Kriteria Perintah Mutasi Kerja yang Tidak Sah

LEGAL OPINION
Question: Yang dimaksud dengan perintah mutasi yang sah atau yang memiliki nilai kekuatan hukum bagi seorang karyawan, itu yang seperti apa? Apa ada kriteria atau sejenisnya, untuk menentukan apakah suatu perintah mutasi dapat disebut sebagai sah atau tidaknya? Undang-undang tidak mengaturnya secara rinci atau spesifiknya tentang mutasi tempat kerja ini. Bukannya kesepakatan kerja itu boleh lisan, jadi perintah mutasi juga semestinya tidak ada masalah jika lisan saja diberikannya.
Brief Answer: Kriteria yang paling pokok dari sebuah perintah mutasi tempat kerja yang tidak sah, ialah bila terhadap Pekerja tidak diberikan surat perintah mutasi secara tertulis dan resmi yang memuat tanggal efektif perintah serta fungsi tugas pekerjaan di tempat mutasi, selain itu tidak juga dibuat rincian tunjangan, akomodasi, biaya transportasi, dan perihal nominal upah terkait hak pekerja atas pekerjaannya di tempat penempatan baru.
Sementara perintah mutasi tempat kerja yang sah, selalu mengandung unsur “kepastian hukum” bagi pihak Pekerja atas hak-hak dan kewajibannya, sebagai bukti adanya perintah mutasi demikian sehingga seorang Pekerja dapat berpegang pada dokumen resmi demikian.
Jangan disamakan antara perjanjian kerja yang dapat berupa perjanjian lisan, perintah mutasi wajib bersifat tertulis. Undang-undang memang tidak ada mengatur demikian, namun praktik peradilan (judge made law) selaku best practice yang ada, telah membentuk kaedah yurisprudensi demikian yang perlu dipahami sebagai antisipasi agar tidak terbit sengketa dikemudian hari.
PEMBAHASAN:
Terdapat ilustrasi konkret, sebagaimana kaedah yurisprudensinya dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 59 K/Pdt.Sus-PHI/2017tanggal 6 Februari 2017, perkara antara:
- PT. SURYA MADISTRINDO, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- ARIASAN, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat telah bekerja pada Tergugat, terhitung sejak 1 April 2009 dan berakhir pada 25 Juli 2015, dengan masa kerja 6 tahun 3 bulan, jabatan terakhir sebagai Admin Gudang. Selama bekerja, Penggugat tidak pernah melakukan kesalahan yang merugikan perusahaan, sehingga Penggugat tidak pernah mendapatkan suart teguran dari manajemen, baik secara lisan maupun tertulis.
Namun pada tanggal 26 Juni 2015, Penggugat dipanggil oleh pihak Tergugat, dan diberitahukan secara lisan bahwa terhitung tanggal 1 Juli 2015 Penggugat dimutasi ke Pulau Nias. Dengan kata lain, Tergugat tidak ada menerbitkan surat keputusan tentang mutasi Penggugat dari Medan ke Pulau Nias.
Bahkan, Tergugat hanya memberikan tenggang waktu hanya 4 (empat) hari kepada Penggugat untuk melaksanakan mutasi kerja tersebut dari Medan ke Pulau Nias, yang bukan perkara sepele untuk dilaksanakan. Sementara itu perihal mutasi atau penempatan tenaga kerja ke tempat lain, harus memperhatikan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil dan setara tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, sudah sepatutnya pihak perusahaan (Tergugat) memahami kondisi Penggugat yang diberi perintah dari Medan ke Pulau Nias, namun Tergugat justru melalaikannya, karena dalam melakukan mutasi kepada Penggugat pihak Tergugat tidak ada menerbitkan surat keputusan tentang mutasi Penggugat dari Medan ke Pulau Nias yang memuat atau menjelaskan mengenai hak dan kewajiban Penggugat di tempat kerjanya yang baru di Pulau Nias.
Tanggal 1 Juli 2015, Penggugat masih juga tidak menerima surat keputusan tentang mutasi Penggugat dari Medan ke Pulau Nias yang menjelaskan mengenai hak dan kewajiban yang akan diterima Penggugat dari Tergugat di tempat kerja baru di Pulau Nias, mengenai:
1.) Jabatan apa yang diterima Penggugat di Pulau Nias;
2.) Jumlah gaji / upah yang diterima Penggugat di Pulau Nias;
3.) Tugas dan tanggungjawab Penggugat di Pulau Nias;
4.) Tempat tinggal Penggugat dan keluarga di Pulau Nias; ataupun
5.) Biaya akomodasi perpindahan (mutasi) Penggugat dari Medan ke Pulau Nias.
Mulanya, sebelum Penggugat bekerja pada Tergugat, Penggugat telah mengisi form aplikasi penerimaan karyawan, yang menyatakan bahwa Penggugat tidak bersedia ditempatkan di luar kota Medan. Form aplikasi tersebut diserahkan kepada Tergugat pada awal diterima sebagai Pekerja di perusahaan Tergugat.
Berhubung Tergugat tidak kunjung menerbitkan surat keputusan tentang mutasi secara resmi kepada Penggugat, maka Penggugat tetap masuk bekerja di Kantor Tergugat di Medan, dengan hadir setiap hari dan tetap mengisi presensi sesuai ketentuan perusahaan (Tergugat). Namun sejak tanggal 11 Juli 2015, data presensi Penggugat sudah tidak ada atau dihapus oleh Tergugat di Kantor Medan sehingga tidak lagi dapat mengisi bukti kehadiran.
Kemudian Tergugat menerbitkan Surat Panggilan I tertanggal 6 Juli 2015 dan Surat Panggilan II tertanggal 10 Juli 2015 yang ditujukan kepada Penggugat, yang isinya memanggil Penggugat untuk hadir di Kantor PT. Surya Madistrindo Area Office Padang Sidimpuan, Kota Padang Sidempuan. Selanjutnya Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan  tertanggal 25 Juli 2015 yang ditujukan kepada Penggugat, yang isinya menyatakan Penggugat dianggap telah mengundurkan diri dari perusahaan karena tidak hadir di tempat kerja barunya sesuai perintah mutasi.
Tanggal 25 Juli 2015, Tergugat menerbitkan Surat Keputusan tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan, yang pada pokoknya menyatakan: “Terhitung sejak tanggal 25 Juli 2015 Tergugat telah mengakhiri hubungan kerja dengan Ariasan (Penggugat), status karyawan tetap, tanggal masuk Kerja 1 April 2009, Jabatan Admin Gudang.”
Adapun latar belakang Penggugat menolak Surat Panggilan I, II dan Surat Pemberitahuan demikian, karena sejak awal Penggugat telah meminta kepada Tergugat agar mutasi dilakukan secara tertulis, sehingga Penggugat memiliki kepastian atas hak dan kewajiban yang diterima oleh Penggugat di Pulau Nias. Akan tetapi Tergugat tidak pernah memenuhi permintaan Penggugat untuk memberikan surat mutasi secara tertulis, sehingga motif keengganan demikian dicerminkan sebagai adanya suatu itikad tidak baik yang disembunyikan—karena tidak bersikap terbuka terhadap Pekerja yang dimutasi.
Sementara perihal Surat Panggilan I, II dan Surat Pemberitahuan dari Tergugat, membuat kebingungan bagi Penggugat, karena mutasi lisan kepada Penggugat adalah ke Pulau Nias, tetapi surat panggilan justru datang dari Kota Padang Sidempuan, membuat Penggugat kian mengendus “agenda tersembunyi” pihak Pengusaha.
jadilah kini Penggugat telah di-PHK secara sepihak oleh Tergugat, dan tidak diberikan upah seperti biasanya meskipun belum terdapat penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial yang menyatakan status hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat telah putus.
Maka disimpulkan, perbuatan Tergugat yang melakukan mutasi terhadap Penggugat secara lisan merupakan mutasi atau penempatan kerja yang tidak terbuka, bebas, objektif, serta adil, dan setara, sehingga mutasi demikian adalah bertentangan dengan ketentuan hukum positif.
Oleh karena mutasi secara lisan demikian bertentangan dengan Hukum Ketenagakerjaan, maka baik perintah mutasi maupun pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Meski pada satu sisi pihak Penggugat meminta agar Majelis Hakim menyatakan pemutusan hubungan kerja adalah tidak sah atau batal demi hukum, namun disaat bersamaan Penggugat meminta agar Majelis Hakim juga menghukum Tergugat untuk membayar uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan normal disertai Upah Proses—hakim yang tidak mengutamakan asas kemanfaatan tentunya akan secara bulat membenarkan eksepsi pihak Tergugat bahwa pokok tuntutan gugatan demikian menjadi rancu adanya, menyatakan PHK tidak sah namun disaat bersamaan meminta pesangon.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Medan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 89/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Mdn., tanggal 27 Juli 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar yang penting untuk dicermati, sebagai berikut:
“Menimbang, hahwa gugatan Penggugat pada pokoknya adalah tentang pemutusan hubungan kerja yang berimplikasi kepada hak-hak yang harus diterima Penggugat secara keseluruhan, dan oleh karena transfer dana yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat pada bulan Juli 2015 bukanlah menjadi alasan utama gugatan Penggugat terhadap Tergugat, maka Majelis Hakim berpendapat hal ini tidak menyebabkan serta merta menjadi obscuur libel;
“Bahwa Penggugat telah menerima tunjangan Rp1.000.000,00 untuk mutasi yang dilakukan perusahaan dan Tergugat berdalil dengan telah menerima kebijakan mutasi yang dikkultan oleh Tergugat. Majelis Hakim menilai bukti yang diajukan Tergugat masih kurang dalam mendukung dalilnya bahwasanya uang tersebut ditujukan untuk tunjangan mutasi Penggugat ke Nias;
“Menimbang bahwa, mutasi yang dilakukan kepada Penggugat oleh Tergugat melalui form perubahan status dan kompensasi karyawan, dimana di dalam form tersebut tidak diisi fasilitas-fasilitas yang akan diterima oleh Penggugat di Nias dan di dalam bukti-bukti Majelis Hakim juga tidak menemukan adanya assignment letter dan job description untuk penugasan yang baru;
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan diatas Majelis Hakim berkesimpulan sesuai petitum 2 (dua) mutasi ini tidak sesuai ketentuan Pasal 32 Ayat (1), sehingga Majelis Hakim memutuskan mutasi adalah tidak sah dan batal demi hukum;
“Menimbang bahwa, berdasarkan Pasal 151 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut, dalam petitumnya Penggugat Nomor 3 (tiga) tentang Pemutusan Hubungan Kerja, Majelis berpendapat PHK atas nama Penggugat dengan Surat Keputusan Nomor ... adalah tidak sah;
“Menimbang, bahwa terdapat beberapa pelanggaran tata tertib perusahaan yang dapat menyebabkan pekerja di-PHK sesuai Pasal 41 Peraturan Perusahaan, Majelis Hakim berpendapat Tergugat telah mengambil tindakan yang dianggap penting namun Hakim tetap mempertimbangkan faktor-faktor penyebab keluarnya surat peringatan;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat karena PHK, sejak dibacakan putusan ini;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi pesangon sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat secara tunai dengan perincian sebagai berikut:
- Uang Pesangon : 1 x 7 x Rp6.145.555,00 = Rp43.018.885,00;
- Uang Penghargaan Masa Kerja : 3 bulan x Rp. 6.145.555,00 = Rp18.436.665,00;
= Rp61.445.550,00;
- Uang Penggantian hak 15% x Rp. 61.445.550,00 = Rp 9.218.332,00;
= Rp70.673.882,00. (tujuh puluh juta enam ratus tujuh puluh tiga ribu delapan ratus delapan puluh dua rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok argumentasi yang klise: bahwa mutasi adalah hak mutlak Perusahaan yang harus dihormati karena diperbolehkan oleh ketentuan yang berlaku, dimana karyawan sudah menanda-tangani pernyataan bersedia untuk ditempatkan dimana saja. Artinya karyawan sudah mengerti dan tahu konsekuensi atas hal tersebut, dimana menolak mutasi berarti sama saja melanggar syarat perjanjian kerja.
Dimana terhadap alasan klasik demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi Pemohon Kasasi / Tergugat tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah benar menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa mutasi Penggugat oleh Tergugat tidak sah karena tidak ada surat keputusan (SK) mutasi, sehingga tidak jelas pelaksanaannya;
“Bahwa selain itu perubahan status dan kompensasi karyawan tidak dijelaskan mengenai berapa besaran gaji pokok, tunjangan uang makan dan fasilitas lainnya yang akan diperoleh pekerja / Termohon Kasasi di tempat baru;
“Bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh Tergugat dengan alasan Penggugat dikualifikasikan mengundurkan diri setelah 2 (dua) kali dipanggil adalah tidak sah, karena faktanya Penggugat hadir di kantor sampai namanya dihapus;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. SURYA MADISTRINDO tersebut harus ditolak
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. SURYA MADISTRINDO tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.