Unsur-Unsur Hubungan Kerja Permanen

LEGAL OPINION
TELAAH KASUS PEMBERI KERJA DAN NAMA PERUSAHAAN DALAM SLIP GAJI YANG SALING BERBEDA
PILIHAN PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERBAIK TERKAIT ELABORASI PERTIMBANGAN HUKUM KORPORASI TERKAIT HUBUNGAN KETENAGAKERJAAN
Question: Agak bikin bingung, mana kriteria jenis kerja yang bisa dikontrakkan ke pekerja kontrak atau ke pekerja harian, dan mana yang hanya boleh dipekerjakan sebagai pekerja tetap. Ada parameter hukum yang bisa dipakai? Semisal, jika ada orang dipakai tenaganya untuk kerja selama 30 hari setiap bulannya, namun hanya untuk 2 bulan saja, apa si buruh bisa mengklaim dirinya sebagai pekerja tetap?
Brief Answer: Bila sekalipun dalam 1 bulan sang Pekerja dipekerjakan selama 30 hari, namun kurang dari 3 bulan secara berturut-turut, maka sifatnya masih sebagai Pekerja Harian Lepas. seorang Buruh dapat dikualifikasikan sebagai Buruh Harian Harian Lepas, apabila memenuhi syarat-syarat dalam Kepmenakertrans Nomor Kep. 100/Men/VI/2004, yakni:
1. Adanya Perjanjian Kerja Tertulis;
2. Untuk Jenis Pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan;
3. Upah dibayarkan berdasarkan kehadiran;
4. Bekerja paling lama 21 (dua puluh satu hari) dalam 1 (satu) bulan dan tidak lebih dari 3 (tiga) Bulan.
Sementara dalam sebuah Hubungan Kerja Permanen / Karyawan tetap (PKWTT), terdapat unsur-unsur:
1. Jenis Pekerjaan yang bersifat Tetap dan merupakan Kegiatan Pokok dari Usaha tersebut, bukan Kegiatan Tambahan atau Musiman;
2. Perjanjian Kerja dapat berbentuk Lisan ataupun Tertulis, yang tidak Bertentangan dengan Ketertiban Umum, Kesusilaan dan Peraturan yang berlaku;
3. Adanya Surat Pengangkatan;
4. Dapat memberlakuan Masa Percobaan, namun maksimal 3 (tiga) Bulan;
5. Terikat dalam hubungan Kerja tanpa ada batas waktu.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret, tepat kiranya secara relevan SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru sengketa register Nomor 80/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr. tanggal 14 Februari 2017, perkara antara:
- 7 (tujuh) orang Pekerja, sebagai Para Penggugat; melawan
- PT. LABERSA GOLF alias PT. LABERSA HUTAHAEAN, selaku Tergugat.
Para Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tahun 2005 tanpa Surat Pengangkatan. Upah Para Penggugat dihitung Tergugat dengan sistem harian, akan tetapi walau Para Penggugat bekerja di PT. Labersa Golf di Kabupaten Kampar namun dalam slip gaji tertulis PT. Hutahaean Kebun DaluDalu.
Tergugat memperlakukan Para Penggugat sebagai Buruh Harian Lepas, namun pekerjaan yang diperintahkan berlanjut secara terus-menerus, sehingga jelas bertentangan dengan Pasal 10 Kepmenakertrans Nomor 100/MEN/VI/2004. Pekerjaan yang harus dikerjakan yaitu merawat dan membersihkan lapangan golf, namun dengan sengaja Tergugat tidak mau mengakui jenis pekerjaan tersebut bersifat tetap, guna menghilangkan status pekerjaan Para Penggugat yang secara fakta adalah Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Uniknya, Tergugat kemudian memutus hubungan kerja melalui pesan singkat Short Mesengger Service (SMS) seluler, kepada masing-masing mandor Penggugat pada tanggal 31 Juli 2016. Ketika Penggugat mempertanyakan alasan PHK kepada Mandor, Mandor hanya memberikan penjelasan bahwa “itu keputusan Management”.
Penggugat kemudian mengundang secara tertulis Tergugat untuk berunding secara Bipartit, namun Tergugat tidak memberikan jawaban atas undangan tersebut, maka Para Penggugat mencatatkan perselisihan ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Kampar. Karena pihak Tergugat tidak pernah hadir saat mediasi, maka Mediator Disnaker menerbitkan surat Anjuran, dengan substansi “Agar pihak perusahaan PT. Labersa Golf dapat menerima pekerja Sdr.Slamat Tobing Dkk (7 Orang) bekerja kembali pada perusahaan.”
Para Penggugat sependapat dengan isi anjuran Mediator, namun tidak bagi pihak Tergugat. Berdasarkan Pasal 155 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pihak Tergugat memiliki kewajiban untuk memberikan upah Para Penggugat sejak bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2016.
Adapun dalam sanggahannya, pihak Pengusaha mendalilkan, Para Penggugat bekerja pada perusahaan Tergugat sebagai pekerja Harian Lepas, karena bersifat musiman dan tidak tetap serta bergantung pada kondisi tertentu sehingga tidak terus-menerus merawat dan membersihkan lapangan golf, disamping tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, oleh sebab hanya dibutuhkan ketika ada kegiatan pelaksanaan turnamen golf dan atau ketika rumputnya sudah panjang barulah para pekerja melakukan pekerjaan.
Tergugat berpendirian, ketentuan Pasal 59 Ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003, yang mengatur perihal pegawai yang bekerja secara terus-menerus yang “demi hukum” menjelma menjadi PKWTT, sifat kaedah demikian tidaklah serta-merta berubah, melainkan harus didahului keberadaan putusan pengadilan yang memuat amar putusan berjenis “constitutief” dari hubungan PKWT menjadi PKWTT, sehingga tidak otomatis terjadi secara sendirinya atau diasumsikan sudah menjadi PKWTT hanya karena klaim sepihak Pekerja.
Namun pihak Pengusaha selaku Tergugat, membuat pernyataan dalam surat jawabannya, secara tidak etis dengan menyebutkan sebagai berikut:
“Tergugat membantah secara tegas dalil Para Penggugat dalam posita gugatannya Bahwa dalil Para Penggugat yang merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 tidak berdasar dan mengada-ada dikarenakan perubahan pekerjaan yang secara terus menerus menjadi PKWTT, tidak dapat terjadi serta-merta karena harus diperiksa lebih lanjut berdasarkan hukum, bukan hanya didasari pendapat buta hukum Para Penggugat.”
Tergugat juga mendalilkan bahwa Tergugat tidak pernah memutus hubungan kerja Para Penggugat, melainkan mereka semata merupakan pekerja harian lepas, yang ketika ada pekerjaan baru dipekerjakan. Mereka juga dipekerjakan dalam satu hari hanya beberapa jam saja, sehingga bila tidak dipekerjakan lagi, maka Tergugat tidak berkewajiban untuk mempekerjakan kembali Para Penggugat.
Dimana terhadap gugatan sang Pekerja, Majelis Hakim PHI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Para Penggugat pada pokoknya adalah sebagai berikut:
- Bahwa Para Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak Tahun 2005, dengan sistem Pembayaran Upah Harian sebesar Rp. 85.000 / hari dan diperlakukan sebagai Buruh Harian Lepas, yang betugas merawat dan membersihkan lapangan Golf dan telah di-Putus Hubungan Kerja oleh Tergugat sejak 31 Juli 2016 sehingga sejak Agustus 2016 Upah Para Penggugat tidak dibayarkan lagi oleh Tergugat;
- Bahwa Para Penggugat telah berupaya melakukan Perundingan dengan Tergugat yang oleh Mediator pada Dissosnaker Kab. Kampar Propinsi Riau telah dilakukan Mediasi, namun gagal;
“Menimbang, bahwa atas Gugatan Para Penggugat tersebut, Tergugat membantah seluruh dalil Para Penggugat melalui jawabannya yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa Tergugat menolak seluruh Dalil Para Penggugat dan Anjuran yang dikeluarkan Mediator;
- Bahwa Para Penggugat tidak pernah bekerja pada PT. Labersa Golf, karena Perusahaan yang beridentitas seperti itu tidak dikenal oleh Tergugat; [Note SHIETRA & PARTNERS: Suat argumen yang lebih tidak etis karena terkesan mengingkari kenyataan, sehingga akan berdampak kontraproduktif terhadap posisi hukum pihak Tergugat itu sendiri pada gilirannya.]
“Menimbang, bahwa setelah mencermati Gugatan Para Penggugat dihubungkan dengan Jawaban Tergugat atas Gugatan tersebut, maka persoalan Pokok antara Para Penggugat dengan Tergugat adalah berkenaan dengan Tindakan Tergugat yang memutuskan Hubungan Kerja terhadap Para Penggugat sehingga masalah Yuridis yang harus dijawab dalam Permasalahan ini adalah : ‘Aapakah Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Para Penggugat, telah sesuai dengan Ketentuan yang berlaku?’;
“Menimbang, bahwa, gugatan Para Penggugat disangkal kebenarannya oleh Tergugat maka menurut ketentuan pasal 283 RBg jo. Pasal 1865 KUHPerdata, Penggugat sebagai pihak yang mendalilkan dibebani kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya sedangkan pihak Tergugat dapat mengajukan bukti lawan (legen bewijs), namun bila dihubungkan dengan asas Eines Manres Rede Ist Keines Mannes atau Azas Audi et alteram Partem, dan pendapat Prof DR. Achmad Ali, SH, MH dan Dr. Wiwie Heryani, SH, MH dalam Bukunya ‘ASAS ASAS HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA’, yang mengatakan bahwa ‘Penggugat tidak diwajibkan membuktikan Kebenaran sangkalan Tergugat, demikian pula sebaliknya, Tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran Peritiwa yang diajukan oleh Penggugat’, maka dengan demikian Azas dan Pendapat tersebut ‘menempatkan kedua pihak memiliki kedudukan prosesuil yang sama di hadapan Pengadilan’ dengan demikian berdasarkan Ketentuan, Asas dan Pendapat para Ahli tersebut diatas, maka pembagian beban pembuktian harus dilakukan secara Patut;
“Menimbang, bahwa terhadap Kepatutan Pembebanan Pembuktian tersebut, dengan mengutip pendapat Paton yang mengatakan ’Should not be forced on a person without very strong reasons’, yang berarti bahwa: Pembebanan pembuktian tidak dapat dilakukan kepada seseorang tanpa alasan yang sangat kuat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Landasan Hukum, Azas dan Pendapat Para Ahli tersebut diatas, Majelis berpendapat bahwa Pembuktian dalam Perkara Aquo dibebankan terhadap Pihak yang paling mungkin untuk membuktikan atau terhadap Pihak yang paling sedikit dirugikan ketika upaya pembuktian dilakukan;
“Menimbang, bahwa dari Gugatan Para Penggugat dan Jawaban Tergugat yang didukung / dikuatkan oleh Alat Bukti Surat dan Keterangan Para Saksi, terdapat Pengakuan yang bersesuaian dan tidak terbantahkan sebagai Fakta-fakta Hukum dalam persidangan yakni:
1. Bahwa Para Penggugat merupakan pekerja pada Tergugat sejak tahun 2005, yang lokasi kerjanya berada di Kabupaten Kampar yakni wilayah Hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru dan Perselisihan antara Para Penggugat dan Tergugat merupakan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja;
2. Bahwa Perselisihan antara Para Penggugat dan Tergugat telah dimediasi oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Kampar dan telah pula dikeluarkan Anjuran, namun tidak terdapat Perdamaian;
3. Bahwa Para Penggugat merupakan Buruh Harian Lepas pada Tergugat dengan Upah dihitung berdasarkan kehadiran dan upah tidak dibayar bila tidak bekerja sekalipun dengan alasan sakit, dimana besarnya Upah adalah Rp. 85.550,- / hari dengan pola pembayaran setiap Bulan, sedangkan Hari Kerja setiap bulan dihitung rata-rata 25 hari;
4. Bahwa Slip Upah menggunakan nama Perusahaan PT. Hutahaean Kebun Dalu Dalu, namun Kartu Identitas Karyawan / BHL Para Penggugat menggunakan nama PT. Labersa Hutahaean dan Internal Memo menggunakan Kepala Surat Labersa Golf & Country Club;
5. Bahwa Para Penggugat di-Putuskan Hubungan Kerja-nya oleh Tergugat, karena Tergugat kelebihan tenaga kerja (Vide : Keterangan Para Saksi);
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis mempertimbangkan Masalah Yuridis yang harus dijawab dalam perkara aquo, berdasarkan Fakta Hukum dalam Persidangan Butir 4, dihubungkan dengan bantahan Tergugat dalam Jawabannya Butir 2 yang mengisyaratkan bahwa Tergugat tidak mengenal PT. Labersa Golf, Majelis harus mempertimbangkan lebih dahulu Perusahaan mana yang sesungguhnya memiliki Hubungan Kerja dengan Para Penggugat, dengan uraian pertimbangan sebagai berikut;
“Menimbang, bahwa Hubungan Kerja bukan hanya merupakan Hubungan yang diatur dalam aspek-aspek Hukum tetapi juga Hubungan yang dikelola dengan azas mutualisma dalam Management yang mengacu pada Sistemdan sub sistem Managerial antara lain Standard Operasioanl Prosedur, sehingga seorang Pekerja / Buruh dan Pengusaha tidak hanya terikat dalam Sistem Hukum yang berlaku dalam Hubungan Kerja, tetapi juga terikat dalam Sistem dan Sub Sistem Management, dimana hal tersebut merupakan Implementasi dari Ketentuan secara luas mengenai Hubungan Industrial sebagaimana Pasal 1 Butir 14 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Fakta Hukum dalam Persidangan Butir 4 dimana Slip Upah menggunakan nama Perusahaan PT. Hutahaean Kebun Dalu Dalu sedangkan Kartu Identitas Karyawan/BHL menggunakan nama PT. Labersa Hutahaean dan Internal Memo menggunakan Kepala Surat Labersa Golf & Country Club dihubungkan dengan Ketentuan Pasal 1 Butir 1 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa Perseroan Terbatas merupakan Badan Hukum, dihubungkan dengan Kelaziman dan Kebiasaan Sentralisasi dan Generalisasi Pengelolaan Sumber Daya Manusia oleh Perusahaan yang memiliki berbagai jenis usaha yang pada Hakekatnya merupakan salah satu Metode dan Strategi dalam upaya Mengefisienkan dan Mengefektifkan Para Pekerja / Buruh / Karyawan melalui Fungsi Managemen, dihubungkan pula dengan Keterangan Saksi Pujiono yang menegaskan bahwa Saksi bekerja pada PT. Labersa Hutahaean dimana pekerja / buruh Karman Sijabat, yang merupakan anggotanya, dapat dipekerjakan pada bidang tugas lain, jika tidak ada pekerjaan, sebagaimana saksi pernah dimutasikan dari Unit Kebun Dalu Dalu ke Lapangan Golf, dihubungkan pula dengan Keterangan Saksi Longser Tambun yang menegaskan bahwa saksi bekerja pada PT. Labersa Hutahaean yang membawahi seluruh Unit Usaha, dimana Para Penggugat merupakan Anggotanya, kecuali Karman Sijabat, olehnya, Majelis berpendapat bahwa nama / istilah PT. Hutahaean kebun Dalu Dalu dan Labersa Golf & Country Club merupakan nama atau istilah untuk Unit Usaha dari PT. Labersa Hutahaean, yang mana PT. Hutahaean Kebun Dalu Dalu dan Labersa Golf & Country Club merupakan satu Kesatuan Managemen dari PT. Labersa Hutahaean, khususnya dalam Pengelolaan Penempatan, Mutasi, dan Penggunaan Karyawan atau Sumber Daya Manusia secara General. Dengan demikian, secara Ontologis, Para Penggugat pada Hakekatnya bekerja pada PT. Labersa Hutahaean yang ditempatkan pada unit Usaha Labersa Golf & Country Club;
“Menimbang, bahwa semangat dari UU Ketenagakerjaan adalah melindungi Tenaga Kerja yang diposisikan sebagai pihak yang lemah dan penuh keterbatasan, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 2, 3, 4 ,5 dan 6 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Katenagakerjaan dan Pendapat dari Prof. Dr. Maruarar Siahaan, SH, MH sebagai saksi Ahli dalam Persidangan di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016 pada Rabu 31 Agustus 2016, dihubungkan pula dengan azas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum, dihubungkan dengan Ketentuan Pasal 1butir 4, 5 dan 6 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Majelis berpendapat Hubungan Kerja antara Para Penggugat dan Tergugat Prinsipal pada Hakekatnya tidak terbantahkan, namun secara formil, dalam segala keterbatasannya, nama Perusahaan tempat Para Penggugat bekerja dimaknai oleh Para Penggugat sebagai PT. Labersa Golf, olehnya Keterbatasan Pemahaman Para Penggugat dalam hal mengetahui nama Perusahaan tempat dirinya bekerja secara konkrit dalam Perusahaan yang Pengelolaannya bersifat Induk (Holding Company) haruslah dapat dimaklumi, untuk mana Majelis berpendapat, kedudukan Tergugat dalam perkara aquo adalah PT. Labersa Hutahaean;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis mempertimbangkan Status Para Penggugat dalam Hubungan Kerja, yang diakui sebagai Buruh Harian Lepas;
“Menimbang, bahwa seorang Pekerja/Buruh dapat dikualifikasikan sebagai Pekerja / Buruh Harian Harian Lepas, apabila memenuhi syarat syarat sebagaimana Ketentuan dalam Pasal 10 s/d 12 Kepmenakertrans Nomor Kep.100/Men/VI/2004, yang mana syarat-syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yakni :
1. Adanya Perjanjian Kerja Tertulis;
2. Untuk Jenis Pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan;
3. Upah dibayarkan berdasarkan kehadiran;
4. Bekerja paling lama 21 (dua puluh satu hari) dalam 1 (satu) bulan dan tidak lebih dari 3 (tiga) Bulan;
“Menimbang, bahwa seorang Pekerja / Buruh dikualifikasikan sebagai Karyawan Tetap atau lazim disebut sebagai Hubungan Kerja Permanen, yakni Hubungan Kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) telah diatur syarat dan Mekanismenya dalam Pasal 50, 51, 56, 57 ayat (2), 58 ayat (1) 59 ayat (1), (2), (4), (5), (6), (7), 60 dan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka dalam Hubungan Kerja Permanen / Karyawan tetap terdapat unsur-unsur:
1. Jenis Pekerjaan yang bersifat Tetap dan merupakan Kegiatan Pokok dari Usaha tersebut, bukan Kegiatan Tambahan atau Musiman;
2. Perjanjian Kerja dapat berbentuk Lisan ataupun Tertulis, Yang tidak Bertentangan dengan Ketertiban Umum, Kesusilaan dan Peraturan yang berlaku;
3. Adanya Surat Pengangkatan;
4. Pemberlakuan Masa Percobaan maksimal 3 (tiga) Bulan;
5. Terikat dalam hubungan Kerja tanpa ada batas waktu;
“Menimbang, bahwa Berdasarkan Fakta Hukum dalam Persidangan Butir 1, Para Penggugat bekerja pada Tergugat sejak Tahun 2005, tanpa adanya Perjanjian Kerja Tertulis dan tanpa ada batas waktu kapan berakhirnya Pekerjaan tersebut, oleh karena itu, berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Kepmenakertrans No. Kep. 100/Men/VI/2004, dihubungkan dengan Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Majelis berpendapat bahwa Hubungan Kerja antara Para Penggugat dan Tergugat merupakan Hubungan Kerja Permanen atau Lazim disebut sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT);
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis mempertimbangkan Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat yakni dengan alasan bahwa Tergugat melakukan PHK karena Kelebihan Tanaga Kerja tanpa melalui Proses Perundingan dengan Para Penggugat atas Rencana PHK tersebut;
“Menimbang, bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Hakekatnya harus dihindari oleh Pengusaha dan Pekerja / Buruh namun apabila PHK tidak dapat dihindari, maka Rencana PHK harus dirundingkan lebih dahulu antara Pekerja / Buruh dan Pengusaha dan apabila PHK tetap harus dilaksanakan maka PHK tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah adanya Kesepakatan Pekerja / Buruh dan Pengusaha atau Penetapan / Putusan Pengadilan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 150, 151, 152, 153 dan 154 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa Proses PHK yang dilakukannya terhadap Para Penggugat tersebut telah melalui Proses sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 151, 152, 153 dan 154 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa disamping itu, selama Hubungan Kerja berlangsung Para Penggugat merupakan Pekerja / Buruh yang tidak pernah diberikan Surat Peringatan, sehingga dapat dikategorikan sebagai Pekerja / Buruh yang baik;
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan diatas, dihubungkan dengan Ketentuan Pasal 155 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat Bertentangan dengan Hukum Positif Ketenagakerjaan, oleh karenanya PHK tersebut Tidak sah dan Batal demi Hukum, untuk mana Petitum Butir 2 Gugatan Para Penggugat, Dikabulkan;
“Menimbang, bahwa dengan Batalnya PHK yang dilakukan Tergugat terhadap Para Penggugat, maka Hubungan Kerja antara Para Penggugat dan Tergugat harus tetap berjalan sebagaimana sebelumnya, untuk mana Tergugat harus mempekerjakan kembali Para Penggugat pada Posisi dan Jabatan serta dengan besaran dan system Kenaikan upah seperti sebelum PHK dilakukan, dengan demikian Petitum Butir 3 Gugatan Para Penggugat, Dikabulkan;
“Menimbang, bahwa Para Penggugat harus dipekerjakan kembali oleh Tergugat, maka berdasarkan Ketentuan Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dihubungkan dengan Ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Tergugat harus membayarkan Upah Para Penggugat selama belum ada Putusan s/d Putusan ini dimusyawarahkan oleh Majelis Hakim yakni 31Januari 2017;
“Menimbang, bahwa menurut Pengakuannya dalam Gugatan, Para Penggugat menerima Upah Terakhir pada Bulan Juli 2016, sedangkan Tergugat sebagai Pihak yang paling mudah untuk membuktikan Pembayaran Upah tidak membantah dan membuktikannya, maka Majelis bependapat bahwa Upah Para Penggugat terakhir dibayarkan oleh Tergugat pada Bulan Juli 2016 dengan besaran Upah per hari Rp. 85.550,- dengan Hari Kerja dalam setiap bulan = 25 hari, maka Upah Para Penggugat sebulan sebesar Rp. 2.138.750, oleh karena itu, Upah Para Penggugat selama belum ada Putusan yang harus dibayarkan oleh Tergugat kepada Para Penggugat dari Agustus 2016 s/d Januari 2017 masing-masing sebesar Rp. 12.832.500,- untuk mana Petitum Butir 5 Gugatan Para Penggugat, Dikabulkan;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan Gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Hubungan Kerja antara Para Penggugat dan Tergugat adalah Hubungan Kerja Permanen (PKWTT);
3. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Para Penggugat, Batal demi Hukum;
4. Menghukum Tergugat untuk mempekerjakan kembali Para Penggugat sesuai dengan Jabatan, Tugas dan Besaran Upah serta Sistem Kenaikan Upah seperti semula yakni sebelum PHK dilakukan;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar secara Tunai dan Sekaligus, Upah Para Penggugat selama belum ada Putusan, yakni: ...;
6. Menolak Gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.