Mengapa Remunerasi Gagal Membendung Hasrat Korupsi? Ini Alasannya

ARTIKEL HUKUM
Kebutuhan manusia adalah terbatas sifatnya, namun keinginan seorang manusia tidak pernah memiliki batasan. Tidak pernah dapat terpuaskan, menjadi salah satu bentuk faktor kekotoran batin manusia, yang perlu diwaspadai dan dikendalikan oleh diri individu itu sendiri.
Pemerintah berasumsi, dengan meningkatkan gaji, tunjangan, hingga remunerasi aparaturnya, maka pelayanan publik akan menjadi optimal, dan kerugian negara tidak akan lagi terjadi. Mungkin, tidak tertutup kemungkinan, esok pemerintah akan menjanjikan gaji ke-15 bagi para pegawainya, yang tentunya dipungut dari uang pajak yang harus ditanggung oleh rakyat—terutama dalam tahun politik, dimana pemimpin incumbent / petahana akan memasuki masa Pemilihan Umum (Pemilu) berikutnya, dan berharap kembali terpilih oleh rakyatnya, didahului dengan menyenangkan hati sang rakyat dengan aksi “bagi-bagi ini” dan “bagi-bagi itu”.
Namun asumsi demikian, terbukti hanya sekadar menjadi asumsi. Siapa pun yang pernah bersentuhan dengan Aparatur Sipil Negera (ASN), pastilah pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan, mulai dari aksi “jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”, hingga aksi kolusi dan korupsi.
Tidak ada pegawai yang lebih mendapat hak-hak istimewa seperti Pegawai Negeri Sipil, mulai dari standar upah yang jelas, tidak mudah dipecat (tidak semudah PHK terhadap karyawan swasta), tidak ada kata resiko merugi, untuk meminta biaya pendidikan akan selalu dibiayai pemerintah, mendapat gaji ke-14, terjamin soal kepatuhan kepesertaan asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan, hingga berbagai keistimewaan lainnya.
Lantas, apa penyebabnya, petugas pajak yang mendapat gaji tinggi setiap bulannya, masih kolusi? Kurang terjamin apa, hidup mereka. Mulai dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Auditor Badan Pemeriksa Keuangan, Hakim maupun Petugas Pengadilan, Petugas Kantor Pertanahan, Petugas Pajak model Gayus, Pejabat Kantor Lelang Negara, dan berbagai Aparatur Sipil Negara lainnya, selalu saja terjerat masalah hukum akibat Korupsi maupun Kolusi—itu pun, yang tidak tertangkap dan tidak dihukum, jauh lebih banyak.
Demikian masifnya, siapapun sadar bahwa jika seluruh pelanggar tersebut ditangkap, diadili, dihukum, dan dijebloskan ke penjara, belum tentu berbagai Lembaga Pemasyarakatan yang dibangun lebih banyak 10 kali lipat, mampu menampung dan memuat seluruh petugas / pejabat korup demikian. Bisa jadi pula, petugas yang berkewajiban menangkap penjahat, adalah penjahatnya itu sendiri.
Sebenarnya, sederhana saja untuk memahami fenomena demikian dalam perspektif psikologi sosial, yakni karena bila dibandingkan dengan yang lebih besar dana hasil pemerasan ataupun uang suapnya, gajinya jadi tampak seolah menjadi lebih kecil.
Ssperti ketika kita bandingkan wanita tercantik 1 abad lampau, seperti Merylin Monroe, dengan wanita tercantik pada abad ke-21 ini, Monroe akan tampak seperti wanita yang buruk-rupa dan sama sekali tidak menarik. Wajahnya menjadi pasaran, bila menggunakan standar pada kekinian. Bila saja Monroe dapat bangkit dari liang kuburnya dan berpapasan dengan artis Korea abad ke-21, pastilah Monroe akan menjalani “operasi plastik”.
Setya Novanto bukan hanya terlibat pada kasus Mega-Korupsi E-KTP, namun juga berbagai proyek-proyek strategis negara lainnya. Kurang apa dari penghasilan seorang anggota DPR sekaligus Ketua DPR demikian? Dengan gaji-nya tersebut, untuk membeli dan memakan makanan apapun, akan dapat dipenuhi dengan mudah. Lantas, mengapa masih mencari sensasi dengan melakukan berbagai aksi korupsi dan kolusi? Sayangnya, Setya Novanto terjebak pada satu kesalahan paradigma yang telah menuntunnya pada lembah kehancuran, yakni: membandingkan kekayaan dirinya dengan Bill Gates!
Kepala Penjara Sukamiskin di Bandung, yang pada pertengahan tahun 2018 tertangkap oleh pihak berwajib karena melakukan kolusi, penyalah-gunaan kekuasaannya terhadap aksi suap para narapidana kelas kakap yang meminta keistimewaan fasilitas dalam Lapas (lembaga pemasyarakatan), dengan gaji-nya saja sudah cukup untuk membeli lusinan mobil mewah. Mengapa masih merendahkan harkat dan martabat dengan uang kotor demikian? Siapa suruh, membandingkan dirinya dengan Larry Page sang pendiri Google?
Mengapa uang kotor, demikian menggiurkan bagi mereka yang sebenarnya hidupnya telah terjamin sebagai Pegawai Negeri Sipil? Simak pemberitaan berbagai Napi di Lapas khusus nark0tika, berdasarkan laporan otoritas BNN, 80 % peredaran obat terlarang yang masuk ke Indonesia, dikendalikan oleh para narapidana (Napi) dari dalam Lapas. Itulah bukti konkret, betapa petugas / sipir di Lapas, tergiur dan senak menikmati “disuapi” uang kotor hasil “pembunuhan massal” akibat obat bius terlarang yang dijual dan dipasok para bandar obat-obatan terlarang demikian.
Siapa yang tidak kenal Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, ataupun OC Kaligis. Masing-masing dari mereka tidak lagi muda umurnya, dan dapat mengakhiri karir mereka dengan catatan bersih yang gemilang, dan hidup yang terjamin makmur berkecukupan, dan tercatat dalam catatan sejarah yang membanggakan—jika saja mereka mau. Pendapatan besar terjamin, kedudukan / pangkat / kekuasaan telah mereka miliki, ketenaran telah berada dalam genggaman tangan, namun masih juga belum cukup bagi mereka. Salah sendiri, siapa suruh membandingkan diri mereka dengan Sudono Salim?
Akil Mochtar menjabat sebagai seorang Ketua Mahkamah Konstitusi RI saat tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memiliki gelar akademis Doktor dibidang hukum. Namun semua itu ternyata belum juga cukup bagi seorang Akil Mochtar yang sejatinya hanya punya sebuah lubang mulut untuk mengunyah dan menelan serta perut yang terbatas daya tampungnya, namun rekening pribadinya seakan tidak pernah penuh-penuh, sebanyak apapun isi dananya. Penulis menyebutnya sebagai: Fenomena “mental miskin”.
Patrialis Akbar, lebih canggih lagi rekam jejaknya, sempat menjadi politisi yang dekat dengan presiden RI yang kala itu menjabat, dianak-emaskan oleh sang presiden sehingga menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM, lalu diangkat sebagai salah satu anggota Hakim Mahkamah Konstitusi RI. Namun belum beberapa lama menjabat sebagai Hakim Konstitusi, ditangkap pihak berwajib, karena telah menistakan martabatnya sendiri dengan menjadi calo, alias makelar kasus putusan MK RI.
Siapa juga yang tidak kenal advokat senior, Otto Cornelis Kaligis (lebih sering disebut sebagai OC Kaligis), yang merupakan seorang Professor Hukum, gelar akademik segudang, kantor hukum yang megah dan terbesar di Indonesia, dosen di berbagai perguruan tinggi hukum, di-“elu-elu”-kan berbagai Sarjana Hukum, menjadi pembicara dalam berbagai seminar, penulis berbagai buku, memiliki nama besar yang tidak dimiliki kebanyakan profesi hukum, kekayaan yang tidak akan habis “tujuh turunan”, hingga faktor umur yang semestinya “semakin tua semakin arif”, ternyata tertangkap oleh KPK karena kasus penyuapan kalangan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Sumatera Utara.
Begitupula berbagai Kepala Daerah, dapat terpilih oleh rakyat di daerah, menjabat kedudukan yang demikian hebat, dapat mengendalikan kebijakan layaknya “raja di negara dalam negara” (akibat desentralisasi “kebablasan” yang terjadi di Indonesia saat kini), dapat membuat berbagai Peraturan Daerah sesuka hati, memiliki banyak bawahan yang siap patuh pada setiap ucapan dan perintahnya, namun juga merasa belum cukup.
Ketika kita menginginkan lebih, maka terhadap apa yang telah kita miliki, tidak akan pernah ada kata “cukup”. Selalu ada “wanita lebih cantik untuk dijadikan istri berikutnya”, selalu ada “mobil dan gadget yang lebih canggih untuk menggantikan gadget lama”, selalu ada “orang kaya yang lebih kaya untuk disaingi dan dilampaui”, dan selalu ada “lapisan langit yang lebih tinggi untuk diraih”. Apakah dosa, menjadi yang nomor dua, atau bahkan nomor ke sekian?
Orang yang bijaksana, selalu membumi, oleh karenanya kebahagiaan tidak ditentukan dari faktor apa yang kita inginkan, bahkan jika perlu tidak mengikuti dan tidak menuruti keinginan kita sendiri, namun senantiasa berpedoman pada disiplin diri. Makan tidak makan sesuai kehendak hati, tidur pun tidak baru tidur dan bangun sesuai keinginan. Namun semua itu dilakoni dengan penuh sikap tanggung-jawab, dan disiplin diri dalam suatu komitmen pribadi.
Keinginan tidak akan pernah kurang, namun komitmen perlu ditumbuhkan, dipupuk, dan senantiasa dirawat setiap saat. Janganlah pernah kita membanding-bandingkan. Keluarga orang lain lebih kaya raya, bisa berjalan-jalan ke luar negeri setiap bulannya, sementara kita sendiri serasa “terpenjara” dalam kemiskinan di dalam rumah. Membanding-bandingkan demikian hanya akan menjadi bumerang bagi karakter dan mental diri kita sendiri.
Mengapa juga kita bisa merasa bosan cukup dengan bersama diri kita sendiri? Untuk merasakan kebahagiaan, tidak harus mahal, cukup duduk bermeditasi—kita hanya perlu meluangkan waktu sejenak, dan jangan katakan engkau tidak punya waktu, sementara engkau tidak akan berpikir dua kali untuk bermain gadget yang tidak produktif.
Mengapa juga harus orang lain diluar sana (faktor eskternal) yang menjadi peletak standar hidup kita? Ada orang yang sudah cantik dari sejak lahirnya, namun ketika dirinya menjumpai gadis lain yang lebih cantik jelita dan lebih “langsing”, jadilah dirinya terobsesi, dan bahkan mulai merasa sebagai “buruk rupa” dan membenci dirinya sendiri—kalau perlu menyalahkan sang bunda yang mengandung.
Kita tidak bisa bersikap terlampau tamak. Kita hanya memiliki dua buah tangan. Kita tidak dapat “ingin” meraih semuanya. Ketika kita sedang “menanjak”, maka peganglah erat-erat pada tangga tempat kita menapak dan memanjat, dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian. Jangan coba mengulur hal-hal lain atau bahkan sekadar memetik dahan dan ranting-ranting yang tidak perlu. Menyibukkan diri pada apa yang hanya sekadar dahan dan ranting-ranting, demikian puisi Zen menguraikan.
Bila kita mendefinisikan tujuan hidup kita sebagai harus punya belasan istri, memiliki puluhan mobil mewah, memiliki ratusan aset properti, memiliki jutaan anak buah dan pengikut partai politik, memiliki tabungan sebesar miliaran Rupiah, menjadi presiden terpilih untuk ke-10 kalinya, sama artinya kita telah menutup pintu kebahagiaan diri kita sendiri. Kebahagiaan, sebaliknya, tidak mengenal syarat apapun. Cukup memiliki keinginan yang terbatas, disitulah kebahagiaan terletak.
Pada akhirnya mereka semua tunduk pada dewa kematian pencabut nyawa, apapun pangkat sosial-ekonomi mereka, tanpa dapat ditawar-tawar. Lahir tanpa menyandang pakaian, mati pun tidak membawa apapun selain karma perbuatan semasa hidup, sebagai modal atau hutang bagi kehidupan selanjutnya. Hidup sebagai anak manusia, hanya temporer sifatnya. Menikmati untuk sesaat, atau menderita untuk sesaat lamanya. Bagai sekejap mata. Untuk apa kita mencelakai diri kita sendiri, dengan perbuatan-perbuatan bodoh yang tidak bermakna demikian?
Apakah kita tidak merasa malu, ketika kita menyimak kisah hidup Pangeran Sidharta Gaotama yang bahkan memilih untuk melepaskan tahta dan kekayaan kerajaan, demi menjadi seorang pertapa yang hanya memiliki sehelai jubah usang bekas kain kafan pembungkus mayat, dan hanya makan satu kali sehari?
Yang disebut dengan keren itu, tidak harus berpakaian mewah dan mahal. Yang disebut dengan kegembiraan itu, tidak harus glamor. Musik yang paling indah, ialah keheningan. Beranikah Anda? Sanggupkan Anda? Menjadi kaya raya, semua orang pasti sanggup. Namun untuk mengendalikan dan menaklukkan diri kita sendiri, hanya segelintir orang-orang pilihan yang sanggup dan mau melakoninya. Semua pilihan, ada di tangan kita sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.