Pidana Pemukulan Istri Siri, Sekalipun Luka Memar Ringan

LEGAL OPINION
Question: Kalau hubungan dengan istri sifatnya hanya sirih, itu memang apa bisa kena undang-undang KDRT juga bila memukulnya, karena khilaf? Toh cuma luka kecil yang ringan, cuma memar saja, besoknya juga bakalan sembuh sendiri. Kenapa dibesar-besarkan?
Brief Answer: Rezim hukum pidana menghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak hanya berlaku bagi istri maupun anak-anak hasil pernikahan resmi, namun diberlakuakn meluas terhadap mereka yang hidup sebagai suatu keluarga dalam lingkup rumah-tangga secara de facto, bukan secara de jure semata.
Sehingga, bukan menjadi alasan pembenar bagi seorang suami untuk melakukan kekerasan terhadap istri atau anak hasil dari hubungan “nikah siri”. Kekerasan fisik tetap merupakan sebuah penganiayaan—tidak menjadi soal apakah menimbulkan luka berat ataupun luka ringan, melukai secara fisik tidak pernah dapat dibenarkan oleh hukum.
PEMBAHASAN:
Terdapat contoh konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk kaedah putusan Pengadilan Negeri Gorontalo perkara pidana KDRT register Nomor 323/Pid.Sus/2016/PN.Gto tanggal 19 Januari 2017, dimana bermula saat Terdakwa pada tanggal 25 September 2016 melakukan penganiayaan terhadap korban yang merupakan istri Terdakwa.
Terdakwa melakukan penganiayaan terhadap korban dengan cara memukul bagian bahu sebelah kanan korban dengan menggunakan tangan Terdakwa sebanyak satu kali. Kronologi kejadian, pada malam hari, saat itu korban berada di dapur sedang mencari makanan, tiba-tiba Terdakwa datang menghampiri korban sambil mengatakan “lagi ngapain kamu di dapur”, dan dijawab oleh korban dengan berkata “tunggu dulu lagi mencari makanan”. Selanjutnya Terdakwa memanggil korban untuk tidur. Terdakwa masuk ke dalam kamar dan korban ikut masuk. Setelah berada di dalam kamar, Terdakwa mengatakan kepada korban dengan berkata: “iya nanti sampai rumah saya mau bunuh kamu, biar saya masuk penjara”.
Karena merasa takut, korban lalu keluar dari kamar dan Terdakwa mengikuti korban sembari berusaha menarik rambut korban, tetapi Terdakwa tidak bisa menggapai rambut korban, kemudian korban berteriak meminta tolong. Saat itu korban melihat saksi Supono yang berada di gudang, berlari menghampiri saksi Supono untuk meminta pertolongan. Saksi Supono bertanya kepada korban dan Terdakwa, dengan berkata “kenapa kalian ini”, dan tiba-tiba Terdakwa memukul bagian bahu sebelah kanan korban dengan menggunakan kepalan tangan kiri Terdakwa sebanyak satu kali yang mengakibatkan korban mengalami luka memar pada bagian bahu sebelah kanan korban, kemudian saksi Supono melerai pemukulan tersebut dan korban pulang ke rumah saksi Supono.
Penyebab Terdakwa memukul korban, karena saat itu Terdakwa menyuruh korban untuk mengambilkannya baterai, akan tetapi korban tidak mengambilkannya, sehingga Terdakwa saat itu marah dan memukul korban. Akibat dari pemukulan yang dilakukan oleh Terdakwa terhadap korban, korban mengalami luka memar pada bagian bahu sebelah kanan, sesuai dengan visum et repertum tertanggal 26 September 2016, dengan hasil pemeriksaan luar ditemukan pada punggung belakang sebelah kanan lima centimeter dibawah tulang belikat tiga belas centimeter dari garis pertengahan belakang terdapat luka lebam, berwarna keunguan, bentuk tidak beraturan dengan ukuran dua centimeter kali nol koma lima centimeter. Kesimpulan, terdapat tanda persentuhan dengan benda tumpul titik.
Terdakwa dan korban merupakan pasangan suami-istri dan telah dikaruniai 4 orang anak dan 2 orang cucu. Antara Terdakwa dan korban memiliki hubungan suami-istri, tetapi mereka melangsungkan pernikahan secara agama / siri, dan mereka tinggal serumah selama beberapa tahun serta telah dikaruniai 4 orang anak, sesuai dengan Surat Keterangan Kepala Desa Boludawa, Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango.
Terhadap tuntutan pihak Jaksa, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan alternatif Kesatu sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur ‘Setiap Orang’;
2. Unsur ‘Melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga’.
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksuil, psikologis, dan/atau  penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Angka 1 UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga);
“Menimbang, bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga);
“Menimbang, bahwa lingkup rumah tangga adalah: a. suami, istri, dan anak, b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada Huruf (a) karena hubungan darah, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut dan orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf (c) dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU RI No.23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga);
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang saling berkaitan satu sama lain, keterangan Terdakwa serta adanya bukti surat berupa Visum Et Refertum, terungkap bahwa Terdakwa pada hari Minggu tanggal 25 September 2016 bertempat di ..., melakukan penganiayaan terhadap korban yang merupakan istri Terdakwa;
“Menimbang, bahwa Terdakwa melakukan penganiayaan terhadap korban dengan cara memukul bagian bahu sebelah kanan saksi dengan menggunakan tangan Terdakwa sebanyak satu kali;
“Menimbang, bahwa kronologis kejadian pemukulan yang dialami oleh saksi korban yakni pada hari Minggu tanggal 25 September 2016 malam hari, ... , Terdakwa mengatakan kepada korban dengan berkata ‘iya nanti sampai rumah saya mau bunuh kamu, biar saya masuk penjara’. Karena merasa takut, korban lalu keluar dari kamar dan Terdakwa mengikuti korban keluar dari kamar dan berusaha menarik rambut saksi korban ... , dan tiba-tiba Terdakwa memukul bagian bahu sebelah kanan korban dengan menggunakan kepalan tangan kiri Terdakwa sebanyak satu kali, yang mengakibatkan korban mengalami luka memar pada bagian bahu sebelah kanan korban;
“Menimbang, bahwa akibat dari pemukulan yang dilakukan oleh Terdakwa terhadap korban, korban mengalami luka memar pada bagian bahu sebelah kanan, sesuai dengan visum et repertum nomor ... tanggal 26 September 2016, dengan hasil pemeriksaan luar ditemukan : Pada punggung belakang sebelah kanan lima centimeter di bawah tulang belikat tiga belas centimeter dari garis pertengahan belakang terdapat luka lebam, berwarna keunguan, bentuk tidak beraturan dengan ukuran dua centimeter kali nol koma lima centimeter. Kesimpulan titik dua Terdapat tanda persentuhan dengan benda tumpul;
“Menimbang, bahwa Terdakwa dan korban adalah merupakan pasangan suami istri dan telah dikaruniai 4 orang anak dan 2 orang cucu;
“Menimbang, bahwa Terdakwa dan saksi RUSMIN TANGAHU Alias MINI memiliki hubungan suami-istri tetapi mereka melangsungkan pernikahan secara agama / siri dan mereka tinggal serumah selama beberapa tahun serta telah dikaruniai 4 orang anak, sesuai dengan Surat Keterangan No. ... tanggal 28 Oktober 2016 yang dibuat dan ditanda-tangani oleh Kepala Desa Boludawa Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian diatas, Terdakwa melakukan pemukulan terhadap korban yang merupakan istri siri Terdakwa, meski korban bukan istri sah menurut Undang Undang yaitu perkawinan mereka tidak dicatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, hanya menikah siri / secara agama, tetapi Terdakwa dan korban tinggal dalam satu rumah dalam jangka waktu yang lama dan telah dikaruniai 4 (empat) orang anak serta 2 (dua) orang cucu, sehingga saksi korban dapatlah digolongkan dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU RI No.23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ‘Melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga’, telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Kesatu Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Kesatu Penuntut Umum, sedangkan dalam pemeriksaan tidak diketemukan alasan pemaaf maupun pembenar yang dapat meniadakan pertanggung-jawaban pidana, maka kepada Terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana ‘Melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga’ dan oleh karenanya Terdakwa harus dihukum yang setimpal dengan kesalahannya;
“Menimbang, bahwa Penuntut Umum dalam Tuntutannya meminta kepada Majelis Hakim agar Terdakwa dipidana selama 3 (Tiga) bulan penjara, sedangkan menurut Terdakwa dalam permohonannya pada pokoknya mohon agar dijatuhi pidana seringan-ringannya, maka kini sampailah kepada berapa lamanya hukuman (sentencing atau staftoemeting) atau pidana apa yang dianggap paling cocok, selaras dan tepat yang kira-kira sepadan untuk dijatuhkan kepada Terdakwa sesuai dengan tindak pidana dan kadar kesalahan yang telah dilakukannya, apakah permintaan penuntut umum dan Terdakwa tersebut telah cukup memadai ataukah dipandang terlalu berat, ataukah masih kurang sepadan dengan kesalahan terdakwa, maka untuk menjawab pertanyaan tersebut disini merupakan kewajiban Majelis Hakim untuk mempertimbangkan segala sesuatunya selain dari aspek yuridis yang telah dikemukakan diatas, yaitu aspek keadilan dan masyarakat, aspek kejiwaan Terdakwa, aspek Filsafat pemidanaan guna melahirkan keadilan dan menghindari adanya disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity), dimana pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim perlu uraikan dan jelaskan dalam rangka sebagai pertanggung-jawaban Hakim Kepada Masyarakat, Ilmu Hukum Itu Sendiri, Rasa Keadilan Dan Kepastian Hukum, Negara dan Bangsa Serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
“Menimbang, bahwa dikaji dari aspek keadilan korban dan masyarakat, maka perbuatan Terdakwa yang telah melakukan penganiayaan terhadap korban, hal tersebut telah menyebabkan penderitaan pada diri korban serta sifat perbuatan Terdakwa menimbulkan keresahan pula dalam masyarakat;
“Menimbang, bahwa dari aspek kejiwaan / psikologis Terdakwa ternyata sepanjang pengamatan dan penglihatan Hakim, Terdakwa tidaklah menderita gangguan kejiwaan, hal mana tersirat selama persidangan dalam hal Terdakwa menjawab setiap pertanyaan Hakim, begitu pula dari aspek phisik ternyata Terdakwa tidak ada menderita sesuatu penyakit sehingga secara yuridis Terdakwa dapat dipertanggung-jawabkan terhadap perbuatan yang telah dilakukannya ;
“Menimbang, bahwa jika dilihat dari fakta dan kenyataan sehari-hari akibat dari perbuatan yang dilakukan Terdakwa ada dampak dan akibat negatif yang ditimbulkannya, maka hakim berpendirian bahwa tindak pidana yang dilakukan Terdakwa haruslah dihukum dengan tujuan pemidanaan tersebut bukanlah merupakan pembalasan, melainkan sebagai usaha yang bersifat EDUKATIF, KONSTRUKTIF dan MOTIVATIF agar Terdakwa tidak melakukan perbuatan tersebut lagi, dan juga sebagai prevensi bagi masyarakat lainnya;
“Menimbang, bahwa dengan demikian pula Hakim berusaha menerapkan SEMA No.1 Tahun 2000 tentang pemidanaan agar setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya dengan memperhatikan kondisi kejiwaan Terdakwa selama persidangan yang cukup tertekan terhadap perkara yang dihadapinya dan tanpa mengurangi juga penderitaan saksi korabn yang harus menanggung penderitaan dalam perkara ini, sehingga Hakim berusaha menjatuhkan pidana sesuai dengan fakta-fakta selama di persidangan tanpa melukai rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan Permohonan Terdakwa dan Tuntutan Pidana dari Penuntut Umum, maka Hakim sebelum menjatuhkan pidana juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan;
- Perbuatan Terdakwa mengakibatkan penderitaan bagi korban;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa belum pernah dipidana;
- Terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi;
- Terdakwa berterus-terang mengakui perbuatannya;
- Terdakwa dan korban sudah berdamai di depan persidangan;
- Terdakwa tulang punggung keluarga;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka mengenai lamanya pidana yang akan dijatuhkan terhadap Terdakwa, Majelis Hakim berpendapat untuk menjatuhkan pidana yang dapat memberikan pembelajaran bagi Terdakwa agar kelak dikemudian hari, Terdakwa tidak melakukan lagi perbuatan yang dapat dipidana, sehingga dapat memperbaiki dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar norma-norma hukum;
“Menimbang, bahwa dengan bertitik-tolak dari aspek keadilan korban dan masyarakat, aspek kejiwaan Terdakwa, aspek-aspek filsafat pemidanaan guna melahirkan keadilan dan mencegah adanya disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity), maka Hakim berpendirian bahwa pidana yang dijatuhkan pada diri Terdakwa dalam amar putusan ini menurut hemat Majelis Hakim Telah Cukup Adil, Memadai, Argumentatif, Manusiawi, proporsional dan memenuhi rasa keadilan masyarakat dan sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan oleh Terdakwa;
“Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah dikenakan penangkapan dan penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa ABDUL KARIM LUOYO Alias CONO tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga’, sebagaimana dalam dakwaan Kesatu;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ABDUL KARIM LUOYO Alias CONO oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (Dua) Bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.