Objek Kendaraan Leasing Dijadikan Alat dalam Tindak Pidana

LEGAL OPINION
Question: Objek kendaraan sudah dijadikan agunan oleh debitor kepada perusahaan leasing, lalu kendaraan itu dicuri orang lain dan kemudian dipakai oleh si pencuri untuk melakukan penjambretan. Ketika si pelaku tertangkap, itu motor dirampas untuk negara katanya dalam salah satu vonis putusan pidananya si pelaku. Koq bisa gitu? Kalau gitu semua penjahat saja, pakai kendaraan hasil kredit saat melakukan aksi kejahatannya, biar bukan kendaraan milik mereka sendiri yang nantinya dirampas negara.
Brief Answer: Mahkamah Agung RI pernah membuat pendirian yang salah-kaprah (dan cukup fatal), bahwa karena objek alat bukti berupa mobil dirampas berdasarkan putusan pidana dari seorang Terpidana, sementara terdapat hubungan perjanjian Pembiayaan dan Jaminan Fidusia dengan kreditur maka dapat diselesaikan melalui gugatan Perdata antara si kreditor dan debitornya.
Namun yang gagal dipertimbangkan oleh Hakim Agung, bahwa perikatan pembiayaan disertai pengikatan agunan berupa fidusia, dimana lembaga penerbit Sertifikat Fidusia ialah dari pihak pemerintah itu sendiri, sehingga tidaklah dapat dibenarkan sikap pemerintah yang memungkiri sertifikat yang telah diterbitkannya—kecuali, pembiayaan tidak diikat secara sempurna dengan fidusia. Pemerintah semestinya mengakui dan memberi jaminan atas sertifikat yang telah diterbitkannya bagi kreditor maupun Lembaga Pembiayaan, sebagai bagian dari rangka kepastian hukum dan kepastian usaha.
Logika hukumnya sederhana, bila benda agunan yang telah diikat sempurna jaminan kebendaan seperti Fidusia maupun Hak Tanggungan, tidak lagi dapat di-Sita Jaminan oleh pengadilan, maka terlebih Sita Pidana. Asas dalam hukum acara pidana, barang bukti dikembalikan kepada pemilik yang bukan pelaku tindak pidana. dengan kata lain, mengingat objek kendaraan tersangkut kepentingan pelunasan pihak kreditor pemegang agunan Fidusia, maka barang bukti wajib dikembalikan kepada pihak pemegang jaminan berupa Sertifikat Fidusia—terlebih, leasing bermakna “sewa-beli”, yang dasariahnya ialah sewa-menyewa, sehingga objek Fidusia masih atas nama Lembaga Pembiayaan.
Begitupula bagi kalangan Lembaga Keuangan seperti pemberi fasilitas Kredit Pemilikan Kendaraan, cukup berfokus pada argumentasi bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Tidak pada tempatnya, bila pemerintah kemudian memungkiri sertifikat yang telah diterbitkannya sendiri berdasarkan undang-undang—dan, tentu saja, tidak dapat dibenarkan pemerintah merampas objek benda berharga dengan mengorbankan sipil yang merupakan “pihak ketiga yang beritikad baik”.
PEMBAHASAN:
Cerminan kasus dilematis berikut dapat menjadi representasi keruhnya perkara agunan yang tersangkut perkara pidana, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Pengadilan Tinggi Medan sengketa perlawanan terhadap “sita pidana”, register Nomor 315/PDT/2015/PT.MDN tanggal 29 Oktober 2015, perkara antara:
- PT. OTO MULTIARTHA, sebagai Pembanding, semula selaku Pelawan; melawan
- PEMERINTAH REP\UBLIK INDONESIA c.q. KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA c.q. KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA UTARA c.q. JAKSA PENUNTUT UMUM, selaku Terbanding semula Terlawan.
Singkatnya, perkara ini ialah perihal keberatan pihak Lembaga Pembiayaan atas objek kendaraan yang merupakan objek pembiayaan, kemudian tersangkut dalam perkara pidana sehingga dalam putusan perkara pidana, objek kendaraan “dirampas untuk negara” sehingga dinilai merugikan kepentingan pihak Perusahaan Pembiayaan.
Terhadap perlawanan Pelawan, Pengadilan Negeri Tebing Tinggi kemudian menjatuhkan putusan nomor 28/Pdt.G/2014/PN.Tbt tanggal 5 Maret 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA
- Menolak Gugatan Perlawanan Pelawan untuk seluruhnya.”
Pihak Lembaga Pembiayaan mengajukan upaya hukum banding, dengan pendirian sebagai berikut:
1. Pelawan selaku Pemegang Hak Kepemilikan sekaligus Penerima Fidusia atas 1 unit Mobil sesuai UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, jelas menganut azas “droit de suit” yaitu hak kebendaan melekat pada objek benda agunan.
2. Undang-Undang telah memberikan “Hak Eksekutorial” kepada Pelawan selaku Penerima Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
3. Tidak terdapat satupun ketentuan dalam Undang-Undang yang menyatakan putusan pidana dapat mengalahkan kekuatan eksekutorial jaminan Fidusia, sebagaimana sebaliknya bila merujuk norma Pasal 24 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan fidusia, disebutkan: “Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberian Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan menggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia.”
4. Pelawan selaku “Pihak Ketiga yang beritikad baik” sekaligus Penerima Fidusia, karenanya tidak bisa dibebankan untuk menanggung kerugian atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia, dengan demikian hak atas jaminan Fidusia merupakan hak kebendaan mutlak (in rem) bukan hak (in personam).
Sementara dalam sanggahannya pihak Kejaksaan mendalilkan, Terlawan sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam perkara ini yang menyimpulkan bahwa terdapat dua kepentingan, yaitu kepentingan Pelawan sebagai pemegang jaminan Fidusia atas unit mobil, dan kepntingan Terlawan selaku Jaksa selaku eksekutor putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (yang isinya memerintah agar mobil yang menjadi alat bukti perkara pidana, dirampas untuk negara).
Dalam menentukan kepentingan mana yang lebih berhak atas unit mobil tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri sebelumnya telah menguraikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
- Bahwa pelawan tidak dapat membuktikan dalilnya bahwa ia adalah pemilik atas barang bukti berupa 1 unit mobil yang menjadi barang bukti dalam perkara Nomor 613 K/PID.SUS/2012;
- Bahwa Pelawan hanya dapat membuktikan bahwa pemegang jaminan fidusia atas unit mobil dimaksud;
- Bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 613 K/PID.SUS/2012, tanggal 6 Agustus 2012 , dengan Terdakwa a.n. Luddy Dasa Martha, yang salah satu amarnya menyatakan bahwa 1 unit mobil dimaksud, dirampas untuk Negara, maka Terlawan selaku Jaksa berkewajiban untuk melaksanakannya;
- Bahwa Pelawan selaku kreditor masih dapat memperoleh haknya, untuk mendapatkan pelunasan hutang apabila debitor cidera janji melalui sarana tuntutan perdata. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1847 K/PDT/2007 tanggal 16 Juni 2009 yang menyatakan bahwa judex facti Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum atau telah menerapkan hukum sebagaimana mestinya, karena mobil truk tersebut dirampas berdasarkan putusan pidana dari terdakwa Irwansyah Bin Siter, sedangkan hubungan perjanjian Pembiayaan dan Jaminan Fidusia dengan Terbantah II (kreditur) dapat diselesaikan melalui tuntutan Perdata; (vide Hal.56 Put. No. 28/Pdt.G/2014/PN.Tbt);
Dimana terhadapnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa setelah membaca dan mempelajari dengan seksama berkas perkara dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara ini, turunan resmi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor 28/Pdt.G/2014/PN.Tbt tanggal 5 Maret 2015, memori banding yang diajukan oleh Pembanding semula Pelawan melalui kuasa hukumnya, serta kontra memori banding yang diajukan oleh Terbanding semula Terlawan melalui kuasa hukumnya, Pengadilan Tinggi dapat menyetujui pertimbangan hukum dan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam perkara aquo karena pertimbangan tersebut telah tepat serta benar dan diambil-alih sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam memeriksa dan memutus perkara ini di tingkat banding;
Menimbang, bahwa putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut dapat dikuatkan oleh karena sudah merupakan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 613 K/Pid.Sus/2013 tanggal 6 Agustus 2012 jo. putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor 748/Pid.B/2010/PN.Ttd tanggal 5 Januari 2015, telah mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun Pembanding semula Pelawan ada alasan untuk meminta pernyataan bahwa mobil tersebut adalah masih haknya sesuai dengan sertifikat fidusia Nomor ... tahun 2013 tanggal 22 Mei 2013, akan tetapi seyogianya permohonan yang bersangkutan dilakukan secara bersama-sama dengan proses perkara pidana Nomor 748/Pid.B/2010/Pn.Ttd tanggal 5 Januari 2015, yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti, maka menurut pendapat Majelis Hakim Tingkat Banding bahwa upaya hukum yang lebih tepat dilakukan oleh Pembanding semula Pelawan adalah PK (peninjauan kembali);
“Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut diatas, Terbanding semula Terlawan sebagai eksekutor tidaklah salah melakukan eksekusi terhadap mobil tersebut karena putusan Mahkamah Agung RI Nomor 613 K/Pid.Sus/2013 tanggal 6 Agustus 2012 telah mempunyai kekuatan hukum pasti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi nomor 28/Pdt.G/2014/PN.Tbt tanggal 5 Maret 2015, yang dimintakan banding tersebut dapat dipertahankan dan harus dikuatkan;
M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Pelawan melalui kuasa hukumnya;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor 28/Pdt.G/2014/PN.Tbt tanggal 5 Maret 2015, yang dimohonkan banding tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.