Sektor Keamanan Perspektif Hukum Internasional

ARTIKEL HUKUM
Dalam kajjian ini, penulis mengurai konsepsi-konsepsi elaboratif dari sektor keamanan perspektif hukum internasional, dikutip dari buku yang ditulis oleh Hans Born, dkk., Pengawasan Parlemen dalam Sektor Keamanan: Asas, Mekanisme dan Pelaksanaan, Penerjemah: J. Soedjati Djiwandono, Penerbit: Inter-Parliamentary Union Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces, Dicetak Edisi Terjemahan Indonesia: CSIS, Jakarta, 2005.
Selama dasawarsa terakhir, situasi keamanan global telah berubah secara dramatis. Ketika ancaman-ancaman lama telah semakin lenyap, tantangan-tantangan baru dan yang lebih “menakutkan” justru menggantikannya secara kurang kasat-mata. Kesadaran akan hal tersebut, mendorong pemikiran baru tentang gagasan-gagasan yang melandasi keamanan, konflik, dan perdamaian. (hlm. 17)
Di negara yang mengaku berkiblat sebagai bagian dari negara demokratis, tidak semua konflik merupakan ancaman pada perdamaian maupun keamanan. Di setiap komunitas masyarakat, adalah wajar terdapat pandangan-pandangan yang bersaing dan berlawanan tentang berbagai masalah. Dalam demokrasi, kebebasan berpendapat memungkinkan rakyat untuk menyampaikan pandangan-pandangan itu kepada wakil-wakil rakyat pilihan mereka. Pada gilirannya, mereka bertugas untuk mendiskusikan dan mempertimbangkan masalah-masalah yang dipertaruhkan melalui debat terbuka. Prosedur demikian memungkinkan negara-negara demokrasi meredakan konflik dan mencari kemungkinan kompromi yang mendapat dukungan masyarakat umumnya. Tidak mengherankan, bahwa seringkali karena tiadanya lembaga-lembaga demokrasi yang berfungsi, ketegangan-ketegangan semakin parah sehingga tidak terkontrol dan berubah menjadi konflik dengan kekerasan. Dengan adanya mekanisme untuk menyalurkan konflik, perbedaan, maupun ketidak-setujuan, demokrasi dilihat sebagai sangat berkaitan dengan perdamaian dan keamanan, karena perbedaan pun akan tetap diakomodasi sebagai pemangku kepentingan. (ibid)
Keamanan nasional, dengan fokus pada perlindungan negara, bergeser menjadi “keamanan manusia”, yang mendahulukan perorangan dan masyarakat. Dalam praktek, konsepsi kontemporer sesuai tuntutan zaman demikian telah mendorong negara-negara memperluas ruang opsi jawaban mereka terhadap ancaman-ancaman pada keamanan domestik mereka masing-masing. Kini, secara mendunia mulai diakui bahwa keamanan bukan merupakan tujuan itu sendiri, melainkan pada akhirnya harus melayani kesejahteraan rakyat. Demokrasi, yang berakar dalam suatu parlemen yang efektif, sangat mungkin akan memberi pikiran ini arti praktis, sebagaimana dijumpai pada pernyataan kutipan dari Vaclav Havel: (ibid)
“Kedaulatan masyarakat, wilayah, bangsa, negara, hanya bermakna hanya jika berasal dari kedaulatan sejati—yaitu dari kedaulatan manusia.”
Kita mulai dengan konsepsi perihal polisi dalam negara demokratis, dimana setiap saat polisi seharusnya beroperasi dalam koridor hukum. Mereka disumpah untuk terikat oleh hukum yang sama yang harus mereka laksanakan dan (seyogianya) mereka pegang teguh sesuai profesi mereka. Peranan kepolisian adalah berbeda dari peranan lembaga-lembaga kunci lainnya dalam sistem peradilan pidana, seperti kejaksaan, kehakiman, atau sistem pemasyarakatan (correctional). Dari perspektif good governance, semua negara harus memastikan keamanan publik sejalan dengan menghormati kebebasan perorangan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Warganegara dalam negara demokrasi berhak mengharapkan perlakuan yang adil, tidak memihak, dan predictable, di tangan polisi yang sedang bertugas dan berkuasa. Dengan demikian, tingkah-laku angkatan kepolisian terhadap kewajiban layanan publik, dapat dilihat sebagai salah satu indikator dari kualitas demokrasi di suatu negara. Yang menjadi sifat-sifat pokok kepolisian demokratis, antara lain: (ibid)
- Pelayanan polisi harus menghormati norma hukum dan beroperasi menurut kode etik profesional;
- Kepolisian yang demokratis berusaha memberikan keamanan publik yang efektif, sementara sekaligus menghormati HAM;
- Akuntabilitas polisi memerlukan transparansi dan adanya mekanisme pengawasan dan kontrol internal dan eksternal;
- Kepolisian yang demokratis merupakan proses dari bawah ke atas (bottom-up), menanggapi kebutuhan-kebutuhan dan keprihatinan warga negara secara kelompok masyarakat maupun yang sifatnyat perorangan, dan membina kepercayaan, persetujuan, dan dukungan publik. Sebab itu, kepolisian yang demokratis bergantung pada transparansi dan dialog. Untuk tujuan itu, di banyak negara, kepolisian di-desentralisasi, agar dapat menjawab secukupnya dan secepatnya kebutuhan-kebutuhan lokal. Disaat bersamaan kita ketakui, organisasi kepolisian merupakan alat cabang eksekutif dan mereka praktis memiliki monopoli atas pamaksaan fisik yang sah dalam masyarakat.
Terdapat konsep yang menarik dari tenaga prajurit “peacekeepers” Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara-negara anggota PBB dengan sukarela menyediakan pasukan dan perlengkapan bagi misi PBB yang tidak memiliki prajuritnya sendiri. Sementara itu, “senjata” paling kuat para peacekeepers adalah ketidak-berpihakan (impartiability) mereka dalam melaksanakan mandatnya, meski peacekeeping adalah suatu tugas yang berbahaya karena dilaporkan telah ribuan prajurit peacekeeping tewas dalam misi perdamaian mereka. (ibid, hlm. 148)
Apa yang dapat kita tarik pembelajaran dari konsep imparsial demikian? Hendaknya substansi hukum maupun aparatur penegak hukum juga bersikap “tidak berpihak” (tidak tebang pilih ataupun pandang bulu) dalam menegakkan hukum, sehingga reputasi dan kredibilitas lembaga penegak hukum dapat menghimpun kepercayaan dan dukungan penuh dari rakyat, sebagai awal pembentukan negara yang kokoh dan koheren, sehingga pada gilirannya penegakan hukum menjadi kepentingan dengan dimilikinya “rasa memiliki” oleh segenap rakyat untuk taat dan turut menegakkannya dengan bersikap patuh pada hukum sekalipun tanpa diawasi oleh aparatur.
Suatu konsep keamanan membantu mencapai stabilitas dalam proses manajemen pertahanan dan menambah prediktabilitas dalam pembuatan kebijakan pertahanan dalam jangka panjang. Adalah esensial mempertahankan tujuan kebijakan pertanahan nasional yang dikaitkan dengan sumber-sumber yang dialokasikan untuk sektor pertahanan dan memelihara perimbangan antara sektor pertahanan dan masyarakat. (ibid, hlm. 211)
Dalam setiap sistem demokrasi yang telah mapan, kegiatan membuat anggaran umumnya dan pengadaan senjata pada khususnya, harus transparan dan akuntabel pada publik, selaku stakeholder “anggaran negara” yang bersumber dari pajak rakyat. Dari sudut pandang akuntabilitas publik, harus ada suatu kaitan yang rasional antara kebijakan, rencana, anggaran, dan pengadaan senjata. Ini tidak dianggap wajar begitu saja dimana-mana. Sayangnya, di kebanyakan negara, parlemen bahkan hanya dapat bicara secara terbatas dalam pengadaan senjata, itu pun jika bisa, disamping kendala pengetahuan teknis-praktis mereka perihal ilmu-ilmu kemiliteran. Parlemen mungkin juga menghadapi kesulitan dalam menangani kompleksitas yang inheren tentang penghitungan biaya peralatan pertahanan yang besar dalam periode bertahun-tahun. (ibid)
Kita tahu, bahwa industri-industri senjata di beberapa negara, sangat agresif memproduksi dan menjual senjata ke negara-negara rawan konflik pasca “perang dingin”. Begitupula dalam kebijakan mengekspor senjata ke negara-negara lain, sebagai negara yang menjunjung prinsip demokratis, perlu dipastikan sebelum menjual senjata-senjata tersebut: (ibid, hlm. 218)
- Parlemen dari negara-negara pemasok senjata harus dapat menentukan bahwa negara-negara penerima menghormati HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental dan telah menetapkan proses-proses untuk keputusan-keputusan pengadaan senjata;
- Parlemen harus dapat menentukan bahwa penjualan senjata itu tidak akan membahayakan perdamaian, memperparah ketegangan atau konflik bersenjata regional, melahirkan penjualan senjata yang terus meningkat atau menambah ketidak-stabilan regional melalui diperkenalkannya sistem persenjataan yang menimbulkan destabilisasi, atau jumlah besar senjata kecil dan ringan. Jika komite parlemen untuk pertahanan memulai suatu dialog regional tentang ancaman-ancaman pada stabiltias regional, pengadaan yang berlebihan dan kerahasiaan yang menyertainya ke arah korupsi menjadi terbuka pada perdebatan regional.
- Harus ada instrumen yuridis yang memastikan dijalaninya mekanisme yang tersedia untuk mencegah senjata dijual kepada suatu negara tertentu dieksepor lagi atau dialihkan untuk maksud-maksud yang bertentangan dengan syarat-syarat yang dinyatakan dalam sertifikat impor yang biasanya dibuat menjadi “end-use certificate”.
- Perlu juga bagi parlemen untuk menetapkan suatu prosedur audit yang independen, untuk menjamin bahwa proses-proses penjualan senjata nasional terbuka bagi pemeriksaan dan pengawasan independen. Perlu dibentuk perjanjian internasional maupun kode etik khusus yang relevan dalam aspek kebijakan-kebijakan nasional tentang perdagangan senjata.
Salah satu pengaturan regional tenatng transfer senjata, ialah Kode Etik Uni Eropa. Dewan Uni Eropa mengesahkan resolusi tentang Kode Etik Eropa tanggal 8 Juni 1998, yang dimaksudkan untuk mencegah arus senjata dari negara-negara Uni Eropa ke kawasan-kawasan dunia yang tidak stabil dimana pelanggaran berat atas HAM mungkin terjadi. Negara-negara anggota Uni Eropa mengambil keputusan ini setelah mengalami tekanan selama kira-kira delapan tahun dari beberapa LSM untuk menetapkan suatu kebijakan yang bertanggung jawab tentang perdagangan senjata. Kode itu mencakup suatu daftar tujuan sensitif dan menentukan suatu sistem pembuktian dan pemantauan syarat-syarat penggunaan akhir, maupun suatu sistem informasi timbal-balik dan konsultasi tentang pemberian dan penolakan izin ekspor. (ibid, hlm. 218—219)
Kode Etik Eropa tidak mengikat secara hukum bagi negara peserta dan tidak ada mekanisme untuk membuat mereka akuntabel karena tidak menghormatinya. Jadi, terserah pada negara-negara yang mempunyai peraturan perundang-undangan tentang ekspor yang lebih keras untuk membatasi ekspor ke pelaku-pelaku pelanggaran HAM dan lalu memberikan tekanan dalam mekanisme konsultasi bilateral. Kode Etik tersebut berisi delapan kriteria yang harus diacu dalam hal ekspor senjata: (ibid, hlm. 219)
1) Hormat pada komitmen internasional negara-negara anggota Uni Eropa, khususnya sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB.
2) Hormat pada HAM di negara tujuan penjualan sebagai pengguna akhir.
3) Situasi internal di negara tujuan terakhir, sebagai suatu fungsi dari adanya ketegangan atau konflik bersenjata.
4) Negara-negara anggota tidak akan mengeluarkan izin ekspor jika ada resiko jelas bahwa negara-negara penerima akan menggunakan ekspor yang diusulkan secara agresif terhadap negara lain atau untuk menyatakan dengan kekerasan suatu tuntutan teritorial.
5) Keamanan nasional negara-negara anggota dan wilayah-wilayah yang hubungan luar negerinya menjadi tanggung-jawab suatu negara anggota, maupun sebagai wilayah negara-negara bersahabat atau sekutu.
6) Tingkah-laku negara pembeli senjata dalam komunitas internasional, khususnya dalam hal sikapnya terhadap terorisme, sifat aliansinya, dan hormat pada hukum internasional.
7) Adanya resiko bahwa perlengkapan itu akan dialihkan dalam negara pembeli atau diskpor dalam keadaan yang tidak diinginkan.
8) Kesesuaian ekspor senjata dengan kemampuan teknis dan ekonomis negara penerima.
Sementara dalam praktik transfer senjata dalam lingkup organisasi Negara-Negara Amerika, transparansi perdagangan senjata regional untuk Amerika bertambah baik ketika 19 anggota Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) menanda-tangani suatu perjanjian (traktat) tentang transfer senjata konvensional. The Inter-American Convention on Transparency in Conventional Weapons Acquisitions, yang disepakati selama Sidang Umum di Guatemala City, mengajak para penanda-tangan membuka informasi tentang ekspor dan impor senjata yang penting setiap tahunnya. Yang mana menurut Pasal III: “Negara-negara peserta harus lapor setiap tahun tentang tempat penyimpanan impor dan ekspor senjata konvensional mereka selama tahun kalender sebelumnya, dengan memberi informasi, dalam hal impor, tentang negara pengekspor, dan kuantitas serta jenis senjata konvensional yang diimpor. Dan informasi, dalam hal ekspor, tentang negara pengimpor, dan kuantitas serta jenis senjata konvensional yang diekspor. Setiap negara peserta melengkapi laporannya dengan informasi tambahan yang dianggapnya relevan, seperti tanda dan model senjata konvensional itu.” Pasal IV menegaskan, negara-negara peserta saling memberitahu tentang perolehan senjata konvensional melalui impor, produksi nasional, dan juga kalau tak ada perolehan yang terjadi. (ibid, hlm. 219-220)
Embargo senjata internasional sebagai sanksi komunitas global. Sanksi adalah suatu alat komunitas internasional sebagai tanda ketidak-sepakatan terhadap tingkah-laku tertentu dari suatu negara, bilamana negara tersebut mengancam hukum internasional, atau perdamaian, dan keamanan internasional, sekalipun “hukum internasional” dinilai sebagai “hukum moril” semata. Dasar hukumnya ialah Pasal 41 Piagam PBB, yang memungkinkan Dewan Keamanan PBB mengajak negara-negara anggota mengambil aksi “tanpa senjata” untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Dari tahun 1945 sampai 1990, Dewan Keamanan PBB telah mengenakan sanksi hanya pada dua negara. Namun sejak tahun 1990 hingga tahun 2005, Dewan Keamanan PBB telah mengenakan sanksi setidaknya 12 kali. (ibid, hlm. 220)
Dalam hal ini, meminta “end-use certificate”, yang menentukan dimana senjata pada akhirnya akan berakhir tanpa dapat dialihkan ke negara pihak ketiga, mungkin merupakan alat yang berguna bagi parlemen sebagai bagian dari prosedur untuk pemberian izin transfer senjata. Tetapi, dilaporkan juga telah banyak terjadi penyalah-gunaan yang melibatkan end-use certificate palsu. (ibid)
Mengapa praktik hukum harus memiliki daya prediktabilitas? Tujuan utama agar penegakan hukum harus bersifat predictability, tidak lain untuk menghindari penyalah-gunaan hukum oleh mereka yang mengemban kekuasaan, terlebih oleh mereka yang memiliki wewenang monopolistik. Tidak akan dapat dibentuk kepastian hukum, bila penyelenggara negara dapat dibiarkan melalaikan tugas dan tanggung jawabnya, atau terhadap warga negara diterapkan standar ganda yang semata tunduk pada “selera” kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman dan para penyelenggara pemerintahan lainnya. bila tiada yang dapat “di-pegang”, maka tiada yang dapat “di-tuntut”, demikianlah falsafah negara berhukum yang demokratis dan akuntabel.
Prediktabilitas penegakan hukum, pada gilirannya menghadirkan jaminan keamanan serta jaminan hak-hak kewarga-negaraan masing-masing warga negara. Tiada penyimpangan wewenang apapun dimungkinkan terjadi, ketika falsafah negara hukum didirikan diatas landasan penegakan hukum yang dapat diprediksi oleh setiap lapisan golongan masyarakat. Ilmu hukum, ialah ilmu tentang prediksi—demikian falsafah paling utama yang hidup dalam praktik sistem hukum Common Law.
Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diandalkan oleh setiap anggota masyarakat secara efektif sekaligus terdapat jaminan oleh daya prediktabilitas itu sendiri—terutama di negara-negara dengan tradisi keluarga hukum common law-Anglo Saxon. Bandingkan dengan praktik di Indonesia, dimana masyarakat pencari keadilan sepenuhnya tunduk pada “selera” kalangan kepolisian dan/atau kalangan hakim, tiada yang pasti terlebih di-“pegang” sebagai bentuk kepastian apapun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.