Makna Hukum “Pencalonan secara Transparan & Partisipatif”

LEGAL OPINION
Perbedaan antara Pencalonan & Pemilihan
TIDAKLAH PENTING SIAPA YANG AKAN DIPILIH, NAMUN SIAPA YANG AKAN DICALONKAN
Question: Biasanya dalam pencalonan suatu pejabat pada suatu jabatan, ada kewajiban hukum untuk bersifat partisipatif maupun transparan, maksudnya bagaimana dalam implementasinya?
Brief Answer: Tentu kita masih ingat skandal kasus Akil Mochtar, Patrialis Akbar, hingga Arief Hidayat, ketiganya merupakan Hakim Konstitusi RI, yang semestinya diangkat sebagai negarawan sekaligus hakim berdasarkan asas meritokrasi. Patrialis Akbar diangkat oleh Presiden RI dengan harapan untuk memperbaiki citra buruk MK RI yang dinodai skandal Akil Mochtar, namun ternyata menambah kian suram wajah MK RI. Begitu pula Arief Hidayat, yang lebih dikenal sebagai hakim yang kerap PDKT terhadap konstituen tertentu.
Pengadilan Tata Usaha Negara pernah membuat kaedah hukum dalam putusannya, bahwa cara pencalonan seorang pejabat tinggi negara yang bila tidak dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, dimana proses pemilihan calon tidak dilakukan secara obyektif maupun akuntabel, yang pada akhirnya mengenyampingkan partisipasi publik dalam proses pengisian pejabat-pejabat publik.
Filter paling pertama sebelum dipilih, ialah tahap pencalonan. Sementara tahap pemilihan tidaklah begitu penting dan tidak signifikan, sebab filterirasi yang paling dominan pengaruhnya ialah proses pencalonan. Dari calon-calon yang telah disaring, calon-calon tersebutlah yang kemudian disodorkan untuk dipilih oleh pimpinan negara.
Oleh karenanya, SHIETRA & PARTNERS menilai, proses pemilihan kuranglah penting peranannya, oleh sebab yang terpenting dan esensial ialah proses pencalonan. Selama calon yang dihimpun dan diloloskan ialah calon-calon terbaik, siapapun yang akan dipilih pada akhirnya tidaklah demikian menjadi masalah bagi publik. Bandingkan bila calon-calon yang diajukan tidak kompeten, maka tiada calon yang baik untuk dapat dipilih pada gilirannya.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sengketa tata usaha negara terkait pencalonan pejabat Hakim Konstitusi RI sebagaimana register Nomor 139/G/2013/PTUN-JKT. tanggal 23 Desember 2013, perkara antara:
1. YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA (YLBHI); 2. INDONESIA CORRUPTION WATCH, sebagai Para Penggugat; melawan
1. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, selaku Tergugat; dan
2. Dr. PATRIALIS AKBAR, SH., MH., selaku Tergugat II Intervensi.
Tahun 2008, dalam melakukan dan menetapkan calon Hakim Konstitusi, Tergugat telah membentuk Panitia Seleksi yang bertugas untuk melaksanakan proses penyeleksian calon hakim konstitusi. Panitia Seleksi pada waktu itu melakukan publikasi dengan mengumumkan 15 calon hakim Konstitusi yang terseleksi—bandingkan dengan pengangkatan Arief Hidayat untuk masa jabatan yang kedua kalinya: calon tunggal, diragukan apakah telah dibentuk Panitia Seleksi sebelum pengangkatan yang bersangkutan.
Dalam melaksanakan proses penyeleksian terhadap calon Hakim Konstitusi, Panitia Seleksi meminta pendapat publik terhadap calon Hakim Konstitusi. Dengan rincian sebagai berikut: tanggal 6 Agutus 2008, masukan publik dan para Penggugat telah memberikan masukan dan pertimbangan kepada panitia seleksi. Tanggal 7-8 Agutus 2008, wawancara terbuka. Tanggal 9 Agutus 2008, panitia mengajukan 9 nama calon hakim konstitusi kepada Tergugat. Tanggal 11 Agutus 2008, Tergugat memilih 3 calon hakim konstitusi yang dari 9 nama yang diajukan.
Proses seleksi calon hakim Konstitusi tahun 2008, telah mencerminkan transparansi dan partisipatif publik sebagaimana yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Namun pada tahun 2013, dalam proses pengangkatan Hakim Konstitusi dari utusan pemerintah, diduga kuat Tergugat tidak melaksanakan amanat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebagaimana proses pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Tergugat. Tanggal 22 Juli 2013, Tergugat menerbitkan penetapan, menyebabkan kepentingan para Penggugat menjadi dirugikan karena tidak bisa memberikan masukan dan pertimbangan terhadap calon Hakim Konstitusi.
Latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bagian Penjelasan Umum menerangkan bahwa Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, Undang-Undang ini mengatur mengenai syarat calon hakim konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur pula ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif dan akuntabel.
Penggugat selaku Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), menilai Keputusan Presiden yang mengangkat dan menunjuk langsung Hakim Konstitusi RI, adalah sebagai tidak objektif dan tidak pula akuntabel, sehingga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan objek gugatan berupa Keputusan Presiden demikian.
Dimana terhadapnya, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut maka permasalahannya adalah, bagaimanakah mekanisme pengangkatan hakim konstitusi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Menimbang, bahwa berdasarkan Ketentuan Pasal 24 C ayat (3), ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan bahwa:
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Menimbang, bahwa pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatas, diatur dalam Ketentuan Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
Pasal 18:
1. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
2. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima presiden.
Pasal 19: Pencalonan Hakim Konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
Pasal 20:
1. Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon Hakim Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
2. Pemilihan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.
“Menimbang, bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa:
Pasal 33: Untuk dapat diangkat sebagi Hakim Konstitusi, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
d. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
e. Adil; dan
f. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Pasal 34 :
1. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang Presiden.
2. Pencalonan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
3. Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan diatas, dapat dipahami bahwa mekanisme pengangkatan hakim konstitusi meliputi dua hal, yaitu: (1) syarat administratif yang harus dipenuhi oleh seorang calon hakim konstitusi, dan (2) tata cara pencalonan Hakim Konstitusi yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif dan akuntabel.
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian diatas, timbul pertanyaan bagi Pengadilan:
1. Apakah calon hakim konstitusi Prof. DR. Maria Farida Indrati, SH., MH dan DR. Patrialis Akbar, SH., MH, telah memenuhi syarat administratif sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi?
2. Apakah tata cara pencalonan Hakim Konstitusi Prof. DR. Maria Farida Indrati, SH., MH dan DR. Patrialis Akbar, SH., MH, telah dilaksanakan secara transparan dan partisipatif?
“Menimbang, bahwa Pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden untuk mengusulkan masing-masing tiga orang calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk diangkat menjadi hakim konstitusi dengan keputusan Presiden.
“Menimbang, bahwa dalam praktek yang terjadi selama ini, pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi mengacu pada mekanisme masing-masing lembaga. Mekanisme dan tata cara yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, berbeda dengan DPR, begitu juga dengan Presiden. Hal tersebut disebabkan oleh karena undang-undang tidak merumuskan secara jelas dan tegas tentang cara bagaimanakah tiap-tiap lembaga pengusul melaksanakan kewenangannya tersebut. Sehingga dalam praktek, pelaksanaan pemilihan dan pengangkatan, sepenuhnya merupakan kewenangan masing-masing lembaga pengusul dalam menilai dan memilih calon hakim konstitusi, yang apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, menurut Pengadilan hal tersebut dapat menjadi sengketa tata usaha negara, jika aturan tersebut menimbulkan problematika dalam pelaksanaannya, yaitu tata cara pencalonan Hakim Konstitusi tidak dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi tersebut tidak dilakukan secara obyektif dan akuntabel, yang pada akhirnya mengenyampingkan partisipasi publik dalam proses pengisian pejabat-pejabat publik.
“Menimbang, bahwa dalam persidangan Pengadilan menemukan fakta hukum, sebagai berikut:
- Bahwa pada periode pertama lahirnya Mahkamah Konstitusi (tahun 2003-2008), Presiden langsung mengangkat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi, yaitu Dr.Harjono,SH.,M.C.L; Prof.Abdul Mukthie Fajar dan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, SH., LL.M.
- Bahwa pada Periode Kedua (tahun 2008-2013), seleksi calon hakim konstitusi yang berasal dari Presiden dilaksanakan secara transparan dan partisipatif oleh panitia seleksi hakim yang melibatkan banyak ahli. Melalui Fit and Proper Test, Prof.Dr.Maria Farida Indrati, SH; Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH; dan Prof. Abdul Mukthie Fajar dipilih menjadi Hakim Konstitusi.
- Bahwa pada periode Ketiga pada tahun 2010, Presiden langsung mengangkat Dr. Hamdan Zoelva, SH., MH., untuk menggantikan Prof. Abdul Mukthie Fajar.
- Periode Keempat tahun 2013, Presiden langsung mengangkat kembali Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH sebagai hakim konstitusi dan mengangkat Dr. Patrialis Akbar, SH., MH untuk menggantikan Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH.
“Berdasarkan fakta hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat inkonsistensi (terhadap konvensi) dalam pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi yang diusulkan oleh Presiden. Selanjutnya timbul pertanyaan hukum utama yang harus dijawab oleh Pengadilan, yaitu Apakah pengangkatan Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH dan Dr. Patrialis Akbar, SH., MH, dalam jabatan Hakim Konstitusi oleh Presiden dalam keputusan objek sengketa a quo telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
“Menimbang bahwa untuk menjawab pertanyaan hukum diatas, Pengadilan terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa Pengadilan diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat;
“Menimbang, bahwa apabila ketentuan diatas dihubungkan dengan kondisi saat ini, yaitu:
- pada tanggal 17 Oktober 2013, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berisi pada pokoknya menekankan bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai syarat dan pengajuan hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi.
- Dan pada tanggal 22 Desember 2013, DPR telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 menjadi Undang-Undang.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Pengadilan, Mekanisme dan tata cara internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden dalam melaksanakan pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi, yang terjadi dalam praktek selama ini terdapat suatu persoalan.
Persoalan dimaksud adalah seolah-olah hakim konstitusi diangkat begitu saja oleh masing-masing lembaga, tanpa dipilih melalui suatu proses yang transparan dan partisipatif. Padahal transparan merupakan syarat untuk mewujudkan keputusan yang akuntabel dan partisipatif, merupakan syarat untuk mewujudkan keputusan yang objektif.
“Menimbang, bahwa dalam penafsiran teologis, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan oleh tergugat, mencerminkan bahwa Tergugat menyadari, akar kausa persoalan yang menimpa Mahkamah Konstitusi saat ini karena hakim konstitusi diangkat begitu saja oleh masing-masing lembaga, tanpa dipilih melalui suatu proses yang transparan dan partisipatif.
“Logikanya, mengutip dasar pemikiran dikeluarkannya Perpu oleh tergugat yaitu ‘untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai syarat dan pengajuan hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi’, maka pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi harus melalui suatu proses yang transparan dan partisipatif.
“Menimbang, bahwa eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung maupun lembaga tinggi negara lainnya. Dalam kedudukannya yang demikian, Mahkamah Konstitusi merupakan pula salah satu pusat kekuasaan dalam suprastruktur politik negara sekaligus sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, pengisian jabatan hakim konstitusi haruslah dipilih melalui tata cara pencalonan yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, dan bukan dengan cara diangkat melalui penunjukkan langsung oleh lembaga yang sederajat dengan Mahkamah Konstitusi (in casu Presiden).
“Menimbang, bahwa pengangkatan Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH dan Dr. Patrialis Akbar, SH., MH, dalam jabatan Hakim Konstitusi oleh Presiden dalam keputusan objek sengketa a quo dilakukan melalui proses penunjukkan langsung, tanpa melalui tata cara pencalonan yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, menurut Pengadilan Tindakan Tergugat (Presiden) tersebut mengandung kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming) karena tidak memenuhi Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang menggariskan bahwa dalam Pencalonan Hakim Konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan diatas, dalil gugatan para Penggugat yang menyatakan bahwa Keputusan Presiden Republik Indonesia No 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013, telah melanggar Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, adalah beralasan menurut hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan hukum diatas, merujuk pada penilaian atas fakta dan hukum dalam sengketa ini, Pengadilan berkesimpulan:
- Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
- Para Penggugat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan a quo;
- Pokok gugatan para Penggugat terbukti dan beralasan menurut hukum;
“Menimbang, bahwa karena dalil para Penggugat terbukti dan beralasan menurut hukum, maka sangat beralasan hukum bagi Pengadilan untuk mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya.
“Menimbang, bahwa oleh karena gugatan para penggugat dikabulkan, maka keputusan objek sengketa dinyatakan batal, dan mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut keputusan objek sengketa, serta mewajikan kepada tergugat untuk menerbitkan keputusan tata usaha negara yang baru berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Berdasarkan uraian diatas, apabila dikaitkatkan dengan bukti-bukti yang diajukan Para penggugat dan keadaan saat ini dimana Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H dan Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H telah dilatik sebagai hakim konstitusi oleh Presiden pada tanggal 13 Agustus 2013;
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan persidangan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Pengadilan menentukan apa yang harus dibuktikan, membagi beban pembuktian beserta penilaian pembuktian.
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK SENGKETA.
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Keputusan Presiden Republik Indonesia No 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013, yang memutuskan:
Menetapkan :
Pertama : Memberhentikan dengan hormat dari jabatan Hakim konstitusi, masing-masing atas nama:
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.;
2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. M.H.;
Kedua : Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama:
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.;
2. Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia No 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013, yang memutuskan:
Menetapkan:
Pertama : Memberhentikan dengan hormat dari jabatan Hakim konstitusi, masing-masing atas nama:
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.;
2. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. M.H.;
Kedua : Mengangkat dalam jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama:
1. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.;
2. Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.;
4. Mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.