Ragam Keputusan / Penetapan Tata Usaha Negara yang dapat Digugat Ke PTUN

LEGAL OPINION
Question: Antara berita acara penolakan, dengan keputusan atau penetapan yang menolak permohonan, diartikan sama atau beda? Maksudnya, apa bisa berita acara penolakan yang dibuat instansi pemerintah itu dijadikan objek gugatan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)?
Brief Answer: Sepanjang mengandung amar / diktum bersifat “constitutief  dan/atau yang berisi pernyataan “menolak permohonan”, maka segala bentuk surat / pernyataan lisan / perbuatan suatu pejabat / lembaga negara, tidak terkecuali tidak memberi jawaban / tidak berbuat sesuatu pun, dapat dijadikan sebagai objek gugatan di PTUN.
Falsafah dibalik ketentuan demikian, lembaga negara yang bersumber anggaran belanja pegawainya bersumber dari pajak yang dibayar oleh rakyat, serta memegang kekuasaan monopolistik dibidang rezim perizinan, maka adalah kewajiban penyelenggara negara untuk menciptakan kepastian hukum, dimana bila kepastian hukum sipil demikian terlanggar, maka wadah PTUN menjadi fungsi paling utama untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban antara penyelenggara negara (dalam hal ini pemerintah) dan para warga masyarakatnya (sipil).
PEMBAHASAN:
Namun bukanlah itu isu sentralnya, akan tetapi sebuah kalkulasi matematis: apakah gugatan tidak akan kontra-produktif, bila seandainya sekalipun “dikabulkan” oleh pengadilan? Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa Tata Usaha Negara register Nomor 74 K/TUN/2014 tanggal 22 Mei 2014, perkara antara:
- KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN, KEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu, semula selaku Tergugat II; melawan
- PT. TANJUNG UNGGUL MANDIRI, sebagai Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat; dan
I. DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK Indonesia; II. KEPALA BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN TANJUNG PRIOK; III. drh. AGUS SUNANTO, M.P., selaku Dokter Petugas Karantina, Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, sebagai Para Turut Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat I, III, IV.
Adapun yang menjadi Objek Sengketa dalam perkara ini adalah Berita Acara Penolakan (Declaration of Refusal), tertanggal 27 Agustus 2012 yang diterbitkan oleh Tergugat II melalui Tergugat III, dan ditanda-tangani oleh Tergugat IV. Para Tergugat merupakan pejabat yang bertanggung-jawab atas pelaksanaan perlindungan kelestarian sumber daya alam hayati hewan dan tumbuhan, lingkungan dan keanekaragaman serta keamanan pangan.
Penggugat mendalilkan, Objek Sengketa bersifat konkret artinya berbentuk suatu keputusan seperti terbaca dari kepala surat “Berita Acara Penolakan”, bersifat individual yaitu hanya ditujukan kepada pribadi Penggugat, bukan kepada umum, dan bersifat final atau definitif yaitu tidak membutuhkan persetujuan dari lembaga atau pihak lain baik secara vertikal maupun horizontal dan karenanya telah menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat berupa penolakan sapi bibit impor Penggugat, dan tidak terdapat upaya administratif yang tersedia bagi Penggugat (vide Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
Terhadap gugatan pihak pengusaha importit ternak, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana Nomor 197/G/2012/PTUN.JKT. tanggal 14 Mei 2013, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, ... Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tidak ada ketentuan dari suatu peraturan yang mengatur mengenai sanksi penolakan, apabila dokumen pedigree individual tidak dilengkapi, atau dilengkapi tetapi dianggap tidak sesuai dengan Persyaratan Mutu Benih, Bibit Ternak Dan Sumber Daya Genetik Hewan;
“Menimbang, ... penerbitan Keputusan objek sengketa adalah cacat hukum karena telah bertentangan dengan tata cara yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/ Permentan /OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan dan Pengeluaran Benih dan/atau Bibit Ternak Ke Dalam dan Keluar Wilayah Negara Republik Indonesia;
MENGADILI :
Dalam Penundaan:
- Menyatakan Penetapan Nomor 197/G/2012/PTUN-JKT tertanggal 23 November 2012 tentang Penundaan Pelaksanaan Objek Sengketa tetap berkekuatan hukum dan dipertahankan sampai putusan ini berkekuatan hukum tetap;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Tergugat / Kepala Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia berupa Berita Acara Penolakan (Declaration of Refusal), Formulir KH-8.b, Nomor ... , bertanggal 27 Agustus 2012;
3. Mewajibkan Tergugat / Kepala Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia untuk mencabut Berita Acara Penolakan (Declaration of Refusal), Formulir KH-8.b, Nomor ... , bertanggal 27 Agustus 2012.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi tata Usaha Negara Jakarta dengan Putusan Nomor 166/B/2013/PT.TUN.JKT. tanggal 2 Oktober 2013.
Putusan PTUN dijatuhkan meski telah terdapat berbagai norma berupa Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan, dimana tindakan karantina berupa Pemeriksaan, Pengasingan, Pengamatan, Perlakuan, Penahanan, Penolakan, Pemusnahan, dan Pembebasan. Yang kemudian dalam ketentuan Pasal 9, menyatakan:
“Tindakan pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa atau kelayakan sarana dan prasarana karantina dan alat angkut.”
Dengan demikian kebenaran isi dokumen dilakukan dengan mencocokkan antara isi/keterangan dalam dokumen dengan data atau keadaan fisik sebenarnya. Begitu pula norma Pasal 20 huruf b, menyebutkan: “Selain persyaratan dokumen karantina pemasukan media pembawa harus dilengkapi dokumen lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sementara penjelasan resminya, menyatakan: “Pengertian dokumen lain antara lain berupa dokumen yang diwajibkan pada setiap pengiriman media pembawa yang dikenakan pembatasan dari Menteri lain.” Yang dilanjutkan ketentuan Pasal 23, bahwa:
1) Jika pemasukan media pembawa tidak memenuhi kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, maka dilakukan penahanan dan pemiliknya diberikan waktu untuk melengkapinya paling lama 7 (tujuh) hari.
2) Selama masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan tindakan karantina lain sesuai dengan persyaratan teknis yang ditetapkan.
3) Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
Dalam pemasukan bibit sesuai Pasal 9 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2012 tentang Persyaratan Mutu Benih, Bibit Ternak, dan Sumber Daya Genetik Hewan, terdapat pengaturan: “Pemasukan benih dan/atau bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi persyaratan mutu dan dilengkapi dengan sertifikat bibit dari negara asal.” Sementara norma Pasal 11 Ayat (1) menegaskan, sertifikat bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memuat paling sedikit silsilah ternak, foto ternak, dan nilai pemuliaan dari sifat produksi yang diinginkan.
Begitupula kaedah Lampiran II dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2012 tentang Persyaratan Mutu Benih, Bibit Ternak, dan Sumber Daya Genetik Hewan, pada angka I huruf B. BIBIT angka 1, telah diatur:
B. Bibit:
1. Sapi dan Kerbau;
a) Persyaratan Umum:
1) Sehat dan bebas dari penyakit hewan menular yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang kesehatan hewan;
2) Bebas dari segala cacat genetik dan cacat fisik seperti: cacat mata, kaki dan kuku abnormal serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya;
3) Memiliki nilai pemuliaan di atas rata-rata populasinya;
4) Memiliki klasifikasi bibit dan pedigree individual minimal 2 (dua) generasi di atasnya untuk jantan dan minimal 1 (satu) generasi di atasnya untuk betina, yang dikeluarkan oleh pemerintah dan/atau asosiasi sejenis dari negara asal;
5) Memiliki organ dan kemampuan reproduksi yang baik serta memiliki temperamen sesuai dengan rumpun;
6) Sesuai dengan ciri khas rumpun (breed);
7) Konformasi tubuh serasi sesuai dengan tujuan produksi;
b) Persyaratan Kualitatif Bibit Sapi Potong Betina Brahman:
1) Ambing simetris pertautan luas dan kuat, bentuk tidak menggantung, jumlah puting 4 (empat), bentuk puting normal;
2) Bukan dari kelahiran kembar jantan dan betina (freemartin);
3) Warna: putih pada leher keabu-abuan;
4) Bentuk badan: kepala relatif ramping dan besar, telinga lebar dan tergantung, berpunuk, punggung lurus dan lebar, bergelambir dari rahang sampai kebagian ujung tulang dada bagian depan, tubuh cembung dan kompak, kaki panjang dan besar;
5) Tanduk: dehorned atau polled.
Berdasarkan rangkaian norma yang sifatnya imperatif diatas, pedigree individual merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemasukan sapi bibit, dan pedigree individual adalah termasuk kriteria “dokumen lain” sesuai Pasal 20 Huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan, petugas Karantina melakukan tindakan penahanan dengan menerbitkan berita acara penahanan dan selama tenggang waktu penahanan, Penggugat tidak dapat memenuhi persyaratan (pedigree individual) sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2012, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 23 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000, Petugas Karantina melakukan tindakan Penolakan dengan menerbitkan Berita Acara Penolakan.
Penerbitan Berita Acara Penolakan tidaklah cacat formal prosedural, karena Petugas Karantina telah melakukan Tindakan Karantina sesuai dengan wewenang dan tanggung-jawabnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pihak pemerintah mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Majelis Hakim PTUN berasumsi pada saat dilakukan pemeriksaan dan penahanan oleh Petugas Karantina hewan, pihak Penggugat telah melengkapi dan menyerahkan suatu dokumen pedigree individual terhadap sapi-sapi yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 20 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000, sudah sangat jelas bahwa pedigree invidual termasuk dalam kategori “dokumen lain” dan harus dilengkapi untuk persyaratan pemasukan sapi bibit.
Putusan PTUN sejatinya bertentangan dengan norma Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 24/M-DAG/ PER/9/2011 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan, sebagaimana diatur pada Pasal 15:
1. Importir atau eksportir yang melakukan impor atau ekspor Hewan dan/atau Produk Hewan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang kepabeanan, peternakan dan kesehatan hewan, serta karantina hewan.
2. Hewan dan/atau Produk Hewan yang diimpor:
a. Yang jumlah, jenis, unit usaha, dan/atau negara asal tidak sesuai dengan Persetujuan Impor; dan/atau
b. Tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini, harus dilakukan re-ekspor.
3. Biaya atas pelaksanaan re-ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggung-jawab importir.
Oleh karena itu tindakan Petugas Karantina dalam melakukan penolakan terhadap sapi milik Penggugat telah sesuai dengan ketentuan tatacara Tindakan Karantina Hewan.
Putusan PTUN dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa, ternak bibit yang diuraikan pihak Tergugat diperuntukkan untuk meningkatkan mutu genetik adalah merupakan bibit dasar, yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk mengusahakannya karena harganya mahal dan untuk menambah populasi sapi di Indonesia, adalah klaim yang tidak mendasar dan tidak ada landasan hukumnya. Majelis Hakim PTUN bahkan tidak dapat menyebutkan ketentuan hukum yang dijadikan dasar hukum terkait dengan bibit dasar serta adanya kewajiban Pemerintah untuk mengusahakan bibit dasar demikian—sebab, sekali wabah penyakit masuk ke dalam negeri, amatlah sukar menanggalungi endemik yang dapat terjadi, sebagaimana negara pengekspornya itu sendiri belum sanggup menanggulangi endemik penyakit hewan dan ternak.
Bahwa mengenai substansi sapi yang dimasukan Penggugat, adalah sapi bukan bibit tersebut telah jelas disampaikan oleh Tim Pengawas Bibit ternak (Tim Wasbitnak) di persidangan. Wasbitnak dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melakukan pemeriksaan dan pengawasan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 2 Tahun 2011 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Bibit Ternak.
Adapun hasil temuan Tim Wasbit yang dituangkan dalam Nota Dinas kepada Direktur Perbibitan Ternak, perihal Pengawasan mutu bibit sapi di PT. Tanjung Unggul Mandiri Tangerang, yang selanjutnya ditindak-lanjuti dengan Nota Dinas Direktur Perbibitan Ternak perihal Hasil Pengawasan di PT. Tanjung Unggul Mandiri Tangerang Tanggal 7 Agustus 2012 yang melaporkan bahwa sapi yang dimasukan oleh Penggugat tidak sesuai dengan Rekomendasi Persyaratan Pemasukan (RPP). Dengan adanya pernyataan dari Tim Wasbitnak bahwa sapi yang dimasukan oleh Termohon Penggugat bukan sapi bibit dan tidak sesuai dengan RPP, maka Petugas Karantina sesuai dengan kewenangannya menerbitkan Berita Acara Penolakan.
Dimana pihak instansi dalam melaksanakan tindakan karantina, Petugas Karantina hewan berkewajiban melakukan pemeriksaan hama dan penyakit hewan, serta memeriksa kelengkapan dan kebenaran isi dokumen. [Note SHIETRA & PARTNERS: Kejadian demikian merupakan buntut dari putusan Mahkamah Konstitusi RI yang membolehkan importasi ternak yang dapat terjangkit penyakit dari negara eksportir asalnya yang endemik penyakit hewan dan ternak, dimana para Hakim konstitusi RI pada tahun 2015—2016 dengan suara bulat menyimpangi preseden sebelumnya yang menyatakan “maximum security” menjadi “relative security”, dimana “kepentingan pengusaha importir ternak” dimaknai sebagai “kepentingan umum / publik”—suatu akrobatik dalil yang pada gilirannya membuka potensi resiko yang dapat mencelakai masyarakat umum dari masuknya wabah penyakit dari ternak impor ke ternak lokal. Bayangkan, apa yang terjadi bila seandainya negara pengimpor yang memiliki endemik penyakit hewan dan ternak sepreti India, memuat pula dokumen pernyataan “sehat” bagi ternak yang diekspornya ke Indonesia, apakah otoritas karantina di Indonesia tidak berwenang untuk memeriksa dan menahan ternak-ternak dari negara endemik demikian? Jelas, bahwa Mahkamah Konstitusi RI memutus perkara tanpa terlebih dahulu mencermati ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia.]
Pihak pemerintah dalam keberatannya menyebutkan pula: “Sapi milik Penggugat tidak memiliki relevansi dengan kepentingan umum, karena semata-mata hanya merupakan kepentingan Penggugat dalam rangka bisnis semata.” Otoritas bersama pengusaha dari India, mengkomersielkan sapi-sapi berpenyakit mereka dengan melemparnya sebagai komoditi ekspor ke Indonesia, yang masih membuka keran pintu masuknya importasi ternak dari negara-negara endemik, oleh sebab rezim pertanahan ekosistem ternak di Indonesia telah bergeser menjadi “relative security”, maka ucapkanlah terimakasih atas peran kesembilan orang Hakim Mahkamah Konstitusi RI era 2015—2016. Relatif, artinya bisa di-“tawar-tawar” dan dapat di-“nego-nego”.
Terlepas dari benar atau tidaknya klaim Penggugat maupun pendirian Tergugat untuk tidak meloloskan produk importasi dari karantina, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang justru menyimpang dari bukti yang terkuak di persidangan PTUN, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena putusan Judex Facti sudah benar dan tidak salah dalam penerapan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
• Bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat atas Keputusan Tata Usaha Negara in litis dapat dibenarkan karena Tergugat telah menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Dalam perkara a quo terbukti telah diterbitkan bukti pedigree sebanyak 2.377 lembar yang diterbitkan oleh Australian Brahman Breeders’ Association (ABBA) Limited tanggal 17 Juli 2012;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN RI. Tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN, KEMENTERIAN PERTANIAN RI. Tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Namun bukanlah amar putusan Mahkamah Agung maupun PTUN yang penting untuk dicermati, akan tetapi tampaknya pihak Penggugat telah kalah “secara politis” sejak semula gugatan diajukan oleh pihaknya, sebagaimana diuraikan oleh pihak pemerintah dalam nota keberatannya, bahwa putusan PTUN menciptakan hukum baru yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga berakibat:
a. Mengubah sistem penyelenggaraan perkarantinaan di Indonesia;
b. Menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan tindakan karantina hewan oleh Petugas Karantina Hewan; dan
c. Putusan tidak dapat dilaksanakan. Untuk apakah sebuah kemenangan, namun “tidak dapat dieksekusi”, dimana bila pihak pemerintah tetap mengeksekusinya, sama artinya pejabat pemerintah bersangkutan terancam hukuman karena melanggar peraturan perundang-undangan yang ada?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.