Pidana Mengancam akan Mendobrak bila Pintu Tidak Dibuka Korban

LEGAL OPINION
Question: Bisa dipidana tidak, ada orang asing dengan sikap radikal seperti premanisme, yang mengancam-ancam akan dobrak pintu pagar rumah bila penghuni rumah tidak mau buka pintu rumah ketika orang asing itu memaksa untuk masuk?
Brief Answer: Pemerasan dengan ancaman kekerasan, tidak harus delik terjadi oleh pelaku yang menggunakan senjata tumpul ataupun senjata tajam. Ancaman pemukulan atau merusak, sudah dapat menjerat pelakunya. Ancaman kekerasan demikian tentulah terdapat motif lain dibaliknya, entah untuk melakukan pemerasan ataupun perampokan.
Salah satu delik yang dapat dikenakan terhadap pelaku, ialah norma Pasal 368 Ayat (1) KUHP yang memiliki substansi: maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 406 K/Pid/2015 tanggal 5 Mei 2015, dimana Terdakwa didakwakan karena telah ‘dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang’, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 368 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bermula ketika Terdakwa datang ke rumah dinas Sekretaris Daerah Kabupaten Subang di area perkantoran Pemda Kabupaten Subang, dimana Terdakwa menghampiri Tarna bin Suyatna menyuruhnya untuk mengeluarkan sepeda gunung untuk dikeluarkan, namun yang bersangkutan menolak sehingga Terdakwa dengan nada keras justru melontarkan ancaman. dengan kata-kata: “Bukakan pintu, kalau tidak saya dobrak.”
Sang warga merasa takut, kemudian langsung membuka dan menyerahkan sepeda gunung milik orang lain kepada Terdakwa yang langsung dibawa pergi oleh Terdakwa. Setelah pemilik sepeda melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian, maka pihak berwajib melakukan penangkapan terhadap Terdakwa, berikut barang bukti yang diambilnya yaitu berupa 1 unit sepeda gunung. Akibat kejadian tersebut, korban mengalami kerugian sebesar Rp. 32.000.000.
Sementara dalam Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa didakwakan karena telah ‘mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 Ayat (1) KUHPidana.
Terhadap tuntutan yang diajukan pihak Jaksa, yang menjadi putusan Pengadilan Negeri Subang Nomor 222/Pid.B/2014/PN.Sng., tanggal 24 November 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa SANDI SAPUTRA Bin SUYAMIN (Alm) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Pemerasan dengan Kekerasan’;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;
3 Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
Dalam tingkat banding, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 396/Pid.B/2014/PT.BDG., tanggal 21 Januari 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Subang tanggal 24 November 2014, Nomor 222/Pid.B/2014/PN-Sng., yang dimintakan banding tersebut;
- Memerintahkan Terdakwa tetap dalam tahanan.”
Pihak Jaksa Penuntut mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa falsafah pembentukan Pasal 368 KUHP, berangkat dari sifat perbuatan si pelaku, yang pertama adalah motif mendapatkan keuntungan secara ilegal, dan yang kedua adalah pengancaman sehingga korban menjadi merasa ketakutan ketika memberikan sesuatu yang diminta oleh pelaku, sehingga disini terdapat 2 kategori tindak pidana menjadi satu, maka seharusnya pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah lebih tinggi dari tindak pidana biasa karena perpaduan dua tindak pidana menjadi satu.
Memang dalam Pasal 368 KUHP tidak diatur mengenai pidana minimum, akan tetapi seharusnya Majelis Hakim menimbang filosofi pembentukan Pasal 368 KUHP yang jika dilihat dari ancaman pidana penjara maksimal 9 (sembilan) tahun, menjadi sangat kontras dengan amar vonis terhadap Terdakwa yang hanya 10 bulan penjara.
Dengan demikian corak putusan Pengadilan Negeri tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan tidak pula memberikan daya tangkal bagi pelaku lainnya untuk tidak melakukan perbuatan pidana serupa, karena tidak menimbulkan efek jera baik bagi pelaku itu sendiri maupun orang lain yang berpotensi memiliki niat utnuk melakukan tindak pidana yang serupa, terlebih dalam diri terdakwa tidak nampak adanya rasa penyesalan atas perbuatan yang telah dilakukannya itu, sehingga fungsi pembinaan dan pemberian “efek jera” dalam penjatuhan pidana perlu diseimbangkan, agar masyarakat turut dapat memahami arti dari pada pemidanaan.
Terdakwa yang notabene sebagai penggiat anti korupsi yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat, sebagai orang yang menyuarakan ke masyarakat maupun ke media agar pelaku tindak pidana dituntut yang setinggi-tingginya, namun sangat disesalkan ternyata Terdakwa sendiri melakukan suatu tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana pemerasan, sehingga tidak patut untuk mendapat keistimewaan keringanan hukuman.
Bahwa ternyata Terdakwa juga sudah pernah dihukum sebelumnya (residivis), sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 486 KUHP, vonis dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat waktu lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya.
Adapun yang menjadi “tujuan pemidanaan”, menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu:
a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif), atau
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan, agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan (sarana penebusan dosa). Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Sementara bila menurut P.A.F. Lamintang, dinyatakan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;
b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan;
c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Pada umumnya, teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga, yang dapat rinci sebagai berikut:
a. Teori Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theorien), bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat, tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah “pembalasan” (revegen). Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana, dijatuhkan semata-mata bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan, dimana hukuman menjadi suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah etika yang jahat ke arah yang lebih baik.
b. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien), yang berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini memiliki dasar pemikiran, agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental, bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi lebih sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi, dengan demikian, ditekankan pada tujuannya (asas kemanfaatan), yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan, yakni berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu: preventif, detterence, dan reformative.
c. Teori Gabungan / Modern (Vereningings Theorien), yang memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya, terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana dikemudian hari, dengan pandangan sebagai berikut:
1) Tujuan terpenting pidana adalah mengatasi kejahatan yang merupakan fenomena menyimpang masyarakat.
2) Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana perlu memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.
3) Pidana sejauh ini merupakan opsi yang paling esensial yang dapat digunakan pemerintah untuk mengatasi kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri, akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya.
Dari pandangan yang lebih moderat diatas, pemidanaan selain bermaksud untuk memberikan penderitaan jasmani, juga secara psikologis, dan terpenting adalah memberikan pemidanaan sekaligus pendidikan bagi pelaku dan publik, sebagai dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri setiap warga negara agar dapat menghormati harkat subjek hukum lainnya dengan cara bersikap taat terhadap hukum.
Sedangkan terhadap delik-delik “tidak ringan”, yang dianggap dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat, dimana tindakan korektif dinilai tidak berfaedah dan dipandang bahwa penjahat-penjahat dengan karakter demikian sudah tidak dapat lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu perbuatan yang melanggar hukum, tidak dapat dihindari.
Jaksa Penuntut Umum tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan negeri maupun Pengadilan Tinggi, dalam hal ini pertimbangan bagi keadaan yang meringankan vonis, seolah terdapat perdamaian antara korban dan pihak pelaku, terdakwa sudah mengembalikan sepeda tersebut, meski faktanya Terdakwa tidak pernah mengembalikan sepeda yang diambil dengan cara memeras pemiliknya, akan tetapi masih berada di tangan penguasaan Terdakwa ketika ditangkap penyidik, dan lalu disita.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, dalam mengadili Terdakwa. Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Subang yang menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemerasan dengan kekerasan, dan karena itu Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar;
“Bahwa Terdakwa terbukti melakukan pemerasan dengan kekerasan terhadap korban AA. Tarna bin Suyatna, pegawai Cleaning Service Sekda Subang, yang dilakukan dengan cara Terdakwa mengatakan dengan kata-kata ‘bukakan pintu, kalau tidak saya dobrak’ sehingga korban AA. Tarna bin Suyatna membukakan pintu depan dan Terdakwa mengambil sepeda gunung milik Sekda Subang, dan dibawa pergi oleh Terdakwa;
“Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum, bahwa Judex Facti salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya karena Judex Facti menjatuhkan pidana yang ringan dan tidak menimbulkan efek jera terhadap Terdakwa, tidak dapat dibenarkan karena penjatuhan berat ringannya pidana merupakan wewenang Judex Facti, bukan wewenang Judex Juris, bukan alasan formal dan dalam pemeriksaan kasasi kecuali bila Judex Facti kurang memiliki pertimbangan hukum dalam mengadili Terdakwa. Judex Facti telah mempertimbangkan pemidanaan Terdakwa secara tepat dan benar dengan mempertimbangkan hal-hal meringankan dan memberatkan secara proporsional;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagipula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
“Memperhatikan Pasal 368 Ayat (1) KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I :

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Subang tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.