Tips Praktis Merancang Petitum Gugatan yang Efektif & Efisien

ARTIKEL HUKUM
AMAR PUTUSAN PENGADILAN YANG BAIK, BERSIFAT “EXECUTABLE”. SEMENTARA, SURAT GUGATAN YANG IDEAL BERSIFAT “DAPAT DIEKSEKUSI”  SECARA MANDIRI OLEH PIHAK PENGGUGAT
Seluruh kalangan profesi litigator maupun pihak-pihak yang pernah terlibat dengan pengadilan di Indonesia, telah mafhum bahwa kendala paling besar yang akan mereka jumpai bukanlah pada saat mengajukan gugatan, namun pada saat mengeksekusi isi amar putusan Majelis Hakim—yang sekalipun itu telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Bahkan, tidak jarang terjadi, biaya dan kendala eksekusi jauh lebih kompleks dan lebih dilematis serta lebih dramatis ketimbang proses gugat-menggugat itu sendiri.
Kendala yang kerap dijumpai dalam praktiknya di lapangan, ialah “impotennya” fungsi dan peran jurusita pengadilan—dimulai dari sikap korupsi dan kolusi, tidak memiliki inisiatif, tidak menunjukkan perangai empati (cenderung arogan), materialistik, hingga tidak kooperatif terhadap para pencari keadilan yang butuh realiasi putusan pengadilan berupa eksekusi amar putusan. Tanpa dapat dieksekusi, putusan pengadilan ibarat “menang diatas kertas” yang merupakan “mimpi buruk” menyerupai “pil pahit” yang harus ditelan kembali oleh pihak yang telah bersusah-payah menempuh upaya hukum gugatan yang demikian panjang dan meletihkan prosesnya.
Kriteria amar putusan pengadilan yang baik, selalu meminimalisir para pihak pencari keadilan untuk bersentuhan atau bahkan meniadakan sama sekali ketergantungan terhadap peran seorang jurusita pengadilan. Bagaimanakah agar konsepsi demikian dapat direalisir? Itulah tepatnya tujuan utama artikel ini disusun, sebagai suatu keterampilan praktis yang tepat guna dalam merancang strategi gugatan.
Pada dasarnya, putusan pengadilan bahkan sama sekali tidak membutuhkan peran seorang jurusita, dimana seharusnya isi amar putusan pengadilan terkoneksi dengan seluruh instansi pemerintahan dibawah atap “Lembaga Eksekutif”, mengingat jurusita pengadilan juga merupakan anggota dari “Lembaga Eksekutif”, bukan bagian dari “Lembaga Yudikatif” meski seorang jurusita berkantor di gedung Pengadilan Negeri. Kedua postulat diatas menjadi pedoman paling utama dalam memahami hukum acara perdata yang humanis dan “ramah terhadap penggunanya” (user friendly).
Sebagai contoh, penetapan pengadilan yang mengabulkan permohonan seorang warga untuk mengubah nama atau untuk mengadopsi seorang anak, sama sekali tidak dibutuhkan keterlibatan seorang jurusita pengadilan untuk mengeksekusi isi amar penetapan, cukup pihak warga pemohon untuk membawa salinan otentik amar putusan ke pejabat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat, maka amar putusan pun akan diproses oleh pejabat Lembaga Eksekutif tersebut sesuai kewenangan dibidangnya.
Sama halnya kasus gugatan perceraian, dimana para pihak yang saling bersengketa perkara perceraian, “perkawinan dinyatakan putus karena perceraian” tidak butuh perantara tangan seorang jurusita untuk mengeksekusi gugatan perceraian yang dikabulkan Majelis Hakim. Bahkan pihak panitera pengadilan yang akan mengirim salinan amar putusan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, tanpa perlu para pihak itu sendiri untuk mengurus eksekusinya, juga tidak dibutuhkan peran seorang jurusita disini, namun hanya kurir yang menyampaikan kutipan putusan panitera pengadilan.
Dalam kasus-kasus sengketa pertanahan perihal eksekusi pengosongan, kendala yang paling mengganjal ialah berbagai “pungutan liar” demi “pungutan liar” yang tidak jelas dasar hukumnya, dengan nilai yang demikian fantastis dan demikian mencekik, dimana jurusita pengadilan (bersama dengan Ketua Pengadilan Negeri) memegang monopoli pengerahan pihak berwajib untuk melakukan proses pengosongan objek gugatan dari segala penghunian maupun barang-barang di dalamnya.
Fakta empirik demikian menjadi momok yang membuat indeks kepastian hukum di Indonesia, cenderung memiliki citra / wajah yang “kurang bersahabat”. Salah satunya ialah eksekusi pengosongan yang diajukan oleh pemenang / pembeli lelang eksekusi Hak Tanggungan, dimana harga objek lelang yang dibeli olehnya mungkin sama mahalnya dengan biaya “siluman” dan “pungutan liar” yang diminta olah jurusita pengadilan—itupun tanpa jaminan eksekusi pengosongan akan berhasil.
Citra buruk demikian yang sudah menjadi “rahasia umum”, pada gilirannya menyukarkan kalangan perbankan nasional untuk mengeksekusi Hak Tanggungan, akibat minimnya minat masyarakat untuk membeli objek lelang eksekusi. Berani membelinya, maka sama artinya berujung pada nasib akan berhadapan dengan jurusita pengadilan yang siap untuk “menerkam” dan “melahap” Anda secara bulat-bulat, semata hanya untuk dapat menempati tanah / rumah yang telah dibeli secara legal—suatu ironi yang menyerupai lelucon klasik khas peradilan.
Secara yuridis, pemenang lelang eksekusi berhak mengajukan “balik-nama” sertifikat tanah yang dibeli olehnya, sekalipun terdapat sengketa gugatan sang debitor dan objek tanah belum dikuasai secara fisik oleh sang pembeli objek lelang. Maka, pemilik sah atas objek tanah dan/atau bangunan diatasnya, ialah sang pembeli objek lelang.
Tidak ada alasan untuk mengkriminalisasi sang pemilik sah (baca: pembeli lelang) untuk memasuki objek tanah / rumah yang telah secara sah menjadi miliknya (secara yuridis). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Majelis Hakim untuk menolak pokok permintaan berikut ini dalam petitum surat gugatan, yang dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut:
- Menyatakan Penggugat sebagai pemilik sah hak atas tanah berupa tanah dan/atau bangunan yang berdiri diatasnya;
- Memerintahkan Tergugat maupun pihak ketiga untuk mengosongkan diri dari segala penguasaan maupun barang-barang dari Objek Sengketa;
- Mengijinkan Penggugat untuk membuka kunci, membuka pintu, dan memasuki pekarangan maupun ke dalam bangunan objek sengketa dan menghuninya, sekalipun tanpa itikad baik pihak Tergugat ataupun pihak ketika yang menghuninya tanpa izin dari pihak Penggugat;
- Mengijinkan Penggugat untuk mengeluarkan barang-barang milik Tergugat dari dalam objek sengketa, sekalipun tanpa keberadaan Tergugat, dimana Tergguat sudah semestinya proaktif dengan kesadaran sendiri mengeluarkan barang-barang miliknya dari objek sengketa, ketika amar putusan ini menyatakan bahwa Penggugat sebagai pemilik sah atas Objek Sengketa, dimana pihak Tergugat juga menjadi salah pihak dalam gugatan ini sehingga telah mengetahui sepenuhnya keberadaan amar putusan ini;
- Mengijinkan Penggugat untuk mengajukan permohonan pemutusan aliran listrik maupun air bersih ke lembaga-lembaga penyedia listrik dan air bersih, dimana putusan ini berlaku juga sebagai surat kuasa yang tidak dapat dicabut dari dan oleh pihak Tergugat bagi pihak Penggugat, untuk menghadap instansi terkait guna memutus sambungan listrik dan air bersih tersebut;
- Mengijinkan Penggugat untuk menggembok pintu pagar objek sengketa;
- Menyatakan segala penghunian dan/atau penguasaan fisik tanah / bangunan objek sengketa oleh pihak Tergugat atau pihak ketiga sejak secara yuridis kepemilikan objek sengketa telah beralih kepada pihak Penggugat, adalah melawan hukum dan ilegal.
Jika beberapa butir pokok paling esensial permintaan dalam surat gugatan (petitum) diatas dikabulkan oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara, dan dituangkan / dikukuhkan dalam amar putusannya, maka pihak penggugat yang dimenangkan gugatannya, sama sekali tidak membutuhkan keterlibatan (dan tidak perlu mengemis kepada) Jurusita Pengadilan untuk mengeksekusi pengosongan objek rumah. Semuanya serba swadaya, pihak penggugat itu sendiri untuk “berdikari”.
Apa yang akan terjadi, bila seandainya pasokan sambungan listrik dan air bersih dihentikan? Apakah penghuninya mampu bertahan hidup sekalipun bersikukuh untuk menguasai fisik objek tanah / rumah dan menempatinya secara terus-menerus, tanpa listrik dan tanpa air bersih? Dengan diberikannya kuasa oleh putusan pengadilan yang juga berlaku sebagai surat kuasa mutlak yang “full power” demikian, maka ketergantungan terhadap peran jurusita pengadilan, menjadi diminimalisir sama sekali. Maka, tidak lagi dibutuhkan biaya untuk eksekusi pengosongan yang demikian mahal dan tidak efisien. Penggugat hanya cukup menunggu beberapa waktu lamanya, maka pihak Tergugat akan keluar secara sendirinya.
Selama ini, dalam praktik, teknik demikian telah banyak dilakukan oleh para litigator dalam sengketa tanah. Sebagai contoh, pihak Penggugat dinyatakan “dikabulkan” gugatannya dan dinyatakan sebagai pemilik yang paling sah atas objek tanah. Namun, sertifikat tanah masih di tangan pihak Tergugat, dan adalah mustahil bagi jurusita untuk menangkap dan menyeret pihak Tergugat untuk bersama-sama pihak Penggugat menghadap ke Kantor Pertanahan dengan tujuan untuk melakukan permohonan peralihan hak atas tanah. Pihak Tergugat yang dikalahkan pun, dipastikan tidak akan secara sukarela menyerahkan dokumen sertifikat hak atas tanah kepada pihak Penggugat.
Apakah artinya pihak Penggugat tersandera oleh sikap Tergugat, yang tidak menghormati isi amar putusan pengadilan? Kita tidak dapat berasumsi bahwa seorang warga negara (yang sudah jelas-jelas nakal sehingga telah terpaksa digugat demikian) akan secara penuh kesadaran patuh dan hormat pada putusan pengadilan. Tidak ada satupun kasus, dimana pihak Tergugat akan dengan senang hati menuruti isi amar putusan dengan demikian patuhnya. Bahkan, dalam contoh kasus diatas, peran seorang Jurusita Pengadilan sekalipun tidak memiliki faedahnya. Kalangan profesi hakim yang baik pun, perlu menyadari urgensi dibalik perumusan petitum demikian.
Lantas, bagaimana cara merumuskan petitum gugatan yang mampu dieksekusi (executable)? Berikut inilah rumusan pokok tuntutan dalam gugatan dengan corak karakter demikian, yang cukup populer di kalangan litigator karena sifatnya yang efektif disamping efesien:
- Memerintahkan Tergugat untuk menyerahkan sertifikat tanah Objek Sengketa, dan bersama-sama pihak Penggugat menghadap pihak Kantor Pertanahan setempat untuk melakukan proses balik-nama sertifikat hak atas tanah;
- Menyatakan, bilamana Tergugat tidak patuh pada amar putusan diatas, maka putusan pengadilan ini berlaku / berfungsi juga sebagai kuasa mutlak bagi pihak Penggugat untuk menghadap mengajukan permohonan penerbitan sertifikat pengganti hak atas tanah Objek Sengketa, serta sekaligus mengajukan permohonan peralihan hak atas tanah Objek Sengketa dimaksud.”
Butir pertama petitum diatas, merupakan butir permintaan “basa-basi”, sementara yang menjadi esensi paling utama dari gugatan yang dapat seketika dieksekusi secara efektif, terletak pada rumusan butir kedua dari petitum sebagaimana ilustrasi diatas. Jika tidak dicantumkan model petitum kedua, kendala eksekusinya sangat luar biasa kompleks dan birokratis.
Melihat karakter petitum serta amar putusan diatas, kini kita menjadi mafhum pula, bahwa jenis amar putusan pengadilan bukan hanya terdiri dari tiga kriteria (condemnatoir, constitutief, dan declaratief), namun juga dapat berupa pemberian (granted) atau membolehkan (approval) suatu keadaan bagi pihak kedudukan dan kualitas status pihak Penggugat, seperti diberikannya kuasa bagi pihak Penggugat untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu atas nama phak Tergugat bila pihak Tergugat tidak kooperatif menjalankan isi amar putusan serta tidak memiliki itikad baik untuk mengindahkan amar putusan pengadilan.
Tidak ada yang tidak mungkin dalam variasi amar putusan pengadilan yang dapat dimohonkan, semua bergantung pada kreatifitas, rasio, serta elaborasi pihak Penggugat itu sendiri. Kata kuncinya, untuk dapat terbebas dari monopoli kewenangan fungsi Jurusita Pengadilan, tidak ada pilihan lain selain sedemikian rupa merumuskan petitum yang memberi kualitas independensi dan kemandirian bagi pihak Penggugat untuk melakukan eksekusi amar putusan.
Mari kita lontarkan dialektik sederhana berikut: Perlukah sengketa gugatan hak asuh, diperantarai oleh jurusita untuk eksekusinya? Hanya pihak-pihak yang berpikir secara salah-kaprah, bahwa jurusita pengadilan memonopolisir kewenangan mengeksekusi putusan pengadilan, maka hanya jurusita yang dapat mengeksekusi semua jenis amar putusan pengadilan. Bisakah Anda sebutkan, dasar hukum yang menyebutkan bahwa status seorang Jurusita Pengadilan termasuk sebagai “Lembaga Yudikatif”? Bila ada yang mampu menyebutkan, tolong beritahu penulis.
Dalam sengketa gugatan perceraian, biasanya disertai pula sengketa hak asuh atas anak. Sebagai contoh, sang anak hingga saat ini tinggal bersama sang ayah, namun hak asuh berdasarkan amar putusan Majelis Hakim, jatuh pada penguasaan sang ibu. Maka, apakah artinya sang jurusita harus menangkap anak itu, untuk lalu kemudian diserahkan kepada sang ibu? Betapa konyolnya, bila itu yang ada di benak dan asumsi kita.
Kita tidak boleh lupa, bahwa seorang jurusita adalah seorang pejabat dalam lingkup “Lembaga Eksekutif”, maka dirinya tidak berbeda dengan Aparatur Sipil Negara manapun lainnya seperti pegawai kantor Kelurahan atau Kecamatan, dimana data administratif sang anak dapat dipindah ke Kartu Keluarga sang ibu, cukup berdasarkan menghadapnya sang ibu dengan berbekal amar putusan pengadilan demikian secara mandiri—tidak perlu harus sang Jurusita yang datang menghadap kantor Kelurahan ataupun Kecamatan untuk mengubah komposisi Kartu Keluarga sang ayah dan sang ibu, itu namanya memperpanjang rantai birokrasi dan “ekonomi biaya tinggi” sekaligus membuka potensi “pungutan liar” dimana sang jurusita akan “menjual mahal” peran monopolistiknya demikian bila monopoli seorang Jurusita atas amar putusan dibenarkan oleh hukum.
Namun tidak terdapat satupun pasal dalam hukum acara perdata yang menyatakan secara tersurat maupun secara tersirat, bahwa seorang pejabat jurusita memiliki kewenangan monopolistik demikian. Sang jurusita, bila diberi kekuasaan monopolistik demikian, maka masyarakat pencari keadilan terpaksa harus “mengemis-mengemis” dan menuruti segala kemauan sang jurusita yang pastinya akan cenderung menyalah-gunakan kekuasaan monopolistknya, sementara fungsi pengawasan peradilan masih sangat lemah di Indonesia. Lord Acton berkata: power tends to corrupt. “Absolute power, corrupts absolutely.”
Bandingkan juga konteksnya dengan ketika pihak Penggugat mengajukan sita jaminan terhadap rekening milik Tergugat, hal mana memang dimungkinkan dan sudah kerap dipraktikkan oleh para litigator di Tanah Air. Masalahnya, sita jaminan berkolerasi pada biaya, disamping eksekusi sita-nya tersebut pun akan membutuhkan keterlibatan tangan jurusita pengadilan. Absurd-nya lagi, pengadilan membebani pula biaya pencabutan sita, sekalipun kemudian pihak Tergugat menjalankan isi amar putusan secara sukarela. Jurusita hanya berkirim korespondensi surat-menyurat kepada instansi yang terkait, namun biaya sita mencapai jutaan hingga belasan juta Rupiah. Semahal itukah, biaya untuk berkirim surat? Itupun biaya resmi, belum kita bicara biaya berbagai “pungutan liar” yang diluar akal sehat harganya—bagai “merampok” warga negara pembayar pajak sumber gaji sang Pegawai Negeri Sipil.
Pertanyaannya, mengapa tidak merumuskan saja jenis amar putusan yang bersifat “swadaya”, sehingga tidak membutuhkan tangan-tangan Jurusita manapun, namun dapat secara mandiri mengeksekusinya, sehingga alih-alih surat gugatan meminta agar rekening milik Tergugat disita eksekusi, maka pihak Penggugat dapat membuat invonasi ketika merumuskan petitum dalam surat gugatan. Rumusan petitum berikut, dapat menjadi alternatif cerdas sebagai opsi yang dapat dipilih ketimbang sita jaminan ataupun sita eksekusi:
- Menghukum Tergugat untuk membayar ganti-rugi sejumlah ...;
- Bila dalam tempo 30 hari kalender pihak Tergugat tidak mengindahkan amar putusan ini yang telah berkekutan hukum tetap, maka putusan ini berlaku juga sebagai kuasa bagi pihak Penggugat untuk menghadap instansi perbankan mana pun di Indonesia, untuk mengajukan blokir terhadap rekening milik Tergugat, atau untuk menarik sejumlah dana sebesar amar butir tersebut diatas dari rekening milik Tergugat, atas nama Tergugat dan dana penarikan tersebut menjadi pelunasan bagi pihak Penggugat sesuai amar putusan butir diatas.”
Tidak ada yang lebih indah, dari amar putusan pengadilan perkara perdata yang dapat dengan mudah dan efisien dieksekusi, bagi pihak yang dikabulkan gugatannya. Dengan efektifnya amar putusan pengadilan, maka tiada lagi pihak Tergugat manapun yang berani meremehkan terlebih bersikap “memasang badan” terhadap amar putusan perkara perdata—seperti yang terjadi dan dipertontonkan secara vulgar selama ini di Tanah Air, dimana mayoritas amar putusan perkara perdata, menjelma “menang diatas kertas”, kemubaziran yang sangat patut disayangkan.
Mengingat berbagai kendala gugatan perdata ialah dalam tataran eksekusi amar putusan, maka tiada warga negara yang takut ketika akan digugat, karena mereka menyadari sepenuhnya terdapat kesulitan tersendiri dalam eksekusi yang akan dihadapi sang Penggugat.
Hukum acara perdata menjadi tampak lebih melindungi pihak yang digugat dan dikalahkan, sekalipun dirinya sama sekali tidak memiliki itikad baik untuk mengindahkan isi amar putusan. Tidak terdapat efek jera dalam perkara gugatan perdata, akibat “mimpi buruk” yang dihadapi ketika memasuki tahap permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri cq. Jurusita Pengadilan. Bahkan, kerap terjadi, pihak Tergugat hanya “tersenyum tenang” ketika digugat dan sekalipun dihukum dalam amar putusan perdata. Jadilah, berbagai warga negara secara berani melakukan praktik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.
idealnya, terdapat lembaga khusus untuk eksekusi, menggantikan posisi Jurusita pengadilan yang terkesan arogan dan penuh pungutan liar. Namun lebih ideal lagi ketika Majelis Hakim “menghadiahkan” amar putusan yang dapat dieksekusi secara swadaya oleh warga pencari keadilan.
Akhir kata, Kita tidak dapat mengandalkan “asumsi semu” bahwa pihak tergugat akan secara sukarela menjalankan isi amar putusan. Sama seperti, kita tidak dapat secara naif, mengharap agar setiap warga masyarakat patuh dan menjalankan isi perintah maupun larangan dalam undang-undang pidana maupun ketentuan hukum perdata dalam amar putusan pengadilan.
Pihak yang beritikad buruk, tidak layak mendapatkan perlindungan hukum, salah satunya pihak-pihak yang tidak patuh untuk menjalankan isi amar putusan perkara perdata—oleh karenanya eksekusi secara swadaya menjadi opsi paling ideal dan paling rasional yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan bagi pihak-pihak pencari keadilan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.