Sepanjang Gaji masih Diatas UMR, Pekerja Tidak dapat Tuntut Kenaikan Upah

LEGAL OPINION
GUGATAN PHK TIDAK DAPAT BERLANJUT DENGAN GUGATAN PERSELISIHAN HAK
Question: Bila dulunya pernah ada gugatan PHK, dan sudah diputuskan pengadilan yang mengukuhkan PHK, lalu apa masih bisa pegawai kembali menggugat, dengan alasan dahulu saat masih kerja dirinya ada kekurangan upah yang masih belum dibayar perusahaan?
Brief Answer: Segala hak-hak normatif terkait pemutusan hubungan kerja (PHK), selesai saat dijatuhkannya putusan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) perkara sengketa PHK. Sengketa hak normatif demikian tidak dapat dipecah dalam gugatan terpisah dengan gugatan “perselisihan PHK”, sekalipun kekurangan upah merupakan klasifikasi “perselisihan hak”.
Namun akan menjadi kompleks, ketika gugatan pembatalan PHK dikabulkan pengadilan, lalu Pengusaha dihukum untuk memekerjakan kembali Pekerja, maka isu perihal kekurangan pembayaran upah ada kemungkinan tidak tersentuh oleh pemeriksaan Majelis Hakim. Dalam perjalanan selanjutnya, ketika hubungan tidak lagi harmonis, secara politis pihak Pengusaha dapat menggunakan daya tekan berupa kebijakan “tanpa kenaikan gaji” selama Pekerja tersebut masih bekerja. Ketika itu yang kemudian terjadi, sengketa benar-benar menjelma “benang kusut”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kasus konkret, sebagamaan tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 128 PK/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 13 Desember 2016, perkara antara:
- PT. BANK OCBC NISP, Tbk., sebagai Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat; melawan
- 48 orang Pekerja, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat merupakan karyawan Tetap yang sudah mengabdi di perusahaan Tergugat dengan masa kerja seluruhnya paling sedikit 12 Tahun,  di bagian Office Boy, Driver, dan Security atau disebut juga bagian Non Staff. Pada bulan Agustus 2013, Para Penggugat mengadakan aksi unjuk rasa menuntut perlakuan yang sama atas kenaikan upah (tanpa diskriminasi). Atas aksi demo tersebut, Para Penggugat mendapat perlakuan pembalasan dari Tergugat berupa:
- Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan Efisiensi, sebagaimana terbukti pada putusan dalam Perkara Nomor 42/G/2014/PHI.PN.Bdg, tertanggal 20 Oktober 2014;
- Selain di-PHK, juga tidak mendapat kenaikan Upah untuk Tahun 2013 hingga tahun 2015. Sedangkan kenaikan upah untuk karyawan lainnya, telah mendapat kenaikan hingga mencapai 15 % atau lebih untuk setiap tahunnya.
Perlakuan terhadap Para Penggugat berupa tidak mendapat kenaikan upah yang sama dengan karyawan lainnya sejak tahun 2013, dinilai sebagai bentuk diskriminasi. Tergugat menolak untuk berunding, sehingga permasalan ini diajukan melalui Mediator Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, dengan Anjuran agar pihak perusahaan dapat memberi kenaikan upah (nilainya kenaikan upah sama dengan yang diberikan kepada karyawan / pekerja yang aktif) terhitung sejak kurun waktu Tahun 2013.
Terhadap tuntutan kenaikan upah, meski sebenarnya Majelis Hakim dalam gugatan terpisah sebelumnya perkara Nomor 42/G/2014/PHI/PN.Bdg, tanggal 20 Oktober 2014, telah membuat pertimbangan hukum serta amar, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena upah Para Penggugat Rekonvensi ternyata sudah diatas upah minimum yang ditetapkan Pemerintah, maka kenaikan upah yang dituntut Para Penggugat Rekonvensi bukanlah suatu hak yang bersifat Normatif, sehingga tuntutan kenaikan upah Para Penggugat Rekonvensi untuk Tahun 2014 yang sudah diatas Normatif haruslah atas dasar perundingan dan kesepakatan antara Para Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi, dan jika tidak tercapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat menempuh upaya hukum.”
MENGADILI :
- Memerintahkan Penggugat Konvensi / Tergugat Rekonvensi (PT. BANK OCBC NISP, Tbk) untuk mencabut kembali surat Keputusan Nomor ... , tentang Skorsing, tertanggal 9 Desember 2013;
- Memerintahkan Penggugat Konvensi / Tergugat Rekonvensi (PT. Bank OCBC NISP, Tbk) untuk mempekerjakan kembali Para Tergugat Konvensi / Para Penggugat Rekonvensi sesuai tugas dan jabatannya masing-masing, sesuai Pasal 155 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003.”
Tergugat juga tidak memiliki panduan yang tetap sebagai acuan untuk kenaikan upah, karena dalam Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku di perusahaan Tergugat untuk tahun 2013 sampai dengan tahun 2015, Tergugat tidak mengatur mengenai struktur dan skala kenaikan upah, mengakibatkan sejak tahun 2013 sampai diajukannya gugatan ini tidak pernah mengalami kenaikan.
Sementara dalam bantahannya pihak Pengusaha mendalilkan, putusan Pengadilan Hubungan Industrial perkara Nomor 42/G/2014/PHI.PN.BDG tanggal 20 Oktober 2014, yang menolak gugatan permohonan PHK oleh perusahaan Tergugat, telah dimohonkan Kasasi dan telah diputus oleh Mahkamah Agung RI tertanggal 31 Maret 2015, yang amarnya: “Kabul Kasasi”. Artinya Mahkamah Agung R.I. telah mengabulkan permohonan Kasasi PT. Bank OCBC NISP. Adapun petitum pada Kasasi yang dimohonkan oleh PT. Bank OCBC NISP, adalah:
- Menyatakan Penggugat berhak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Tergugat, karena efisiensi sebagaimana pada Pasal 164 ayat 93) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menyatakan Para Penggugat terputus hubungan kerjanya dengan Penggugat sejak dibacakan Putusan dalam Persidangan;
- Menghukum Penggugat membayar uang kompensasi sebagaimana pada Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan kepada Para Tergugat.”
Sehingga, dengan demikian terhitung sejak tanggal 20 Oktober 2014, hubungan kerja Para Penggugat berakhir sesuai pembacaan putusan perkara Nomor 42/G/2014/PHI.PN.BDG pada tanggal 20 Oktober 2014.
Terhadap gugatan maupun bantahan demikian, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 206/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg tanggal 11 Maret 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya karena hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat belum terputus, maka termasuk tentang kenaikan gaji setiap tahunnya, sehingga walaupun di dalam PKB tidak diatur secara tegas tentang hak karyawan yang masih dalam masa skorsing, maka semuanya haruslah tunduk dan patuh pada Pasal 155 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, yaitu kewajiban Tergugat adalah membayar hak-hak Para Penggugat selama diskorsing karena secara hukum hubungan kerjanya belum terputus dengan Tergugat, sehingga hak-haknya tidak boleh dibedakan dengan karyawan yang masih aktif bekerja karena faktanya Para Penggugat masih ingin bekerja setelah melakukan pekerjaan setelah melakukan unjuk rasa tertanggal 26 s/d 28 Agustus 2013, tetapi setelah itu diperintah Tergugat untuk mengikuti pelatihan yang dalam waktu bersamaan posisi Para Tergugat sudah diganti oleh karyawan baru dari perusahaan alih daya atau (outsourcing) dan kemudian Tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Para Penggugat dengan alasan efisiensi, sehingga surat skorsing diterbitkan keinginan dari Para Penggugat tetapi merupakan keputusan dari Tergugat yang membawa konsekwensi hukum selama surat skorsing belum dicabut maka Para Penggugat masih merupakan karyawan Tergugat dengan hak-haknya haruslah disamakan dengan karyawan lainnya tanpa ada perbedaan diskriminasi, yaitu terbukti karyawan setiap tahun di lingkungan perusahaan PT. Bank OCBC NISP dari periode 2013 hingga tahun 2015 mendapat kenaikan upah (bukti P-34 s/d P-39) sedangkan Para Penggugat tidak mendapat kenaikan upah (bukti T-8.1 s/d T.47), sehingga haruslah Para Penggugat pun menerima kenaikan upah sejak tahun 2013, tahun 2014, tahun 2015;
“Menimbang, ... telah terbukti Tergugat telah melakukan diskriminasi mengenai upah merupakan pelanggaran terhadap Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ... , maka apabila karyawan yang lain naik upah tidak dibedakan dengan Para Penggugat yang seharusnya menerima kenaikan upah sebagaimana bukti P-34 s/d bukti P-39, karena status skorsing tidak merubah status hubungan kerja sebelumnya;
“Menimbang, ... upaya perundingan telah dilakukan oleh Para Penggugat secara patut dengan membuat surat kepada Tergugat dan pihak Tergugat menolaknya maka harus dinyatakan perundingan bipartite telah gagal sesuai Pasal 3 ayat (3) Undang Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ‘apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak tercapai kesepakatan, maka perundingan Bipartit dianggap gagal.’ jo. Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 31/MEN/XII/2008 tentang pedoman penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan Bipartit menegaskan: ‘dalam hal salah satu pihak telah meminta perundingan secara tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang bertanggung-jawab dibidang Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti permintaan perundingan’, oleh karena itu beralasan hukum gugatan a quo yang telah dilampiri dengan risalah penyelesaian melalui mediasi tentang kenaikan upah tahun 2013, tahun 2014 dan tahun 2015 telah memenuhi Pasal 83 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;
2. Menghukum Tergugat membayar Kenaikan upah para Penggugat dengan perincian kekurangan upah tahun 2013 seluruhnya sebesar Rp204.864.019,00; tahun 2014 seluruhnya sebesar Rp225.232.822,00; dan tahun 2015 seluruhnya sebesar Rp241.712.466,00 seluruhnya selama 3 (tiga) tahun berjumlah Rp671.809.307,00 dengan perhitungan sebagai berikut; ...;
3. Menolak gugatan para Penggugat selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan mengajukan bukti Novum berupa telah dibayarkannya kompensasi pemutusan hubungan kerja berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 111 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 31 Maret 2015, yang amarnya antara lain menyebutkan “hubungan kerja antara Penggugat (PT. Bank OCBC NICP, Tbk) dengan Para Tergugat putus, dan Para Tergugat memperoleh hak-haknya sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003.”
Dengan kata lain, seluruh hak-hak normatif pihak Pekerja telah selesai dalam gugatan perkara PHK. Pihak Pengusaha mendalilkan, peninjauan kenaikan upah didasarkan pada hasil penilaian kerja karyawan yang bersangkutan yang dilakukan setiap tahunnya. Sedangkan besaran kenaikan upah merupakan wewenang mutlak pihak perusahaan. Pekerja tidak mempunyai kapasitas dan wewenang untuk “memaksa” perusahaan menetapkan kenaikan gaji tanpa melalui proses penilaian kerja terlebih dahulu.
Kenaikan upah di lingkungan kerja perusahaan didasarkan pada hasil penilaian kerja masing-masing. Ada kriteria tambahan untuk kenaikan gaji penilaian kerja perorangan. Karena hasil penilaian sebagai dasar kenaikan upah, maka ada karyawan yang mendapat kenaikan gaji dan ada karyawan yang tidak mendapat kenaikan gaji. Gaji para Penggugat juga masih diatas Upah Minimum Regional setempat.
Faktanya, Para Penggugat dalam status “skorsing dalam rangka menuju PHK”, sehingga sistem rating atau penilaian kerja tidak diberlakukan kepada Para Penggugat. Rating kerja hanya diberlakukan kepada karyawan yang masih aktif bekerja, karena rating kerja merupakan pencapaian kinerja.
Para Termohon Peninjauan Kembali tidak bekerja dan tidak melakukan pekerjaan apapun, karena “diskorsing menuju PHK”, maka Para Penggugat tidak mendapat penilaian kerja sebagai syarat untuk mendapat kenaikan gaji seperti karyawan lainnya yang masih aktif bekerja.
Didalilkan pula, bahwa adalah keliru ketika Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan Para Penggugat tetap berhak mendapat kenaikan gaji, dengan alasan karena terbitnya skorsing bukan keinginan Para Penggugat dan belum dicabut, sehingga mereka masih berstatus sebagai karyawan. Perusahaan tetap membayar Upah Proses semasa skorsing, dalam rangka patuh pada aturan perihal Upah Proses, dan tidak dapat dimaknai lain.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan peninjauan kembali tanggal 20 September 2016 dan jawaban alasan peninjauan kembali tanggal 11 Oktober 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, ternyata bukti-bukti peninjauan kembali yang diajukan dapat diterima sebagai bukti baru yang bersifat menentukan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa ternyata benar antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Termohon Peninjauan Kembali telah timbul perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 111 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 31 Maret 2015, yang menyatakan putus hubungan kerja antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Termohon Peninjauan Kembali karena efisiensi sesuai ketentuan Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003;
2. Bahwa ternyata pada tanggal 13 Oktober 2015 para pekerja / Para Termohon Peninjauan Kembali menggugat kembali Pengusaha / Pemohon Peninjauan Kembali di hadapan Pengadilan Hubungan Industrial yang sama pada Pengadilan Hubungan Industrial Bandung, dengan tuntutan kekurangan pembayaran upah tahun 2013, 2014, dan 2015;
3. Menimbang sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja / buruh dan pengusaha;
4. Menimbang berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang a quo bahwa dengan telah dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan tanggal 31 Maret 2015, dan gugatan perselisihan hak diajukan tanggal 13 Oktober 2015, maka hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha telah berakhir, sehingga kewajiban pengusaha untuk membayar kekurangan upah seandainya terbukti kepada para pekerja tidak beralasan hukum dan tepat menyatakan gugatan para pekerja / Termohon Peninjauan Kembali, harus ditolak;
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas telah benar dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial Bandung yang berkekuatan hukum tetap terdapat kekhilafan hakim sebagaimana ketentuan Pasal 67 huruf f Undang-Undang Mahkamah Agung;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT. BANK OCBC NISP, Tbk, tersebut dan membatalkan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 206/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg tanggal 11 Maret 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT. BANK OCBC NISP, Tbk, tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 206/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg tanggal 11 Maret 2016;
“MENGADILI SENDIRI
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.