Manusia Paling Berbahaya: TIDAK PUNYA MALU dan TIDAK PUNYA TAKUT

ARTIKEL HUKUM
Beberapa waktu sebelumnya pernah terjadi kejadian yang “aneh namun nyata” di kediaman penulis. Seseorang dengan menggunakan tongkat galah mencuri buah yang berbuah pada pohon buah di rumah penulis, meski dirinya tahu bahwa ada pemilik rumah sedang mengamati dan telah menegur perbuatan lancang mereka yang mencuri tanpa rasa takut apapun. Sekalipun telah ditegur, yang bersangkutan tetap asyik dengan kegiatannya mencuri, seolah memang itulah profesinya selama ini dalam mencari makan: mencuri makanan milik orang lain.
Sebenarnya fenomena demikian mirip seperti seorang / sekawanan perampok, tahu ada tuan rumah, namun tetap memasuki secara paksa, tanpa kenal malu dan tanpa kenal takut, dengan maksud untuk memiliki barang milik orang lain secara melawan hukum. Yang membedakan antara perampok dan pencuri, selain derajat “tidak tahu malu”-nya, ialah perihal unsur delik “ada atau tidaknya tuan rumah” ketika aksi ilegal demikian dilakukan. Merampok selalu lebih jahat sifatnya, akibat derajat “tidak tahu malu”-nya telah demikian akut.
Orang berakal sehat manapun, tidak sampai harus diberitahu terlebih ditegur agar tidak mengambil barang milik orang lain, terutama di rumah orang lain. Semua orang tahu dan sadar bahwa mereka tidak punya hak untuk merenggut “makanan” maupun harta benda milik orang lain yang mereka peroleh dari keringat dan jirih payah mereka. Itulah sebabnya, sifat kejahatan seperti mencuri dan merampok, terlebih sebuah perkosaan, tergolong sebagai kejahatan yang selain melanggar susila, etika sosial, juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Derajat yang lebih ekstrem terdapat pada delik pemerkosaan, dimana pelakunya memaksa korban untuk melayani nafsu hewani sang pelaku yang penuh ketamakan, sekalipun sang korban tidak mengenali sang pelaku. Seorang terdakwa tindak pidana pencurian, mungkin saja mencuri demi mengisi perut yang lapar—meski disaat bersamaan dirinya tidak mau memikirkan bahwa bisa jadi si korban pencurian jauh lebih lapar dari si pencuri. Namun seorang terdakwa tindak pidana perkosaan, melakukan kejahatan demi kesenangan nafsu egonya sendiri, dengan mengorbankan martabat manusia lain yang menjadi korbannya.
Berbeda dengan Islam yang menganut “Hukum Syariat Islam” maupun Kristiani yang menganut “Hukum Kristen”, dalam Buddhisme, tidak dibutuhkan aturan-aturan “kebolehan” ataupun “larangan” bagi umat aman (kecuali mereka yang memilih untuk memasuki sasana ke-bhikkhu-an), karena semuanya telah terangkum dalam dua prinsip paling pokok dalam Buddhisme, yakni apa yang dalam Bahasa Pali disebut sebagai “hiri” dan “ottapa”. Selama siswa Sang Buddha menegakkan kedua prinsip tersebut dalam praktik hidup keseharian, tidak butuh banyak aturan njelimet seperti “hukum negara” atau “hukum agama”.
Yang dimaksudkan dengan “hiri”, mengandung makna “malu berbuat jahat”. Rasa malu itulah yang menjadi benteng moral utama bagi seseorang “yang mengaku sebagai seorang manusia” untuk tidak berani melakukan sesuatu yang diluar batasan susila maupun moralitas, terutama etika bangsa beradab. Rasa “malu” untuk berbuat buruk itulah, yang membuat dirinya tidak akan melakukan kejahatan atau pelanggaran norma apapun, sekalipun itu pelanggaran kecil ataupun apabila dirinya tidak diawasi oleh orang lainnya.
Sementara yang dimaksud dengan “ottapa”, mengandung makna sebagai “takut pada akibat buah perbuatan buruk”. Karena dilatih untuk berpikir logis dan rasional, para siswa Sang Buddha memiliki pola pikir yang selalu mengkorelasikan setiap tingkah laku dengan akibat dari perbuatan buruk yang dapat terjadi, yakni berpedoman pada cara kerja hukum karma, dimana perbuatan buruk yang kecil maupun yang besar, diakui atau tidak diakui, adil atau tidak adil, perbuatan itulah yang akan diwarisinya sendiri, bukan anak dan bukan orang lain yang akan mewarisi buah karma buruk itu ketika matang untuk berbuah dikemudian hari.
Bila kita benar-benar mau untuk menjadikan kedua rambu demikian sebagai “kode etik” manusia beradab, maka tiada akan lagi pernah terbit kejahatan bagi si pemegang “kode etik”. Sebuah “kode etik”, dipegang oleh para pengembannya demi kebaikan diri mereka sendiri, juga demi kebaikan komunitas serta segenap umat manusia.
Malu untuk berbuat buruk dan takut akan akibat bila melakukan perbuatan buruk, aturan yang sangat sederhana dan tidak butuh kesukaran seperti mengingat pasal peraturan perundang-undangan ataupun seperti hukum agama. Yang bila dirangkum, maka akan berbunyi sebagai berikut: “Yang disebut dengan perbuatan baik, artinya tidak menyakiti diri sendiri, dan juga tidak menyakiti orang lain.” Silahkan Anda definisikan sendiri pengertian dari “perbuatan buruk”.
Namun yang paling berbahaya ialah ketika suatu agama tertentu, terlampau jauh mengintervensi standar moral, lewat berbagai aturan kebolehan, perintah, ataupun larangan, atau bahkan mencampur-aduk antara “agama” dan “negara”. Negara sekular selalu lebih toleran dalam masyarakat yang majemuk, dan kita tidak pernah menemukan sikap hidup yang bebas dari represi dalam negara yang mengkiblatkan diri pada satu keyakinan / agama tertentu. “Bhineka Tunggal Ika” sejatinya dipraktikkan dalam sistem bernegara khas “negara sekular”.
Standar moral yang semula bertopang pada rasio dan logika etika akal sehat, mampu bergeser oleh doktrin-doktrin agama, dimana seseorang umatnya yang semula menyerupai kertas “putih polos yang murni”, dikemudian hari dapat saja membunuh mereka yang berbeda keyakinan dengan tetap meyakini dirinya akan “masuk surga”, sebagaimana perintah dalam ajaran keyakinannya yang hanya coba dijalani oleh sang umat, sebagaimana tertulis dalam kitab mereka.
Kita dapat melihat praktik kehidupan negara-negara berkiblat agama demikian, selalu dilanda jika tidak perang saudara, maka aksi intoleran seperti terorisme “radkal anti kemajemukan” yang tidak sedikit memakan korban jiwa dan pertumpahan darah tanpa habis-habisnya, sejak beradab-abad lalu dan bahkan tidak menunjukkan gejala reduksi intensitasnya pada zaman kini. Berita yang sama selalu dapat kita baca setiap bulan dan setiap tahunnya, berita yang selalu menggambarkan duka dan tragedi serupa seperti berabad-abad sebelumnya, berdarah-darah.
Para pelakunya dengan penuh percaya diri melakukan aksi yang menyakiti dan menebarkan ancaman teror hingga aksi melukai secara fisik dan secara nyata, karena mereka mendapat justifikasi / pembenaran diri dalam doktrin-doktrin dan ayat-ayat kitab yang mereka yakini. Itulah yang paling berbahaya dari suatu doktrin perihal “hukum agama” yang mencoba terlampau jauh mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan berupa perintah, larangan, ataupun kebolehan yang tidak bertopang pada akal sehat, nurani, maupun standar moral susila yang humanis sesuai prinsip-prinsip dasar bangsa beradab. Agama semestinya hanya campur-tangan masalah iman pribadi secara internal, bukan terlampau mengintervensi masalah perilaku secara eksternal terhadap manusia lain.
Salah atau tidak bersalah, selama dibolehkan, tidak dilarang, dan bahkan diperintahkan oleh kitab dan doktrin per-wahyu-an, maka itulah yang kemudian menjadi bagian dari pola pikir dan corak karakter pada para penganut keyakinan tersebut. Alhasil, salah atau tidak bersalahnya umat beragama lain, selalu terulang berita yang sama seperti sebelumnya secara berulang-ulang: peledakan tempat ibadah, aksi anarkhi pembakaran tempat ibadah, pembunuhan yang dilegalkan atas nama Tuhan ataupun agama, bahkan hingga peledakan kantor-kantor kepolisian, sembari menyebutkan nama atau “mengatas-namakan” perintah Tuhan.
Sejatinya deradikalisasi tidak akan pernah mampu berhasil (dan telah terbukti program deradikalisasi tidak pernah efektif di “negara agama” manapun), sepanjang doktrin dan perwahyuan demikian masih menjadi kiblat utama cara pandang dan sikap karakter hidup suatu bangsa yang menyebut diri mereka “beradab” (meski Indonesia senyatanya sama sekali belum layak disebut sebagai telah beradab).
Negara yang humanis tidak selalu identik dengan bangsa yang agamais. Bangsa yang agamais, mustahil mendapati fakta masifnya korupsi terlebih fakta ironis dimana pemerintah melakukan “obral remisi” hanya demi alasan pragmatis: narapidana penghuni penjara telah “overload”. Fakta yang penulis jumpai di lapangan, lebih banyak penjahat yang “terpaksa” dilepaskan oleh pihak berwajib, akibat terlampau banyak laporan / pengaduan masyarakat (korban) yang mereka terima untuk dapat mereka tindak-lanjuti, dan akibat terlampau masifnya kejahatan untuk diproses pihak kejaksaan maupun kapasitas Lembaga Pemasyarakatan untuk menampung para narapidana tersebut.
Sama seperti ketika para pengunjung website yang penulis asuh, pastilah telah membaca dan menyadari bahwa penulis mencari nafkah dengan “menjual jasa” dan “menjual ilmu” sebagai seorang Konsultan Hukum. Namun tetap saja, setiap harinya selalu terdapat pihak-pihak tidak bertanggung-jawab yang secara disengaja (tidak mungkin secara lalai, karena yang ada hanyalah “pura-pura tidak tahu bahwa penulis membebani tarif layanan) melecehkan dan “memperkosa” profesi penulis dengan meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif—meski diri mereka tergolong sangat makmur dari segi materi.
Untuk selengkapnya, cobalah Anda simak uraian list orang-orang tidak bertanggung-jawab yang telah menyalah-gunakan nomor kontak dan email kami tersebut pada laman “BLACKLIST”, Anda akan terkejut betapa “tidak punya malu”-nya mereka dalam melecehkan profesi penulis. Ada pernyataan ataupun pertanyaan yang sangat tidak etis untuk diajukan. Sebagai contoh:
- Hanya orang tidak punya malu, yang berani bertanya kepada seorang profesi konsultan: “Boleh tanya? (minta ilmu, waktu, dan pelayanan tanpa mau dibebani tarif).” Sementara bila mereka berkilah hanya hendak menanyakan perihal TARIF, header website sudah mencantumkan info TARIF KONSULTASI, yang tidak mungkin tidak dibaca olehnya. Jawaban apa yang dapat kami berikan selain: “Anda ingin membudaki kami? Anda sendiri saja yang kerja pada kami sesuai profesi Anda, tapi tanpa upah, agar keluarga Anda makan batu.”
- Sama seperti hanya orang biadab, yang bertanya kepada penjual makanan di rumah makan: “Boleh minta makan (tapi ngak bayar?)” Jawaban semacam apa yang Anda harapkan dari sang pemilik usaha jual makanan tersebut, selain respon berupa “piring terbang” melayang ke wajah tidak punya malu Anda?
Dari ilustrasi sederhana tersebut diatas, kita mendapati suatu kesimpulan, bahwa orang-orang yang taat beragama (rajin melakukan ritual dan agamais), belum tentu memahami prinsip mendasar perihal pentingnya “tahu malu” dan “takut akan akibat perbuatan buruk”. Mereka selama ini hanya terlatih sebagai robot yang mematuhi simbolisme “haram” dan perihal “halal”, selebihnya mereka “buta sama sekali” perihal “tahu malu” terlebih “takut akan akibat dari buah karma buruk”.
Karena pedoman mereka ialah apa yang tertulis dalam larangan, perintah, dan kebolehan “hukum agama”, maka pedoman utama mereka bukanlah “tahu malu” dan “takut akan akibat perbuatan buruk”. Mereka merasa, selama mereka telah menjalankan ayat-ayat dalam kitab mereka, maka mereka sepenuhnya “aman”, dan yakin akan “masuk surga”, sekalipun sebagaimana dapat Anda lihat sendiri betapa sakitnya hati penulis dilecehkan dan diperkosa demikian meski penulis mencari nafkah secara legal dengan “menjual jasa”, yang mana mencari nafkah dan tidak “diperbudak” adalah bagian dari hak asasi penulis.
Masalahnya, dalam ayat-ayat kitab mereka, tidak terdapat larangan untuk “tidak memperkosa profesi orang lain”. Sepanjang tidak ada ayat larangan demikian, maka mereka akan terus saja melecehkan dan memperkosa profesi orang lain, tanpa kenal malu, dan tanpa kenal takut akan akibat karma buruknya dikemudian hari. Terbukti, setiap hari selalu mengalir pelecehan serupa ke nomor kontak maupun email penulis.
Sama seperti cerminan dimana dapat kita saksikan sendiri, Bangsa Indonesia menggemari konsumsi buah durian dan “tape ketan”, dan menyatakan bahwa kedua makanan tersebut adalah “tidak terlarang” untuk dikonsumsi, semata kitab yang mereka yakini tidak melarangnya, meski secara ilmu kimiawi, struktur glukosa kedua makanan tersebut telah mengandung etanol hasil fermentasi, alias alkohol yang sedikit banyaknya tetap mampu memabukkan. Tidak butuh seorang ahli kimia, untuk membuktikan terjadinya proses fermentasi glukosa pada kedua makanan tersebut.
Dengan memegang teguh pemahaman terhadap prinsip “malu untuk berbuat jahat” dan “takut akan buah dari karma buruk”, maka sejatinya umat manusia tidak butuh “hukum agama”, bahkan juga sama sekali tidak butuh “hukum negara”. Coba renungkan baik-baik anekdot berikut: Dahulu kala, tepat seribu tahun lampau, tidak ada segudang undang-undang seperti yang dengan produktif diproduksi oleh parlemen kita, namun mengapa tingkat kejahatan penipuan dan kejahatan lainnya, tidak kunjung surut meski berbagai undang-undang baru berisi larangan terus saja diterbitkan oleh negara? Justru modus kejahatan baru, kian meraja-lela? Bisakah Anda memberi penjelasan fenomena demikian?
Cobalah renungkan baik-baik, sebelum Anda secara terlampau prematur mengambil kesimpulan “pro” ataupun “kontra” terhadap tulisan singkat ini. Sungguh meletihkan setiap hari harus mendapati pelecehan terhadap profesi penulis, oleh “bangsa tidak kenal” malu yang “sudah putus urat malunya” ini dan bahkan berani dengan lancang menyakiti orang lain “tanpa takut akan akibat karma buruk”-nya. Itulah kenapa, Tuhan memberi kita otak untuk berpikir diatas kaki kita sendiri (berdikari), bukan untuk dimatikan sel-sel otak kita dengan menjadi Burung Beo “yang hanya tahu untuk membeo”.
Inilah salah satu contoh nyata lainnya yang kami alami. Seseorang bernama Jesslyn Priscilia, jp_pink88@yahoo.com , merupakan salah satu “orang kaya bermental pengemis”, sekonyong-konyong tanpa memperkenalkan diri seketika “memperkosa” profesi penulis dengan mengajukan email tanpa membayar tarif layanan jasa. dengan isi:
“Selamat siang pak, sy selaku istri akan ttd AJB bulan ini. Yg ingin sy tanyakan apa bisa sebelum ttd AJB sy buat perjanjian di notaris yg menyatakan pembeli akan mentransfer dana tersebut ke dua rekening misal 50% ke rek atas nama sy dan 50% nya lagi ke rek atas nama suami? Sent from iPhone.”
Luar biasa bukan? Orang kaya yang mampu beli tanah, mampu punya iphone, namun tega dan beraninya dengan lancang memperkosa profesi penulis, meski telah dicantum dalam website, bahwa hanya klien yang telah membayar deposit tarif yang berhak mengajukan pertanyaan hukum (adalah bohong jika dikatakan tidak membacanya, karena tampilan website penuh dengan status profesi penulis selaku “KONSULTAN HUKUM”).
Bagi kami, hanya anak seorang pelacur yang demikian “tidak punya malu” akibat “sudah putus urat malunya”, sekalipun dirinya mungkin seorang “agamais” dengan “halal lifestyle”-nya. Seolah-olah, penulis tidak memiliki hak asasi untuk mencari nafkah dan hanya dapat “memakan batu”. Mengapa tidak dirinya saja yang “kerja rodi” bagi kepentingan penulis?
Apakah kekayaan materi Jesslyn Priscilia, didapat dari merampok makanan dari profesi-profesi warga negara lainnya, seperti penulis yang juga menjadi korban ketamakan dirinya? Tidak dapat disimpulkan lain, sebanyak apapun pasal-pasal “hukum negara”, dan setebal apapun ayat-ayat kitab suatu “hukum agama”, tidak pernah lebih berbobot dari dua prinsip mendasar ini: “hiri” dan “ottapa”.
Sejak kapan, seseorang diberi hak untuk membudaki warga negara lain, alias “praktik perbudakan” secara vulgar dan senonoh demikian? Aneh, namun nyata, dan setiap harinya penulis alami. Mungkin salah seorang dari Anda yang membaca tulisan ini, juga pernah mencoba melakukan pelecehan serupa terhadap penulis, karena seluruh orang-orang yang melecehkan profesi penulis tersebut, adalah mereka yang selama ini membaca dan menimba ilmu dari publikasi karya tulis penulis di website ini.
Penulis juga pernah melakukan uji coba, ketika seseorang tanpa memperkenalkan diri kembali “memperkosa” profesi penulis, sekonyong-konyong merasa berhak mengajukan pertanyaan perihal tanah, dan sebagai responnya penulis berikan jawaban hukum yang sengaja penulis “sesatkan”, dan inilah tanggapan dari orang “tidak tahu malu” bersangkutan: “Alhamdullilah” (pelakunya dari nomor seluler: 085648358411).
“Untung di dia, rugi di saya”, bila penulis berikan opini hukum yang benar. Adalah wajar, orang sesat untuk disesatkan. Tidak disesatkan juga sudah sesat. Sama seperti orang-orang dengan “nama buruk”, apanya lagi yang tersisa untuk “mengklaim “telah dicemarkan nama”-nya? Dirinya sama sekali tidak punya “nama baik” untuk dicemarkan.
Terdapat juga pihak yang mengaku sebagai mantan auditor BPKP dan KPK, namun juga menuntut dilayani “tanpa mau membayar upah” (dari nomor seluler: 081808710160), hingga yang menyebut penulis sebagai “mata duitan” hanya semata karena penulis menetapkan tarif profesi saat “menjual jasa” (dari seorang penjual makanan bernama Septia / Dita Darry Sauqi, seolah dirinya tidak “mata duitan” ketika mematok harga untuk barang dagangannya).
Mereka selama ini menimba ilmu dari berbagai publikasi karya tulis penulis dalam website ini, namun begitukah cara mereka membalas budi baik penulis: membalas “air susu dengan air tuba”? Sekali lagi, “hukum agama” mereka tidak melarang untuk “membalas air susu dengan air tuba”, sehingga mereka berasumsi bahwa diri mereka berhak untuk “membalas air susu dengan pelecehan” demikian. Ironis, watak bangsa bermental “pengemis” dan “pemerkosa”.
Mungkin Anda juga bertanya-tanya, mengapa di Indonesia, tidak ada hewan satwa ataupun buah yang dapat tumbuh secara bebas di dekat pemukiman warga negara Indonesia? Karena orang-orang “agamais” Indonesia, merasa “dosa” bila tidak mencuri dan menangkap buah-buahan liar dan satwa-satwa tersebut. Sama juga, mereka merasa ada yang “keliru”, bila tidak mencoba untuk “memperkosa” profesi penulis dengan cara menyalah-gunakan nomor kontak maupun alamat email yang penulis cantumkan pada website profesi penulis. Apakah seseorang yang sedang berdagang di pasar, artinya barang-barang jualan itu bolah diambil oleh Anda tanpa membayar? Itu namanya MERAMPOK!!!
Simak kisah-kisah “tragis” serupa secara selengkapnya, dalam laman BLACKLIST, dan Anda akan tahu betapa rusak “moral” Bangsa Indonesia yang konon “agamais” ini. Berangkat dari pengalaman demikian yang selalu terulang, penulis tampaknya cenderung untuk lebih memilih hanya berhadapan dengan sekalipun seorang “ateis”, namun masih memiliki standar moral rasa “tahu malu”, ketimbang seorang “agamais” namun tetap yakin akan “masuk surga” meski telah memperkosa profesi penulis.
Apakah salah, jika penulis telah berkata secara jujur? Mengapa tidak justru Anda kritik orang-orang yang telah bersikap tidak bertanggung-jawab demikian, ketimbang sibuk menghakimi penulis yang “adalah wajar” menjunjung harkat profesinya ketika ada 'tukang rampok'. Hak untuk mencari nafkah, adalah Hak Asasi Penulis. Sejak kapan hanya Anda sendiri yang merasa berhak mencari nafkah?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.