Istri dan Anak Koruptor Turut Menikmati Uang Korupsi, Wajibkah Turut Dipidana?

ARTIKEL HUKUM
Sempat berkembang wacana, agar istri dan anak-anak dari terpidana tindak pidana korupsi, ikut divonis pidana penjara bersama sang koruptor, karena turut menikmati uang hasil korupsi. Ada juga pendapat yang berkembang, bahwa seorang suami / kepala keluarga, sampai jatuh dan terlibat dalam aksi korupsi, ialah akibat desakan gaya hidup hedonistis sang istri dan banyak tuntutan dari sang anak. Orang dulu mengatakan, banyak anak maka banyak rezeki. Mungkin benar, mungkin juga tidak.
Pendapat demikian, hanya benar untuk beberapa kasus, namun sangatlah gegabah jika di-generalisir. Pernah terdapat seorang pejabat yang berasal dari kalangan akademisi, kemudian tertangkap-tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena melakukan aksi kolusi dan korupsi. Banyak kalangan publik menyayangkan ulah sang pelaku, karena saat berkecimpung dalam dunia akademik di perguruan tinggi sebagai dosen, karirnya cukup gemilang dan bersih rekam-jejak karirnya sebagai akademisi, namun menjadi rusak saat memasuki dunia jabatan birokratisasi pemerintahan yang memegang tampuk kekuasaan.
Hipotesanya, jika dahulu sang pelaku saat masih berprofesi sebagai seorang dosen, dapat hidup baik dan makmur bersama keluarganya, maka artinya memang tidak ada desakan dari sang istri untuk melakukan aksi korup. Analisas yang paling memadai, kembali pada postulat oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely”.
Kekuasaan selalu menggiurkan untuk disalahgunakan, godaannya demikian memukau dan membuat efek candu bagi pelakunya. Kemalangan paling utama dari Setya Novanto, bukanlah karena tertangkap-tangan oleh KPK dan dijebloskan ke penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan, namun karena “kutukan” kekuasaan.
Jika kita baca catatan sejarah, salah satunya yang direkam oleh aktivis Alm. Soe Hoek Gie, idealisme seseorang dikatakan sebagai “lekas luntur” saat pelakunya duduk pada kursi kekuasaan yang demikian “empuk”. Yang semula merupakan mahasiswa penuh idealisme yang bahu-membahu menumbangkan rezim Orde Lama, banyak diantara sesama mantan kawan mahasiswa Soe Hoek Gie, kemudian menjadi pejabat-pejabat para era rezim Orde Baru yang berkuasa. Apa yang kemudian terjadi? Idealisme dicampakkan seperti sampah ke tong sampah. Pragmatisme, itulah yang kemudian menjadi disembah oleh mereka yang telah terjerat oleh kekuasaan yang memabukkan.
Baiklah, mari kita berandai-andai, “andaikan” bahwa siapa pun yang turut menikmati uang hasil korupsi, wajib dipidana penjara bersama pelaku utama yang melakukan aksi korupsi. Siapa saja, yang pertama-tama akan terkena turut serta atau terseret sebagai pesakitan bersama narapidana korupsi utama? Tidak lain ialah istri maupun anak-anak dari keluarga sang koruptor.
Namun, apakah adil bila kita hanya berhenti pada lingkup rumah-tangga? Tentu tidak, kita harus juga menyasar dan meluaskan cakupan pada berbagai tempat ibadah yang mendapat donasi dari sang koruptor. Artinya, tempat ibadah itu juga turut menikmati uang kotor hasil korupsi sang koruptor ketika menjadi donatur dan memberikan donasi pada rumah ibadah bersangkutan. Efek berantainya, seluruh umat yang berkegiatan di rumah ibadah tersebut, juga harus dijerat oleh hukum, karena secara tidak langsung telah turut menikmati uang hasil kejahatan korupsi.
Tidak terkecuali Partai Politik (Parpol), yang telah mengusung sang pelaku sebagai pejabat. Tidak ada makan siang” tanpa bayaran, semua ada mahar politiknya. Dari manakah, sumber dana mahar tersebut? Silahkan Anda jawab sendiri. Sang pimpinan Parpol, sebetulnya sadar bahwa gaji seorang anggota legislatif maupun kepala daerah, hampir tidak sebanding dengan mahar yang disetor oleh yang bersangkutan kepada Parpol pengusungnya. Namun siapa perduli? (kata si pimpinan Parpol.)
Siapa lagi, pihak-pihak yang selanjutnya akan kita sasar sebagai target kriminalisasi, dengan mengatas-namakan turut menikmati uang hasil korupsi? Sebelum kita terlampau jauh menarik benang merah, terlebih dahulu perlu kita klasifikasi pihak-pihak yang “turut serta menikmati uang hasil korupsi”.
Kini, diera Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kian getol mengendus modus-modus “pencucian uang” (money laundring) dana hasil tindak pidana korupsi, berbagai kalangan mulai menutup diri dari dana nasabah yang ternyata memiliki profil sang nasabah dan kekayaan yang tidak sederajat. Tidak mau turut menikmati, sehingga tidak terseret bersama sang pelaku kejahatan.
Sejatinya terdapat dua kriteria besar “pihak-pihak yang turut menikmati uang hasil korupsi”. Sebagai parameter, ilustrasi berikut dapat menjadi gambaran yang memperjelas dan diharapkan mampu menjernihkan pokok permasalahan. Ada pihak-pihak, yang tidak tahu bila seseorang adalah seorang koruptor, dimana kekayaan yang dimiliki dan dihimpun olehnya, adalah bersumber dari uang hasil kejahatan korupsi, namun demikian tetap saja ia turut menikmatinya (perhatikan unsur niat batin / mens rea dari pihak-pihak yang tetap saja turut menikmatinya tersebut).
Kriteria kedua, ialah orang-orang tidak mengetahui bahwa seseorang menghimpun kekayaan dengan cara korupsi, namun menikmatinya tanpa mengetahui bahwa kekayaan yang turut nikmatinya didapat oleh pelaku dari hasil kejahatan korupsi. Tiada pidana tanpa kesalahan (lalai pun tidak), geen straf zonder schuld, demikian istilah “beken” dalam terminologi pidana.
Berangkat dari perspektif demikian, maka kita tidaklah bijak bila “memukul rata” setiap latar belakang keluarga / rumah-tangga dari pelaku tindak pidana korupsi (koruptor). Hanya saja, bila seorang Pegawai Negeri Sipil golongan rendah dan masih eselon kelas bawah, namun dapat membeli kendaraan dan rumah mewah, maka sang istri pastilah (atau setidaknya patut) menaruh curiga.
Namun bila sang istri telah menaruh curiga, akan tetapi kemudian berdiam diri dan turut menikmati manisnya uang kotor yang diberikan sang suami, mungkin saja benar bahwa sang istri dengan demikian turut melakukan aksi “korupsi”. Namun apakah artinya, akan sama konsekuensinya, bila sang pelaku ternyata terdorong melakukan aksi ilegal seperti korupsi, akibat desakan dan dorongan bermotif ekonomi oleh sang istri yang ingin hidup berfoya-foya?
Dalam artikel ini, kita tidak sedang berupaya untuk membohongi ataupun membodohi diri kita sendiri, karena tidak akan ada yang tahu dengan isi pendapat dan pikiran kita ketika Anda sedang membaca ulasan dalam artikel ini. Anggap saja tulisan ini, Anda sedang bercerita kepada diri Anda sendiri, sehingga kita perlu bicara dan menjawabnya sejujur mungkin, bukan bagi penulis, bukan bagi orang lain, namun bagi Anda sendiri. Terlagi pula, untuk apa juga, kita berbohong pada nurani kita sendiri?
Berlanjut pada dialektik tahap kedua, ialah sebuah pertanyaan introspektif berikut: Apakah ada, seorang koruptor yang melakukan korupsi, untuk dinikmati seorang diri, tanpa membagi kenikmatannya kepada keluarga dan orang-orang terdekat, pengikut, anggota partai politik, ataupun kepada penguasa yang sedang menjabat dalam bentuk “mahar politik”?
Sebetulnya dari pertanyaan itu saja, kita sudah bisa menarik suatu kesimpulan empirik serta benang-merah yang kita cari sejak semula dari artikel ini. Dari pertanyaan sederhana diatas, kita mulai memahami, bahwa akan ada banyak sekali pihak-pihak yang terseret sebagai konsekuensi logisnya. Namun mari kita batasi telaah kita hanya sebatas lingkup rumah-tangga, agar tetap fokus para jalur sesuai judul artikel ini.
Seorang suami yang melakukan korupsi, hampir dapat dipastikan memiliki keluarga inti yang berjumlah antara lain berupa istri dan anak, atau bila juga ada pembantu rumah tangga (yang disebut terakhir hampir dapat dipastikan tidak banyak turut menikmati uang hasil korupsi sang majikan, selain hanya masakan yang mewah untuk turut dinikmati ke dalam perut sang pembantu, itu pun mungkin hanya berupa remah sisa-sisa. Siapa juga yang sudi memakan makanan sisa, semewah apapun itu?).
Maka apakah mungkin, seorang suami yang melakukan aksi korupsi, hanya memberi uang belanja kepada istri dan uang jajan bagi anak-anaknya, sebatas kemampuan dirinya dari kantung saku hasil gaji pekerjaan resminya? (jika memang seperti itu adanya, untuk apa lagi korupsi?) Ataukah justru, “rembesan-rembesan” uang hasil korupsi tersebut, turut merasuki dan memasuki kehidupan rumah-tangga yang bersangkutan?
Sebagai istri, ketika disadarinya ada kejanggalan antara pendapatan resmi dan pengeluaran rumah-tangga mereka (lebih besar pasak daripada tiang), namun tidak juga menegur sang suami agar kembali pada pola atau gaya hidup semula yang disesuaikan dengan besaran anggaran pendapatan gaji resminya, maka apakah keterlibatan demikian, tidak dapat dihitung sebagai andil pidana “turut serta”, atau setidaknya “diam-diam” menyetujui perilaku sang suami agar tetap melakukan aksi korupsi? (yang disebutkan terakhir tersebut, kemungkinan besar disinyalir benar-benar terjadi seperti dugaan banyak pihak.)
Dalam rezim hukum tindak pidana korupsi, bukan hanya dikenal terminologi hukum “turut serta melakukan” sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun juga mereka yang “turut serta menikmati” uang hasil kejahatan korupsi. Dengan demikian, kesalahan dalam rezim Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, dapat berupa kesalahan karena turut-serta “melakukan”, dan pidana karena turut-serta “menikmati” uang hasil kejahatan korupsi.
Sebagai istri dan anak yang baik, seyogianya / seharusnya mereka menolak menikmati barang-barang atau jasa yang diberikan oleh sang suami / ayah, sepanjang itu melampaui batas kewajaran gaji resmi sang suami / ayah. Sebagai contoh, ketika sang istri menyadari bahwa sang suami tidak akan mampu membelikan perhiasan dan gadget canggih dengan gaji resminya, maka seharusnya sang istri menolak pemberian sang suami, bukan justru “diam-diam” menyetujui dan turut menikmatinya—itu namanya “malu-malu mau”.
Kesimpulannya, semua bergantung pada proses pembuktian di pengadilan. Ketika Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menanyakan saksi berupa istri dan anak-anak dari sang koruptor saat mereka dihadirkan ke persidangan guna dimintai keterangan, dan terdapat indikasi bahwa mereka secara sengaja patut mengetahui dan turut menikmati hasil kejahatan ilegal sang suami / ayah, maka adalah benar suatu anasir bahwa mereka yang turut menikmati, terutama dalam lingkup rumah-tangga sang pelaku, juga dapat turut diseret sebagai “pesakitan”.
Istri dan anak yang baik, akan menegur perilaku sang suami / ayah, dengan cukup melakukan aksi “embargo” terhadap berbagai pemberian barang ataupun fasilitas yang diberikan oleh sang suami / ayah yang terindikasi memiliki affair berupa perilaku korup dalam lingkup profesinya. Semua manusia berakal sehat menyadari, uang hasil korupsi sejatinya merampok nasi dari piring rakyat jelata, dan itu bukan hak anggota keluarga sang koruptor untuk mereka makan.
Tidaklah etis, menikmati sesuatu diatas penderitaan rakyat. Polemik demikian, tidaklah sukar dipahami ketika konteksnya ialah hakim pemeriksa perkara yang menentukan bersalah turut menikmati atau tidaknya, bukan sebentuk norma pasal peraturan perundang-undangan yang secara membuta menyatakan bahwa anggota keluarga koruptor “harus”, atau sebaliknya, “tidak boleh” turut diseret sebagai terpidana korupsi bersama sang suami / ayah. Fakta empirik baru akan terkuak saat proses pembuktian di persidangan. Undang-undang tidak boleh berasumsi terlampau jauh.
Namun, akan menjadi tidak adil, bila anggota keluarga sang koruptor turut dipidana, namun pihak pengacara / penasehat hukum dari sang koruptor, tidak turut dipidana. Mengapa? Kita jangan lupa, dari manakah asal lawyering fee dari sang pelaku terhadap jasa sang pengacara? Bahkan ada pula success fee bagi sang pengacara.
Sebagaimana kita ketahui, tidak ada pengacara koruptor yang mematok tarif dibawah seratus juta Rupiah di Indonesia, untuk menjadi pengacara tersangka / terdakwa korupsi. Mereka sadar, setiap terdakwa yang telah didakwa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat dipastikan didakwa dengan alat-alat bukti yang sangat memadai (bahkan sering kali lebih dari cukup. Untuk perkara Setya Novanto, KPK punya ribuan alat bukti terkait), sehingga tidak cocok diberlakukan asas “presumption of innocent” dalam hal ini. Asumsi tidak bersalah, hanya cocok dalam konteks tindak pidana umum.
Kita juga memahami dengan baik, bahwa selama ini kalangan advokat di Tanah Air mendalilkan, bahwa mereka tidak bermaksud membela para koruptor agar dibebaskan dari kejahatannya, namun sebatas membela hak-hak sang koruptor yang menjadi klien mereka. Artinya, SANG PENGACARA SADAR DAN TAHU BAHWA KLIENNYA TELAH KORUPSI, NAMUN TETAP SAJA BERSEDIA MEMAKANAN MAKANAN DARI FEE UANG HASIL KORUPSI SANG KLIEN? (Silahkan bantah, itu pun bila Anda mampu.)
Maka, bukankah itu artinya, keterlibatan sang pengacara koruptor, demikian dekatnya dengan ikut andil dan turut-serta dalam “menikmati” uang kotor hasil korupsi sang klien? Kode Etik Profesi Advokat di Indonesia, demikian tebal isi butir-butir pasalnya, namun terbukti minim esensi. Dapat kita lihat sendiri “panggung” drama kalangan advokat di Tanah Air, saling berebut kekuasaan tanpa ada habisnya.
Bila kita menunjuk hidup anggota keluarga koruptor untuk turut dijerat karena mereka turut “menikmati”, maka mengapa kalangan pengacara koruptor tidak juga dijerat, meski jelas-jelas mereka sengaja “menikmati” uang kotor hasil korupsi sang klien? (Kurang jelas bagaimana lagi? Kurang jelas di bagian mana lagi?)
Seperti telah diperingatkan oleh penulis pada awal bahasan kita, tidak ada yang perlu kita tutupi disini, sehingga tidak perlu bersifat defensif. Cukup baca dan jawab secara jujur, untuk diri Anda sendiri. Anda tidak perlu harus berceloteh kesana-kemari, bahwa pengacara koruptor adalah korup, atau sebaliknya. Anda sendiri tahu apa yang tersirat dalam benak Anda sendiri, dan tidak ada orang yang butuh komentar Anda sebab mereka berhak berkomentar untuk diri mereka sendiri.
Cukup Anda sadari, akui, dan tumbuhkan idealisme dalam jiwa / batin diri kita sendiri. Atau setidaknya, cukup menjadi rakyat yang baik dengan tidak melakukan aksi korupsi. Selesai sudah polemik ini. Tidak ada yang perlu diperdebatkan. Selebihnya, itu bukan urusan kita. Dewa Neraka akan tahu lebih pasti, salah atau tidaknya turut menikmati uang “hasil kejahatan merampok rakyat” demikian.
Mendebatkan apa yang sudah jelas, itu membuang-buang waktu namanya, seolah tidak ada hal lain yang lebih produktif untuk dikerjakan. Masih banyak “pekerjaan rumah” kita dibidang hukum, hendaknya tidak tersandera dalam wacana tidak bermanfaat, yang sama sekali tiak berbobot, yang tidak akan membawa kita maju kearah manapun. Baik juga “berjalan ditempat”, sepanjang tidak berjalan mundur. Hukum itu murni, namun tidaklah naif.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.