Pengusaha Menunda-Nunda Kebijakan Pensiun Pekerja yang Telah Lanjut Usia

LEGAL OPINION
Question: Apa resiko hukum yang mungkin bisa terjadi, bila ada karyawan yang kami sadari memang sudah memasuki usia tua, namun permntaan pensiunnya terus kami tunda-tunda? Kalau sudah lama penundaan itu terjadi, apa artinya si karyawan sudah tidak bisa lagi menuntut perusahaan dengan alasan pensiun?
Brief Answer: Motifnya apa, sehingga pihak Pengusaha memiliki kebijakan untuk terus menghalangi / menunda pensiun pihak Pekerja, meski memang sudah sepatutnya sang Pekerja dipensiunkan akibat umur? Seorang Pekerja / Buruh dituntut untuk bersikap produktif, sementara bila terjadi penurunan kinerja akibat usia yang telah lanjut, maka terus bekerjanya Pekerja bersangkutan, dapat menjadi “bumerang” bagi posisi hukum sang Pekerja.
Oleh karenanya, demi mengamankan posisi hukum seorang Pekerja yang secara umur sewajarnya telah memasuki usia pensiun, namun pihak Pengusaha belum kunjung mem-pensiunkan Pekerja bersangkutan, maka sang Pekerja berhak mengajukan gugatan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) disertai kompensasi berupa pesangon dua kali ketentuan normal bila Pengusaha selama ini ternyata tidak menyertakan Pekerjanya pada program jaminan pensiun / usia tua.
Hak gugat terkait PHK memang akan dinyatakan “demi hukum” kadaluarsa 1 tahun sejak PHK terjadi, namun perihal usia pensiun, hak untuk mengajukan gugatan “PHK akibat usia pensiun” tidak mengenal kadaluarsa, sehingga tiada faedahnya menunda-nunda demikian. Sebaliknya juga, bila selama ini pihak Pengusaha patuh mengikut-sertakan para Pekerjanya pada progam jaminan ketenagakerjaan, maka tidak lagi relevansi untuk menunda kebijakan pensiun.
PEMBAHASAN:
Pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam praktik peradilan telah diluaskan keberlakuannya, dimana PHK akibat memasuki usia pensiun, bukan hanya dapat dilakukan oleh pihak Pengusaha, namun juga dapat diajukan oleh kalangan Pekerja dengan perantaraan pengadilan, selengkapnya diatur:
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun, dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja / buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja / buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja / buruh dalam program pensiun yang iurannya / preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja / buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi / iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikut-sertakan pekerja / buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun, maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja / buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja / buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Hendaknya perkara dengan karakter demikian tidaklah diremehkan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 134 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 15 Maret 2017, perkara antara:
- PT. YOGYATEK, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 12 orang Pekerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat merupakan Pekerja Permanen pada perusahaan Tergugat yang bergerak dibidang industri tekstil. Penggugat telah bekerja pada Tergugat, sejak tahun 1970-an. Namun, hingga gugatan ini diajukan, pihak Tergugat belum kunjung memutus hubungan kerja Para Penggugat, meski telah mencapai masa kerja dan usia pensiun.
Pada tahun 2014, Para Penggugat telah berulang-kali meminta kepada Tergugat agar dilakukan pemutusan hubungan kerja dengan hormat, karena telah mencapai usia pensiun, maka Tergugat wajib memberikan kepada Para Penggugat uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Tergugat kemudian menanggapi surat permohonan Para Penggugat, melalui perundingan Bipartite tertanggal 19 September 2014, dan bersedia melakukan PHK, namun dengan kompensasi yang akan diberikan mengikuti Peraturan Perusahaan yang diberikan kepada karyawan purna tugas, yaitu : 1 x Ketentuan Pesangon + 1 x Ketentuan Penghargaan masa kerja + Penggantian hak 15% dari (Pesangon + Penghargaan masa kerja) x 45%. Para Penggugat menolak, karena perhitungan demikian lebih rendah dari ketentuan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Perundingan bipartite mengalami kegagalan, maka Para Penggugat kembali bekerja seperti biasanya hingga sekarang, dan mengajukan surat permohonan purna tugas kembali pada Tergugat pada tanggal 19 Agustus 2015 karena telah mengalami kepayahan dalam bekerja disebabkan usia semakin uzur. Namun tetap tidak ada kata sepakat mengenai kompensasi purna tugas.
Karena perundingan bipartite kedua juga mengalami kegagalan, maka Para Penggugat mencatatkan perselisihannya kepada Dinas Tenaga Kerja Kota Yogyakarta, untuk dilaksanakan perundingan Tripartite, namun ternyata tetap tidak menghasilkan kata sepakat diantara kedua belah pihak, sehingga pada akhirnya pihak mediator menerbitkan Surat Anjuran tertanggal 29 Januari 2016, dan Risalah tertanggal 4 Maret 2016.
Mediator pada Dinas Tenaga Karja dalam anjurannya, menyebutkan: Agar perusahaan membayar hak-hak pekerja karena usia pensiun sesuai Pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Para Penggugat menerima isi Anjuran, sementara pihak Tergugat menolak Anjuran Mediator, sehingga pada akhirnya Para Penggugat menempuh penyelesaian secara hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai status hubungan kerja antara Para Penggugat dan Tergugat.
Para Penggugat menuntut kepada Tergugat untuk dapat dilaksanakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena Para Penggugat telah memasuki pensiun sebagaimana ketentuan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dimana Pekerja yang memasuki usia pensiun berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Semestinya para Pekerja tersebut telah dipensiunkan sejak tahun 2000-an, namun hingga gugatan diajukan, belum juga permohonan pensiun mereka dikabulkan. Praktis para Perkaja tersebut telah berusia 60-an. Terdapat indikasi, penundaan selama hingga 10 tahun demikian, dilandasi motif untuk mendorong para Pekerjanya agar secara politis terdesak untuk mengundurkan diri. Namun, secara tidak etis, pihak Pengusaha dalam bantahannya mendalilkan, dengan kutipan sebagai berikut:
“... gugatan Para Penggugat tentang Pemutusan Hubungan Kerja, yang mendasarinya telah mencapai usia pensiun, akan tetapi setelah dihitung secara cermat Para Penggugat telah melampaui batas pensiun antara 2 (dua) tahun sampai 10 (sepuluh) tahun, sehingga gugatan Para Penggugat diajukan pada saat ini telah kadaluarsa, baru disadari oleh Para Penggugat pada saat ini.
Tergugat tidak pernah mem-PHK Para Penggugat, dan Tergugat memberikan leluasa kepada Para Penggugat untuk terus bekerja dan menerima sesuai dengan hak-haknya dan juga Tergugat memenuhi kewajibannya, sehingga terasa hubungan kerja seperti keluarga sendiri dan pada akhir-akhir ini Para Penggugat mengajukan gugatan Pemutusan Hubungan Kerja sehingga hubungan terasa sudah tidak nyaman lagi.
“Bahwa gugatan Pemutusan Hubungan Kerja oleh Para Penggugat kepada Tergugat karena usia pensiun Para Penggugat dan menuntut hak-haknya dengan dasar Undang-Undang Ketenagakerjaan, sedangkan untuk pensiun Para Penggugat, Tergugat telah mencoba untuk menawarkan sesuai dengan kekuatan Tergugat, akan tetapi selalu ditolak oleh Para Penggugat.”
Terhadap gugatan para Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Yogyakarta kemudian mengabulkan tuntutan kompensasi PHK akibat pensiun berupa pesangon dua kali ketentuan normal, lewat putusan Nomor 9/Pdt.Sus- PHI/2016/PN.Yyk tanggal 14 Oktober 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara para Penggugat dan Tergugat sejak tanggal 24 Agustus 2016;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak para Penggugat sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun total sebesar = Rp641.006.222,00 dengan perincian sebagai berikut: ...;
4. Menolak gugatan para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa bukti yang dihadirkan para Penggugat hanya berupa berkas dokumen fotocopy, putusan Majelis Hakim PHI dinilai dipaksakan dan tidak memenuhi rasa keadilan dan didasarkan pada stigma kalau buruh itu mesti pada pihak yang lemah dan benar dan harus dilindungi, stigma yang demikian haruslah dirubah karena “setiap pihak sama kedudukannya di depan hukum”—meski secara senyatanya tiada yang sama kedudukannya secara sosial-ekonomi.
Dimana terhadap keberatan demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 10 November 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 25 November 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta, tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa terbukti telah terjadi pemutusan hubungan kerja oleh Tergugat dalam usia pensiun karena Para Penggugat telah melebihi usia pensiun normal, sehingga tepat dan benar mewajibkan Tergugat untuk memenuhi hak-hak Para Penggugat akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sesuai ketentuan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. YOGYATEK tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. YOGYATEK tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.