Perlawanan Putusan Artbitase Vs. Perlawanan Penetapan Eksekuatur, Tidak Semua Putusan Arbitrase Asing dapat Dieksekusi di Indonesia

LEGAL OPINION
UPAYA HUKUM MELAWAN PUTUSAN ARBITRASE YANG PREMATUR
Question: Ada putusan arbitrase yang sebelumnya mengalahkan pihak perusahaan kami, dan kini rencananya mau kami lawan. Putusan arbitrase asing itu masih bisa dibatalkan oleh Pengadilan Negeri di Indonesia, bukan?
Brief Answer: Agar tidak menemui kesia-siaan, maka putusan arbitrase baru dapat dilakukan perlawanan bilamana sudah terdapat penetapan “eksekuatur” dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bila pihak pemenang dalam putusan Arbitrase, belum mendaftarkan putusan Arbitrase untuk diterbitkan penetapan “eksekuatur”, maka perlawanan demikian akan dinyatakan “prematur” oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri—meski, kita tidak pernah tahu kapan pihak lawan baru akan / telah mendaftarkan permohonan penetapan “eksekuatur” demikian ke Pengadilan Negeri.
Itulah kelemahan paling fatalistis ketika para pihak bersepakat tunduk pada yurisdiksi Arbitrase sebagai satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa. Perspektif yang harus mulai dipahami, kompetensi peradilan di Indonesia bukanlah untuk perlawanan terhadap putusan Arbitrase, namun perlawanan terhadap “penetapan eksekuatur”. Tujuan utamanya bukanlah untuk membatalkan putusan Arbitrase asing, namun agar putusan Arbitrase asing demikian tidak dapat dieksekusi di teritori kedaulatan hukum Indonesia.
Terlagipula tidak semua kriteria putusan Arbitrase asing yang dapat dimintakan penetapan “eksekuatur” di Pengadilan Negeri Indonesia, sehingga bila Pengadilan Negeri di Indonesia tidak bersedia mengeksekusinya, maka putusan Arbitrase asing demikian tidaklah executable di Indonesia, sehingga tidak perlu upaya hukum perlawanan apapun di Indonesia.
Ironisnya, meski telah memahami bahwa tidak semua kriteria putusan Arbitrase asing dapat dieksekusi di Indonesia, namun para pihak tetap memuat klausul Arbitrase dalam kontrak bisnis mereka sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang memutus sengketa, meski jenis perikatan bisnis dalam kontrak mereka termasuk kriteria yang tidak dapat dieksekusi di Indonesia, maka bukankah artinya itu menjadi “pilihan mematikan” bagi dirinya sendiri? Untuk apakah memenangkan sengketa di Arbitrase asing yang “berbiaya ekonomi tinggi”, namun pada akhirnya tidak dapat dieksekusi di Indonesia?
PEMBAHASAN:
Kaedah yurisprudensi demikian SHIETRA & PARTNERS tarik berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI sengketa pembatalan putusan Arbitrase register Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 28 Juni 2012, perkara antara:
- PT. DIRECT VISION, sebagai Pemohon Banding, semula selaku Penggugat; melawan
1. ASTRO NUSANTARA INTERNATIONAL B.V,; 2. ASTRO NUSANTARA HOLDING B.V,; 3. ASTRO MULTIMEDIA CORPORATION N.V.,; 4. ASTRO MULTIMEDIA N.V,; 5. ASTRO OVERSEAS LIMITED; 6. ASTRO ALL ASIA NETWORKS Pls,; 7. MEASAT BROADCAST NETWORK SYSTEAMS SDN BHD, 8. ALL ASIA MULTIMEDIA NETWORKS FZ — LLC, sebagai Para Termohon Banding dahulu Para Tergugat.
Tujuan utama diajukannya gugatan ini oleh Penggugat, ialah dalam rangka mengajukan penolakan dan meminta agar tidak dikeluarkan eksekuatur atas Putusan Arbitrase Internasional SIAC di Singapura yang telah mengalahkan pihak Penggugat. Penggugat tampaknya hendak melakukan antisipasi, sebagai langkah “penjegal” agar putusan Arbitrase tidak dapat dieksekusi di Indonesia.
Namun menjadi kontradiktif, ketika kita sandingkan ketentuan Pasal V Ayat (1) New York Convention 1958 sebagaimana telah diratifikasi Indoensia lewat Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 1981, yang memberlakukan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards”, mengatur kemungkinan untuk mengajukan penolakan (refusal) terkait dengan upaya pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional:
“Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, … .”
Terjemahan Bebas:
“Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak, atas permintaan dari pihak yang melawan pihak pemohon, hanya jika pihak tersebut memberikan kepada pihak yang berwenang (baca: PN Jakpus) di mana pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut akan diminta, …. .”
Penggugat merasa memiliki kepercayaan diri untuk mengajukan gugatan pembatalan putusan Arbitrase, dengan merujuk kaedah Pasal 66 Huruf (d) UU Arbitrase, yang mengatur: “Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Lebih lanjut lagi Penjelasan Resmi pasal tersebut, menerangkan: “Suatu Putusan Arbitrase lnternasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).”
Maka PN Jakpus memiliki kewenangan untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan eksekuatur putusan Arbitrase Internasional, dan sebagai pihak yang berkepentingan maka Penggugat mempunyai hak hukum meminta kepada PN Jakpus agar TIDAK MEMBERIKAN EKSEKUATUR terhadap putusan Arbitrase Internasional SIAC, sebagaimana yurisprudensi berupa putusan Mahkamah Agung RI nomor 02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 tanggal 5 September 2000, yang memiliki kaedah hukum sebagai berikut:
“Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah tepat dan benar, karena meskipun pemeriksaan permohonan eksekuátur putusan arbitrase international hanya bersifat formal administratif saja, namun sesuai dengan ketentuan pasal 66 Huruf (c), pengadilan berwenang mempertimbangkan materi permohonannya perihal apakah bertentangan atau tidak dengan ketertiban umum, termasuk tertib hukum yang berlaku.”
Terlebih lagi, ternyata permohonan penetapan “eksekuatur” sebelumnya pernah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga sejatinya putusan Arbitrase asing tersebut tidak dapat dieksekusi di Indonesia sekalipun tidak diajukan perlawanan apapun oleh pihak yang dikalahkan dalam putusan Arbitrase.
Ketua PN Jakpus ternyata telah menolak melaksanakan putusan Arbitrase Internasional SIAC tersebut, dengan mengeluarkan ”PENETAPAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNATSIONAL” Nomor 062 Tahun 2008 Tanggal 07 Mei 2009 (Penetapan Non Eksekuatur), dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
““Menimbang, bahwa substansi Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC No. 062 of 2008, tersebut diatas adalah melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah mengintervensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia yang telah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai tertib hukum), maka Putusan Arbitrase Internasional dimaksud tidak dapat dijalankan (Non Eksekutorial);
M E N E T A P K A N :
- Menyatakan permohonan Pemohon tersebut diatas tidak dikabulkan;
- Menyatakan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor 062 Tahun 2008 yang diputuskan tanggal 07 Mei 2009, Non Eksekuatur (tidak dapat dilaksanakan);
- Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengirimkan turunan penetapan non eksekuatur ini kepada para pihak yang berperkara.”
Sengketa Arbitrase SIAC yang diperiksa oleh Majelis Arbitrase SIAC (Asing) adalah sama dengan pokok perkara di Pengadilan Indonesia (perkara perdata No. 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel.) yang saat itu sedang diperiksa oleh Majelis Hakim di PN Jaksel, dimana perkara Sengketa Arbitrase SIAC baru didaftarkan oleh Claimants SIAC pada tanggal 6 Oktober 2008, sedangkan penggugat telah terlebih dahulu mendaftarkan gugatan perdata pada tanggal 2 September 2008 di PN Jaksel.
Putusan Arbitrase Internasional SIAC demikian dimaknai merupakan upaya / tindakan yang semata-mata bertujuan untuk mengintervensi, merusak, dan menghancurkan dengan mendahului proses pemeriksaan dan putusan atas perkara di pengadilan indonesia (perkara perdata No. 1100/Pdt.G/2008/Pn.Jkt.Sel.). Sementara bila kita merujuk Pasal 66 Huruf (b) UU Arbitrase, terdapat ketentuan sebagai berikut:
”Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam Huruf (a) terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.”
Norma diatas mensyaratkan, untuk dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah Indonesia, maka putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Arbitrase SIAC, menurut hukum Indonesia, harus dan terbatas pada putusan yang masuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Penjelasan Resmi Pasal 66 Huruf (b) UU Arbitrase, mengatur lebih lanjut:
“Yang dimaksud dengan ruang lingkup ‘hukum perdagangan’ adalah kegiatan-kegiatan antara lain dibidang: perniagaaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektuaI.”
Terkait dengan norma UU Arbitrase tersebut, M. Yahya Harahap, S.H, dalam bukunya berjudul “Arbitrase Ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, Perma No. 1 Tahun 1990”, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, halaman 345, menuliskan sebagai berikut:
“Ditegaskan, putusan-putusan arbitrase asing yang dapat diakui dan dieksekusi di Indonesia hanya terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.”
Oleh sebab itu, jelas tidak semua putusan arbitrase internasional dapat serta merta secara yuridis diakui dan dilaksanakan di Indonesia, karena terdapat “asas pembatasan jangkauan” dalam melakukan pengakuan dan pengeksekusian putusan arbitrase asing, yaitu putusan-putusan tersebut menurut ketentuan hukum Indonesia harus masuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, yang JIKA TIDAK maka Ketua PN Jakpus “demi hukum” mempunyai kewajiban untuk “menolak memberikan eksekuatur putusan arbitrase international” demikian.
Kewajiban untuk menolak putusan arbitrase tersebut juga ditegaskan oleh Dr. Tin Zuraida, S.H, Mkn, dalam bukunya “Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase International di Indonesia: Teori dan Praktek yang Berkembang”, Penerbit: PT. Wastu Lanas Grafika, Surabaya, 2009, halaman 154:
“Konsekuensinya suatu putusan arbitrase internasional yang dinilai menurut hukum Indonesia tidak termasuk sebagai sengketa perdagangan, maka putusan tersebut tidak dapat diberikan pengakuan dan tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.”
Penggugat lewat gugatannya ini, bermaksud meminta agar pengadilan membuat putusan yang menyatakan:
- tidak mengeluarkan Penetapan Eksekuatur dan selanjutnya mengeluarkan Penetapan Non Eksekuatur, yang pada pokoknya berisi penolakan atas Permohonan Penetapan Eksekuatur yang diajukan oleh Para Tergugat terkait dengan Putusan Arbitrase asing; dan
- demi kepastian hukum dan konsistensi terhadap putusan penolakan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional SIAC, yang telah diputuskan “TIDAK DAPAT DILAKSANAKAN DI WILAYAH REPUBLIK INDONESIA”, maka selanjutnya berkenan menolak dan/atau tidak melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional SIAC dimaksud.
Dikutip pula kaedah yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI No. 01/2010, yang menyatakan:
“Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas Souvereignity dari Negara Republik Indonesia. Tidak ada sesuatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum (public order) di Indonesia.”
Pihak Tergugat dalam eksepsinya mendalilkan bahwa gugatan Penggugat bersifat “terlampau dini” (prematur). Dimana terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 301/Pdt.G/2010/PN.JKT.PST. tanggal 25 Agustus 2011, dengan pertimbangan hukum serta amar yang menarik untuk disimak, sebagai berikut:
“Bahwa asas ‘Point de interest Point de Action’ memang memberi hak kepada setiap orang yang berkepentingan untuk mempertahankan hak-haknya yang dilanggar dan terancam. Akan tetapi perbuatan mendaftarkan (saja) suatu putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang notabene diatur bahkan disyaratkan oleh undang-undang, tentu tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang melanggar hak dan kepentingan orang lain.
“Apabila Penggugat mendalilkan bahwa Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional itu merupakan bagian dan tahap awal pelaksanaan (eksekusi) atas suatu putusan arbitrase internasional, sehingga ada kemungkinan eksekusi nantinya akan merugikan dirinya, maka dalil Penggugat tersebut sama sekali tidak beralasan sebab sebagaimana fakta di persidangan, permohonan eksekuatur belum diajukan oleh Para Tergugat sehingga sudah tentu tidak akan ada perintah eksekusi (eksekuatur) dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan dengan demikian belum ada pula hak dan kepentingan pihak lain yang dirugikan atau pun yang akan dirugikan. Maka dari itu tidak ada alasan kalau Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional tersebut dijadikan sebagai obyek gugatan Penggugat;
“Bahwa untuk mendapatkan eksekuatur (perintah eksekusi) dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Putusan Arbitrase Internasional, harus didahului dengan suatu permohonan eksekusi dari pihak yang menang perkara. Tanpa ada permohonan eksekusi maka tidak akan dieksekusi;
“Bahwa belum ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang kalah (tereksekusi) apabila suatu putusan arbitrase internasional masih dalam tahap pendaftaran (pendeponiran). Yang bisa dilakukan oleh pihak yang kalah apabila keberatan atas pendaftaran putusan arbitrase internasional tersebut, adalah sebatas minta perlindungan hukum kepada pengadilan dalam bentuk (surat) permintaan biasa, bukan dengan mengajukan gugatan;
“Bahwa gugatan atas eksekusi putusan arbitrase internasional baru dapat diajukan setelah ada Penetapan Eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun bentuk gugatannya adalah gugatan perlawanan (verzet) dengan mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata, Pasal 195 ayat (6) HIR / Pasal 206 ayat (6) RBg;
“Menimbang, bahwa terkait dengan masalah ini Penggugat mendalilkan ‘Akan sangat tidak mungkin suatu gugatan penolakan eksekuatur diajukan setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengabulkan kekuatan eksekuatur itu sendiri, atau dengan kata lain apabila gugatan a quo diajukan setelah adanya penetapan eksekuatur, maka gugatan a quo dapat dipastikan akan sia-sia belaka (illusoir) dan Penggugat akan berada didalam keadaan ‘nasi sudah menjadi bubur’;
“Menimbang, bahwa Majelis bisa memahami dalil Penggugat diatas bahwa suatu gugatan penolakan eksekuatur atas putusan arbitrase internasional mestinya diajukan sebelum Ketua Pengadilan Negeri Jakarta mengabulkan eksekuatur tersebut. Akan tetapi persoalannya disini bukan persoalan kapan gugatan penolakan eksekuatur itu harus diajukan, melainkan apakah bisa gugatan penolakan eksekuatur itu diajukan sebelum ada permohonan eksekuatur. Jadi kendati pun gugatan penolakan eksekuatur diajukan sebelum ada eksekuatur (perintah eksekusi) dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi selama belum ada permohonan eksekuatur dari pihak yang menang, maka tidak akan ada eksekuatur (perintah eksekusi) tersebut sehingga tidak akan terjadi keadaan ‘nasi sudah menjadi bubur’ sebagaimana dikatakan Penggugat tersebut diatas;
“Menimbang, bahwa Undang-Undang Arbitrase 1999 tidak mengatur kapan saat pendaftaran putusan arbitrase internasional harus dilakukan. Artinya, pendaftaran putusan arbitrase internasional tidak mesti baru dilakukan setelah para pihak tidak mau menjalankan putusan arbitrase secara sukarela. Melainkan bisa dilakukan kapan saja meskipun belum ada kepastian apakah para pihak mau menjalankan putusan itu secara sukarela atau tidak.
“OIeh sebab itu Majelis berpendapat pendaftaran putusan arbitrase internasional di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bersifat admnistratif, dan karena bersifat administratif maka tidak tepat kalau langkah administratif itu dijadikan sebagai obyek hukum dan gugatan Penggugat sebab dengan melakukan pendaftaran (deponir) saja, tidak ada atau belum ada kepentingan pihak lain yang terserang dan dirugikan, termasuk kepentingan Penggugat;
MENGADILI :
DALAM EKSEPSI
- Mengabulkan Eksepsi Para Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan banding tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan banding dari Pemohon Banding tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti / Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Pemohon Kasasi / Penggugat dan Para Termohon Kasasi / Para Tergugat telah mengadakan perjanjian kerjasama usaha (joint venture agreement) dan dalam perjanjian itu para pihak juga telah mengadakan perjanjian penyelesaian perselisihan yang memilih Arbitrase Internasional Singapura (SIAC) sebagai forum penyelesaian petrselisihan. Ternyata telah timbul perselisihan atau sengketa.
“Tetapi Pemohon Kasasi / Penggugat justru membawa sengketa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggugat Para Termohon Kasasi / telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Pemohon Kasasi / Penggugat karena timbulnya perselisihan terkait pelaksanaan Perjanjian kerjasama usaha, jelas telah bertentangan dengan perjanjian arbitrase. Sebab perjanjian arbitrase adalah pilihan para pihak dalam perkara a quo dan menempuh pengadilan daripada arbitrase yang telah disepakati berarti pula pelanggaran perjanjian.
“Baik hukum Indonesia (Pasal 1338 KUH Perdata) menegaskan tiap perjanjian berlaku bagai undang-undang bagi pembuatnya maupun hukum internasional mengenal pula adagium ‘pacta sunt servanda’ yang maknanya perjanjian haruslah ditaati. Pada saat bersamaan Pemohon Kasasi / Penggugat telah digugat oleh Para Termohon Kasasi / Para Tergugat dalam forum SIAC. SIAC telah menerbitkan putusan atas perselisihan para pihak dan Pemohon Kasasi / Penggugat a quo dinyatakan sebagai pihak yang dihukum, sehingga dengan demikian Pemohon Kasasi / Penggugat telah memiliki kesempatan yang cukup untuk membela kepentingan hukumnya;
“Bahwa maksud gugatan agar Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan eksekusi putusan Arbitrase Internasional Singapura (SIAC) (Akta pendaftaran putusan Arbitrase Internasional Singapura No. 03/PDT/ARB.INT/2010/PN.JKT.PST jo. No. 05/PDT/ARB.INT/2009/PN.JKT.PST tanggal 27 Mei 2010), sedangkan telah ternyata terhadap putusan Arbitrase Internasional tersebut belum ada Penetapan Eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan demikian gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, lagi pula ternyata putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan banding yang diajukan oleh Pemohon Banding : PT. DIRECT VISION tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan banding dari Pemohon Banding : PT. DIRECT
VISION tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.