Merger dapat Disalahgunakan Pemegang Saham Mayoritas untuk Membungkam Pemegang Saham Minoritas

LEGAL OPINION
Question: Apakah kebolehan untuk merger antar perseroan terbatas, bisa disalahgunakan oleh pemegang saham mayoritas terhadap posisi pemegang saham minoritas? Seperti apa konsekuensi terburuk bila merger sampai benar-benar terjadi, terutama dampaknya bagi pemegang saham minoritas?
Brief Answer: Pada realita empiriknya, setiap instrumen hukum dapat disalah-gunakan. Lebih tepatnya, setiap kaedah normatif hukum cenderung dapat / membuka diri untuk disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat / berkuasa / mayoritas. Kekuatan dan kekuasaan, tidak selalu sejalan dengan sifat konsensualisme dalam doktrin ilmu hukum, dimana dalam konteks hukum Perseroan Terbatas, keadilan konsesualismenya dimaknai sebagai “suara absolut pemegang saham mayoritas”—itu bukanlah ‘lubang hukum’, namun sebentuk ‘celah’ yang memang dibuka kemungkinannya oleh istrumen undang-undang itu sendiri.
Sebagai contoh, sebuah modus untuk membungkam pemegang saham minoritas yang memiliki 20% saham pada perseroan, dimana secara yuridis hak untuk mengajukan Audit Investigasi terhadap perseroan, dimiliki oleh pemegang saham dengan saham paling sedikit 10% dari total saham dengan hak suara. Maka, untuk membuat sang pemegang saham minoritas jatuh persentase proporsi sahamnya menjadi dibawah 10%, ialah cukup semudah melakukan manuver aksi perseroan bernama “merger” ataupun “konsolidasi”.
Yang membuat keputusan merger atau tidaknya dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), tidak lain ialah pihak pemegang saham mayoritas itu sendiri. Sementara itu, pemegang saham minoritas, dalam praktik yang selama ini terjadi, hanya sekadar menjadi “penggembira” yang tidak dapat mengharap apapun selain “mengemis” kebaikan hati pemegang saham mayoritas. Yang dimaksud dengan pemegang saham mayoritas dalam telaah SHIETRA & PARTNERS, ialah pemegang saham mayoritas dengan “hak suara”.
PEMBAHASAN:
Terlebih dahulu, SHIETRA & PARTNERS uraikan definisi “merger” menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, beserta konskuensi logisnya, sebagai berikut:
9) Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan, dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. [Note SHIETRA & PARTNERS: Lebih populer dikenal dengan istilah niaga sebagai “Merger”.]
10) Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. [Note SHIETRA & PARTNERS : Dikenal juga dengan istilah sebagai “Konsolidasi”.]
Konsekuensi logis total harta kekayaan serta modal dasar dari perseroan hasil Merger maupun Konsolidasi, pada dasarnya sama saja dari segi total akhir harta kekayaan dan modal dasar—yang membedakan hanya kemasan luar perseroannya, dimana dalam konteks Konsolidasi, yang kemudian eksis ialah badan hukum baru, sementara pemegang sahamnya sama saja, namun dikuantitatifkan antara perseroan yang saling meleburkan diri.
Untuk memahami Merger, tidak lengkap bila kita tidak memahami mekanisme dapat terjadinya sebuah Merger. Pasal 62 UU PT:
(1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar, apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa: [Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah yang ditunggu-tunggu oleh pemegang saham mayoritas yang hendak menyingkirkan pemegang saham minoritas yang tidak diinginkan.]
a. perubahan anggaran dasar;
b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
c. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan. (2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.”
Siapa yang berwenang menyetujui Merger? Kaedah relevannya dapat kita jumpai dalam Pasal 89 UU PT:
(1) RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua.
(3) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengenai kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal.”
Perihal equity serta modal dasar dalam Merger terkait kepemilikan saham, silahkan merujuk norma Pasal 122 UU PT:
(1) Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum.
(2) Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
(3) Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
a. aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri, beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
b. pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
c. Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.”
Kaitkan dengan yang dirinci dalam Pasal 123 UU PT:
(1) Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun rancangan Penggabungan.
(2) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan Penggabungan;
c. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
d. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila ada;
e. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
f. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
g. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
h. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
i. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
j. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan;
k. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
l. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
m. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
n. kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
o. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan.
(3) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing untuk mendapat persetujuan.
(4) Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini, perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal.”
Pasal 124 UU PT:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 mutatis mutandis berlaku bagi Perseroan yang akan meleburkan diri.”
Dari berbagai kaedah pasal-pasal diatas, kita menjadi mafhum, bahwa adalah merupakan masalah mudah, bagi pemegang saham mayoritas yang menguasai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengusulkan dan menyetujui Merger dengan badan hukum lain.
Untuk membungkam pemegang saham minoritas agar “tidak membuat ulah”, modus yang berkembang kemudian ialah pemegang saham mayoritas membentuk badan hukum Perseroan Terbatas baru, disuntikkan modal kedalamnya secara secukupnya dalam kalkulasi tertentu, lalu di-Merger dengan Perseroan Terbatas yang hendak dibungkam hak suara saham yang dimiliki pemegang saham minoritas.
Tujuannya, tidak lain agar proporsional jumlah saham pemegang saham minoritas, jatuh anjlok dan menukik turun hingga menjadi kurang dari 10% dari total saham perseroan. Sementara bila kepemilikan saham pemegang saham minoritas, dikhawatirkan pihak tersebut dapat “merong-rong” kekuasaan absolut pemegang saham mayoritas, sebagaimana tampak dalam ketentuan Pasal 138 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas:
(1) Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh:
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;
b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau
c. kejaksaan untuk kepentingan umum.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan setelah pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan tidak memberikan data atau keterangan tersebut.”
Penjelasan resmi Pasal 138 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas:
“Sebelum mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap Perseroan, pemohon telah meminta secara langsung kepada Perseroan mengenai data atau keterangan yang dibutuhkannya. Dalam hal Perseroan menolak atau tidak memperhatikan permintaan tersebut, ketentuan ini memberikan upaya yang dapat ditempuh oleh pemohon.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.