Wajib Militer dalam Perspektif Hukum Internasional

ARTIKEL HUKUM
Conscientious Objection
(Menolak Wajib Militer karena Alasan Nurani)
Tampaknya hampir pada konstitusi setiap negara, mengandung amanat agar pertahanan negara sebagai suatu kewajiban serta tanggung-jawab moril para warga negaranya. Di beberapa negara, tugas demikian sifatnya diwajibkan oleh hukum melalui “wajib militer” dengan tujuan bahwa setiap warganya dipersiapkan untuk dinas dalam angkatan bersenjata, manakala dianggap perlu oleh pemerintah nasional. Bukan berarti tiada escape clause, sebab sebagian besar negara dengan “wajib militer”, memasukkan dalam hukum nasional mereka “hak untuk menolak memanggul senjata”, yaitu keberatan karena alasan nurani dan “dinas alternatif”. (Hans Born, dkk., Pengawasan Parlemen dalam Sektor Keamanan: Asas, Mekanisme dan Pelaksanaan, Penerjemah: J. Soedjati Djiwandono, Penerbit: Inter-Parliamentary Union Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces, Dicetak Edisi Terjemahan Indonesia: CSIS, Jakarta, 2005, hlm. 199)
Beberapa negara masih terus memelihara budaya wajib militer demikian, sekalipun budaya militeristik dalam tren terkini mulai ditantang di berbagai negara di seluruh belahan dunia, akibat perubahan paradigma konflik bersenjata menuju era negara pembangunan. Beberapa negara telah menghilangkan atau bermaksud menghapus wajib militer dimasa dekat. Bahkan, Prancis, negara yang semula “menemukan” wajib militer dalam sejarah modern, telah menghilangkannya pada tahun 2001. Beberapa pihak meramalkan, akhir dari tentara massal, dan bahwa itu akan digantikan oleh pasukan sukarela yang kecil, dengan teknologi tinggi (high-tech), serta mobile. (ibid, hlm. 199—200)
Dalam kebanyakan kasus, hukuman untuk menolak wajib militer (wamil), adalah penjara. Namun demikian, prajurit-prajurit wamil adalah juga warga negara (sipil yang berseragam) dan kehadiran mereka membantu mencegah agar angkatan bersenjata tidak menjadi “negara dalam negara”. Wajib militer dengan begitu dapat juga dianggap sebagai kaitan demokratis dengan masyarakat dan angkata bersenjata. (ibid, hlm. 200)
Bagi negara-negara dengan budaya wamil, tampaknya bersumber dari alasan pragmatis, bahwa umumnya, pasukan wamil “berbiaya” lebih murah daripada pasukan sukarela (volunteer armies) karena gaji mereka jauh lebih rendah daripada gaji prajurit sukarela. Wamil mengumpulkan semua orang dari beragam latar-belakang pendidikan maupun pengalaman kerja anggota masyarakat, ke dalam lingkungan angkatan bersenjata yang sangat berbeda budayanya, mulai dari seorang akuntan, insinyur, hingga ke tukang atau bahkan petani. Angkatan bersenjata tampaknya dapat memanfaatkan kualifikasi mereka dengan baik, termasuk selama misi-misi perdamaian—dimanapun prajurit wamil dapat terlibat didalamnya—dimana angkatan bersenjata menyumbang pada pengembangan prasara dan lembaga-lembaga di negara-negara pasca konflik. (ibid, hlm. 202)
Mengapa budaya wamil kemudian hendak diakhiri? Hasil studi terhadap berbagai negara, menunjukkan alasan-alasan utama berikut: (ibid, hlm. 202)
- selama 25 tahun terakhir, terutama sesudah akhir Perang Dingin pasca Perang Dunia II, angkatan bersenjata banyak negara telah menjadi semakin kecil dan ini telah berakibat lebih kecilnya proporsi tentara wajib militer yang diperlukan untuk masuk dinas militer (yang pada gilirannya seringkali menyebabkan kekecewaan publik tentang perluasan yang tidak adil dari beban wajib militer). Negara-negara di kawasan Euro-Atlantik khususnya telah mengurangi angkatan bersenjata mereka.
- Tren angkatan bersenjata semakin menjadi lebih profesional dan mulai bergantung pada teknologi maju yang mulai menggantikan peran manusia. Seringkali latihan yang lama diperlukan sebelum para prajurit mampu menangani sistem persenjataan yang kompleks dan modern. Karena prajurit wajib militer umumnya tidak berdinas cukup lama untuk mengenal sistem-sistem yang kian kompleks demikian, kemiliteran cenderung mengandalkan semakin banyak prajurit profesional sukarela.
- Misi-misi perdamaian memerlukan tidak hanya keterampilan-keterampilan militer dasar, tetapi juga keterampilan bernegosiasi dan keterampilan-keterampilan lain. Banyak prajurit wamil berdinas terlampau singkat untuk memperoleh tingkat keterampilan dan pengalaman yang memadai untuk melaksanakan operasi-operasi pendukung perdamaian yang kompleks di negara-negara pasca konflik.
- Di beberapa negara, konstitusi nasional mereka membatasi penggunakan prajurit wamil untuk pertahanan wilayah nasional, dan melarang penggelaran prajurit wamil di luar negeri.
Perlu juga diketahui, dalam dinas militer, suatu hierarkhi yang tidak formal seringkali ada antara prajurit wamil tua dan anggota wamil yang lebih muda, dimana wamil yang telah senior dari pengalaman dan pelatihan militer, diharap akan mengajar para anggota wamil yang lebih muda, perihal aturan-aturan dan tradisi militer. Namun akibatnya, mulai terbentuk struktur sosial dalam kemiliteran wamil. Dalam banyak kasus, tidak jarang dijumpai anggota wamil yang telah senior justru menyalah-gunakan hierarkhi informal demikian demi keuntungan pribadi mereka sendiri, seperti memaksa yang lebih muda untuk mengambil-alih tugas atau mengganggu mereka. Tidak juga jarang terjadi, situasi dimana prajurit wamil yang lebih muda harus berhadapan dengan gangguan, kekerasan fisik, dan intimidasi (bullying). Menurut European Council of Conscript Organization (ECCO), gangguan demikian merupakan salah satu dari masalah utama bagi prajurit wamil muda, seringkali luka permanen atau bahkan kematian hingga kasus terjadinya bunuh diri. Demi perlindungan prajurit wamil dan reputasi dinas militer, gangguan harus dicegah dengan menerapkan kontrol ketat berupa pengawasan para perwira. Begitu pula peran lembaga-lembaga pengawas internal maupun eksternal, perlu mengambil sikap tegas seperti menggugat kasus-kasus esktrem guna mengembalikan aturan-aturan di dalam dinas militer. (ibid, hlm. 202.)
Perlu juga untuk kita akui, beberapa warga mempersoalkan tugas mereka untuk mempertahankan tanah air atas dasar perintah-perintah moral, semisal agama (‘jangan membunuh’), atau keyakinan pribadi (seperti prinsip non-violence). Sebagai akibatnya, tidak jarang orang-orang ini menderita hukuman keras, termasuk hukuman mati, semata hanya karena tidak menurut perintah-perintah negara. (ibid)
Selama pertengahan kedua dari abad yang lalu, gagasan tentang hak untuk menolak masuk angkatan bersenjata dan memanggul senjata, telah muncul dan diterima secara luas. Dalam sejumlah negara, bahkan dikukuhkan dalam hukum. Kecenderungan ini terjadi bersamaan dengan akhir wajib dinas militer di negara-negara tertentu (Inggris, Jerman, Irlandia, Belanda, Belgia, Luxemburg, Perancis, Spanyol, Italia, dan Portugal). (ibid)
Adapun perhihal konsepsi yang lebih maju, ialah diperkenalkannya Conscientious Objectors (COs), yang dapat dimaknai sebagai orang yang menentang memanggul senjata atau yang berkeberatan atas setiap jenis latihan dan dinas militer. Meskipun semua orang itu (objectors) mengambil posisi mereka atas dasar hati nurani, mereka mungkin memiliki berbagai alasan keagamaan, filosofis hidup, tradisi keluarga dan sosial, atau hingga alasan politis untuk kepercayaan mereka. (ibid, hlm. 202—203)
Dengan mulai meluas dan diterimanya konsep CO yang semakin terbiasa, parlemen beberapa negara memutuskan untuk menetapkan perundang-undangan dalam keadaan apa saja, warga negara yang dipanggil untuk wamil, dapat menghindari kewajiban itu. Hal demikian terjadi pada praktik kemiliteran di AS dan semua pemerintahan di Eropa Barat, dengan Yunani sebagai yang terakhir mengadopsi pengakuan status CO pada tahun 1997. (ibid, hlm. 203)
Sementara di negara-negara dimana CO tidak / belum diakui, mereka biasanya terbuka untuk dituntut karena menolak wamil dikategorikan sebagai desersi atau pengkhianatan, dua kejahatan yang biasanya melibatkan hukuman sangat berat. Di negara-negara lain, ada kategori kriminalisasi khusus (sebagai ‘tetap tidak taat’) dan biasanya ditentukan dalam kode etik militer nasional masing-masing. (ibid)
Dibelakang hari, barulah CO mulai diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Bulan April 2000, dengan mengikuti prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam resolusinya 1998/77, Komisi PBB untuk HAM yang menetapkan tanpa pemungutan suara resolusi 2000/34 yang mengakui hak setiap orang untuk keberatan dengan alasan “hati nurani” atas kewajiban dinas militer sebagai pelaksanaan yang sah dari hak akan kebebasan berpikir, sebagaimana digambarkan dalam Universal Declaration of Human Rights maupun The International Covenant on Civil and Political Rights. (ibid)
Tahun 1993, Komite PBB untuk HAM telah mengakui bahwa CO adalah suatu hak yang berasal dari Pasal 18 dari Covenant: “Sepanjang kewajiban menggunakan kekuatan yang mematikan mungkin secara serius bertentangan dengan kebebasan hati nurani dan hak untuk menyatakan agama atau kepercayaan orang.” Komite PBB telah menyatakan lebih lanjut, bahwa: “Bila hak ini diakui hukum atau praktek, harus tidak ada pembedaan diantara CO atas dasar hakekat kepercayaan mereka; begitu pula, harus tidak ada diskriminasi terhadap CO karena mereka telah gagal melaksanakan dinas militer.” (ibid, hlm. 203—204)
Resolusi Komisi PBB tentang HAM 1998/77:
Conscientious Objection terhadap Dinas Militer
Mengingat bahwa itu diakui dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights bahwa setiap orang mempunyai hak akan hidup, kebebasan, dan keamanan orang, maupun hak akan kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dan hak untuk tidak menderita diskriminasi.
Mengakui bahwa conscientious objection atas dinas militer berasal dari prinsip-prinsip dan alasan-alasan hati nurani, termasuk keyakinan mendalam, yang timbul dari motif keagamaan, moral, etis, dan kemanusiaan, dan motif-motif serupa.
1. Menarik perhatian pada hak setiap orang untuk mempunyai conscientious objection atas dinas militer sebagai pelaksanaan yang sah dari hak akan kebebasan pikiran, hati-nurani, dan agama, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 dari Universal Declaration of Human Rihgts dan Pasal 18 dari International Covenant on Civil and Political Rights.
2. Menyambut baik kenyataan bahwa beberapa negara menerima tuntutan conscientious objection sebagai sah tanpa penyelidikan.
3. Mengajak negara-negara yang tidak mempunyai sistem seperti itu untuk mendirikan badan-badan pembuat keputusan independen dan tidak memihak dengan tugas untuk menentukan apakah suatu conscientious objection dipegang sungguh-sungguh dalam suatu kasus khusus, dengan memperhitungkan persyaratan tidak melakukan diskriminasi diantara CO atas dasar sifat kepercayaan-kepercayaan mereka yang khusus.
4. Mengingatkan negara-negara dengan sebuah sistem wajib dinas militer, dimana ketentuan seperti itu telah dibuat, akan rekomendasinya agar mereka menyediakan untuk CO berbagai bentuk dinas alternatif yang sesuai dengan alasan-alasan untuk conscientious objection, yang bersifat non-tempur (non-combantant) atau sipil sifatnya, untuk kepentingan umum dan tidak bersifat menghukum.
5. Menekankan bahwa negara-negara hendaknya mengambil langkah-langkah yang perlu untuk tidak menyerahkan CO ke penjara dan hukuman yang diulangi karena gagal melaksanakan dinas militer, dan mengingat bahwa tidak seorang pun akan dapat dikenai hukuman atau dihukum lagi karena suatu pelanggaran untuk mana dia akhirnya sudah dihukum atau dibebaskan sesuai dengan hukum dan prosedur pidana masing-masing negara.
Kebanyakan negara-negara yang mengakui status CO, menetapkan dengan hukum suatu dinas nasional untuk dapat dilaksanakannya sebagai alternatif dinas militer. Dinas alternatif demikian, dapat mengambil dua opsi cara, dalam bentuk: (ibid, hlm. 205)
- Dinas dalam angkatan bersenjata tanpa memegang senjata;
- Bekerja dalam lembaga-lembaga kesejahteraan sosial seperti rumah sakit, taman kanak-kanak, lembaga-lembaga untuk penyandang cacat, dan sebagainya, dan seringkali dalam LSM atau IGOs (organisasi antar pemerintah).
Dinas alternatif demikian, biasanya lebih lama tempo masa dinasnya, daripada dinas militer. Misalnya, di Prancis, biasanya 20 bulan sedangkan dinas militer hanya 10 bulan. Di Austria 12 bulan, sementara dinas militer hanya 7. Di Bulgaria 24 bulan, sedang dinas militer hanya antara 6 atau 9 bulan. (ibid)
Swiss merupakan satu dari sedikit negara di Eropa Barat, yang masih menerapkan wajib militer bagi warga negaranya, sebagaimana ditetapkan oleh Konstitusinya (Pasal 59.1), Hukum tentang Organisasi Militer 1995, dan Hukum Dinas Militer 1995. Wajib militer tersebut berlaku untuk semua pria, dari rentang usia 2—42 tahun, dan sampai 55 tahun untuk pangkat lebih tinggi. Dinas militer berlangsung 4 bulan pada mulanya, plus 3 minggi setiap 3 tahun, disertai latihan menembak setiap tahunnya. Namun kemudian, seiring perkembangan dinamika global dengan semakin terlembagakannya peran dan fungsi PBB, Hukum tentang Dinas Alternatif yang disahkan tahun 1996, mulai mengakui hak conscientious objection karena alasan etis, moral-filosofis, dan keagamaan. (ibid)
Wamil atau tanpa wamil? Pertimbangkan dengan hati-hati semua pro dan kontra dalam konteks nasional kita sendiri. dalam hubungan itu, perlu disadari unsur-unsur indikatif yang diacu sebagaimana ulasan diatas, sampai berapa jauh hak-hak itu relevan bagi konteks nasional kita sendiri. (ibid, hlm. 206)
Bagaimanakah menyikapi prajurit-prajurit wamil yang terluka akibat perlakuan kasar ataupun perlakuan merendahkan selama bergabung dalam dinas? Untuk itu perlu tindak-lanjut bijaksana, jika prajurit anggota wamil dilaporkan terpapar penyalah-gunaan, kekesalan, atau kekerasan. Pastikan bahwa penyelidikan mendalam dilakukan dan, kalau perlu, sanksi diputuskan oleh suatu badan yang kompeten dan diterapkan segera. Lembaga semacam Ombudsman untuk Pertahanan dapat dibentuk dan diberi kuasa untuk menangani masalah-masalah perlakuan kasar atau merendahkan prajurit wamil. Dalam konteks itu pula, pastikan untuk senantiasa menghimpun informasi terkini tentang pendekatan pada masalah hak untuk tidak menyandang senjata demikian, maupun situasi legal dan praktis di negara-negara lain. (ibid)
Implikasi dari pergelaran kekuatan bersenjata yang diperlengkapi oleh anggota wamil yang dipersenjatai diluar prajurit organik, perlu dipahami bahwa hal demikian melibatkan “dana publik” yang bersumber dari pajak yang dipungut dari rakyat. Memutuskan tentang sistem persenjataan bukan hanya soal keahlian teknis dan keamanan, tetapi juga tentang memutuskan apakah dana yang ada harus dibelanjakan untuk membeli “guns or butter” (senjata ataukah mentega untuk makanan), dan jika harus dibelanjakan untuk “guns”, maka berapa banyak dan mengapa. Untuk itu pengadaan persenjataan, tidak boleh menyebabkan beban finansial bagi negara, dalam jangka pendek dan panjang, tidak terkecuali kalkulasi yang matang perihal biaya life-cycle secara keseluruhan. (ibid, hlm. 212)
Betul bahwa doktrin menyebutkan bahwa untuk menjaga perdamaian, maka kita harus siap untuk berperang. Namun kini yang kita hadapi bersama ialah “perang” melawan kebodohan, melawan kelaparan, melawan korupsi, melawan pemberontakan, melawan perang saudara, melawan kemelaratan, melawan bentrokan segregasi sosial akibat gesekan faktor ras, politik, maupun agama, hingga melawan sikap kriminil sesama warga negara internal negeri kita sendiri.
Di berbagai negara dengan budaya wamil, kini kewajiban untuk menyandang senjata telah digantikan dengan pemberian opsi bagi warga negara pria mereka untuk melakukan kegiatan sosial sesuai keterampilan dan kompetensi mereka masing-masing, daripada memaksakan seekor kera untuk terbang, atau seekor gajah untuk berenang.
Disamping itu, etos dan tuntutan dari kompetensi seorang prajurit, sudah jauh berbeda dari satu abad lampau, dimana kini seseorang yang terspesialisasi dalam profesinya yang lebih ditekankan. Adalah percuma memiliki seribu orang prajurit yang tidak terampil bertempur dan mengoperasionalkan persenjataan canggih, daripada seorang prajurit yang benar-benar memahami teknik militer dan persenjataan, disamping kemajuan teknologi telah banyak menggantikan peran manusia (seperti pesawat tempur tanpa awak yang telah banyak diterapkan negara-negara maju) hingga penggunaan wahana robotik.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.