Dampak Transfer Pricing bagi Perekonomian Nasional, Pemiskinan Bangsa oleh Investor Asing

ARTIKEL HUKUM
Kebijakan pemerintah untuk mengundang investor asing menjadi pemodal dan mengolah (baca: “mengeruk”) sumber daya di Indonesia, dengan bahasa kemasan “berinvestasi”, tampaknya harus dibayar mahal karena dampaknya kontra-produktif terhadap maksud dan tujuan utama mengundang investor asing untuk masuk ke Tanah Air, yang semula dilandasi asumsi bahwa investor asing mampu membantu mendongkrak perputaran roda ekonomi rakyat lokal.
Namun asumsi hanyalah sebuah asumsi, dimana tampaknya otoritas penyusun kebijakan di Indonesia tidak mau belajar dari pengalaman pahit yang telah ada selama ini. Selama hampir satu abad Indonesia merdeka, sudah tidak terhitung lagi banyaknya investor asing yang menanamkan kakinya di Indonesia hingga menguasai sendi ekonomi dan produksi di Indonesia, dimana Bangsa Indonesia hanya didudukkan sebagai faktor konsumsi (konsumen) serta penonton atau buruh belaka.
Ketika keran “importasi” pemodal dan investor asing dibuka dengan kebijakan pintu yang dibuka selebar-lebarnya, bahkan terkesan “obral diri”, menjadi mengherankan melihat fakta bahwa tingkat perekonomian Indonesia tidak pernah beranjak lebih baik. Saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru, level nilai tukar mata uang valuta asing Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah, menembus level Rp. 15.000 untuk 1 US Dollar, dari semula Rp. 3.000;-.
Kini, setelah era reformasi dimana kebijakan pemerintah ialah “pintu terbuka selebar-lebarnya” bagi investor asing untuk masuk dan mencengkeram erat sumber daya tenaga, sumber daya energi, serta sumber daya alam di Indonesia, ditambah rezim yang minimalisasi perihal legalitas dan perizinan yang dipercepatan dengan percepatan berkecepatan penuh, justru hasilnya ialah kurs valas kembali menembus level angka psikologi yang kembali menyerupai masa krisis moneter pada tahun 1998, yakni bertahan pada angka kisaran level Rp. 15.000 untuk 1 US$, dan tren-nya ialah terus merangkak menuju pelemahan Rupiah yang mengkhawatirkan.
Tidak ada yang salah dari importasi yang timpang dengan eksportasi. Sebuah negara tidak akan kolaps hanya karena alasan importasi yang lebih besar daripada nilai ekspor, sepanjang importasi untuk tujuan barang modal atau faktor produksi. Jika importasi ialah perihal produk konsumsi, itu juga tidak merugikan suatu negara, karena rakyatnya akan menikmati produk dengan harga yang murah dan kualitas yang lebih bermutu.
Lantas, dimanakah letak kesalahan para penyusun dan pengambil kebijakan di negeri ini? Terdapat beberapa anasir yang kemudian mengantarkan penulis pada sebuah kesimpulan yang cukup mengejutkan, sebagai berikut: 1) Selama belasan bahkan puluhan tahun perusahaan PMA (penanam modal asing) di Indonesia melaporkan mengalami “kerugian” dalam pembukuan keuangannya, sehingga sangat minim dalam hal pembayaran pajak kepada kas negara Indonesia tempat PT. PMA tersebut berproduksi, beroperasi, serta menjual produk; 2) Selama belasan tahun mengaku “merugi”, namun tetap senang beroperasi di Indonesia, bahkan beranak-pinak lewat berbagai anak usahanya yang menjamur ke seluruh pelosok di Tanah Air; 3) Selama belasan tahun tersebut PT. PMA demikian terus berproduksi dan menjual barang / jasa, dengan kuantitas yang sangat besar, dan tidak ada kecenderungan untuk mengurangi produksi.
Dari ketiga anasir diatas, sejatinya kita telah dapat mendeteksi adanya indikasi “permainan” konsep keuangan. Apakah itu? Dapatkah pembaca menerkanya? Setelah penulis telusuri dan investigasi secara mendalam, ketiga anasir diatas menjadi variabel dari suatu praktik curang “tidak sehat” yang berupaya “menyelundupkan” ekonomi suatu subjek wajib pajak, yakni menghisap kekayaan ekonomi dari dalam negeri Indonesia, dari lokal tempatnya beroperasi, menuju keluar negeri, yang lebih dikenal dengan istilah pajak sebagai “cross border transfer pricing”.
Yang disebut dengan “transfer pricing”, sederhananya dapat dimaknai definisi tidak langsung, sebagai berikut: Bagaimana caranya, agar segala pendapatan dari perusahaan asing yang ada di Indonesia, dapat dialihkan kekayaan dari pendapatannya di Indonesia tersebut, ke entitas usahanya di negara lain yang menjadi negara “tax heaven”? Tidak lain tidak bukan, ialah menjadikan perusahaan asing di Indonesia mencetak kerugian yang “sengaja dirancang” untuk merugi, karena harus membayar segala sesuatu dari perusahaan di negara lain yang merupakan afiliasi atau “sister company” dari induk perusahaan asing di luar negeri, seolah membeli bahan baku atau menyewa faktor produksi dari “sister company” bersangkutan.
Dengan kata lain, keuntungan yang didapat dari kegiatannya di Indonesia, oleh PT. PMA dialihkan seolah sebagai dana untuk membayar kewajibannya kepada suatu perusahaan asing di luar negeri, yang tidak lain bermaksud untuk membuat rugi (by design) PT. PMA di Indonesia, sehingga beban pajak yang menjadi kewajiban wajib pajak badan hukum di Indonesia menjadi minim, atau bila perlu membayar pajak “Rp. O” (NOL Rupiah), karena pembukuannya mencetak defisit dan kerugian demi berbagai kerugian. Penulis menyebutnya sebagai: gemuk, namun menjerit kelaparan.
Terminologi “transfer pricing” lebih dikenal juga dengan istilah “profit shifting”, yang dapat memberi gambaran secara lebih mudah dipahami oleh orang-orang yang awam dibidang perpajakan. “Profit” artinya keuntungan, berarti ada keuntungan yang dicetak selama beroperasi di Tanah Air. Namun kemudian dilakukan aksi manuver bernama “shifting”, yang artinya dialihkan atau dipindahkan.
Ketika frasa “profit” dan “shifting” kita padukan menjadi satu kesatuan makna, maka yang akan kita dapatkan ialah pemahaman bahwa: segala keuntungan yang diperoleh selama beroperasi di suatu negara, akan dialihkan secara halus tanpa terlacak, ke negara lain yang lebih rendah kewajiban pembayaran pajaknya, dengan cara menguntungkan anak usaha yang berdiri di negara “tax heaven”, sementara itu membiarkan perusahaan di negara Indonesia terus-menerus melaporkan diri “mencetak kerugian”.
Penghisapan kekayaan ekonomi, atau eksploitasi kekuatan ekonomi, yang menjadi modus “transfer pricing” demikian menyerupai aksi Negara Singapura yang mengambil pasir dari pulau Batam (Indonesia), untuk meluaskan wilayah perairan pesisir Singapura. Hanya saja, praktik “transfer pricing” lebih licin dan lebih sukar terlacak oleh otoritas negara lokal. Mengapa dapat terjadi demikian?
Tidak ada perusahaan asing, yang begitu “bodohnya” tidak melakukan praktik curang “transfer pricing”. Mereka bukanlah Sinterklas yang bermaksud untuk menolong ekonomi dan rakyat Bangsa Indonesia. Mereka selalu memiliki motif tersembunyi, alias agenda tersembunyi. Praktik, sumbangan terbesar APBN bukanlah dari pajak badan hukum demikian, namun dari pajak penghasilan kalangan buruh.
Pernahkah kita sadari, mengapa negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, maupun Korea, Hongkong, dan China begitu kuat ekonominya? Karena tidak lain mereka menghisap kekayaan negara-negara lain lewat praktik “transfer pricing” dengan mendorong para pengusaha mereka agar bereskpansi di negara-negara lain seperti Indonesia, untuk dikeruk kekayaan ekonominya.
Contoh berikut dapat menjadi ilustrasi, dan benar-benar pernah terjadi sebagaimana hasil investigasi penulis secara pribadi beberapa waktu silam. Sebuah PT. PMA di Indonesia yang bergerak dibidang usaha layanan online jasa pemasangan iklan lowongan kerja, dimana pemberi kerja di Indonesia dapat memasang iklan lowongan kerja maupun bagi calon pencari kerja untuk men-submit lamaran kerjanya secara online.
Dalam laporan neraca keuangan tahunan PT. PMA bersangkutan, penulis mendapati nilai total pendapatan yang luar biasa besar untuk ukuran jasa pemasangan iklan lowongan kerja via daring demikian. Namun kejanggalan baru kita jumpai, ketika PT. PMA bersangkutan pada bagian penutup laporan keuangannya, menyatakan “MERUGI”.
Selidik punya selidik, ternyata faktor utama penyebab kerugian ialah bersumber dari satu jenis anggaran yang dikerahkan untuk “menyewa” server pada anak usaha lain (sister company) milik kantor pusat PT. PMA bersangkutan yang berlokasi di luar negeri. Server dimaksud berlokasi di Hongkong, yang tidak lain memiliki beban kewajiban pajak lebih rendah daripada ketentuan hukum perpajakan di Indonesia.
Bisa juga perusahaan lain di luar negeri tersebut berupa “shell company”, yang didirikan hanya untuk menampung hasil keuntungan dari pendapatan yang dialihkan kepada “shell company” bersangkutan, seperti yang banyak perusahaan “cangkang tanpa operasional / hanya formalitas” didirikan di negara “surga pajak” seperti di Panama.
Dengan kata lain, masuk dan mencengkeram kuatnya para pemodal asing di Tanah Air, tidak akan pernah membuat perekonomian Indonesia dapat bertambah maju. Asumsi demikian adalah asumsi fatal yang tidak pernah terbukti benar adanya, dan justru selalu membuktikan dampak yang sebaliknya.
Sama fatalnya dengan asumsi bahwa masuknya produsen asing untuk berproduksi di Indonesia, akan terjadi suatu “transfer teknologi”. Tidak ada pemodal asing yang demikian ‘berbaik hati’ untuk sudi membagi ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mereka kepada masyarakat lokal. Sumber daya manusia Indonesia hanya dijadikan faktor produksi sebatas buruh, tenaga kasar. Selama puluhan tahun produsen kendaraan bermotor asing beroperasi dan berproduksi di Indonesia, namun hingga kini tidak ada satupun anak bangsa lokal yang mampu menciptakan produk serupa yang mampu bersaing dalam hal kecanggihan teknologi setaraf.
Memang praktik “transfer pricing” juga dapat dilakukan oleh pengusaha lokal, namun sifat “cross border transfer pricing” tetap lebih merusak perekonomian nasional, akibat pengerahan kekayaan ekonomi dari dalam Indonesia ke luar teritori Indonesia, secara tersistematis dan secara berkala. Ibarat dihisap lintah secara perlahan, perlahan namun pasti akan habis darah dari inangnya. “Transfer pricing” oleh pengusaha lokal tidak terlampau membawa pengaruh terhadap perekonomian makro, dikarenakan kekayaan ekonomi tetap berputar dalam wilayah teritori Indonesia.
Oleh karenanya, setiap penyidik terutama auditor dari Kantor Pajak, selain memeriksa kebenaran laporan keuangan setiap wajib pajak badan hukum PMA, tidak hanya memeriksa kebenaran isi laporan, namun apakah terdapat indikasi dilakukan praktik “transfer pricing. Adalah langka, terdapat pengusaha asing maupun pengusaha lokal, yang sangat menjunjung kode etik berusaha—setidaknya dari pengamatan pribadi penulis.
Sebuah PT. PMA dapat saja membuat pembukuan keuangan yang benar isinya, lengkap dengan segala “kerugiannya”, namun tidak tertutup kemungkinan mengandung praktik “merugi” yang telah di-design sedemikian rupa, sehingga tagihan pajak menjadi sangat minim.
Seakan menjadi polemik tidak berkesudahan, apakah praktik peradilan di Indonesia masih belum memahami efek berantai dari pratkik “transfer pricing”? Adalah percuma, bila penyidik perpajakan berhasil “mengendus” praktik kecurangan demikian, namun bilamana hakim Pengadilan Pajak masih belum juga menyadari dampak fatal dari praktik demikian, atau bahkan tidak terlampau memahami “hewan” bernama “transfer pricing”, terutama bila wajib pajak melakukan gugatan banding ke Pengadilan Pajak.
Pada tahun 2014, Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan gugatan pihak Pengusaha, sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-50440/PP/M.VA/16/2014, dimana yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap koreksi Dasar Pengenaan Pajak PPN sebesar tiga ratus juta Rupiah.
Alih-alih mengundang investor asing untuk memutar roda ekonomi Indonesia, justru yang terjadi kemudian ialah kian terhisapnya keluar kekayaan ekonomi Tanah Air, hingga kering-kerontang (tanpa bermaksud berlebihan, namun fakta aktualnya memang demikian), dimana pengusaha lokal saja kerap melakukan praktik “transfer pricing” sebagaimana dalam contoh kasus ini.
Dalam perkara tersebut, menurut pihak Kantor Pajak, Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai secara tegas mengatur bahwa dalam hal harga jual atau Penggantian dipengaruhi oleh “hubungan istimewa” (adanya hubungan beneficial owner yang sama antar badan hukum), maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar “harga pasar wajar” pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
Selanjutnya, didalam penjelasan dari pasal dimaksud, diterangkan bahwa pengaruh hubungan istimewa seperti dimaksud dalam Undang-undang ini ialah adanya kemungkinan harqa yang ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian Harga Jual atau Penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak, dengan harga pasar yang wajar yang berlaku di pasaran bebas.
Sementara menurut pihak Pengusaha, ketika Waiib Pajak memiliki transaksi hubungan istimewa dengan waiib Pajak lainnya di dalam negeri yang sama-sama dalam keadaan laba, tidak dapat disimpulkan bahwa motif transaksi tersebut adalah penghindaran pajak melalui pergeseran laba. Ketika tidak terdapat motif penghindaran pajak melalui pemindahan laba, maka tidak mungkin dapat dilakukan praktik abuse of transfer pricing untuk menggeser laba dan menghindari pajak serta mengakibatkan kerugian bagi Negara.
Perekonomian suatu negara, disamping dapat digerogoti oleh praktik “cross border transfer pricing”, juga dapat menjadi korban penghisapan oleh pengusaha lokal, terutama dalam hal rezim perpajakan di Tanah Air masih tidak menerapkan kebijakan sistem penetapan satu level jenis besaran pajak. Adanya disparitas beban pajak suatu komoditas, disitulah pengusaha “nakal” bermain.
Ironisnya, negara lokal tidak akan pernah menjadi makmur dengan beroperasinya para pengusaha lokal maupun pengusaha asing yang berproduksi dan kerkegiatan di Indonesia, namun selalu merupakan korporasi dan pemodal tertentu yang akan kian “gemuk” pundi-pundi keuangannya.
Bagai “lingkaran setan”, tidak ada pilihan lain selain mengumandangkan “perang” terhadap praktik curang demikian, dengan perspektif zero tolerance—semoga bukan sekadar jargon. Perampok / pencuri bukan hanya dapat berasal dari luar, namun juga dapat berasal dari dalam “rumah” sendiri.
Itu jugalah hipotesis yang menjelaskan, mengapa dapat terjadi ketimpangan antara rakyat jelata (buruh) terhadap pemodal yang terus berjarak disparitas kemakmuran ekonominya. Yang kaya semakin kaya, yang miskin selalu miskin—sementara negara terus terhisap kekayaan ekonomi dan sumber daya alamnya. Semua semua uraian singkat ini, keliru sepenuhnya.
Terlebih ironis, bila yang selama ini menjadi penyumbang devisa kedalam teritori Indonesia, ternyata ialah berangkat dari kalangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di negara asing, namun derajatnya selalu dinomor-duakan oleh pemerintahnya sendiri. Tanpa peran mereka, pelemahan nilai tukar Rupiah akan menukik tak terkendali.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.