya, ancaman sanksi pun akan berlainan dengan pelaku “pencurian” biasa.
Sebenarnya, secara falsafah ilmu peraturan perundang-undangan, pasal pidana pemberatan demikian merupakan “pertimbangan hukum yang memberatkan” oleh regulator pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, terdapat tiga pihak yang dapat saja membuat “pertimbangan hukum yang memberatkan”, yakni: pembentuk undang-undang yang mengakomodasi pasal tersendiri terhadap suatu “delik dengan pemberatan”, Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun Surat Tuntutan, serta Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya pada bagian penghujung sebelum tiba pada amar putusan.
Ragam atau variasi dari berat atau ringannya vonis yang akan dijatuhkan Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara pidana itu nantinya, sangat bergantung pada substansi “pertimbangan hukum yang meringankan” serta “pertimbangan hukum yang memberatkan” seorang Terdakwa yang di hadapkan ke persidangan. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman mewajikan seorang hakim pemutus untuk membuat pertimbangan faktor-faktor yang memberatkan dan yang meringankan demikian—sehingga sifatnya ialah imperatif bagi sang hakim, bukan fakultatif.
Akan tetapi juga terdapat pertimbangan hukum yang memberatkan “derajat kedua”. Seperti apakah korelasi dan implementasinya? Sebagai contoh, seorang “pelaku delik pencurian dengan kekerasan di malam hari dengan senjata tajam” (alias pelaku perampokan), variabel “kekerasan di malam hari dengan senjata tajam” itu sendiri sudah merupakan suatu “pertimbangan hukum yang memberatkan” bagi sang pelaku.
Namun, jika pelanggaran berupa perampokan itu terjadi secara berulang-ulang (repetisi) alias residivis, maka itulah “pertimbangan hukum yang memberatkan derajat kedua”. Alhasil, ancaman pidana maksimum dapat diberlakukan bagi si pelaku pelanggar.
Permasalahan perihal begitu meluas dan melebarkan aplikasi hak prerogatif seorang hakim untuk memberi pertimbangan hukum yang memberatkan atau untuk meringankan, sehingga besar kemungkinan terhadap suatu “corak” / “nuansa” perkara serupa, oleh hakim yang berbeda dalam tingkat peradilan yang berbeda, suatu konteks / kondisi yang melingkupi perkara bisa jadi dianggap sebagai “pertimbangan hukum yang memberatkan” atau bahkan sebagai “pertimbangan hukum yang meringantkan” Terdakwa. Perhatikan wacana menarik berikut, yang terjadi secara aktual di tubuh Mahkamah Agung RI.
Sebagai contoh, Otto Cornelis Kaligis dipidana penjara selama 7 tahun oleh Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi, lalu dalam tingkat banding, vonis terhadap sang Terpidana dikoreksi menjadi 10 tahun penjara (sebagaimana isi surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum), dengan “pertimbangan hukum yang memberatkan”, antara lain: pelaku merupakan seorang pengacara yang justru menodai kewajiban etiknya untuk menegakkan keadilan alih-alih menjadi “makelar kasus”, juga faktor umur dari sang Terpidana yang telah sangat senior sehingga semestinya dapat memberikan teladan yang baik bagi generasi muda (terlebih dirinya juga merupakan seorang dosen bergelar profesor) dimana semestinya semakin tua seseorang maka semakin arif bijaksana, disamping perilaku OC Kaligis yang berbelit-belit, tidak jujur, tidak kooperatif, serta berupaya “cuci-tangan” dengan melimpahkan semua kesalahan kepada anak-buahnya sendiri. Seluruh aspek dari perilaku OC Kaligis, dinilai tidak lagi dapat ditolerir, sehingga ketegasan sikap dalam amar putusan menjadi krusial. OC Kaligis merupakan sikap sempurna suatu “kebrobrokan” mental.
Namun, dalam tingkat upaya hukum luar biasa: Peninjauan Kembali, sebagaimana diajukan oleh OC Kaligis, disebutkan bahwa menurut preseden yang ada terhadap kasus serupa (tindak pidana korupsi), seorang Terdakwa hanya divonis rata-rata selama 7 tahun penjara. Alhasil, dalam tingkat putusan PK, Mahkamah Agung RI mengoreksi amar putusan Kasasi, dengan menjadikan vonis terhadap dirinya dari 10 tahun penjara menjadi kembali selama 7 tahun penjara.
Adapun “pertimbangan hukum yang meringankan” oleh Majelis Hakim tingkat PK di Mahkamah Agung RI, adalah bahwa usia Terpidana sudah sangat tua renta, dan terhadap perkara serupa menurut preseden putusan terkait tindak pidana korupsi, hanya dijatuhi vonis 7 tahun penjara, sehingga vonis 10 tahun dinilai sebagai bentuk disparitas amar putusan.
Merasa mendapat “angin surga”, OC Kaligis menggugat Hakim Agung Artidjo Alkostar yang dahulu menjatuhkan vonis terhadap dirinya dalam tingkat Kasasi. Pokok gugatannya sangat sederhana: Artidjo dinilai telah melanggar preseden perihal vonis yang justru diperberat oleh Artidjo menjadi 10 tahun penjara sementara preseden yang ada hanya menunjuk angka 7 tahun penjara.
Ada sesuatu yang hilang dari amar putusan tingkat PK terhadap OC Kaligis (ini merupakan suatu fakta empirik yang mengindikan suatu pesan tersendiri: mengapa tidak turut dipertimbangkan!?), bahwa Majelis Hakim Tingkat PK tidak mempertimbangkan (alias melalaikan) fakta perihal perilaku OC Kaligis pada masa sebelum dan saat di persidangan, maupun perihal status OC Kaligis sebagai officium nobile.
Pandangan Mahkamah Agung RI tingkat PK merupakan suatu “salah-kaprah” yang demikian “tergelincir”, secara demikian kontras. Dalam setiap putusan perkara pidana, Majelis Hakim wajib membuat “pertimbangan hukum yang memberatkan” maupun “pertimbangan hukum yang meringankan” Terdakwa. Alhasil, antara satu Terpidana terhadap Terpidana lain, meski dituntut karena telah melakukan aksi korupsi, tidak ada keseragaman amar putusan.
Faktor “variabel bebas”-nya sangat beragam, mulai dari pertimbangan terhadap fakta-fakta yang terungkap di persidangan, antara lain: nilai atau besarnya suap, nominal kerugian negara yang timbul, perilaku Terdakwa selama masa persidangan apakah sopan, atau justru berbelit-belit, tidak kooperatif, apakah ada upaya pengembalian terhadap kerugian negara, apakah ada peranan sebagai justice colaborator, dan sebagainya. Semua faktor dari variabel tersebut, justru menunjuk pada pemberatan bagi OC kaligis, bukan sebaliknya.
Karena itu, yang dimaksud dengan preseden, ialah suatu karakter SPESIFIK seputar perkara dari suatu putusan hanya diterapkan terhadap perkara dikemudian hari dengan karakter SPESIFIK serupa dengan putusan yang pernah diputus sebelumnya.
Sebagai contoh, pelaku penyuapan yang antara bukan seorang Advokat dan pelaku penyuapan yang merupakan seorang Advokat, dibutuhkan dua karakter sumber preseden yang berbeda, tidak dapat disama-ratakan (alias tidak boleh “pukul-rata”) sehingga dalam hal ini terdapat 2 karakter perkara. Terhadap OC Kaligis, tidak tepat diterapkan preseden vonis 7 tahun pidana penjara. Dengan kata lain, OC kini menikmati “buah manis” preseden bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi Non-Advokat. Status sebagai Advokat, adalah faktor “pemberatan” itu sendiri—sifatnya inheren.
Kini, kita beralih pada kasus perkara pidana seorang Advokat di Tanah Air yang tidak kalah fenomenal “vokal”-nya dalam hal prestasi ke-“rewel”-annya. Berkali-kali, dan berulang-ulang, Fredrich Yunadi mempersulit jalannya penyidikan dan penuntutan terhadap sang klien, Setya Novanto, serta berkali-kali pula dirinya mempersulit Majelis Hakim saat Fredrich Yunadi kemudian ditetapkan sebagai Tersangka dengan mengajukan praperadilan, hingga kemudian diseret ke “Meja Hijau” peradilan.
Ke-“onar”-an Fredrich Yunadi patut mendapat catatan pada “Museum Rekor Indonesia” sebagai Pengacara Kondang Tersandung Korupsi yang Paling Rewel. Prestasi ke-“rewel”-an Fredrich Yunadi, sangat tidak tepat bila diganjar dengan hanya sebatas vonis hukuman 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus Obstruction of Justice yang dilakukan oleh sang Pengacara Setya Novanto ini. Siapapun tahun kiprah, rekam jejak, dan prestasi “onar” sang pengacara yang sangat gemar “membuat ulah” dan berceloteh ini. Dirinya bahkan sempat menuntut agar Jaksa membacakan seluruh isi Surat Tuntutan yang bisa memakan waktu seminggu penuh untuk diucapkan.
Jaksa Penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut 12 tahun penjara, namun kembali lagi, kini Advokat Fredrich Yunadi menikmati “buah manis” impoten-nya hakim dalam memilah manakah preseden yang relevan dan yang kurang relevan. Elemen paling vital dari preseden, ialah karakteristik perkara yang bersifat SPESIFIK.
Kita ketahui, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi merupakan “delik pemberatan” yang diatur khusus diluar KUHP, sehingga memang jenis kejahatannya ialah “kejahatan luar biasa”, lengkap dengan seperangkat ancaman sanksi pemberat hukuman.
Namun yang perlu digaris-bawahi oleh seorang hakim pemutus yang baik, ialah perihal pertimbangan hukum pemberat pidana “derajat kedua” sebagaimana telah penulis ulas di muka. Perihal berat atau ringannya vonis dalam amar putusan, arah gerak bandul ditentukan oleh pertimbangan hukum sebelum amar putusan dibacakan dan di-“ketok palu”-kan.
Kelemahan jurist maupun Sarjana Hukum di Indonesia, ialah tidak terbiasa dan tidak dibiasakan serta tidak dibekalinya pemahaman / keterampilan yang memadai perihal penguasaan ilmu tentang preseden. Akibatnya, kini, sebagaimana telah kita lihat sendiri, menjadi bumerang bagi proses penegakan hukum.
Bahkan, hakim mampu di-“kadal”-i oleh mereka yang berlindung dibalik “preseden” yang tidak pada tempatnya. Bagai “api dalam sekam”, kontrakproduktif terhadap maksud dan tujuan pemidanaan. Meski demikian, bila isu sensitif ini tidak penulis angkat, sampai kapan kita akan hidup dalam suatu “salah kaprah” perihal preseden? Hakim yang baik sekaligus terampil, memahami betul sifat kasuistiknya dari suatu sumber dari preseden yang hendak dirujuk olehnya. Oleh karenanya, tugas dan peran seorang hakim, tidaklah dapat diremehkan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.