Perihal Hukum Karma Vs. Hukum Negara

ARTIKEL HUKUM
ADIL & TIDAK ADILNYA HUKUM KARMA, ITULAH HUKUM ALAM
Mungkin banyak diantara kita yang memilih untuk tidak memercayai hukum karma, karena memang “fakta selalu pahit” adanya (truth always bitter, as it is). Banyak diantara kita yang lebih menggemari sikap “menipu diri sendiri”, seolah sebuah dosa dapat “dihapus”, atau bahkan seorang penjahat berharap dapat masuk surga setelah melakukan serangkaian kejahatannya (villain who commited a series of crimes).
Berani berbuat, maka haruslah kita berani untuk bertanggung-jawab. Berani bermain api, maka bersiap-siaplah untuk terbakar. Mungkin diakibatkan perasaan takut, kita memilih untuk tidak memercayai eksistensi “hukum karma”, dan mulai mengerahkan segenap energi pikiran yang ada untuk justru bergerak berlawanan demi mengingkarinya (self denial)—inilah yang disebut sebagai “jebakan psikologi alam pra-sadar” yang patut kita waspadai bahaya yang tersembunyi dibaliknya.
Namun pernahkan kita mau bertanya, bila kita mengandalkan kehidupan pada sesuatu yang hanya berdasarkan “selera” makhluk adikodrati diluar sana, maka hidup dan kehidupan umat manusia tidak berbeda dengan bidak pion di atas papan catur yang tidak memiliki kepastian apapun selain bersikap pasrah sepenuhnya, ibarat terombang-ambing tanpa kepastian apapun untuk dijadikan pegangan.
Hukum negara buatan manusia, tentu saja, lebih jauh dari kata “ideal”. Kerap dijumpai “pasal-pasal sponsor” yang menyusup dalam proses legislasi di parlemen yang penuh “agenda tersembunyi”, atau bahkan menjadi “law as a tool of perfect crime”, dimana pasal peraturan perundang-undangan menjadi justifikasi sempurna (tameng pelindung sebagai pembenaran diri) dari segala aksi perbuatan korup dan kolusi aparatur negara atau para pemegang kekuasaan. Hukum buatan manusia cenderung melegitimasi kekuasaan pihak-pihak tertentu untuk terus berkuasa.
Pernahkan para pembaca sadari, sejak “hukum negara” kian kompleks dan produktif dibentuk regulator, pemusatan kekayaan pada pihak-pihak tertentu kian membuat senjang antara “si kaya” dan “si miskin” yang terus saja kian lebar kesenjangan demikian? Tidak lain tidak bukan karena instrumen hukum senantiasa melegitimasi pemegang kekuasaan dan pemodal. Suatu kebohongan bila terdapat pihak-pihak yang menyatakan sebaliknya.
Sebagai contoh, Undang-Undang tentang Advokat dibentuk bukan untuk melindungi warga dari kalangan pengacara “nakal”, tapi untuk memonopolistik akses menuju lembaga peradilan, yang tercermin saat kalangan advokat Tanah Air menggugat peraturan yang membolehkan paralegal suatu Lembaga Bantuan Hukum untuk melakukan “legal aid” di persidangan. Kalangan advokat bahkan tidak lebih banyak tahu perihal hukum, ketimbang kalangan konsultan dan legal researcher. Terbukti, separuh dari total jumlah gugatan dari berbagai lembaga peradilan yang tersebar di Indonesia, separuh diantaranya berujung pada “menolak gugatan Penggugat.”
Bahkan, sekalipun hukum negara disusun dan dibentuk secara ideal, namun penerapannya kerap dijumpai “jauh panggang dari api”. Penerapan hukum negara sangat bergantung pada “variabel bebas” seperti itikad baik para aparatur penegak hukum. Dalam hukum negara, tiada dapat kita jumpai “variabel terikat”.
Sebagai contoh, bila Anda merupakan korban suatu tindak pidana penipuan, sementara pihak berwajib yang diamanatkan untuk melakukan penyidikan, tidak kunjung menindak-lanjuti laporan Anda, maka apa arti semua bunyi pasal-pasal pidana berisi larangan dan perintah serta ancaman sanksinya demikian, selain hanya sekadar bunyi mati pasal-pasal diatas kertas? Itulah “kecentilan” dalam hukum negara yang centil.
Sekalipun pihak penyidik Kepolisian benar-benar melakukan penyidikan dan melimpahkan berkas perkara ke pihak kejaksaan, namun dapat saja pihak kejaksaan beritikad buruk dengan cara bersikap tidak profesional. Sekalipun pihak Jaksa Penuntut melimpahkan berkas dakwaan ke hadapan persidangan, tidak tertutup kemungkinan kalangan Hakim pemeriksa dan pemutus perkara akan melakukan trasnsaksi ilegal dengan pihak terdakwa. Sekalipun terpidana kemudian dipenjarakan, bisa saja pihak pejabat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) melakukan aksi kolusi berjemaah dengan para narapidana “bermodal”.
Bandingkan dengan cara kerja “hukum karma”, eksekutornya bekerja tanpa pernah perlu diberi perintah, tanpa perlu diupah, tanpa perlu diberikan aduan, tanpa perlu diberi laporan, tanpa perlu diawasi lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tanpa perlu kita kawal prosesnya, tanpa perlu kita beri uang “pelicin” untuk mengeksekusi pelakunya, pelakunya akan dieksekusi, secara cepat atau lambat saat buah karmanya matang untuk berbuah. Bahkan seorang raja dan presiden paling diktator sekalipun, tidak luput dari “dewa pencabut nyawa”.
Lantas, bagaimana cara kerja “hukum karma”? Sang Buddha menyebutkan, karma yang berasal dari Bahasa Pali “kamma” memiliki makna sebagai “perbuatan”, yang terdiri dari unsur: ucapan, pikiran, dan perbuatan. Setiap orang akan mewarisi “perbuatannya” sendiri, berkerabat dengan “perbuatannya” sendiri, berhubungan dengan “perbuatannya” sendiri, terlahir dari “perbuatannya” sendiri, baik atau buruk “perbuatan” tersebut maka “perbuatan” itulah yang akan dipetiknya sendiri.
Menyadari akan prinsip kerja “hukum karma” demikian, maka patutlah kita tanyakan pada diri kita sendiri sebagai bagian dari instrospeksi: apa yang dengan demikian dapat kita curangi dalam hidup ini, jika demikian adanya?” Bila Anda merasa berhak hidup curang / mencurangi orang lain, lantas mengapa orang lain tidak boleh merasa berhak untuk mencurangi Anda? Bila Anda mengambil makanan dari piring orang lain, maka orang lain pun dengan demikian berhak untuk mengambil makanan dari atas piring Anda. Anda tidak boleh marah terkena tipu-muslihat bila Anda disaat bersamaan menjadi pelaku penipuan. Apakah Anda benar-benar akan berspekulasi pada sesuatu diluar “hukum karma”?
Sementara itu, adakah kriteria untuk memberi ciri-ciri pada “karma yang sedang berbuah” (kamma vipaka)? Untuk itu penulis akan merinci garis besarnya, sebagai parameter yang sangat mudah untuk kita telusuri sebagai cerminan dalam kehidupan kita sehari-hari, yakni terbagi dalam dua kelompok besar:
1.) Ciri-ciri karma buruk sedang berbuah: sebaik apapun perbuatan dan ucapan kita, sebenar apapun perbuatan dan ucapan kita, semulia apapun perbuatan dan ucapan kita, setulus apapun perbuatan dan ucapan kita, sesuci apapun perbuatan dan ucapan kita, semua orang akan menentang kita, mencela kita, tidak memercayai kita, menolak kita, memusuhi kita, melawan kita, bahkan berniat mencelakai kita sebagai responnya; dan
2.) Ciri-ciri karma baik sedang berbuah: seburuk apapun perbuatan dan ucapan kita, sejahat apapun perbuatan dan ucapan kita, sepalsu apapun perbuatan dan ucapan kita, sekeji apapun perbuatan dan ucapan kita, sekotor apapun perbuatan dan ucapan kita, semua orang akan mendukung kita, setiap akan menyukai kita, semua orang akan menyetujui kita, semua orang akan membenarkan kita, semua akan mengikuti kita, bahkan berniat rela mati demi menjunjung tinggi kita.
Kedua kutub ekstrem diatas, sangat kontras adanya, dan permainan kehidupan demikian pastilah pernah kita alami langsung secara pribadi di keseharian—tidak mungkin tidak pernah, karena “tabungan” maupun “hutang” di “gudang karma” kita telah demikian banyaknya menggunung akibat akumulasi karma dari kehidupan-kehidupan sebelumnya yang telah tidak terhitung lagi banyaknya.
Lantas, mungkin saja kita akan berkata, bahkan hukum karma itu tidaklah adil. Kita dikehidupan sekarang ini yang harus menanggung berbagai derita akibat perbuatan buruk kita di kehidupan di masa yang lampau, sementara kita sendiri bahkan tidak pernah kenal dengan diri kita di kehidupan lampau. Jika demikian adanya, maka lebih baik di kehidupan sekarang kita banyak berbuat jahat saja demi kesenangan hidup masa kini, toh bukan kita yang akan menanggung akibat konsekuensinya, namun “diri kita di kehidupan mendatang” yang sama sekali tidak akan kita kenal.
Sikap apatis dan pragmatis tidak bisa dihindari, bila kita mencermati satu kelemahan laten dari hukum karma, yakni sifatnya yang sangat tidak efektif perihal waktu. Buah karmanya dapat berproses lama sekali sebelum menjadi masak untuk berbuah, sehingga ketidak-adilan demikian tidak dapat dipungkiri kebenarannya secara telak.
Namun pertanyaannya, pernahkah Sang Buddha mengatakan bahwa “hukum karma itu sesuatu yang adil?” Mengapa juga kita menyalahkan Sang Buddha, toh bukan Sang Buddha yang menciptakan hukum karma, Sang Buddha hanyalah sebagai “penemu jalan dan penunjuk jalan kebenaran”, selebihnya adalah kebenaran secara apa adanya, lengkap dengan segala ketidak-idealan hidup yang memang “tidak ideal” dan “jauh dari ideal” ini.
Bahkan, Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa hukum karma itu adil. Mengapa demikian? Karena bila hukum karma memang adalah sesuatu yang adil, maka hukum karma patut untuk kita lekati, dan melekat erat padanya, bergantung dan bergayut erat padanya. Sebaliknya, kita patut bertanya, mengapa Siddharta Gaotama justru berjuang untuk memutus “belenggu rantai karma”?
Dalam Buddhisme, tujuan hidup manusia bukanlah untuk mencapai alam surgawi. Dari kisah-kisah yang tertuang dalam teks-teks Buddhisme, didapati fakta bahwa kehidupan para dewa-dewi di alam dewa masih diliputi oleh ketidak-puasan dan derita tersendiri meski mereka memiliki unsur tubuh yang sangat halus.
Para dewa-dewa masih merupakan mahkluk yang terkondisi oleh bentukan-bentukan, masih dicengkeram oleh siklus kelahiran kembali, masih akan tunduk dibawah kaki “dewa kematian” ketika sinar tubuh mereka meredup akibat kian tipisnya tabungan karma baik mereka, dapat meninggal dan terlahir kembali di alam yang lebih rendah, bahkan alam dewa tidak luput dari kiamat. Segala yang berkondisi, tunduk pada tiga corak kehidupan: anicca, dukkha, dan anatta.
Memahami kelemahan dan ketidak-idealan “hukum negara” buatan manusia, sama pentingnya bagi kita untuk memahami dengan baik berbagai kelemahan dan ketidak-patutan untuk melekat pada “hukum karma” yang juga tidaklah ideal adanya. Dimanakah letak ketidak-idealan “hukum karma” yang fatalistis?
Kembali pada dua ciri-ciri utama dari buah karma, maka kini cobalah untuk kita ajukan pertanyaan berikut sembari bercermin pada pengalaman hidup pribadi diri kita sendiri:
1.) Ketika karma buruk sedang berbuah, kita akan merasakan bahwa semua perbuatan baik kita di kehidupan sekarang ini sama sekali tidaklah bermanfaat, kita merasa semua ucapan baik kita tidak berfaedah, kita merasa menjadi orang baik selalu akan “dimakan” oleh orang-orang tidak curang, kita merasa menjadi orang jujur selalu akan dikalahkan, kita merasa berbuat baik akan kontraproduktif terhadap kebaikan hidup kita sendiri serta akan selalu menjumpai hambatan disamping kegagalan demi kegagalan; dan
2.) Ketika karma baik sedang berbuah, kita akan menikmati berbagai perbuatan buruk kita dalam kehidupan sekarang ini, seburuk dan sejahat apapun ucapan ataupun perbuatan kita, semua orang akan mendukung kita, setiap orang akan menyetujui kita sepenuhnya, semua pihak bahkan akan rela mati demi membela kita, sehingga kita semakin terpanggil / termotivasi untuk kian “menggali lubang kubur kita sendiri”. Itulah momen kritis paling krusial, karena karma baik yang berbuah dapat menjadi bumerang bagi yang bersangkutan, karena setiap rencana buruknya dipastikan akan berhasil, akan menemui kemudahan dan keberhasilan, ibarat jalan bebas hambatan menuju “neraka” dalam kecepatan akselerasi penuh.
Terdapat sebuah postulat, bahwa: hanya orang yang sedang beruntung yang selalu gagal berbuat jahat, dan hanyalah orang-orang sial yang selalu berhasil melakukan kejahatan. Postulat kedua dicetuskan oleh Sigmund Freud (Bapak ilmu psikoanalisis, yang kerap disalah-maknai sebagai Bapak ilmu psikologi): manusia dikuasai oleh dua insting, yakni “insting untuk hidup” dan “insting untuk mati”.
Ketika kita telah lebih mulai memahami apa itu “hukum karma” dengan segenap karakternya, wajar bila kita mulai merasa “ketakutan” terhadap fakta perihal hukum yang mengatur alam semesta ini, dan sebagian dari kita akan lebih memilih untuk menjadi seorang “penjilat” sosok adikodrati yang dipersepsikan atau dipersonifikasikan menyerupai seorang “raja yang tiran gila pujian”, atau bahkan menjelma seorang yang curang dengan mengharap “penghapusan dosa”.
Fakta selalu pahit. Rumah sekit tidak pernah sepi dari pasien. Semua bayi yang kita lahirkan dipastikan akan meninggal suatu saat kelak setelah mengalami sakit dan usia tua. Kita bahkan tidak dapat menghindari “nasib buruk” meninggal karena kecelakaan atau bencana alam dan penyakit. Orang yang baik hati tidak selalu terjamin akan menang menghadapi orang-orang berkuasa yang buruk niatnya. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin kian tersisihkan. Penjara di Indonesia bahkan mulai “obral remisi”.
Bila memang tiada jaminan adanya keadilan di kehidupan alam manusia di Bumi ini, mengapa kita berasumi bahkan berspekulasi bahwa keadilan dan idealnya kehidupan akan kita jumpai di alam surga? Hukum marginal dalam teori ekonomi menyebutkan, bahwa kurva kenikmatan tidak selalu bergerak menanjak naik, karena manusia mengenal kata “bosan”. Cobalah Anda memakan sebutir buah jeruk, terasa nikmat. Kini, cobalah Anda makan buah jeruk itu untuk butir yang kedua puluh, Anda akan mual dan mulai muntah.
Ironisnya, sebagian besar umat Buddhist bahkan tidak berniat untuk berjuang masuk Nibbana, akibat kurangnya pemahaman mereka akan konsepsi Nibbana. Mereka berpikir bahwa di Nibbana tiada hiburan musik ataupun tarian dan nyanyian. Manusia yang masih penuh kemelekatan pada inderawi duniawi, tidak akan siap untuk menghadapi suatu keadaan yang tidak berkondiri lagi, Nibbana. Seperti telah diutakan oleh Sang Buddha: si dungu lebih memilih untuk terus berputar-putar dalam siklus lingkaran samsara, membuat repot diri sendiri sembari merasa asyik menggaruk-garuk borok pada tubuhnya, bermain-main di dalam rumah meski mereka telah diberitahu bahwa rumahnya sedang terbakar.
Lantas juga apa relevansinya antara diskusi singkat perihal “hukum karma” dengan “hukum negara buatan manusia ini”? Secara sederhana, ada saatnya kita tidak perlu terlampau terobsesi terhadap “hukum negara buatan manusia”. Ada kalanya kita terbentur birokrasi penegakan hukum negara yang sangat tidak efesien dan jauh dari efektif.
Tidak jarang terjadi kriminaliasi, dimana hakim “lebih pandai menghukum dan menghakimi” ketimbang “lebih pandai mengadili”. Pada titik itulah, kita perlu menyerahkan selebihnya pada eksekutor-eksekutor “hukum karma” untuk bekerja dan mengeksekusinya, tanpa perlu kita minta, tanpa perlu kita pantau, dan tanpa perlu kita berikan aduan / laporan, dan tanpa perlu kita merasa cemas sang eksekutor gagal mengeksekusi orang yang kuat. Adil atau tidak adil, diakui atau tidak diakui, perbuatan besar ataupun perbuatan kecil, perbuatan itulah yang kelak akan diwarisi oleh si pelakunya. Menyakiti dan merugikan orang lain, sama artinya menyakiti dan merugikan diri sendiri.
Postulat ketiga: yang pahit jangan selalu dibuang, dan yang manis jangan selalu segera ditelan. Sebagai penutup, tidak ada salahnya kita melepas sedikit ketegangan setelah melalui segenap “fakta pahit” yang telah penulis suguhkan secara lugas apa adanya tanpa “tedeng aling-aling” juga tanpa pemanis artifisial, dengan sejenak menikmati hiburan “video music” yang cukup menarik untuk kita simak berikut ini:



© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.