Makna Petitum Ex Aequo Et Bono

LEGAL OPINION
Question: Benarkah “ex aequo et bono” itu hanya memungkinkan hakim untuk membuat putusan yang lebih rendah dari permintaan dalam tuntutan pokok dalam gugatan?
Brief Answer: Doktrin klasik, menyebutkan bahwa petitum (pokok permintaan dalam gugatan) subsidair yang mencantumkan “ex aequo et bono” demikian hanya memberi ruang gerak bagi hakim perkara perdata untuk membuat pilihan opsi alternatif dalam menjatuhkan putusannya, yakni dengan bobot penghukuman yang sifatnya memang lebih ringan dari petitum primair.
Sebagaimana namanya, “subsidair” berasal dari akar kata “substitusi” yang artinya dapat saling menggantikan, sehingga semestinya tidak dimaknai sebagai “lebih berat” ataupun “lebih ringan”, sama seperti dakwaan alternatif seorang Jaksa Penuntut Umum, sifatnya adalah opsional.
Namun dalam konsep yang lebih kontemporer, petitum subsidair “ax aequo et bono” dalam surat gugatan juga dapat dimaknai sebagai memberi ruang kebebasan memilih pada Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara, agar dapat menjatuhkan putusan secara lebih bebas dan lebih rasional, sekalipun berupa amar putusan dengan kualifikasi yang sama sekali berbeda dengan kualifikasi yang dituntut oleh pihak penggugat ketika gugatannya dikabulkan.
PEMBAHASAN:
Contoh konkret yang sering dijumpai dalam praktik peradilan, ialah gugatan kalangan Buruh yang meminta pengadilan agar menyatakan PHK tidak sah dan meminta agar dipekerjakan kembali. Mengingat sengketa yang telah memasuki taraf gugatan demikian sejatinya merusak keharmonisan hubungan kerja (yang mustahil untuk kembali dipulihkan), maka akan lebih rasional bila Majelis Hakim kemudian menajuhkan amar yang sekalipun mengabulkan gugatan, namun penghukuman berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) disertai kompensasi sejumlah pesangon yang wajib dibayar oleh pihak Pengusaha.
Untuk memudahkan pemahaman, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 223 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 16 Maret 2017, perkara antara:
- PT. BEKASI METAL INTI MEGAH, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 6 (enam) orang Pekerja, selaku Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat adalah pekerja pada perusahaan Tergugat sebagai operator produksi dengan status hubungan kerja melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang masing-masing telah mengalami kontrak ulang untuk ke-3 bahkan hingga kontrak ke-4 kalinya, tanpa ada masa tenggang.
Tergugat adalah Perseroan Terbatas yang bergerak dibidang pembuatan barang-barang berbahan dari logam. Bermula pada tanggal 20 Oktober 2015, di waktu jam kerja Para Penggugat dipanggil oleh Tergugat untuk menanda-tangani Surat Kesepakatan Kerja Harian, oleh karena perpanjangan dimaksud melalui Kontrak Kerja Harian setelah sekian kali diikat PKWT, maka Para Penggugat menolak untuk menanda-tangani Surat Kesepakatan Kontrak Kerja Harian, dengan alasan prosedur perpanjangan kontrak kerja telah menyimpang dari ketentuan hukum, dimana seharusnya status Para Penggugat menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT, alias Pekerja Permanen).
Atas penolakan tanda tangan Perjanjian Kontrak Harian Lepas tersebut, Para Penggugat masing-masing diberikan surat pernyataan perusahaan yang pada pokoknya Tergugat tidak dapat mempekerjakan Para Penggugat terhitung mulai tanggal 1 November 2015, alias hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat berakhir terhitung tanggal tersebut dikarenakan telah habis masa kontraknya.
Tanggal 30 Oktober 2015, Tergugat menerbitkan Surat yang melarang Para Penggugat untuk dapat masuk di lingkungan Perusahaan Tergugat terhitung sejak tanggal 1 November 2015, sehingga Para Penggugat tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagai pekerja pada Perusahaan Tergugat, meski Penggugat tetap berniat bekerja seperti biasa.
Penggugat sudah mengupayakan penyelesaian secara Bipartit dengan mengirim surat ajakan berunding sebanyak 2 kali, akan tetapi Tergugat menolak untuk berunding, sehingga perkara ini dilimpahkan ke Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi melalui mediasi Tripartit. Setelah melalui proses yang panjang dalam tahapan mediasi, tertanggal 21 Desember 2015 Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi menerbitkan Surat Anjuran, dengan substansi:
“MENGANJURKAN:
1) Agar pihak PT. Bekasi Metal Inti Megah mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Suyatno dkk (13 orang) dengan nama-nama terlampir terhitung tanggal 30 Desember 2015;
2) Agar Pimpinan perusahaan PT. Bekasi Metal Inti Megah dapat memberikan hak-hak pekerja gaji (upah proses) sebagaimana diatur dalam Pasal 151 juncto Pasal 155 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) Nomor 37/PUU-IX/2011 terhitung bulan November dan Desember 2015;
3) Agar kedua belah pihak memberikan jawaban tertulis ke Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi selambat-lambatnya 10 hari setelah menerima anjuran ini;
4) Apabila pihak-pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak menerima Anjuran maka sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Provinsi Jawa Barat di Jalan Suropati Nomor 47 di Bandung.”
Para Penggugat menyampaikan jawaban yang pada pokoknya menyatakan menerima sepenuhnya atas anjuran Dinas Tenaga Kerja. Namun berdasarkan keterangan dalam risalah Mediasi atau Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang diterbitkan Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi pada bulan Januari 2014, Tergugat ternyata menolak anjuran mediator Disnaker.
Oleh karena Tergugat menolak anjuran Dinas Tenaga Kerja, maka kewajiban hukum untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, seharusnya adalah Tergugat, akan tetapi Tergugat tidak kunjung mengajukan gugatan, maka Para Penggugatlah yang berinisiatif mengajukan gugatan demi mendapat kepastian hukum.
Fakta hukumnya, Para Penggugat menjalin hubungan kerja dengan Tergugat melalui PKWT dengan posisi dan jabatan sebagai operator produksi, dimana jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya bersifat tetap, serta telah dilakukan pembaruan PKWT demikian sebanyak lebih dari 2 kali tanpa ada masa tenggang waktu jeda saat pembaharuan PKWT, maka berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “demi hukum” status Para Penggugat yang sebelumnya sebagai Pekerja Kontrak berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau Pekerja Tetap.
Karena telah jelas status Para Penggugat yang sebelumnya PKWT “demi hukum” menjelma PKWTT, karenanya upaya Tergugat mengakhiri hubungan kerja Para Penggugat dengan alasan berakhirnya masa kontrak kerja adalah alasan yang nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Karena pengakhiran hubungan kerja (PHK) terhadap Para Penggugat tidak memenuhi unsur-unsur secara hukum yang dapat menyebabkan putusnya hubunga kerja, maka Penggugat meminta agar hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat dinyatakan “belum berakhir” dan status hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) oleh karenanya Tergugat diwajibkan agar memanggil secara tertulis kepada Para Penggugat untuk bekerja kembali pada posisi dan jabatan semula di perusahaan Tergugat, serta mewajibkan kepada Tergugat untuk membayar upah Para Penggugat terhitung sejak tanggal 1 November 2015 sampai dengan perkara ini diputus.
Adapun yang menjadi tuntutan pokok dalam gugatan Penggugat, yakni agar Majelis Hakim menyatakan dalam amar putusannya:
- Menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat belum terputus dan status hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat beralih menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) pada Perusahaan Tergugat;
- Menghukum Tergugat untuk memanggil secara tertulis kepada Para Penggugat untuk bekerja kembali pada posisi dan jabatannya semula sejak putusan ini dibacakan;
- SUBSIDAIR: Ex aequo et bono.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 76/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg., tanggal 14 November 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa kemudian karena faktanya status hubungan kerja para Penggugat dan Tergugat adalah demi hukum berubah dari PKWT menjadi PKWTT, dengan dikeluarkannya surat pemutusan hubungan kerja dengan alasan berakhirnya masa kontrak kerja sesuai Bukti P-8 s.d. Bukti P-13 dan Bukti T-3.a s.d. T-3f, pendapat Majelis pemutusan hubungan kerja tersebut tidak beralasan dan batal demi hukum;
“Menimbang bahwa untuk memperhitungkan secara tepat dan pantas sejak kapan hubungan kerja dinyatakan putus dan berakhir, Majelis Hakim mempertimbangkan hal yaitu bahwa para Penggugat berusaha menyelesaikan PHK ini terhadap Tergugat dengan diajukan gugatan perselisihan hubungan industrial dilakukan oleh para Penggugat, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa putusnya hubungan kerja antara para Penggugat dengan Tergugat adalah sejak dibacakannya putusan ini;
“Menimbang bahwa karena pemutusan hubungan kerja yang telah dilakukan oleh Tergugat tidak beralasan dan batal demi hukum, maka untuk itu sudah sepatutnya hubungan kerja antara para Penggugat dan Tergugat tetap dilanjutkan, tetapi dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 100 UU Nomor 2 Tahun 2004 dan mempertimbangkan asas kemanfaatan bagi kedua belah pihak dan untuk mengakomodir petitum para Penggugat tentang mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono), bahwa juga sekiranya hubungan kerja antara para Penggugat dengan Tergugat dilanjutkan tentu tidak akan membawa kemanfaatan bagi keduanya karena tidak ada lagi keharmonisan antara satu dengan yang lain, sehingga sudah sepatutnya untuk diputuskan hubungan kerjanya;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat sejak dibacakannya putusan ini;
- Menghukum Tergugat untuk membayar upah Para Penggugat yang belum dibayar yaitu upah bulan November 2015 s.d. bulan Desember 2015 dan bulan Januari 2016 s.d. bulan April 2016 dengan perincian: ...;
- Menghukum Tergugat kepada Para Penggugat untuk membayar Pesangon sebesar 2 x ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja 1 x ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan Uang Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan Perawatan sebesar 15 % dari Uang Pesangon dan/atau Uang Penghargaan Masa Kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Nomor 13 tahun 2003, dengan perincian: ...;
- Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Putusan PHI telah melebihi tuntutan, sehingga bertentangan dengan kaedah putusan Mahkamah Agung Nomor 339 K/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970, yang menyebutkan:
“Putusan Pengadilan Negeri yang menyimpang dari apa yang dituntut dalam gugatan, apalagi putusannya melebihi dari apa yang dituntut sehingga lebih menguntungkan Tergugat padahal Tergugat tidak mengajukan gugat rekonvensi, harus dibatalkan.”
Pihak Pengusaha mengutip pula kaedah Pasal 178 Ayat (3) HIR, yang mengatur: “Hakim tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.”
Dikutip pula Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 689 K/Sip/1974 tanggal 2 November 1976, dengan kaidah hukum:
Putusan Judex Facti dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena putusan Pengadilan Negeri tersebut telah menyimpang dari apa yang dituntut oleh Penggugat dalam petitum surat gugatannya. Putusan Judex Facti baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi tersebut secara yuridis harus dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena bertentangan dengan Pasal 178 HIR.”
Serta dikutipkan pula Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 589 K/Sip/1970 tanggal 13 Maret 1971, yang kaedah hukumnya sudah usang berikut ini:
“Putusan Hakim yang diktumnya ‘melebihi dari tuntutan’ yang dimohonkan oleh Penggugat, maka dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi harus memperbaiki putusan Hakim Pertama yang salah tersebut.”
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 9 Desember 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 28 Desember 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat tepat dinyatakan demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), karena dalam proses perpanjangan dan pembaharuan tidak memenuhi tata cara sebagaimana diatur dalam undang-undang, lagipula tidak ada alat bukti yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan akan selesai dalam waktu tertentu, sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Bahwa putusan Judex Facti tidak melampaui kewenangan, karena adanya tuntutan ‘ex aequo et bono’ sehingga Hakim dapat memutus sesuai dengan kejadian atau fakta materiil dari perselisihan dalam hal ini Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). tidak sah dan hubungan kerja berakhir;
“Bahwa namun demikian, perlu perbaikan amar dan pertimbangan sepanjang upah sejak bulan November 2015 sampai dengan Desember 2015 dan bulan Januari 2016 sampai dengan April 2016 karena terkait dengan upah selama perselisihan atau upah proses, sesuai dengan praktik-praktik putusan Judex Juris yang telah berulang-ulang terhadap PKWT yang kemudian oleh pengadilan menjadi PKWTT dan hubungan kerja berakhir, tidak berhak atas upah proses, karena itu sepanjang mengenai amar membayar upah proses sejak bulan November 2015 sampai dengan Desember 2015 dan bulan Januari 2016 sampai dengan April 2016 tidak diberikan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. BEKASI METAL INTI MEGAH, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. BEKASI METAL INTI MEGAH, tersebut;
- Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 76/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg., tanggal 14 November 2016 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat sejak dibacakannya putusan ini;
3. Menghukum Tergugat kepada Para Penggugat untuk membayar Pesangon sebesar 2 x ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja 1 x ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan Uang Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan Perawatan sebesar 15 % dari Uang Pesangon dan/atau Uang Penghargaan Masa Kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Nomor 13 tahun 2003, dengan perincian:
- Sdr. Suyatno / Penggugat 1:
Uang Pesangon 2 x 4 x Rp3.788.770,00 = Rp30.310.160,00
Uang Penghargaan Masa Kerja = 2 x Rp3.788.770,00 = Rp7.577.540,00
Uang Penggantian Hak 15 % x Rp37.887.700,00 = Rp5.683.155,00.
Jumlah = Rp43.570.855,00 (empat puluh tiga juta lima ratus tujuh puluh ribu delapan ratus lima puluh lima rupiah);
- Sdr. Nurdin A / Penggugat 2: ...;
4. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.