Bahaya Dibalik Asas HAKIM DIANGGAP TAHU HUKUMNYA (Ius Curia Novit / Curia Novit Jus)

ARTIKEL HUKUM
Sempat berkembang wacana, agar hakim tidak perlu mendengar keterangan ahli yang sesama Sarjana Hukum, karena sang hakim juga merupakan seorang Sarjana Hukum. Alasannya, karena “hakim dianggap tahu seluruh hukumnya” (Ius Curia Novit). Namun, benarkan asas klasik demikian masih relevan, ataukah sudah usang dan bahkan berpotensi sangat berbahaya bila tetap diberlakukan secara orthodoks, tanpa mau melihat bahaya yang mengintai dibaliknya?
Keadaan hukum era kontemporer, sangatlah berbeda dengan dua dekade lampau, dimana jumlah peraturan perundang-undangan masih sangat minim, dimana seorang Sarjana Hukum dapat saja menguasai berbagai bidang hukum secara “global” dan “makro”. Namun pada saat kini, disaat intrumentaliasi hukum telah demikian kompleks dan bagai “hutan rimba” yang rimbun dan sedalam samudera, apakah pendekatan “palugada” (apa lu mau, gua ada), masih dapat diberlakukan tanpa melukai klien kita sendiri?
Sudah tidak zamannya bagi era Sarjana Hukum “serba tahu”, karena regulasi norma hukum dalam peraturan perundang-undangan telah demikian “menggurita” serta tingkat kompleksitasnya demikian berjejaring yang membutuhkan pemahaman mendalam hanya untuk memahami betul satu bidang disiplin ilmu hukum secara spesifik—sejenius apapun sang Sarjana Hukum.
Yang dimaksud dengan memahami suatu bidang disiplin ilmu hukum secara spesifik, tidak lain ialah suatu spesialisasi profesi hukum. Sebagai contoh, bercermin pada penulis pribadi, selama ini hanya sanggup mendalami secara spesifik bidang disiplin ilmu hukum berikut: perkreditan / lembaga pembiayaan, perseroan / korporasi (satu bidang spesifik ini menjadi bidang yang wajib dikuasai oleh setiap profesional konsultan hukum), ketenagakerjaan / hubungan industrial, serta pertanahan / real estate.
Namun untuk bidang disiplin ilmu hukum seperti Hukum Pajak dan Hukum Pasar Modal, penulis bukanlah seorang konsultan hukum yang menjadi spesialis kedua bidang disiplin ilmu tersebut, dan akan lebih sering penulis mempersilahkan pengguna jasa untuk mencari konsultan lain yang lebih menguasai bidang materi hukum perpajakan dan pasar modal. Masing-masing ada tempatnya, alias agar tidak “salah alamat”.
Menjadi spesialis dalam bidang disiplin ilmu hukum, tidak lagi terhindarkan di era yang lebih modern dengan tingkat kompleksitas dinamika sosial-ekonomi yang lebih rumit. Membangun jejaring dan “peta” hukum suatu bidang disiplin ilmu, tidak dapat lagi dilakukan secara “general” (umum dan meluas) dalam satu individu atau satu orang Sarjana Hukum. Menjadi Sarjana Hukum yang tidak terspesialisasi pada saat kini, cenderung berpotensi “menyesatkan” klien pengguna jasa.
Pertanyaannya, ketika penulis, katakanlah, pada suatu waktu diangkat sebagai seorang Hakim Konstitusi RI, dan pada suatu ketika dihadapkan kepada perkara uji materiil Undang-Undang tentang Pajak ataupun judicial review terhadap Undang-Undang tentang Pasar Modal, mungkinkah penulis akan dapat menghasilkan putusan yang baik dan benar? Niat boleh saja baik, namun putusan yang dihasilkan pastilah jauh dari “benar”. Mengapa? Karena penulis bukanlah Sarjana Hukum pakar dibidang Perpajakan maupun Pasar Modal. Berniat menjadi Hakim Konstitusi, sama artinya secara arogan hendak menyatakan pada dunia, betapa hebat dan kuat “otak” di kepalanya untuk menampung seluruh miliaran pasal peraturan perundang-undangan dalam masa hidup umurnya yang singkat—dan itu terlampau arogan untuk ukuran Hakim Konstitusi yang notabene dianggap juga sekaligus sebagai seorang negarawan.
Terkadang, membaca suatu undang-undang hanya butuh waktu tidak sampai hitungan hari, namun untuk mencernanya hingga kedalam, bisa dibutuhkan waktu tahunan—dan itu bukanlah suatu lelucon yang tidak bertanggung-jawab. Sebagai contoh, untuk sampai pada tahap mengetahui bagaimana suatu pasal peraturan perundang-undangan untuk diimplementasi serta konteks yang melingkupinya, entah itu Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, dapat memakan waktu tidak kurang dari tiga tahun lamanya.
Sementara jumlah undang-undang saat kini, mencapai ratusan, dimana peraturan perundang-undangan dibawah hierarkhi derajat undang-undang bila disertai berbagai Peraturan Daerah, tidak terhitung lagi kuantitasnya. Siapa yang dapat secara demikian langcang, berani mengklaim bahwa dirinya telah membaca, memahami, atau bahkan menguasai seluruh bidang disiplin ilmu hukum tersebut dalam waktu kurang dari 100 tahun umur hidupnya?
Sekalipun kita menghabiskan seluruh waktu hidup kita tanpa menyita waktu untuk tidur, seumur hidup kita tidak akan pernah menguasai seluruh bidang ilmu hukum tersebut, terlebih ketika peraturan tersebut dicabut, ubah, dan diganti dengan deregulasi yang baru.
Kabar buruknya, tiada yang betul-betul membutuhkan fungsi Sarjana Hukum berwawasan umum, tanpa suatu spesialisasi. Bahkan, seorang staf hukum internal suatu perusahaan / instansi, cenderung akan menjelma menjadi seorang spesialis hukum korporasi / hubungan industrial dan juga disiplin bidang hukum sesuai bidang usaha perusahaan tempatnya bernaung. Yang disebut sarjana hukum umum, bahkan dapat ibaratkan masih sama “hijau”-nya dengan seorang Fresh Graduate.
Tidaklah cukup satu atau dua bulan untuk dapat memahami seluruh seluk-beluk perihal perpanjakan maupun pasar modal. Ketika ibarat seorang buta diminta untuk mengendarai kendaraan pengangkut penumpang sebagai pengemudi, maka si buta akan membawa para penumpangnya menuju jurang “kematian” yang mematikan—dan itulah yang tepatnya terjadi terhadap nasib suatu bangsa yang membiarkan takdir suatu undang-undang jatuh ditangan 9 orang Hakim Konstitusi yang dianggap “tahu semua hukum”. Kita tidak dapat lagi bersikap tamak, kita hanya memiliki dua tangan dan sumber daya waktu kita sangatlah terbatas.
Penulis menyebutnya sebagai: “Kemustahilan bagi rezim diktatoriat hakim yang terdiri dari 9 orang hakim, yang notabene belum tentu benar-benar memahami suatu bidang disiplin ilmu hukum secara spesifik, untuk memutus secara baik dan benar.” Perlu kita pahami kembali, mungkin saja para Hakim Konstitusi memiliki niat baik dalam menjatuhkan putusan, namun tanpa memiliki bekal pengetahuan yang memadai (terlebih mendalam) terhadap bidang disiplin ilmu hukum yang dihadapkan uji materiil oleh penggugat / pemohon uji materiil, maka itu ibarat “orang buta dibiarkan menjadi pengemudi yang membawa nasib seluruh bangsa Indonesia”, menuju era “pengeroposan” struktur hukum—akibat sikap “overestimated” sang hakim terhadap kemampuan dirinya sendiri.
Pada mulanya, Mahkamah Agung RI tidak menganut sistem Kamar seperti sekarang ini, yang baru dimulai diberlakukan sejak tahun 2010, mengikuti model pembagian para Hakim Agung Hoge Raad dalam suatu kamar-kamar yang disesuaikan dengan tingkat ke-pakar-an sang Hakim Agung. Sistem kamar ini tidak membiarkan seorang Hakim Agung pakar hukum perkawinan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi, ataupun sebaliknya.
Kini, sejak Mahkamah Agung RI menerapkan sistem Kamar, prestasi Mahkamah Agung RI mulai tampak signifikannya. Pembagian sistem kamar ini terbagi menjadi antara lain: Kamar Tata Usaha Negara, Kamar Pidana Militer, Kamar Hukum Agama, Kamar Pidana Umum, Kamar Perdata Khusus, Kamar Perdata Umum, Kamar Pidana Khusus, Kamar Perselisihan Hubungan Industrial, Kamar Hukum Pajak.
Spesialisasi sang Hakim Agung, menjadi kata kunci menghadirkan karakter putusan yang dapat dipertanggung-jawabkan, dari segi moril juga dari segi bobot kualitas putusan. Mengerucutkan pembagian tugas para Hakim Agung dalam masing-masing kamar, menjadikan output putusan Mahkamah Agung RI menjadi efektif sekaligus efisien.
Siapakah yang kini mencicipi “buah manis” dianutnya sistem spesialisasi kalangan Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI? Tidak lain ialah para masyarakat pencari keadilan yang mengajukan upaya hukum kasasi, dimana corak karakter antar putusannya dapat terjaga daya konsistensinya serta menghindari disparitas antar putusan.
Rasa keadilan masyarakat akan terusik, ketika berbagai amar dapat demikian memiliki disparitas meski dilandasi karakter perkara yang serupa. Adil atau tidaknya bukan lagi secara subjektif, namun secara objektif berupa: konsisten atau tidak konsistennya rona putusan para Hakim Agung dalam masing-masing kamar.
Mengapa? Karena, secara politis, adalah menjadi mengherankan bila sang Hakim Agung menjatuhkan amar putusan yang berbeda bobotnya dengan perkara serupa yang dikemudian hari dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diputus. Karena dibagi dalam masing-masing kamar secara terspesialisasi, maka Hakim Agung kamar perdata tidak akan disodorkan perkara pidana untuk diperiksa dan diputus, sehingga daya konsistensi antar putusan dapat terbentuk secara sendirinya—setidaknya secara sosiologis.
Memang baru menjadi kendala, ketika sang Hakim Agung memasuki usia pensiun dan digantikan oleh Hakim Agung baru yang menjabat. berkembang anekdot di tengah masyarakat: ganti pejabat, ganti kebijakan. Sama halnya, yang menjadi kutukan negara dengan budaya hukum Eropa Kontinental ala “Civil Law” seperti Perancis, Belanda, dan Indonesia, preseden tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat mengikat bagi hakim berikutnya dalam memutus perkara dengan corak serupa dikemudian hari.
Terganggunya konsistensi antar putusan, praktis hanya akan kita jumpai secara masif ketika terjadi pembaharuan Hakim Agung di Mahkamah Agung RI. Namun bukanlah perhal “daya ikat” preseden, yang dalam bahasan ini menjadi konteks telaah. Namun perlu kita renungkan kembali, era telah berubah jauh dari sejak dua dekade lampau. Kompleksitas sosial-ekonomi telah jauh maju secara berkembang dengan demikian kontras, sehingga produksi berbagai undang-undang tidak terhindarkan, menjelma “gurita” dan “hutan rimba”—bahkan bagi kalangan internal profesi hukum itu sendiri.
Ketika kita mulai menyadari paradigma dibalik urgensi terspesialisasi dalam bidang ilmu hukum tertentu, tidak lain demi tujuan profesionalisme profesi itu sendiri, entah sebagai hakim, sebagai penulis buku teks ilmu hukum, sebagai konsultan, sebagai pengacara, sebagai akademisi, dan berbagai profesi hukum lainnya.
Mahkamah Konstitusi RI, merupakan lembaga peninggalan zaman “purbakala” dimana regulasi peraturan perundang-undangan belum demikian masif beredar di tengah masyarakat dua dekade lampau. Pada saat kini, ketika regulasi hukum telah demikian kompleks dan rumit, penuh instrumentalisasi yang teknis sifatnya, menjatuhkan amar putusan untuk menguatkan atau membatalkan suatu ketentuan undang-undang, dalam seluruh lingkup bidang disiplin ilmu hukum, merupakan suatu “kediktatoran”—atau bila boleh kita sebut sebagai “ke-lalim-an”.
Betul bahwa sistem peradilan di Pengadilan Negeri, belum dibagi dalam sistem kamar (kecuali hakim pada Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Pelayaran, dsb). Namun setidaknya seorang hakim masih dibenarkan untuk mendengarkan keterangan dari Sarjana Hukum lain yang merupakan spesialis dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang menjadi konsentrasi perkara yang tengah diperiksa dan disidangkan oleh sang Majelis Hakim.
Fenomena kedua yang menarik untuk dicermati ialah, dapat dikatakan hampir tidak pernah ada urgensi bagi pihak Penggugat maupun Tergugat dalam sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial maupun Pengadilan Niaga, untuk menghadirkan Sarjana Hukum lain untuk dimintakan keterangan ahlinya dalam konteks kepakaran dalam hukum ketenagakerjaan atau hukum Hak Kekayaan Intelektual, sebagai contoh. Itu terjadi karena, lembaga Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Niaga itu sendiri memang terdiri dari hakim-hakim yang telah terspesialisasi sesuai bidangnya—maka sang hakim sekaligus berkedudukan selaku Ahli secara ex officio. Khusus untuk konteks itulah, asas “ius curia novit” baru dapat benar-benar diberlakukan.
Ketika seorang hakim yang sedang mengadili suatu perkara yang bisa jadi (atau bahkan besar kemungkinan) tidak ia kuasai bidang spesifik disiplin ilmunya, namun kebolehan bagi dirinya untuk menjadikan keterangan ahli dari Sarjana Hukum ditiadakan oleh hukum acara perdata maupun hukum acara pidana, dimana alat bukti “keterangan ahli” hanya dimungkinkan dari luar disiplin ilmu hukum, semisal hanya dibatasi pada ahli kehutanan, ahli forensik kimia, ahli kedokteran, dsb, maka sama artinya sang hakim pemutus disudutkan untuk menghasilan amar putusan yang memprihatinkan—dimana besar kemungkinan sang hakim tidak punya intensi untuk membuat amar putusan yang membawa petaka bagi para pihak yang saling bersengketa.
Bukan spesialisasinya, namun berani memberikan jasa hukum, entah sebagai konsultan maupun pengacara, sama artinya mencelakai klien pengguna jasa. Sama halnya, bukan spesialisasi disiplin ilmu hukumnya, namun berani untuk menjadi hakim pemeriksa dan pemutus perkara, sama artinya menghancurkan pondasi keadilan itu sendiri—terlepas dari apapun niat batin sang hakim. Putusan yang baik disyaratkan dua elemen pokok: baik dan benar.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.